Aldi berjalan gontai masuk ke dalam mobil. Walaupun dia mencoba untuk berpura-pura tenang, tetapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Dia masih kaget, gemetar … masih benar-benar tidak percaya dengan takdir yang baru saja mempermainkan dirinya. “Tidak. Kali ini aku tidak boleh melepasnya.”
Dengan cepat, Aldi membuka pintu mobil dan berlari sekuat tenaga kembali ke dalam rumah sakit. Namun, ternyata Nana sudah menghilang. Sekali lagi, dengan langkah gontai, Aldi kembali ke dalam mobil. “Nana, bagaimana aku mencarimu jika kamu menghilang tanpa petunjuk begini? Bodoh, sudah berapa kali kamu melukai Nana?”
Sebenarnya, Aldi tidak pernah menyangka akan menemukan Nana di kota kecil seperti ini. Sebuah kota kabupaten yang berjarak 6 jam dari ibukota, tidak memiliki fasilitas apapun, dan harus berkendara dengan mobil dari bandara terdekat. Sungguh sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Padahal, kemarin dia hampir saja menolak ketika Ayahnya meminta tolong untuk melihat progress proyek pembangunan bendungan yang harus diselesaikan paling lambat awal tahun depan. Apakah ini takdir yang sudah disiapkan untuknya?
Setelah mengelilingi rumah sakit dengan putus asa, dengan langkah berat, Aldi akhirnya kembali ke hotel. Dia merasa lelah, matanya terpejam, tetapi tetap tidak bisa tidur. Kenangan demi kenangan kembali merasuk ke dalam pikirannya. Ayah dan Nana adalah dua orang terpenting di dalam hidupnya. Dan, dia tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya.
Bahkan, hingga hari ini, Nana tidak tahu bahwa … sehari setelah Nana mengatakan bahwa dia hamil, Aldi memberanikan diri untuk menemui ayahnya.
“Ayah, Aldi ingin mengatakan sesuatu yang penting.” “Ada apa?” tanya Ayahnya acuh sambil minum kopi di ruang makan. Lama Aldi terdiam, hingga Ayahnya merasa heran dan menatapnya dengan pandangan bertanya. “Aldi sudah menghamili seseorang, dan Aldi akan bertanggungjawab.” “Siapa?” tanya Ayah datar. “Teman kuliah.” “Tidak! Ayah tidak sudi kamu menikah dengan perempuan kotor itu!” teriakan Ayahnya menggema ke seluruh penjuru rumah. “Tapi, Ayah, Aldi lah yang membuatnya menjadi kotor.” “Apakah kamu yakin hanya kamu yang membuatnya kotor? Ayah tidak percaya. Mau berapapun wanita akan Ayah carikan, tetapi tidak dengan wanita itu. Dia tidak sederajat untuk menjadi bagian dari keluarga kita. Sadar, Aldi.” Ayah Aldi membanting pintu depan, “Dinginkan kepalamu.” Pagi itu … kondisi rumah sungguh kacau.
Setelah Ayahnya pergi, tiba-tiba dua tukang kebun memaksa dan menyeret Aldi masuk ke dalam kamarnya. Aldi tidak mengira akan diperlakukan seperti ini oleh Ayahnya. “Kang, Aldi salah apa?” “Ini perintah Tuan. Kami bakalan dipecat kalau tidak menuruti kata-kata beliau. Apa Den Aldi mau bertanggungjawab?” Aldi mengalah. Dia dikurung seperti tahanan … di dalam rumahnya sendiri. Tiba-tiba saja dia merindukan Ibu. Hanya Ibu, sosok satu-satunya yang mampu menenangkan hati Ayah, seberat apapun masalah yang dihadapi.
“Den, makan dulu ya?” Tiba-tiba saja, Simbok masuk membawa makanan ke dalam kamarnya. Namun, Aldi menggeleng. “Aduh, kalau Den Aldi tidak makan, saya bisa dimarahi Tuan ini.” Namun, Aldi hanya diam saja.
Sudah dua hari Aldi mogok makan untuk membuat Ayahnya luluh. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Ternyata, Ayah sama sekali tidak peduli dengan dirinya. “Mbok, apa salah kalau aku ingin bertanggungjawab?” Mata Aldi menerawang jauh. ”Aku sudah membuat seorang gadis terluka dan mengandung anakku.” “Kalau menurut Simbok, setiap masalah harus dihadapi selama Den Aldi sudah siap dengan segala konsekuensinya.” “Simbok, hari ini biarkan Aldi keluar sebentar ya.” “Tapi, Den?” “Tidak apa-apa. Seperti yang Simbok katakan, nanti Aldi yang akan menanggung konsekuensinya, jika Ayah tahu.” Lalu, tanpa menunggu penolakan dari Simbok untuk kesekian kalinya, dengan sekuat tenaga, Aldi nekat berlari melompati pagar, memesan taksi, karena semua akses disita Ayah, termasuk mobilnya. Namun, tubuhnya lemas seketika saat mendapati kos Nana sudah kosong. Nana benar-benar menghilang dari hidup Aldi.
Aldi kembali ke rumah dengan langkah gontai, dan Ayah ternyata sudah menunggunya. Dingin. “Aldi! Simbok dipecat, sudah membantumu kabur.” Kata-kata Ayahnya datar, dingin, tidak terbantah. Simbok … sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Simbok sudah bekerja selama puluhan tahun. Bahkan, ketika Ibu meninggal, ada Simbok yang selalu berada di sisinya. Tidur, makan, berangkat sekolah, semuanya dipasrahkan kepada Simbok. “Jangan, Ayah! Simbok sudah tidak punya tempat tinggal lain selain rumah kita.” Simbok hanya terdiam. “Jangan salahkan Ayah! Siapa yang berani membangkang perintah Ayah, malah keluyuran malam-malam!” “Iya, maaf, Aldi salah. Aldi berjanji tidak akan menentang Ayah lagi.” Ayah kemudian berlalu meninggalkan Aldi yang membawa barang-barang Simbok kembali ke kamarnya.
“Den Aldi, terima kasih sudah membantu Simbok. Namun, Simbok berharap Den Aldi tetap mencari kebahagiaan Den Aldi sendiri. Den Aldi pasti sudah memahami mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi hidup Den Aldi.” Lalu, tiga bulan setelah kejadian itu, Simbok pergi untuk selama-lamanya, menyisakan kepedihan yang mendalam di hati Aldi, membuatnya diam-diam kembali mencari Nana, walaupun hasilnya selalu nihil.
Aldi juga sudah kembali kuliah, kali ini dia serius ingin menata kehidupannya. Sebenarnya, masih banyak wanita yang ingin berada di sisinya dan mau mengorbankan segalanya, tetapi dia sudah tidak ingin bermain-main. Kehilangan Nana dan Simbok dalam waktu yang berdekatan, membuatnya tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Ya, dia tidak ingin merasakan kepedihan itu lagi.
Nana …, pertama kali Aldi mendengarnya saat teman-temannya membicarakan nama itu. “Nana itu termasuk cantik di angkatan kita, mahasiswi teladan juga, tapi sayang …” Boni tidak meneruskan kalimatnya. “Apa?” Aldi jadi ikut menyimak sekarang. “Cueknya minta ampun, mukanya datar kayak setan di kuburan. Pantesan temen-temen kita langsung kabur, nggak mau deket-deket,” tambah Dicka, teman Aldi yang lain. Aldi yang saat itu mendengarnya, malah jadi penasaran. “Yang mana sih orangnya?” “Mana mungkin seorang Aldi yang setiap hari dikerubutin cewek-cewek bisa tahu?” “Ya, salah sendiri wajahku tampan melebihi aktor.” “Norak!” “Hei, teman-temanku, dalam waktu sebulan, aku pasti berhasil membuat Nana jatuh cinta padaku.” “Ah, sombong banget nih. Mau seganteng apapun, jenis cewek kayak gini ini juga hatinya sudah membatu. Oke deh, kalau kamu bisa, kita berenam bakal patungan buat beliin apapun yang kamu mau.” “Deal.”
Dan, entah bagaimana caranya, akhirnya Aldi berhasil mendapatkan Nana. Teman-temannya sampai bengong tidak percaya, benar-benar pantas mendapat julukan seorang playboy sejati. Namun, kemudian terjadilah malapetaka yang menggemparkan itu! Nana hamil! Bukan! Sebenarnya kejadian itu bukan malapetaka. Bukankah sebenarnya kelahiran seorang anak pasti akan ditunggu-ditunggu kehadirannya di dunia ini? Oleh kedua orang tuanya?
Hingga Nana menghilang, tidak ada seorang pun yang tahu. Dia tidak pernah menceritakan kejadian itu kepada siapapun. Dan, ternyata Nana hebat. Hingga bisa membuat seorang Aldi yang terkenal sering gonta ganti pacar menjadi tidak pernah lagi membuka hatinya untuk wanita manapun lagi. Bagi Aldi, Nana bagaikan seseorang yang melintas sekejap dalam hidupnya, tetapi sosoknya masih membekas di hati. Selamanya.
Cerpen Karangan: Tiara Citra Septiana