Kuperhatikan dari jauh seorang lelaki dengan seragam olahraganya di antara lelaki berseragam olahraga lainnya yang sedang bermain voli. Ia tampak bergerak aktif mengikuti ritme permainan, kadang wajahnya serius, tetapi terlihat lebih banyak tertawa, ia menikmati permainan itu. Melihat pemandangan itu rasanya seperti dinaungi pohon rindang di tengah cuaca terik pagi menjelang siang ini, hmm… adem dan sejuk. Tak bosan-bosan kupandangi senyum dan tawanya itu, ah… andaikan ia kekasihku, mungkin aku jadi orang yang paling bahagia di dunia. Tapi nyatanya bukan, aku hanyalah seorang teman masa SMP nya yang mungkin sudah ia lupa karena kami memang tidak pernah satu kelas, mengobrol pun hanya sekali itu pun karena ada keperluan. Aku merasa seperti pungguk yang merindukan bulan.
Permainan voli berakhir, Rayyan namanya, lelaki itu tampak lelah dan berpeluh, ingin sekali kuhapus peluh di wajahnya dengan sapu tanganku, tapi sangat tidak mungkin, aku bukan siapa-siapanya. Kusudahi apa yang sedari tadi kulakukan, Listia, temanku memanggilku mengajakku ke perpustakaan. Kami berdua memang hobi membaca, di perpustakaan banyak bahan bacaan yang bisa kami pinjam dan kami bawa pulang, baik itu referensi pelajaran ataupun buku bacaan hiburan.
Selesai meminjam kami kembali ke kelas kami yang berada agak pojok dekat dengan toilet. Tanpa sengaja kami berpapasan dengan Rayyan, rupanya ia dari toilet, ia tampak rapi dan sudah mengganti seragam olahraga yang tadi dipakai dengan seragam putih abu-abunya. Ia tersenyum sambil lalu, entah senyum untukku atau bukan, tapi aku balas saja tersenyum. Aku merasa ia tersenyum padaku, karena matanya mengarah padaku. Aku bahagia. Apa senyummu mengartikan kau masih mengingatku? Atau karena kau memang lelaki yang ramah pada siapapun.
Aku ingat sekali dulu kita, bersama belasan teman siswa siswi lain mewakili SMP kita mengikuti kompetisi antar sekolah sekabupaten, aku tergabung di tim bahasa Inggris dan kamu tim Matematika, tapi ah… kalau kupikir-pikir, mana mungkin kamu mengingatku, lagi pula menurutku dari sekian banyak siswi, mungkin siswi-siswi seperti Rena saja yang akan diingat oleh para siswa, gadis cantik, menarik, kulitnya putih bersih dan mulus, tapi… apalah aku, meski ibuku meyakinkanku kalau aku itu cantik dari hatiku.
Hari berikutnya, aku harus piket kelas bersama beberapa teman yang lain. Sudah biasa kalau seperti ini, Lis pulang lebih dulu dan aku harus pulang sekolah sendiri. Biasanya kami pulang bersama, naik angkot bersama karena rumah kami memang searah. Jalan raya jaraknya kurang lebih 300 m dari sekolah kami, lumayan terasa memang kalau harus jalan seorang diri karena teman yang lain memilih jasa ojek online.
Sekolah mulai sepi, dan seperti biasa pula kupacu jalanku agak laju. “Sis…” sebuah suara memanggil namaku, terdengar dekat, aku menengok ke belakang. Aku terkejut, ia Rayyan. Ia tersenyum padaku. Setelah dua tahun kami menimba ilmu di sekolah ini, baru kali ini ia memanggil namaku. “Hai…” satu kata yang bisa kuucapkan. Kenapa Rayyan baru pulang? dan tumben ia jalan kaki, biasanya kan naik motor, dalam hatiku.
“Kamu Sista kan? Boleh bareng ngga?” tanyanya. Aku mengangguk. “Boleh kok” jawabku kikuk. Aku terdiam, bingung mau bicara apa, aku termasuk orang yang pemalu. “Sis, kamu alumni SMP DWI BINTANG SAPTA kan? aku ingat kok dulu kita pernah jadi tim perwakilan sekolah untuk kompetisi antar sekolah, benar kan?” tanyanya. Oh… ternyata dia masih mengingatku, batinku. “Iya benar, kupikir kamu tidak mengenaliku, kalau aku sih masih mengingatmu… Rayyan” “Enggak lah, masak aku lupa, kamu juga kan yang mendapatkan nilai tertinggi saat kelulusan SMP kita waktu itu? Aku dengar kok pengumumannya dari pak kepala sekolah” “Iyakah? Aku malah ngga tau kalau itu diumumkan, saat kelulusan aku memang ngga ke sekolah, waktu itu aku sakit cacar, hanya ibuku yang diberi kabar oleh wali kelas bahwa nilaiku tertinggi”. “Kamu kok baru pulang juga, Ray?” tanyaku setelah itu. “Hari ini giliran aku piket kelas, kamu juga kan? Aku tahu karena sering melihatmu… “.
Singkat cerita, sejak saat itu kami mulai akrab, Rayyan beberapa kali mengajakku pulang bareng dengan motornya saat aku tidak pulang bersama Lis. Aku senang sekali bisa jadi teman dan dekat dengan Rayyan meski tidak berharap banyak menjadi kekasihnya. Mulai ada bisik-bisik tentang kedekatan kami dan kurasakan tatapan sinis dari beberapa siswi yang kutemui. Aku tahu banyak yang iri padaku karena banyak siswi yang menyukai Rayyan dan banyak pula yang ingin dekat dengannya. Aku tahu itu karena adiknya yang juga adalah adik kelas kami sering kulihat didekati siswi kakak kelas yaitu angkatan kami hanya untuk menarik perhatian kakaknya, Rayyan.
“Ray… Kulihat banyak siswi-siswi di sini yang naksir padamu dan mencari perhatianmu, kenapa sampai sekarang masih jomblo?” tanyaku suatu hari karena penasaran. Rayyan hanya menggeleng dan tersenyum. Setelah itu, aku tak berani lagi menanyakan tentang itu.
Bulan berganti tahun, hari perpisahan sekolah telah tiba. Panggung telah siap, kami berkumpul di aula dan hanya mengadakan serupa pentas seni untuk perpisahan kami tanpa dihadiri orangtua, hanya siswa siswi kelas XII dan pihak guru serta pengurus yayasan. Semua berpakaian bebas. Guru-guru dan pengurus yayasan duduk di deretan depan panggung, sedangkan siswa-siswi duduk di belakangnya, bercampur baur tidak tertib perkelas, ramai sekali. Aku senang dan terhibur melihat aksi panggung teman-teman semua, yaitu ketika unjuk kebolehan menyanyi, menari tradisional atau ngedance tari modern, tapi seketika menjadi sedih, haru saat akhir performance teman-teman membaca puisi dan menyanyikan lagu perpisahan. Aku ikut menangis tak dapat menahan kesedihan, mengingat kenangan masa-masa SMA di sekolah ini selama 3 tahun bersama teman-teman dan guru-guru.
Kubuka resleting tas selempang biruku mencari sapu tanganku, tiba-tiba sebuah tangan menjulur dari belakangku menyodorkan tisu padaku. Kuikuti arah tangan itu hingga mataku tertuju ke wajahnya. Ada senyum manis tersungging di bibirnya yang merah yang kutahu adalah warna asli bibirnya, bukan karena lipstik seperti artis-artis K-Pop itu. Kuambil tisu yang Rayyan berikan padaku, aku malu terlihat habis menangis, mataku agak sembab. Entah sejak kapan ia duduk di belakangku, setahuku tadi temanku, si Ari yang duduk di situ. Kuucapkan terima kasih pada Rayyan. Ia berbisik padaku, memintaku untuk menunggunya sepulang dari acara. Aku mengiyakan.
Acara sudah berakhir, siswa siswi satu persatu membubarkan diri, tinggal guru-guru dan panitia acara yang masih terlihat membereskan kembali aula dan panggung. Rayyan yang menjadi salah satu panitia ikut sibuk, aku menuruti permintaannya untuk menunggu di tempat parkir motor. Kurang lebih 40 menit menunggu sendiri, kulihat Rayyan berjalan ke arahku yang duduk di sisi tempat parkir motor. Rayyan duduk di sampingku. Tampak beberapa siswa teman Rayyan yang juga sebagai panitia menuju ke tempat parkir motor. Mereka melambai pada Rayyan untuk pamit pulang, Rayyan balas melambaikan tangan. “Yo, ati-ati bro…” teriak Rayyan pada teman-temannya.
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan Sis, mau ngga?” tanya Rayyan. “Mau! Tadi aku sudah izin sama ibuku kalau aku pulang telat, terus kita mau kemana?” “Terserah kamu, tapi hmm… kalau ke pantai mau?…” ajak Rayyan. Aku menyetujuinya, kemana pun asal berdua Rayyan, aku pasti mau.
Rayyan bangun dari duduknya, memakai helmnya dan memberikan helm lain padaku untuk kupakai. Kami berdua sudah diposisi siap berkendara, Rayyan tampak diam sesaat, lalu tiba-tiba Rayyan menurunkan standar motornya dan turun dari motor. Aku masih duduk di jok motor bagian belakang. Ada apa… tak jadi pergikah? batinku. Lelaki itu membuka helmnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi agak ragu. Ia memandangku. “Sis, kamu tahu… sudah sejak lama aku menyukaimu… sejak kita SMP, tapi hanya kusimpan dalam hati, tak ada yang tahu…”. Kubuka helmku agar bisa mendengar lebih jelas. “Aku diam-diam mengagumimu, kamu gadis yang baik dan pandai, dan aku sering melihatmu sedang melaksanakan ibadah. Aku senang sekali pada akhirnya kita bisa satu sekolah lagi di sini. Di sini aku makin mengenalmu dan aku tahu kamu orangnya tulus, dan…” Rayyan terdiam sejenak. Tatapan lelaki itu lurus mengarah ke mataku. Aku tak dapat mengatakan sepatah katapun mendengar perkataan Rayyan, aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan dari mulut Rayyan.
Setelah sesaat dalam kebisuan, akhirnya kuberanikan diri bertanya… “Dan apa…?” suaraku terdengar parau. “AKU MENCINTAIMU SISTA, Apa kamu mau menerimaku jadi kekasihmu?” Aku tak mengira akan mendengar ini, aku tak percaya sama sekali. Aku pikir pasti Rayyan sedang bercanda. Aku jadi salah tingkah. Seketika kutundukkan wajahku karena ada rasa malu dan juga rasa ingin menangis menjadi satu.
Rayyan memanggil namaku, kuberanikan untuk memandang wajahnya. “Apa katamu barusan Ray? Apa kamu sedang bercanda?” Rayyan menggeleng dan dengan mantap mengulangi pernyataan yang sama seperti yang tadi ia katakan. “Benarkah?” kutanya padanya lagi untuk meyakinkan hatiku. Rayyan mengangguk dan menebar senyum manis untukku. “Aku… aku… menerimamu Ray, aku… aku pun merasakan hal yang sama denganmu,” kujawab dengan terbata dan tersipu. Rayyan tersenyum manis (lagi), ia menyentuh rambutku dan merapikannya. Ia menyeka titik air di mataku yang sudah hampir jatuh. Ia mengambil helm yang kupegang dan memakaikan helm itu padaku. “Ayo kita berangkat, kita rayakan hari jadi kita…”.
Kupandangi wajahnya yang dekat di depanku. Tak terkira bahagianya ternyata ia juga mencintaiku. Cinta pungguk tak bertepuk sebelah tangan. “Ternyata harapan itu selalu ada, Tuhan Maha Penyayang, Dia mengabulkan doa-doaku“.
Cerpen Karangan: Zusan W Blog / Facebook: Belum ada