Kita disini, menari sesuka hati dengan dengungan romansa yang dipeluk angin. Menari sampai kaki-kaki terakhir. Menari seperti esok hari tak hadir lagi. Menari dengan kejujuran di matamu bahwa tiada esok hari ini. Tiada kita esok hari.
Ada pendar jingga kecoklatan di sekitarmu setiap kali saya menatapmu, hanya ada satu kesimpulan: saya masih mencintai kamu, Kan.
Berputar seperti topan yang riuh, atau tertawa seperti penguasa dunia. Karena saya sudah bilang bahwa malam ini milik kita, Kan. Lakukan sesukamu. Kamu cantik malam ini, Kan.
“Sal, kamu mau kemana?” Tanyamu pada harapku adalah sesuatu yang sukar untuk dijawab, Kan. Saya tidak bisa. Saya tidak punya jawabannya. Atau memang langit-langit tidak menyediakan jawabannya untuk kita. “Kemana saja, asal kita jangan pisah.” “Lalu kita harus apa?”
Andai saya punya jawabannya, Kan. Jawaban atas semua tanda tanya yang kamu pertanyakan sekarang dan sebelum-sebelum ini. Tentang kita yang tersandung dan hampir goyah. Atau sudah.
“Tetaplah cintai saya, Kan. Seperti kamu yang sekarang dan kamu yang dahulu.” “Waktu punya caranya sendiri untuk menjemput rasa, menurutmu cukup begitu saja?” “Kalau sudah selesai ya sudah. Tetaplah cintai saya sampai lelah di ujung batasnya.”
Bahkan kita belum bernama, Kan. Saladin dan Srikandi yang bersama ini belum punya nama untuk dirasa. Lalu haruskah kita mengikhlaskan sisa-sisa pusaran ini?
“Jangan pernah lupa sama Srikandi.” “Itu saja?” “Aku tahu kamu akan selalu mencintaiku, Sal.”
Seperti piringan yang beradu dengan porosnya, menciptakan ruangan yang rasanya kita rasakan. Teduh. Cocok dengan senyum dan tanganmu yang bertaut. Salah. Kamu cocok dengan apapun yang bumi punya. Sayangnya, kamu hanya tidak cocok dengan saya.
“Bukan, kita hanya berada di waktu yang salah.” “Itu artinya memang tidak cocok, kan?” Matamu yang terpejam anggun itu, mulai memberi pemakluman. “Waktunya yang tidak cocok.”
Telapak tanganmu terjatuh lembut di kedua bahu saya. Rasanya seperti saya diberikan nirwana beserta isinya olehmu, Kan. Terkadang saya merasa tidak pantas untuk kamu cintai. Apalah saya ini, tidak punya kelebihan dibanding mereka-mereka yang berniat melamarmu. Tetapi bilik-bilik hatimu selalu merengkuh jiwa lemahku lalu berbisik, “Aku hanya mau kamu, Sal.”
Lalu kita berdua disini, saling terkait, dan berbincang soal apa yang mungkin terjadi kedepannya. Karena kita tidak bisa membeli rahasia Tuhan, Kan. Yang bisa kita lakukan hanyalah menebak mana langkah yang terbaik untuk kita.
“Kalau ada lagi waktunya, kamu masih mau sama aku, Sal?” “Kalau diizinkan.” “Aku mengizinkan.” “Kalau semesta mengizinkan.” Jawabku atas keyakinanmu.
Satu sama lain berpesan, satu sama lain bersandar. Petunjuk untuk kita saling merendah sebentar. Ini sebentar, Kan. Saya pulang esok. Kamu hanya perlu mengisi lima tahun itu dengan berjalan, jangan menghitung.
“Kalau waktu saya pulang dan kamu sudah pergi. Saya janji tidak akan mencarimu.” “Meski kamu sedih?” “Meski saya sedih.” “Tapi kalau kamu menemukanku, kamu boleh datang.” “Miris, Kan. Kamu itu rumah saya. Kalau saya datang artinya saya bertamu ke rumah sendiri.” “Kalau begitu, kita tidak lagi punya waktu yang seperti ini. Seperti dulu.” “Lebih baik dari pada kesakitan melawan takdir, Kan.”
Kamu terdiam. Karena perbedaan letak Banjar dan Medan sudah membuat kita menahan terlalu banyak. Kalau Quebec penggantinya, kita bisa sama-sama mati.
“Setiap musim gugur disana, ingat aku ya, Sal.” “Setiap hujan di Jakarta, ingat saya ya, Kan.”
Lalu lantai dansa itu menguap seperti air yang dimasak di atas tungku. Lalu pesawat itu menghilang dari pandanganmu. Kita berjalan di satu garis yang masih sama, hanya saja arah kita terpaksa berbeda. Kita menangis di bawah atap cakrawala yang sama, hanya saja kita tidak saling memeluk.
Kita jatuh cinta dengan cara yang terpaksa berbeda.
Satu amplop surat yang satu bulan sekali datang itu meyakinkan saya bahwa masih ada saya di hati kamu. Kalimat menyenangkan disana meyakinkan saya bahwa saya masih punya banyak waktu. Cerita-cerita jenaka yang tertuang meyakinkan saya bahwa bagimu saya masih nomor satu.
Seperti teori-teori orang-orang yang penuh ilmu, bumi bergerak sesuai porosnya. Diikuti perputaran yang tidak bisa berkompromi dengan apapun.
Seperti katamu, Kan. Waktu punya caranya sendiri untuk menjemput rasa. Dan yang waktu lakukan pada saya adalah mencuri semua surat-surat yang harusnya datang di tanggal tujuh. Membelenggunya, lalu membakarnya. Yang saya lakukan pada waktu hanyalah membaca ulang tulisan-tulisanmu itu, Kandi.
Kadang saya kembali di malam itu, mengingat aroma parfum yang kamu gunakan, mengingat gaun bunga yang selaras denganmu, mengingat wajahmu karena sekarang daun-daun jatuh ke bawah pohonnya. Beberapa tertiup angin, beberapa tetap di kaki. Sejenak saya bertanya apakah hujan di sana memantulkan saya diantara kedua matamu?
Saya bolak-balik kantor pos untuk memastikan apakah ada surat yang tak tersampaikan, dan memastikan surat-surat saya terkirim dengan baik. Seandainya saya punya merpati, Kan.
Saya berjalan, salahnya saya juga menghitung.
Musim semi tahun ketiga, ketika katamu saya tak perlu mengingat perempuan yang saya cintai tapi tetap saya lakukan. Karena bagi saya tak ada batas waktu untuk mencintaimu. Musim semi tahun ketiga, ketika akhirnya kotak surat saya kehadiran tamu lama lagi. Musim semi tahun ketiga, kamu memberi tahu bahwa kamu pergi.
Lalu saya mengerti,
Selama ini kita mempelajari cinta yang sebenarnya tidak bisa dipelajari.
Cerpen Karangan: Koyakobe Blog: Koyakobe.tumblr.com