The Soul
#Cerpen Fantasi
Semua jiwa memiliki pendamping sejak dilahirkan. Jiwa itu bernama ruh, perbedaan ruhku dengan pria itu hanya satu, kekuatan. Ruh miliknya sangat kuat dan selalu membelanya, selalu melindungi dan menjaganya. Ia benar-benar belum pernah tersakiti secuil pun soal fisik, entah tentang batin. Ruhnya selalu melindunginya.
Ruhku kuberi nama Serafina, dia menyukai nama pemberianku. Satu hal yang selalu aku tahu, ruh tidak akan pernah mati. Jiwa ruh akan berpindah dengan sendirinya ketika manusia tidak bernapas lagi, dia akan pergi ke jiwa manusia yang baru lahir, kemudian menjaga manusia itu seperti menjaga jiwa yang sebelumnya. Dengan kata lain? Manusia selalu berjumlah sama?
Pak Gatot masuk kelas. Keributan yang semula terjadi berangsur mereda. Dia dikenal sebagai guru yang killer dan sedikit gila, atau bahkan sangat gila? Sikap dan pribadinya arogan membuat beberapa siswa membencinya, termasuk aku. Hanya saja aku dan yang lainnya terlalu munafik mengakui kebencian ini. Aku terdiam.
“Billy! Kamu ngerasa pinter udah ribut begini?” bentaknya menggebrak meja.
Pak Gatot selalu marah, meski tak ada satu alasan pun yang mendukung. Tapi, kali ini kita benar-benar salah. Satu hal yang membuatku bingung adalah ketika dia selalu memarahi Billy bukan teman yang lainnya. Itu adalah tanda tanya besar bagiku, atau mungkin untuk semua siswa.
“Saya minta maaf Pak. Tapi kenapa cuma saya yang dimarahin? Kan masih ada yang lain, Pak?” tanya Billy bingung. Wajahnya sedikit siaga dengan pukulan atau tendangan yang akan dilakukan guru setengah gila itu. Beberapa siswa disini memang sudah hafal sikap Pak Gatot.
“Saya ngeliatnya cuma kamu!” bentak Pak Gatot selanjutnya. Aku masih memperhatikan keduanya dari tempat dudukku, kurasa teman yang lain pun demikian. Aku menemukan sebuah keganjilan dari jawaban yang Pak Gatot beri.
Tiba-tiba saja Pak Gatot melayangkan tinjunya pada wajah Billy, namun berhasil ditangkis dengan sempurna. Beberapa siswa melihatnya ngeri, beberapa kali pula aku menutup mata ketika melihatnya. Kepalan tangan Pak Gatot terlihat memerah, wajahnya bertambah emosi, bagaimana tidak? Ketiga pukulannya meleset. Detik berikutnya, Pak Gatot hampir menendang kaki Billy, tapi kakinya malah mengenai meja. Billy nampak bingung dengan semuanya, tatapannya seperti meraba-raba, kenapa lengan kiri yang ia jadikan sebagai tameng tidak merasakan sakit sedikit pun, dan tendangan yang mengenai meja membuatnya bertambah bingung. Aku benar-benar melihat wajahnya yang kebingungannya. Ia seakan-akan tidak menyadari sesuatu.
Aku masih terdiam melihat semua pembelaan yang dimiliki ruhnya. Aku tahu, Billy memang salah karena ribut di kelas. Tapi, Pak Gatot lebih salah, kenapa dia hanya memarahi Billy sementara teman lainnya disuruh menonton. Astaga.
“Keluar kamu dari pelajaran saya!” bentaknya setengah kesakitan.
Billy menurut saja.
Kelas begitu hening. Bukan hening karena menghargai sikap arogan guru ini, tapi karena semuanya takut dengan sikap otoriter sang guru. Mereka tidak mau mendapatkan pukulan seperti halnya Billy. Aku dan mereka terlalu munafik. Terdiam dalam kesalahan. Aku masih memperhatikan sikap Billy yang berdiri di balik pintu. Aku kagum dengan sikapnya, sikap beraninya dan keteguhannya. Mungkin, karena Billy terlalu berani itulah membuat Pak Gatot geram.
“Halo, polisi? Saya mau melaporkan tindakan—” ujar Billy lantang, hanya saja pada kalimat berikutnya menggunakan nada rendah, aku tidak mendengarnya jelas.
Kudapati wajah Pak Gatot kaget sekaligus gugup. Peluhnya bercucuran deras, matanya berubah fokus. Tiba-tiba saja, Pak Gatot menghampiri Billy, kemudian keduanya berbicara serius dan aku tahu topik pembicarannya, Pak Gatot meminta maaf pada Billy. Semua pasang mata menatap kejadian ini bingung, termasuk aku. Menit selanjutnya ia menyuruh Billy duduk.
Aku duduk di halte. Cuaca hari ini begitu terik. Yang lebih menyebalkannya, semua bus umum penuh. Aku harus menunggu lebih lama disini. Kehidupanku tidak terlalu menarik untuk diulas. Sebagian kehidupan pada diri manusia yang akrab denganku bisa aku ketahui dengan jelas.
“Hai!” ujar seseorang di sebelahku. Dia Billy.
“Hai, Bil!” sahutku setengah kaget.
Aku tidak terbiasa mengobrol dengan orang, terkecuali dengan ibu dan adikku. Sekali pun mengobrol dengan teman, aku hanya bicara kalau penting saja. Bisa diandaikan, aku tidak mempunyai teman akrab. Aku lebih menyukai kesendirian, walaupun tidak benar-benar sendiri, aku bersama Serafina. Kurasa karena dia aku menjauhi kehidupan sosial di sekitarku.
“Belum pulang aja?” tanya Billy kemudian. Ia tersenyum manis padaku, kedua lesung pipinya menjorok ke dalam, manis. Sungguh.
“Iya, nunggu bis. Kamu?” tanyaku terlalu formal. Aku sangat tidak terbiasa.
“Nemenin kamu nunggu bis!” sahutnya singkat.
Aku tak menjawab. Aku masih menerawang apa maksud dari kalimatnya. Tiba-tiba saja, di antara aku dan dia begitu hening. Hanya suara beberapa kendaraan lewat di jalan raya yang membuat percakapan ini nampak ramai. Aku masih dalam keadaan bergeming, namun tidak untuk Serafina, kudapati dia serius mengobrol dengan sebangsanya, entah ruh milik siapa. Aku tidak peduli.
Tiba-tiba, deg! Dadaku begitu sakit. Aku seperti dicekik. Sangat menyakitkan. Dengan sigap, aku membuka ransel dan mengambil spray napasku. Billy memperhatikanku dengan ekspresi khawatir, kenapa asmaku harus kambuh disaat yang tidak tepat? Keluhku berkali-kali.
“Are you okay?” tanya Billy memegangi kedua bahuku. Wajahnya tepat di hadapanku, kutatap mata beningnya agak lama. Tapi, sesuatu menggangguku. Serafina muncul di balik mata bening Billy, Billy memang tidak bisa melihat apa itu ruh, tapi inilah yang menggangguku.
“Fina!! Maksud aku, aku baik-baik aja!” sahutku gugup. Dia kembali duduk.
“Okay” ujarnya tenang. Beberapa kali dia memperhatikan jam tangannya. Aku pun melakukan hal sama. Arlojiku menunjukkan pukul 3.20 sore.
“Pamela, lima menit lagi Billy bakal nembak kamu. Asli!” ujar Serafina tepat di telingaku.
“Hah?!” bentakku. Billy mendapatiku dengan segala keanehan.
“Mel?” panggilnya hati-hati. Ia menemukan keganjilan dalam diriku.
“Ya Billy?” sahutku lebih hati-hati. Pikiranku bimbang, kenapa pula ruh milik Billy mengatakan hal itu pada Serafina? Hidupku jadi tidak tenang. Oh my god! Sebenarnya aku lebih suka tahu sesuatu sebagai kejutan, bukan seperti ini. Bahkan sebelum hal yang aku inginkan terjadi.
“Are you okay?” tanya Billy dengan pertanyaan yang sama. Wajahnya nampak lebih khawatir dari sebelumnya. Aku tersenyum simpul.
Dalam hati seluruh ragaku mendingin, membeku, pucat, pokoknya segalanya. Peredaran darahku tidak terkontrol, detak jantungku melaju bertambah cepat pada setiap detiknya. Napasku naik turun. Aku tidak sesak, aku hanya gugup.
“Fina, tolong jangan kasih tahu apa pun yang nggak penting ke aku!” bisikku mencoba dengan nada rendah. Kurasa berhasil. Billy tidak mencurigaiku.
Tepat 3.25 di arlojiku. Aku ingin kabur, tapi tak ada satu pun kendaraan umum yang melintas. Aku harus naik apa? Aku menghela napas panjang. Memperhatikan tingkah Billy yang berubah seketika, ia tersenyum manis seperti sebelum-sebelumnya.
“Itu penting Mel, ini tentang masalah kutukan yang kamu dapet!” tegas Serafina kemudian. Aku tersadar.
Mataku terpejam, mencoba mengingat hal-hal yang pernah aku inginkan. Ketika itu, aku bermimpi. Aku akan menjadi manusia normal, tanpa dihantui siapa pun, asal aku benar-benar mendapatkan cinta dari seorang yang mempunyai ruh dengan kekuatan yang hebat. Karena hanya ruh tertentu saja yang bisa melindungi diri pemiliknya. Contohnya, Serafina. Dia bisa ditembus manusia dengan mudah, sedangkan ruh milik Billy bisa menjadi begitu kuat, dia bisa menjadikan dirinya bisa ditembus atau tidak. Ruh milik Billy pun bisa menangkis semua perlakuan kasar Pak Gatot.
“Mel? Kamu selalu bertingkah aneh. Kenapa sih?” Billy memincing.
“Aku? Aku aneh?” tanyaku memastikan. Begitu konyolkah aku?
“Bukan gitu, maksud aku sikap kamu kenapa aneh gitu?” tanyanya lagi.
“I’m okay Billy!” sahutku tegas. Aku beranjak. Lagipula aku tak ingin lama-lama bersamanya. Aku lebih baik berjalan kaki hingga sampai rumah, daripada memperhatikan segala tingkahnya yang menyebalkan sekaligus membuatku sulit berkata-kata.
Hari berlalu begitu cepat. Sikap Pak Gatot tetap kambuh dan aneh. Pria itu sepertinya memang gila. Sementara, Billy selalu mendapat hukuman dan selanjutnya Pak Gatot dengan mudahnya meminta maaf.
Beriringan dengan itu, Billy selalu membantuku. Apalagi aku mulai mengambil resiko untuk melawan Pak Gatot yang arogan. Aku menyadari sesuatu, ruh miliki Billy berkehendak seperti pemikirannya, begitu pula ketika aku meneguhkan tekadku. Ruh tergantung pemiliknya, selalu bekerja sesuai apa yang ada di hatinya. Namun, mengapa ruh milik Pak Gatot tidak membantunya? Tunggu, dimana ruhnya?
Aku, Billy dan seorang sahabat akrab Billy, Eno sudah dikeluarkan dari kelas. Sementara Pak Gatot melanjutkan pelajaran. Billy dan Eno duduk di bangku depan kelas sedangkan aku berhambur meninggalkan keduanya.
“Kamu percaya tekanan batin, Mel?” tanya Serafina. Ia mengubah dirinya jadi seorang gadis cantik dengan pakaian ala-ala Cleopatra.
“Kamu Fina?” tanyaku memastikan. Aku memerhatikan siswa lewat, ternyata tidak ada yang menyadari Serafina dan aku percaya dia ruhku.
“Iya, aku Fina. Pamela, dengerin aku. Pak Gatot bukan manusia, kamu tahu, kan, dia nggak punya ruh?” ujar Serafina seadanya. Aku langsung tersedak dan buru-buru memuntahkan makananku kemudian minum air mineral.
“Nggak peduli, Na, lagipula aku di sini mau nuntut ilmu, bukan mau tahu urusan guru aneh itu” ujarku kemudian. Aku kembali memakan mie ayam.
“Pak Gatot bisa jadi manusia, kalau dia punya ruh. Dan, dia pengen ruh Billy, karena ruhnya kuat. Kamu tahu nggak, apa yang terjadi kalau ruh Billy diambil? Billy bakal mati! Kamu suka, kan, sama dia? Nggak mau dia apa-apa, kan?” gretak Fina.
Aku terdiam. Bagaimana mungkin masalahnya serumit itu? Aku memikirkan perkataan Serafina tanpa menanggapinya. Semuanya begitu rumit dan aneh. Sangat membingungkan.
“Semakin Billy banyak tekanan. Semakin dia marah. Kalau, Billy semakin marah dia bakal tekanan batin. Hawa di dalam tubuhnya bakal panas dan kering. Hati dan pikiran Billy nggak bakal nyatu dan ruhnya bingung milih hati atau pikirannya. Dan, setelah itu, ruh Billy akan sering keluar. Tubuh Billy tidak lagi terkontrol dan hidupnya akan berantakan! Dia bakal nark*ba atau apalah dan bisa-bisa ia meninggal” Serafina menjelaskan. Aku berpikir keras.
“Sepenting itu ruh?” tanyaku serius sekaligus setengah menggoda.
“Aku meninggalkanmu, kamu bakal end!” gretak Serafina.
Aku tertawa sekaligus ragu dengan hal yang akan terjadi pada Billy.
Aku memerhatikan sekelilingku. Pak Gatot memang selalu mencari masalah pada Billy. Tapi, aku bingung berbuat apa.
“Billy” ujarku hati-hati. Billy menoleh. “Istirahat bisa ngomong? Berdua” ujarku lagi. Billy tersenyum kemudian mengangguk.
Seperti biasanya dia selalu meladeni Pak Gatot. Guru itu selalu saja mempunyai alasan tepat untuk menghukum Billy. Setiap kali guru menegur, Pak Gatot selalu bisa mengatasi dengan alasan-alasan yang masuk logika. Billy hanya menurut dan kesal.
Istirahat tiba. Billy selesai menulis pelajaran dan menemuiku di belakang sekolah. Aku terdiam sesaat memerhatikan wajah Billy yang penuh dengan peluh, ingin sekali saja aku menyeka keringatnya, namun tidak ada hak. Aku masih memerhatikan wajah tampan yang kelelahannya. Masih tetap tampan.
“Ada apa, Mel?” tanya Billy tepat di hadapanku.
Aku terdiam sebentar. Aku masih memerhatikan Billy yang duduk manis tepat di hadapanku. Matanya menatapku dalam.
“Sebenernya, Pak Gatot itu mau nyelakain kamu” ujarku terbata-bata. Billy mengeryitkan dahi. “Dia mau ngambil ruh kamu, dia bukan manusia, Bil” ujarku gugup.
Billy tertawa. “Kamu lucu banget, cerita kamu pas dibikin novel, Mel” ujarnya kemudian. “Dia cuma hobi hukum aku, dia nggak mungkin nyelakain aku, Mel” tegasnya.
Andai Billy tahu sebenarnya.
“Aku tahu, kamu nggak bakal percaya sama aku. Tapi, yang penting aku udah bilang sama kamu, ya. Hati-hati kalau berhadapan sama dia, Bil” ujarku lagi.
Sebenarnya aku ingin menangis, takut kehilangan lelaki di hadapanku. Lelaki yang sejak dua tahun terakhir mengisi hatiku. Sungguh, dia sangat istimewa.
“Kamu khawatir sama aku?” tanya Billy. Detak jantungku hampir berhenti.
Aku mengangguk. Sambil tersenyum terpaksa. Billy mengusap rambutku pelan dan saat itu juga aku mendengar ledekan dari Serafina. Astaga!
Hari-hariku mulai kacau dengan pemikiran tentang Billy. Sedangkan, lelaki itu hanya biasa-biasa saja. Seolah ia menganggap ceritaku bohong. Hari demi hari Billy semakin berubah aneh, sikapnya tidak seramah perkiraanku. Bahkan ia lebih pendiam. Matanya tak lagi bening, bahkan merah. Apa Pak Gatot sudah berhasil?
“Billy?” ujarku sekaligus mengguncang tubuhnya pelan ketika tidur di kelas.
Ia bangun tanpa menjawab. Selanjutnya, ia pergi tanpa menghiraukanku.
“Pamela, mau istirahat bareng?” ujar Steffany untuk kesekian kalinya.
Sejak pertama kali aku duduk di kelas XI aku selalu menolak niat baiknya. Aku tidak butuh teman, apalagi aku muak dengan obrolan-obrolan mereka. Aku memilih menutup diri dan lebih sering menghabiskan waktu duduk dan sekedar membaca buku sekaligus melihat tingkah jahil Serafina.
“Sebaiknya kamu membuka diri dengan mereka. Kalau kutukan sudah hilang, kamu tidak akan punya teman” ujar Serafina menasihati.
“Aku bisa hidup tanpa mereka” sahutku ketus.
Ada rasa bimbang, tidak tega dan kesepian. Hanya saja sikap Billy membuatku mencukupkan semua itu. Aku bisa hidup sendiri, bahkan tanpa orang yang peduli.
Ckrek. Aku memoto beberapa foto Pak Gatot tengah memukuli Billy dan Eno. Kata Serafina, Pak Gatot bersikap seperti itu karena ruhnya pergi meninggalkan dia, dan Pak Gatot tidak seutuhnya manusia. Tidak ada yang membimbing sekaligus membawa dia ke jalan yang benar. Itu fungsi ruh sebenarnya.
Setelah selesai memoto dan memvideo ulah Pak Gatot, aku melanjutkan belajar dan menulis materi yang diajarkan Pak Gatot walaupun tidak sepenuhnya kumengerti.
Tiba-tiba aku punya ide. Ide yang akan membuat Pak Gatot dan Billy tetap menjadi seseorang yang seutuhnya.
Kemarin aku sudah melaporkan ulah Pak Gatot. Polisi menanggapinya dengan cepat dan hari ini ia memenjarakan Pak Gatot. Setidaknya, ia tidak membuat Billy dan Eno terkena sikap buruknya lagi.
Billy kembali menjadi Billy yang dulu. Meskipun ia tidak mempercayai kata-kataku. Setidaknya ia menganggapku ada.
“Mel, sebenernya aku suka sama kamu. Waktu di halte aku mau nyatain, tapi keadaan kamu waktu itu bikin aku bingung” ujar Billy tiba-tiba. Deg!
“Aku tahu kok, Billy” sahutku seadanya. Billy mengeryit.
“Kamu mau jadi pacar aku?” tanya Billy kemudian. Aku mengangguk mantap.
Tiba-tiba semuanya hening. Abu-abu. Kabut-kabut menyerangku, kepalaku pusing. Namun, sebuah tangan menggenggamku erat, menahanku dari semua siksa. Aku masih pusing dan sesak. Byur!
Satu menit kemudian, semuanya kembali seperti semula. Mobil melintas di depanku. Siswa-siswi keluar dari gerbang sekolah dan memasuki angkot dan metromini sementara tangan yang menggenggamku erat bukan mimpi.
Tunggu, dimana Serafina?
“Pamela, kamu baik-baik aja?” tanya Billy membuat lamunan dan pemikiranku tentang kabut-kabut itu, ruh-ruh itu dan semua tentang Serafina hilang.
“I’m free!!” teriakku. Billy tertawa.
Benar yang dikatakan Serafina. Aku merasa sepi, tanpa dia bahkan lebih sepi sebelum kutukan menghampiriku. Meskipun ada Billy, ia punya kesibukan.
“Sebenernya aku mau ngajak kamu ke kantin, pasti kamu nggak mau, kan?” ujar Steffany ragu-ragu. Mata indahnya menatapku tulus.
“Fan, aku mau kok. Tapi, aku mau ketemu Billy dulu. Aku nanti nyusul” sahutku mantap. Steffany tersenyum senang dengan beberapa temanku, Emilia dan Christine.
Steffany sudah berhambur keluar kelas. Sementara Billy sudah menungguku di taman belakang sekolah. Aku harus buru-buru menemuinya.
Lelaki itu ada di sana. Lelaki yang selalu menjadi alasan aku datang ke sekolah. Lelaki dengan ruh yang hebat dan pelindung yang kuat.
“Kenapa nggak ketemu di kelas aja, sih?” tanya Billy bingung.
“Aku pengen nunjukkin sesuatu ke kamu” ujarku kemudian.
Pak Gatot yang saya hormati. Saya mohon Bapak kembali menjadi seperti dulu. Bapak cegah perbuatan marah-marah Bapak. Hanya itu yang bisa membuat ruh dalam diri Bapak nyaman. Saya tahu, Bapak orang baik, maka tetaplah jadi orang yang baik. Billy, Eno dan teman-teman sudah memaafkan Bapak.
Aku menekuk kertas dan memasukkannya ke dalam amplop.
“Serafina, aku udah nggak bisa lihat kamu lagi. Tapi, aku mohon kamu bantu aku, beri surat ini ke Pak Gatot” ujarku setengah memohon. Billy masih memerhatikan dengan saksama. Tiba-tiba.
Tatapan aku dan Billy buyar. Kabut tipis tepat di hadapan kami. Masih Serafina seperti Cleopatra dan seorang ruh milik Billy seperti raja-raja Romawi. Kedua ruh itu tersenyum. Billy masih terperangah. Selanjutnya, Serafina dan ruh milik Billy kembali menjadi asap dan menghilang dengan surat yang aku tulis.
“Sekarang kamu percaya sama aku?” tanyaku cengengesan.
“Aku selalu percaya sama kamu” sahut Billy sambil merangkulku hingga kantin.
Kami berpisah di kantin. Billy menuju ruang OSIS sementara aku menuju teman baruku. Tidak enak hidup dalam kesepian. Dan, aku menyukai keramaian. Mencoba menyukai teman-temanku. Mencoba ada dalam ketidaksempurnaannya dan mencoba menjadikan mereka agar menyempurnakan hidupku.