Pada senja yang sedang rintik-rintik dengan begitu cantik, gadis pemilik senyum manis itu berjalan sendirian dengan berlindung pada payungnya, sebagai tameng dirinya agar terhindar dari setetes air hujan yang sedang berkunjung pada tanah kota kembang.
Ia berjalan dengan hati-hati dan sepasang netra yang fokus pada jalanan becek yang sedang ia lewati. Namun, ternyata semakin ia jauh melangkah, tetesan air yang awalnya sedikit berubah menjadi guyuran deras, dan gemuruh pun ikut mengiringi hujan kala itu. Lantas, dengan alasan ia tak ingin bajunya basah dan juga sekotak pizza untuk pelanggannya tidak kebasahan, gadis itu pun berhenti untuk berteduh pada sebuah ruko yang sedang tutup. Beruntung di tempat itu ada kursi untuk duduk, sehingga ia tidak lelah untuk terus berdiri sambil menunggu guyuran hujan ini mereda.
Atmosfer dingin pun mulai terasa, ia menangkup kedua tangannya dan meniup dengan nafas yang keluar dari mulut untuk menghangatkan tangannya yang hampir membeku. Mungkin saja sekotak pizza itu sudah dingin jika dibiarkan saja terlalu lama dan itu akan merusak cita rasanya.
“semoga saja hujannya tidak lama. Aku akan merasa bersalah jika pizza ini sudah tidak enak ketika diberikan pada pelanggan,” gerutu gadis itu. Ia tidak ingin menyalahkan hujan, ia hanya menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja ia tidak nekat karena antusias menghantarkan makanan, tidak mungkin ia akan merasa bersalah seperti ini.
Sepuluh menit sudah hujan tak kunjung berhenti. Mungkin ia fikir akan kembali untuk menukarkan pizzanya dengan yang lebih baik setelah hujan reda. Namun, suara langkah kaki yang cepat terdengar di telinganya, pun dengan bayangan yang ia lihat di balik derasnya hujan. Sampai akhirnya, sosok itu menampakan wujud sepenuhnya dengan keadaan seluruh badannya basah kuyup.
Pria itu berhenti untuk berteduh di ruko itu. Kekesalan jelas terpatri di wajah lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu. Namun, gadis itu merasa tidak asing dengan wajah lelaki yang baru pertama ia temui, sekarang. “sial! Kalau saja hujan ini tidak turun, mungkin badan saya tidak basah kuyup seperti sekarang,” ucap laki-laki itu dengan raut wajah kesalnya.
Gadis itu pun memandang dengan lekat, lelaki itu juga tak sengaja melirik ke arah gadis yang sedang berteduh bersama dengannya, dan di situ pada akhirnya pandangan mereka bertemu.
Hening, hanya terdengar suara hujan dan juga angin yang berhembus. Mereka kalut dalam perasaan mereka masing-masing, dan seseorang yang asing itu, ternyata dulunya pernah berjalan seiring.
“sudah lama tidak berjumpa,” setelah keheningan berlalu, akhirnya salah satu dari mereka membuka bicara. Gadis itu tersenyum, meski senyumnya terlihat pilu. Lelaki itu melangkah, dan berjalan mendekat. Bagaimana pertemuan antara dua insan yang sudah berpisah sejak lama ini terjadi? Tidak ada yang tau, dan inilah yang disebut takdir.
Debar jantung mulai terasa saat usapan tangan itu dengan lembut membelai pipinya. Namun, ini semua salah, dan gadis itu dengan perlahan menepis tangan lelaki itu. Ia tidak mau mengingat, bagaimana setiap belaian tangan itu begitu menyakitkan. Apa lagi disaat perpisahan.
“maaf, maafkan saya.” lirih pria itu begitu tulus. Begitu pula dengan tatapannya. Gadis itu menggeleng pelan, “aku sudah memaafkan semuanya sejak dulu. Tapi bagiku, itu semua masih bukan salahmu,” balas gadis itu dengan mengukir senyumannya. “kamu tidak salah. Saya hanya belum dewasa saat itu, memutuskan hubungan tanpa tau bagaimana kedepannya,” ucapan dan penyesalan menyatu jadi satu dalam diri lelaki itu. “aku ataupun kamu yang bersalah di masa lalu, tetap saja takdir yang menginginkan kita untuk berpisah,” jelas gadis itu, dengan alasan tidak mau lagi untuk saling menganggap keduanya menjadi pusat permasalahan dari perpisahan di masa lalu itu.
“tapi kali ini takdir mempertemukan kita, apa takdir juga menginginkan kita untuk kembali bersama?” pertanyaan yang terucapkan berharap ada keajaiban. “sepertinya, tidak. Di pertemukan belum tentu untuk kembali disatukan. Bisa jadi ini hanyalah jalan untuk mengobati rindu yang selalu terabaikan,” jelas gadis itu, ia merasa bodoh dengan dirinya sendiri yang terkadang, mengeluh, dan ingin bertemu.
Lelaki itu terdiam, merasakan afeksi yang menjalar pada hati. Apakah dikarenakan sebuah tumpukan rindu yang sudah menggunung, sehingga tidak bisa ditampung dan berakhirlah dengan pertemuan yang akhirnya berujung.
“begitu ya? Benar-benar tidak ada kesempatan sekali lagi?” tanya pria itu, yang sudah tidak kuat lagi merasakan kekosongan di hati. Debaran jantung lebih terasa, takut, takut rasanya jika tidak bisa kembali bersama. “tidak tau, dan itu belum pasti. Tapi, aku rasa kamu masih belum sepenuhnya suka dengan hujan,” kata gadis itu di iringin dengan kekehan. “na, saya minta maaf. Tapi apakah saya harus suka hujan dahulu, lalu menyukai kamu?” Gadis itu menggeleng, “tidak, bukan itu maksudku. Lupakan saja,”
“jadi, kita tidak bisa kembali?” kata lelaki itu. Gadis itu pun mengukir senyum, “aku bahagia lihat kamu seperti ini. Tapi kalau aku ingat masa lalu, kadang sedih aja ingat tentang masa lalu kita yang membodohkan dan terlalu saling menyalahkan,” “na..” “udah, Havis. Ga ada yang perlu diperbaiki lagi. Aku bahagia bisa ketemu sama kamu di sini dan… Aku juga bahagia kamu sudah bisa sukses seperti ini,”
Lelaki bernama Havis itu nampak tertegun dengan ucapan gadis itu. Senja perlahan mulai tergantikan dengan pergantian malam. Pertemuan ini, apakah mengobati kerinduan atau justru menambah rasa kesakitan?
“tidak apa-apa jika kamu tidak mau kembali. Tapi saya harap kamu tidak akan melupakan saya,” harap lelaki itu, yang terdengar membodohkan. Gadis itu memegang pundak havis, seraya berucap, “tidak, havis. Terus terang saja, jika aku terus-terusan menyimpan barang di tempat yang aman, maka ia akan utuh dan tidak bisa hilang. Begitu pula kamu, jika kamu masih terus di dalam pikiran atau bahkan masih tersimpan rapi pada ruang hati, mana bisa rasa cinta itu akan menghilang tanpa membekas?” jelas gadis itu. Lagi-lagi, lelaki bernama Havis merasakan sebuah sayatan dalam hatinya.
Hubungan mereka berdua itu kandas karena beberapa alasan. Pertama masalah mereka, gadis itu tidak bisa mencintai Havis sepenuhnya, sedangkan Havis, tidak bisa mengontrol rasa cemburunya. Mereka itu tak searah, tidak ada gunanya lagi untuk mempertahankan suatu hubungan. Jadi mereka rasa, tidak ada salahnya untuk mengambil jalan perpisahan.
“maaf, havis. Sepertinya aku harus pergi,” tutur gadis itu, saat ia menengok hujan sudah mereda. “na..” “lebih baik kamu pulang saja. Baju kamu sudah basah kuyup, nanti sakit. Minum obat ya? Habis itu..” “istirahat,” lanjut havis menyambung ucapan dari gadis itu. “bahkan saya masih ingat kata-kata kamu dulu waktu saya sakit saat kehujanan.” ungkap havis, sedangkan gadis itu hanya diam membeku. “Nadisa, saya masih ingat semua tentang kamu. Dan saya masih cinta sama kamu,”
Dia, seharusnya tidak mengungkapkan perihal cinta itu lagi. Gadis itu, Nadisa, dia merasakan tetesan air mata jatuh di pipinya. Lantas, ia membalikan badan, dan melangkah pergi meninggalakan havis di sana sendirian.
Havis terdiam membisu di sana. Ia merasakan penyesalan yang luar biasa, seseorang yang sudah lama ia nanti pertemuannya, ternyata tidak bisa lagi mencintainya. Pupus, dan tidak lagi ada harapan. Semuanya menghilang, bersama senja kala itu.
Perpisahan yang tidak bisa dipaksakan untuk kembali, sebaiknya ikhlaskan saja. Lebih baik melupakan masa lalu itu, dan berkelana jauh, lalu mencari manusia-manusia baru.