“Tapi Kang, kamu juga termasuk dalam golongan fakir di desa ini,” ucap Pak Lurah. “Tidak Pak, saya masih bisa menghidupi diri saya sendiri,” Balas Kang Inul. “Susah kamu ini Kang, menurut anda, bagaimana ini bib?” tanya Pak Lurah.
Habib yang sedari tadi ingin berkomentar baru mau mengeluarkan pernyataannya setelah dipancing oleh Pak Lurah. Beliau menuturkan bahwa seharusnya menerima saja upah itu. Jika memang tidak ingin menjadi kotor keikhlasannya, anggap saja upah itu sebagai biaya operasional dan digunakan lagi untuk kepentingan masyarakat. Bisa saja ia membangun gedung mengaji yang baru dengan uang itu, atau membeli buku dan membangun perpustakaan desa agar meningkatkan literasi penduduk, atau bahkan membangun Sport Center yang lebihi baik daripada milik kemenpora namun dengan dana operasional yang lebih sedikit agar para pemuda desa yang gemar olahraga dapat terfasilitasi dan menjadi atlet yang maksimal. Jika tidak ingin ribet, berikan saja lagi dana tersebut kepada yang membutuhkan namun dalam bentuk selain uang. Yang terpenting adalah dana tersebut diterima Kang Inul, untuk penggunaanya itu semua terserah padanya. Menolak pemberian secara terus-menerus dapat membuat warga merasa bahawa Kang Inul adalah orang yang sombong, tidak semua orang bisa mengerti dan memahami idealisme dari suatu individu meskipun sudah dijelaskan secara panjang lebar.
Menjaga keharmonisan antar manusia merupakan hal yang lebih penting daripada mempertahankan idealisme diri menurut sang habib, hal itu kadang juga dianggap keegoisan. Meskipun, meng-iya-kan perkataan sang habib, dalam hati Kang Inul ia tetap merasa ada yang mengganjal dari perkataan habib dan ia tak tau apakah hal itu.
Ditengah obrolan mereka, Gayatri tiba-tiba nampak di depan pintu rumah Kang Inul yang terbuka dengan membawa makanan yang nampak seperti jajanan pasar dan sebuah termos plastik dan beberapa bongkah es batu sembari mengucapkan salam. Ternyata Pak Lurah yang menyuruh Gayatri untuk menemui mereka dan membawakan suguhan yang banyak. Pak Lurah merasa makanan yang disodorkan Kang Inul kurang memadai untuk menjadi suguhan seorang habib, maka dari itu ia menyuruh Gayatri untuk membawakan beberapa suguhan lagi. Gayatri yang datang tanpa mengenakan kerudungnya membuat Kang Inul menyorotkan matanya pada tiap helai rambut Gayatri yang jatuh saat ia menata makanan dan menyiapkan minuman dingin untuk mereka. Namun tak lama kemudian Kang Inul tersadar bahwa ia sedang memandangi aurat seseorang, ia seketika mengalihkan pandangannya.
“Nduk, jangan balik dulu, duduk disini, kamu mungkin dapat pelajaran berharga dari sini,” Ucap Pak Lurah kepada anak gadisnya.
Gayatri sejenak memikirkan akan duduk dimana, meskipun hati kecilnya tau ia ingin berada di mana. Pak Lurah seakan paham dengan keinginan anaknya, ia menggeser diri yang awalnya duduk bersebelahan dengan Kang Inul dan membuat ruang untuk Gayatri duduk disana. Kang Inul yang awalnya santai saja tiba-tiba terluhat agak kikuk. Tak pernah ia merasa se kikuk ini saat dekat dengan seorang gadis, meskipun ia sering didekati gadis-gadis desa Bejih. Obrolan berbau keagamaan dan kemanusiaan mereka belangsung hingga menjelang waktu sholat ashar. Sang habib mengakihiri ucapannya dan pamit kepada tuan rumah karena akan melanjutkan perjalanan menuju tempat lain, yah memang habib ini sedang naik daun dikalangan para pecinta ceramah. Banyak ilmu baru yang diperoleh Gayatri dari siang hingga menjelang sore ini. Namun tak satupun dari mereka yang menyinggung tentang Gayatri yang tak mengenakan kerudungnya, entah mengapa.