Dengan mengucap bismillah dan rasa syukur kepada Tuhan, aku gunakan jari-jariku untuk menceritakan kisah asmaraku dengan Rinjani (Rinjani Nadiva Rahma) mahasiswi teknik sipil salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Tanggal 21 Januari 2020 adalah waktu dimana kita pertama kali berkenalan kembali, menjadi hari yang menyenangkan, dan penuh semangat setelah dua tahun putus komunikasi. Sebelumnya aku dan Jani pernah satu SMA dan berpacaran secara sah, sebab saat itu aku mendeklarasikan cinta secara langsung kepada Jani disaksikan oleh tumbuhan dan ikan di kolam yang berada di pekarangan rumahnya. Tuhan terima kasih! Untuk semua kenangan manis masa-masa SMA walaupun hanya sebentar kita berpacaran, karena terlepas dari itu teman-temanku telah lebih dahulu mengisi memori ingatan masa remajaku.
Ada yang ingin aku sampaikan. Sesungguhnya, Jani bukanlah wanita tipe pilihanku, dimana remaja seusiaku lebih mengidamkan pacar yang bucin berorientasi pada pasangannya saja setiap waktu. Tepat sekali, Jani adalah pasangan yang menurutku membosankan saat pertama kali aku menjalankan hubungan dengannya diawal-awal kita berpacaran, bayangkan saja hampir setiap hari seorang remaja putri yang masih duduk di bangku SMA selalu sibuk dengan urusan yang aku belum mengerti saat itu tujuannya untuk apa sehingga tidak ada waktu untuk aku bisa bertemu dengannya diluar lingkungan sekolah. Belum lagi Jani adalah sosok wanita yang ramah, dari sikap ramahnya memicu banyak laki-laki menaruh perasaan kepada Jani. Kalau boleh jujur hal-hal tersebut membuatku merasa tidak nyaman berpacaran dengan Jani pada saat itu.
Waktu terus berjalan sikap Jani masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Makin hari kian aneh perlakuannya terhadapku. Pernah satu waktu di samping gedung sekolah, di bawah pohon rindang, sepi dan tidak ada orang, sebab hari sudah petang, semua siswa sudah meninggalkan sekolah untuk pulang kembali ke rumah masing-masing. Tiba-tiba Jani menyerahkan novel untuk aku baca. Diriku bergeming sejenak dengan rasa heran, akan aku apakan novel itu, sedangkan aku bukan orang yang suka membaca. Seketika novel pemberian Jani langsung aku masukan ke dalam tas, tanpa dilihat atau sekedar memuji novel yang Jani berikan adalah sesuatu pemberian yang menarik. Tidak terbayang sebelumnya aku akan menjalankan hubungan seperti ini. Maaf, itu semua adalah sedikit catatan kenangan tidak mengenakan bagi seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang tumbuh dari lingkungan sosial kurang sehat. Melainkan bukan itu yang ingin aku ceritakan, cerita-cerita kurang mengenakan yang dirasakan saat aku berpacaran dengan Jani dari perspektif seorang remaja laki-laki yang masih berpikir apa yang dilihat Ia sukai, maka Ia jalani. Tepatnya belum mampu berpikir secara rasional dan dewasa untuk bisa menerima hal-hal yang sudah kusampaikan sebelumnya.
Dua tahun lalu, di kota Yogyakarta aku tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa hari itu adalah hari-hari terakhir untuk aku dan Jani bisa saling menatap satu sama lain, saling berbicara dengan nada terbata-bata membicarakan rencana kedepan setelah lulus dari sekolah. “Aku, ingin lanjut kuliah,” kataku kepadanya meskipun rencana itu aku belum tau. Kulihat Jani dengan senyum simpul mendengar ucapanku tadi, karena Jani tau aku bukanlah tipe orang yang senang belajar. “Amin, aku bangga sama kamu” jawab Jani sambil menatap mataku. “Ayo kita foto dulu untuk kenang-kenangan,” suaranya memecah kebekuan suasana, sambil meraih tanganku untuk berfoto. “Ayo!” jawabku bersemangat.
“Aku pergi dulu, Jani.” kataku, berjalan menjauh meninggalkan Jani setelah berfoto dan kembali berkumpul menikmati suasana perpisahan sekolah bersama kawan-kawan. Hari itu adalah acara perpisahan sekolah sekaligus perpisahanku dengan Jani (Jani Nandiva Rahma) denganku Dera (Deravertin Putra).
Waktu merubah segalanya. Jani yang menurutku dahulu adalah pacar yang membosankan, kini ia adalah sosok wanita yang paling kudambakan. Dua tahun berlalu tanpa hadirnya Jani di kehidupanku sebagai sosok pacar, selama itu juga Jani selalu ada menemaniku dari jauh sebagai seorang teman. Terkadang aku merasa heran dengan sikap Jani, ia aneh masih saja mau menemaniku dan menjadi tempatku pulang ketika perasaanku sedang hancur padahal aku sudah punya pacar waktu itu. Dan masih banyak lagi hal-hal yang dilakukan Jani tanpa kusadari merubah cara berpikirku saat ini.
Kurasakan banyak perubahan setelah duduk dibangku perkuliahan, kini aku menginjak semester lima. Aku menemukan lingkaran pertemanan dan lingkungan yang merubah cara berpikirku tentang hidup dan apa yang sedang aku jalani sekarang. Pikiranku lebih terbuka tentang hal apapun termasuk masalah hati hehehe.
Tidak disadari diriku habis tenggelam menyesali semua yang aku lakukan kepada Jani, ternyata yang dilakukan Jani dahulu kepadaku adalah hal yang sangat aku inginkan sekarang, sosok pacar yang bisa mendorongku kearah yang lebih baik. Jani bukanlah wanita yang posesif ia sangat membebaskanku, namun ada hal-hal yang tidak ia suka dan itu wajar ketika seorang yang ia sayangi melakukan hal-hal negatif, misalnya ketika aku banyak merokok dan kurang minum air mineral, ia akan menjadi orang yang sangat kesal dan marah melihat gaya hidupku yang tidak sehat. Tapi karena ia tau juga aku jarang minum air putih dengan penuh inisiatif Jani masih bisa memberikan perhatiannya kepadaku dengan hampir setiap hari di sekolah Jani membawakanku sebotol air mineral untuk aku minum.
Aku rindu juga dengan cara Jani menyuruhku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Di sekolah, sudah jam istirahat aku berjalan bersama teman-teman menuju warung langganan untuk menunaikan nongkrong sambil meminum kopi yang dapat dipesan ke ibu warung, Namanya ibu Tri. Saat aku sedang berjalan di depan masjid sekolah Jani menghampiriku, katanya ia ingin bicara denganku. Dengan penuh rasa malas aku iyakan kemauan Jani untuk bicara denganku. “Kamu mau kemana?” tanya Jani. “Ke warung” “Oh gitu, awas ya, kamu banyak ngeroko. Aku bakal marah sama kamu!” dengan nada mengancam Jani mengatakan itu. “Yaa” jawabku dengan malas, karena sudah diancam. “Ada tugas gak? Kalo ada kerjain jangan main terus,” jani menanyakan sesuatu yang memang tidak pernah aku pikirkan. “kerjain, ya. Nanti aku bantu,” Jani terus menekanku untuk mengerjakan tugas. Karena Ia tau aku mau nongkrong, Jani mengakhiri percakapan. Aku ingat betul kejadian itu, dimana aku sangat cuek tidak menggubris sedikitpun perhatian pacarku yang selalu memperhatikan kesehatanku, membantu diriku berkembang sebagai remaja yang baik, membantu mengerjakan tugas-tugas sekolah supaya kelak aku bisa memiliki nilai baik, dimana perhatian seperti itu belum tentu dimiliki remaja wanita lain berumur sama seperti Jani.
Sudah hampir sepuluh bulan lamanya semenjak kembali bertemu dengan Jani, banyak harapan yang ingin kusampaikan. Bisa kembali sebagai seorang pacar adalah harapan terbesarku, menikahinya setelah aku lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak adalah rencanaku, yang sudah aku utarakan kepada Jani sebelum pada akhirnya, tanggal 25 November 2020 Jani tiba-tiba menghilang dari hidupku. Hari itu menjadi awal, hari-hari yang aku jalani terasa berat. Dan sial selepas kepergianmu pikiranku merasa terganggu dan kehilangan separuh warasku. Aku, yang selepas pergimu diserang banyak pertanyaan yang seolah ingin membunuhku? Benarkah kamu sudah bahagia dengan pilihanmu? Janji mana yang sudah mampu kamu lenyapkan? Tak perlu kamu jawab. Apapun jawabanmu, tidak mengubah perasaanku.
Selepas hari-hari sedih berlalu, semakin tersadar bahwa kamu tak layak kutangisi. Dan tak ada gunanya lagi mengenang seseorang yang hatinya sudah untuk orang lain. Meski sudah hampir hilang seluruh rasaku, aku tetap berharap bisa bertemu kembali dengan keadaan baik-baik saja. Dan berharap kita menjadi teman baik. Cukup teman baik saja. Semoga kamu dan aku menjadi lebih dewasa dan menemukan kebahagiaan masing-masing. Terima kasih, Jani. Untuk kenangan manis yang kutulis dalam kelam.
Cerpen Karangan: Dera