Hujan mulai turun tatkala aku tiba di depan gerbang kompleks apartemen tempat Ibeng tinggal. Dia adalah laki-laki yang sudah hampir dua tahun menjadi kekasihku. Sudah dua hari ini dia tidak ke kampus, katanya sakit, jadi sebagai bentuk perhatianku, kusempatkan menjenguknya sebentar di sela-sela jadwal kuliah, kebetulan kampus kami tak jauh dari apartemen tempat ia tinggal sekarang.
Aku segera membayar ojol yang kutumpangi dan berjalan masuk sambil memayungi kepalaku dengan kedua tanganku. Aku baru pertama kali kesini karena Ibeng juga baru dua bulan pindah kesini. Kamarnya ada di tower 2 lantai 10, aku mencarinya dan ketemu.
Tiba di depan pintu kamarnya, kuambil ponsel dan memberitahunya bahwa aku telah sampai. Ibeng membuka pintu kamarnya, ia terlihat senang dan tersenyum menyambutku. Kami saling menyapa dan ia pun menyuruhku masuk. Di apartemen ini Ibeng tinggal bersama seorang sepupunya yang bekerja pada sebuah perusahaan besar bidang otomotif. Suasana sepi dan tenang karena kami hanya berdua saja, kakak sepupu Ibeng masih bekerja.
Ibeng duduk di sofa dengan santai, aku mengikutinya. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Ruangan ini tidak terlalu besar tapi bagus dengan barang-barang yang tertata rapi. Kuarahkan pandanganku pada pintu kaca belakang balkon yang tirainya terbuka, tampak titik-titik air turun makin deras.
Kumulai menanyakan keadaannya. “Gimana keadaan lo sekarang?” tanyaku sambil tanganku memegang-megang jidatnya. “Gue udah ga papa, ketemu lo langsung sembuh ini” katanya sambil meluncurkan senyum manis yang menggoda itu. “Ih… yang bener?” kataku dengan ekspresi agak manja. “Gue kan cuma meriang… MERIndukanmu sayANG”, katanya menggoda lagi sambil mencubit hidungku yang kalah jauh panjangnya dengan hidungnya. “Gue kangen lo Beng dua hari ga ketemu!” kataku sambil melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Sungguh aku tidak berniat sama sekali menggoda atau merayunya, hanya ingin ia tau bahwa aku sungguh-sungguh merindukannya.
Sesaat kemudian kami saling bertatapan, ia balas merangkul. Entah apa yang ada di pikirannya, tatapannya tajam, wajahnya mendekat dan mencium keningku lalu turun hingga ke bibir. Ternyata memang setan menjadi yang ketiga di antara kami. Karena terbawa suasana, lama kelamaan Ibeng tak dapat menahan diri, ia mulai memaksaku untuk melakukan yang lebih dari itu. Tapi kupastikan akal sehatku masih bekerja, aku menolaknya secara halus dan menjauh darinya.
Aku berjalan menuju pintu kaca untuk melihat tetes-tetes air yang masih jatuh. Ibeng malah mendekat dan merangkul pinggangku dari belakang. “Ayolah Ra, katanya kangen, aku juga kangen berat sama kamu”, Ibeng terus merayuku, embusan nafasnya terasa di telingaku. “Engga Beng, aku ga mau… plis jangan paksa aku!” kataku masih dengan jawaban yang halus, kugigit-gigit ujung kuku jempol tangan kananku, biasanya itu kulakukan jika ku sedang berpikir.
Ibeng membalikkan badanku hingga tubuh kami saling berhadapan dan berdekatan. Ia mendorongku dengan halus ke pintu kaca, dan mencoba melakukan kissing lagi. Aku masih menerimanya, tetapi yang kurasa sekarang tidaklah lembut, sentuhannya mulai kasar dan penuh hasrat. Aku mulai tak nyaman dan menyuruhnya berhenti. “Plis Beng… cukup!” kujauhkan wajahku dari wajahnya, aku berusaha mendorong tubuh tegapnya, tapi sia-sia, ia tak peduli, tangannya tak lagi diam di satu tempat. “Beng, jangan… gue ga nyaman kalo lo terus begini!” aku berontak, aku tidak mau ia bertindak terlalu jauh lagi. Aku tidak mau menyerah pasrah dan menyerahkan kehormatanku di tempat ini, saat ini. Mencintai bukan berarti menyerahkan segala-galanya; kami baru berpacaran. Aku tak mau menyesal dikemudian hari. Sudah ada temanku yang pernah mengalaminya, ia akhirnya hamil dan ditinggalkan begitu saja oleh pacarnya, ia jadi gunjingan saudara dan orang sekitarnya, akhirnya tertekan, menderita. Dan cerita-cerita lainnya di sekitarku tentang itu. Pada akhirnya memang pihak wanita yang akan merugi dan menanggung akibatnya. Aku ambil pelajaran dari situ. Aku tak akan menuruti Ibeng.
“Lo percaya ya sama gue?! Apapun yang terjadi gue bakal tanggung jawab! Ayolah sayang!!” Ibeng merayuku dengan kata-kata yang manis. Aku merasa kata-kata halus yang kuucapkan tidak didengarkan lagi oleh Ibeng, ia masih saja berusaha… Aku lalu mendorongnya dengan keras hingga ia pun terjatuh. Aku terpekik dan meminta maaf padanya. “Maafin gue Beng, beneran gue ga bermaksud…” kataku, sungguh dalam hati aku kasihan padanya. Ibeng bangun dari jatuhnya dan raut mukanya menunjukkan kekesalan. “Kok lo kasar banget sih Ra!” katanya dengan nada tinggi. “Lo yang kasar ke gue, lo ngga peduli sama perasaan gue Beng,” kataku juga dengan nada tinggi karena mengira setelah itu ia akan menyadari kesalahannya dan minta maaf padaku, ternyata tidak. “Lo ternyata ga benar-benar cinta ke gue Ra, kenapa??!! Lo ga percaya sama gue?! Oke, fine!! Munafik lo!! Gue salah milih lo jadi pacar gue” katanya masih meluap-luap, mengeluarkan kata seenaknya makin menyakitkan hatiku. “Cukup ya Beng! Jangan lo samain cinta gue sama hasrat liar lo itu ya… ternyata gue baru tau sekarang kalo cinta lo ga lebih dari sepotong nafsu!” kataku dengan nada emosi dan menunjuk wajahnya. “Terserah! Gue males ketemu lo lagi! Buat apa lagi kita terusin hubungan kita, kita putus!!” Ibeng menatapku tajam dan sinis. “OKE!!” kutatap balik matanya tak kalah sinis. Aku mendengus kesal dan berbalik badan, kurapikan rambut dan pakaianku yang acak-acakan. Kuraih tas yang tergeletak di atas meja dan tergesa menuju ke arah pintu.
Itu cerita dua tahun yang lalu. Awal perpisahan dengannya waktu itu memang berat, tak mudah memang melupakan orang yang tersayang, tapi seiring waktu, semua beban menjadi ringan dan hilang. Aku telah menyelesaikan kuliah sejak setahun lalu dan langsung mendapatkan pekerjaan, sampai sekarang masih bekerja di sebuah kantor penerbitan.
Hari ini banyak teman-teman yang mendoakanku “SEMOGA BERBAHAGIA, SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU RARA DAN RYAN”. Ya, hari ini hari sakral untukku. Saat ini, ada lelaki berkacamata tak kalah gagah dan tampan (menurutku) di hadapanku, yang tersenyum manis kepadaku, ia lingkarkan cincin kawin di jari manisku. Lelaki tinggi berkulit sawo mentah itu kini menjadi suamiku.
Sebelumnya ia adalah teman satu kantor temanku. Kami berkenalan lewat temanku. Kami sudah dekat selama lebih dari setahun, sebelum akhirnya ia melamarku. Ia sungguh baik hati dan sangat mencintaiku. Ia perhatian dan sayang juga kepada keluargaku. Ia sungguh menjaga kehormatanku. Tuhan mengganti lelaki yang lebih baik untukku. Terima kasih Tuhan untuk jodoh yang kau berikan.
Cerpen Karangan: Zusan W Blog / Facebook: Belum ada