Ini malam aku tak lagi sendiri, ada dia di sampingku. Sambil menikmati wedang susu yang dijual di pinggir jalan. Semburat bahagia terlihat dari wajah Rendra, kuteguk sedikit wedang jahe yang mulai mendingin ditiupi udara yang terasa mulai memeluk tubuhku yang tak terbalut sweter. Rendra sepertinya paham ketika melihatku berbalut kaos polos berlengan pendek berwarna merah merah jambu. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku. “Dingin” ucapnya dengan seulas senyum manis dengan lesung pipi yang mengempis.
“Kapan kamu pulang Dra, kok gak ngasih tahu aku?” tanyaku dengan jemari memeluk mug wedang jahe “Tadi sore, sengaja kan kejutan” ucap Rendra dengan wajah teduhnya. “Aku di sini, ya PPL di sini” ucapnya dengan memandangku. “beneran? Gak bohong?” dengan berbalik arah mengarah ke hadapan Rendra. “Iya, tapi aku sibuk sekarang Wi” “Iya, aku tahu makanya malam malam gini kamu ngajakin ketemunya” “Kan sore aku pulangnya Wi”
Kami bersama sejak kita masih SMA dia kakak kelasku. Kita menjadi dekat kala dia jadi pamong saat aku diospek dulu.
Aku melihat arlojiku menunjukkan pukul 8 malam. Sudah setengah jam aku di sini. Menikmati malam berdua anggapanku walau memang tidak begitu.
“Mana ponselmu?” Aku memberikannya seperti biasa dia pulang selalu begitu meriksa chattanku, media sosial, dan galeri tempat mengabadikan momen. Ya, dia sangat protektif apalagi ketika ku berbeda perguruan tinggi dia selalu menaruh curiga. Seakan tak percaya kalau aku hanya mwnautkan hatiku padanya. “Kamu ini di mana? Kok gak ngasih tau aku?” sergahnya dengan menunjukkan fotoku di salah satu destinasi terkenal di kota ini. “Ini di…” tak sempat ku meneruskan omonganku dia segera memotongnya. “Aku gak suka kamu keluyuran gak bilang-bilang aku” ucapnya dengan menghapus gambar di layar lima inch itu. Aku tak ingin menjelaskan apapun karena ku rasa ini tak penting. Namun, lain soal dengan dia. Dia menatapku menunggu jawaban atas yang ia ucapkan. Aku mengambil napas dalam-dalam “aku bersama kawan kelasku, aku yang mengusulkan. Aku bete kalau terus di kosan. Kalau bilang kamu ribet, harus ngeyakininnya berapa hari coba?” ucapku “Bagaimana kalau kamu kenapa-napa” “Toh sampai saat ini aku baik-baik saja. Sudah apa kamu ketemu aku untuk bicara ini?” dengan beranjak hendak meninggalkan dia yang sibuk dengan pikiran negatifnya.
Rendra membayar wedang kami dan segera menyusul dan menangkap tanganku. “Maafkan aku” dia melirik ke arahku aku hanya diam tak membalas. “Sudah liat ke arah jalan tar nabrak lagi” ucapku dengan bersender ke jok mobil berbantal tulang kecil berwarna hijau. “Sudah jalan saja jangan melirik mulu” “Dewinata de coco” ucapnya mencoba mencoba mencairkan suasana “Dewinata Wardana, Rendra sutisna” ucapku balik meledek dia “Rendra Suteja”
“Wi besok kuliah pukul berapa?” “Gak kuliah mau maen,” ucapku “Kemana? Nanti aja bareng aku” “Ke rumahku, mau pulang, mau minta uang bulanan” “Gak usah pulang, nanti aku transfer” Aku diam sejurus kemudian “aku rindu pengen ketemu mama” “VCan aja,” “Emangnya kenapa sih Dra aku pengen meluk mama” “Ke rumah besok mama aku pengen ketemu”
Tante Sarah mama Rendra sangat baik padaku, ya dia seperti ibuku sendiri dia tahu kalau aku tak punya ibu. Ibuku yang di kampung ya dia ibu tiriku tapi keakraban kami sudah seperti ibu kandungku sendiri.
Akhirnya avanza putih itu bertengger di depan kosanku. “Wi…” kepalaku menghadap ke asal suara lalu Rendra mendaratkan bibirnya di bibirku. Ssuuut malam jangan beritahu siapapun biar ini jadi rahasia kita. “Besok aku kabari, kalau sudah beres di dealer” aku hanya mengangguk dan keluar.
Setengah sebelas pagi aku bangun. Pagikah atau siang tapi anggapanku ini masih pagi. Ada sekitar 26 panggilan tak terjawab dan 32 pesan. Aku pun memencet empunya nomor yang sedari tadi meneleponiku. Tuttttuuttttuttttutttt “kamu kemana aja sih?” “Aku baru bangun” “Anak gadis jam segini baru bangun” “Malem aku gak bisa tidur” “Kenapa gak telepon aku?” “Kan besok kamu kerja” “Bentar lagi aku ke sana” “Mau jemput aku? Kerjaanmu?” “Kamu mau makan apa?” “Oh makan, nanti aja makan di luar ya” “Oh iya, mandi dulu bau” “Kamu gak sibuk?” “Baru istirahat dari tadi banyak banget yang benerin mobil, gapapakan kalau aku pake baju montir” “Iya, gapapa asal wajah kamu bermake up oli ya” “Ih Tom Cruisenya gak keliatan dong” “Tom and Jerry kali ah” “Mandi sana, nata de coco sepuluh menitan lagi nyampe biar bisa liat kamu ” dengan nada nakalnya. “Paan sih, aku ganti baju aja kalo gitu” “Ih mandi, satu jam lagi aku ke sana ya” “Ya udah, aku mandi dulu”
Dua puluh menit aku keluar dari kamar mandi dan memilih jeans biru dengan atasan sifon putih untuk kukenakan hari ini. Lalu aku meringkuk lagi dalam buaian guling yang terus mengeloniku.
Tok tok tok Aku mengucek-ngucek mataku dan membuka pintu. “Tidur lagi kamu Wi?” “kayanya sih gitu, ayo masuk” “Gak ah, berangkat aja langsung, aku udah lapar” “Ya udah”
“Dra, jam berapa ke rumah” “Gak jadi, mamahkunya juga uda berangkat Padang” “Hah, napa baru bilang” “Mendadak Wi”
“Wi, sekarang aku bakal bener- ener sibuk kalau aku gak ngasih kabar atau kita gak ketemu aku udah bilang ya” “Kenapa?” “Aku bolak-balik kampus juga Wi” “Ngapain?” “Nengokin usaha aku yang di sana” “Eumph”
Dua hari pasca Rendra bilang dia sibuk dia hanya mengantarkan sarapan dan tak mengirimiku kabar. Malam minggu kata orang malam ini paling asik untuk yang punya pasangan tapi tak begitu denganku. Aku hanya mendengar suara gitar yang dipetik sekumpulan mahasiswa yang menyanyikan lagu hatiku berhenti di kamu. Ingin gabung biar mengurangi keresahan di hati tapi Rendra takutnya ke sini. Ah mungkin dia sibuk akhirnya aku keluar dan ikut gabung bersama mereka.
“Pacarnya mana Wi?” “Hooh gak ngapelin?” ucap Teguh sambil nyenggol bahuku. “Ada, tapi, ah udah yu aku mau ikutan ekh malah diinterogasi” jawabku dengan mengambil gitar dari tangan Bagus. “Ye, di sini kan kumpulan cowok-cowok jomblo kalau Dewi ikut gabung…” “Ahh udah jangan becandain mulu” pintaku dengan memetik gitar hendak menyanyikan lagu fix you.
Setengah sembilan kita asik-asiknya bernyanyi dengan menikmati kopi dan martabak manis tiba-tiba kulihat avanza putih berplat nomer D itu datang aku mengacuhkan pura-pura tak melihat kala mobil itu terparkir di depan gerbang kosanku.
Rendra tak keluar tak pula meneleponku. Lima menit kemudian dia pulang tak menemuiku. Aku terdiam ketika yang lain asik bernyanyi dan ku pamit masuk ke kamar.
Aku menghempaskan tubuhku pada kasur busa dan mengecek ponselku benar-benar tak ada kabar untukku. Apa harus aku meneleponnya ah kubiarkan saja. Besok kalau dia ingat mungkin dia temui aku. Ahh kucoba pejamkan mataku tapi tetap saja keresahan ini menjalar ke hati, pikiran, dan napasku. Pukul setengah dua belas mata sulit terpejam. Aku beranjak dan menyalakan televisi obat kejenuhan. Tapi, tak ada satu chanel pun yang menarik.
Kuambil napas dalam-dalam dan kubuka pintu kosanku dan naik ke balkon untuk sekadar melihat malam yang katanya sunyi. Benar sekali pikirku hitam pekat, sunyi yang kudengar hanya jangkrik yang bernyanyi.
Suara ponselku menyadarkanku dalam lamunan, “kamu di mana? Aku di depan” “Apa? Pukul dua pagi?” aku turun dari balkon kubuka gerbang. Rendra memandangku dan tak pernah sedikitpun terpikir di benakku Rendra melakukan ini jemari tangan Rendra membekas di pipiku. Aku memegangi pipiku yang terasa panas dan nyeri, aku berusaha menahan sakit di pipiku, “kamu pikir kamu itu wanita seperti apa? Ngumpul-ngumpul dengan lelaki” ucapnya dengan penuh emosi Rendra menarik tanganku untuk masuk ke mobilnya. Aku melepaskan tangan Rendra “cukup Dra, aku bukan budakmu” aku berbalik meninggalkan Rendra. Dia kemudian menarik kembali tanganku “kamu kekasihku Wi, tak pantas seorang wanita seorang diri berada ditengah-tengah lelaki” ucap Rendra menitikkan air mata. Namun aku tak terbuai yang kutahu dia menamparku menyisakan luka di wajahku terlebih di hatiku. Aku berlalu mengunci pintu kamarku. Bagaimana bisa seorang lelaki menyakiti fisik wanita pikirku.
Paginya ku mandi dan bersiap untuk kuliah pagi. Saat ku membuka pintu Rendra berada di depan pintu kamarku, masih dengan baju yang sama dan bau alkohol. Sebenarnya ada apa dengan Rendra sejak kapan Rendra minum. Sejak kapan lelakiku berubah ada apa dengan Rendraku.
Aku hendak meninggalkan Rendra, tapi dia tetap diam aku berbalik dan membawa Rendra masuk ke kosan. Kubuatkan dia secangkir kopi dan pergi keluar untuk membeli sarapan, setibanya aku di kamar kulihat Rendra sedang tidur pulas, kuselimuti tubuhnya dan kupandang wajahnya yang begitu tenang. “Kamu kenapa Dra?”
Kulihat ponselku dua pesan yang mengabariku kalau perkuliahan sudah dimulai. Aku berangkat, Rendra bagaimana. Ku pun duduk di kursi dan ikut terlelap dengan masker menutupi wajahku.
“Wi…” suara lembut Rendra membangunkanku “Jangan tidur di sana sakit badan kamu nanti” dengan tangan Rendra mengajakku duduk di kasur “kenapa pake masker?” dengan membuka masker yang menutupu wajahku, ya terlihat jelas lima jari tangan bersarang di pipi tembemku. “Astaga Wi, maafkan aku semalam aku mabuk tak sadar dengan yang kuperbuat” ucap Rendra yang mengelus pipiku. “Ayo kita ke dokter” dengan sergap dia kembali menarikku. “Sudahlah tidak perlu, kau sarapan dulu setelah itu pulang bersihkan dirimu” ucapku dengan beranjak mengambil nasi uduk dingin dengan segelas air putih. “Kau marah? Maafkan aku Wi” ucapnya sambil mengunyah nasi uduk yang kusuapi. “Kamu kenapa? Ada apa dengan kamu Dra?” Rendra menutup mulutnya pertanda tak ingin makan lagi. Dia langsung memelukku “kau takkan meninggalkanku Wi, mamahku lari bersama kekasih barunya sedang papahku sibuk dengan pekerjaannya” “Mamah ninggalin kamu ma papahmu Ren” aku mengusap punggung Rendra lembut menenggelamkan kesedihannya pada bahuku. “Sudah Dra, ada aku yang kan selalu bersamamu” ucap menenangkan “Kalau begitu kita menikah saja Wi” ucap Rendra menatapku “Kok nikah Dra? Kita kan masih muda” bantahku tak setuju
Rendra menatapku serius “aku mau kau tak seperti semalam berkumpul dengan lelaki dan yang paling penting aku tak sendiri lagi. Aku punya usaha kau tahu itu aku bisa menghidupimu dan kau terus kuliah” Rendra berusaha meyakinkan dengan menggenggam kedua telapak tangan Dewi. “Baiklah” ucapku karena kupikir awal akhir kita bersama kenapa tidak dipercepat saja untuk mengsahkan ikatan kita.
Rendra mengecup kedua tanganku menatapaku kemudian memelukku. Semoga kisahku satu tak berliku.
Cerpen Karangan: Tri Ratna Dewi Blog / Facebook: triratnadewi7[-at-]gmail.com