seorang pemuda bernama Park Jisung diusir dari rumahnya karena sang ibu tiri yang kini berkuasa disana setelah meninggalnya sang ayah.
Jisung hanya membawa pakaian sedikit serta uang yang juga sedikit, namun untungnya dia mendapat satu tempat disebuah apartemen karena memenangkan undian yang dia ikuti hanya sekedar iseng tapi siapa sangka, dia menang.
Tempatnya ada di lantai sepuluh, hanya sedikit penghuni disana maka dari itu lorong dilantai itu sangat sepi tapi jisung tak peduli selagi dia memiliki tempat untuk tinggal. dia tinggal mencari pekerjaan, dia yakin akan mudah baginya mencari pekerjaan dengan otaknya yang pintar.
Dan benar tak butuh waktu lama dia sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan besar, dia pulang dengan hati gembira mengabaikan lorong yang sangat sepi. matanya menangkap seseorang yang sedang berdiri di depan pintu dengan angka 225, Jisung tak ingin peduli dan segera masuk ke kamarnya.
Hampir dua minggu jisung terus melihat orang itu, dia akhirnya jadi penasaran hingga menghampiri orang itu.
"permisi, apa ada masalah? kau sudah seminggu lebih disini, apa yang kau tunggu?" tanya Jisung dengan sopan tapi tak mendapat jawaban dari yang lebih pendek.
"aku bisa membantu jika kau perlu." akhirnya yang dari tadi diajak bicara menoleh menatap Jisung yang kini tersenyum, dalam hati Jisung memuji pemuda yang lebih pendek karena wajahnya yang sangat cantik.
Senyum Jisung luntur tergantikan dengan raut bingung, pasalnya pemuda yang belum dia ketahui namanya itu malah pergi tanpa mengatakan apapun. padahal niat Jisung baik untuk membantunya.
Akhirnya Jisung kembali ke tempatnya untuk istirahat.
02.25
Jisung terbangun karena suara bising dari tetangganya, terdengar banyak barang yang dibanting dan seseorang yang menangis tersedu-sedu. Jisung mencoba mengabaikannya tapi suara makin keras saat dia mencoba tidur kembali hingga akhirnya Jisung harus keluar untuk memastikan.
Ternyata tetangganya yang lain juga berada diluar, sepertinya mereka mendengar hal yang sama.
"maaf, saya mau nanya. kenapa banyak suara aneh ya?" tanya Jisung yang langsung mendapat atensi dari semua orang.
"baru pindah ya?" Jisung mengangguk.
"biasanya emang gitu kalo tengah malam, didalam sini asalnya. kami udah terbiasa jadi langsung keluar kamar karena suara cuma terdengar kalo kita didalam kamar." Jisung mengangguk paham dan menatap pintu dengan angka 225.
"oh ya, tadi di depan sini ada orang berdiri udah hampir dua minggu. kalo boleh tau kalian kenal tidak?" tanya Jisung lagi mengingat sosok pemuda cantik yang sempat dia ajak bicara namun tak dibalas.
Tetangganya langsung menanyakan seperti apa ciri-ciri orang itu dan Jisung segera mengatakannya.
"astaga kamu bertemu arwah penghuni kamar 225 berarti." Jisung terkejut, berarti seharusnya dia tak menyapanya.
Jisung diam dengan segala pertanyaan di kepalanya, sungguh dia tak ingin bertemu orang itu lagi.
🐹🐬
Sudah terhitung tiga hari jisung tidak melihat sosok pemuda cantik waktu itu, dia merasa lega dan mulai membiasakan diri dengan suara-suara dari tetangga disamping.
Tiga hari tak bertemu membuat rasa penasaran Jisung muncul tapi dia tak mau berurusan dengan hal-hal gaib hingga rasa penasarannya dia kubur dalam-dalam.
tok...tok...
Jisung yang masih duduk mengerjakan pekerjaannya diruang tamu sedikit terkejut dengan suara ketokan pintu ditengah malam. Jisung berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang ada di depan. namun tak ada siapa pun, Jisung mencoba acuh dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Tapi perasaannya tak tenang, karena merasa ada sesuatu yang memperhatikannya. dia duduk bersandar sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa khawatirnya akan sosok gaib.
Jisung kembali membuka mata saat merasakan beban berat diatas tubuhnya, matanya membulat sempurna melihat sosok cantik yang bukanlah seorang manusia, mulutnya seakan bisu tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Sosok cantik itu makin mendekat kearahnya dan kemudian berhenti saat jarak diantara mereka hampir habis.
"kau mau membantuku kan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut pemuda diatasnya.
Jisung yang awalnya ketakutan kini merasa lebih baik saat matanya beradu dengan sosok di depannya. kepalanya mengangguk perlahan tanpa memutus kontak mata mereka.
Kini mereka duduk bersebelahan, Jisung mendengarkan semua perkataan pemuda disampingnya kini dia ketahui namanya adalah chenle.
Raut wajahnya menjadi sedih saat menceritakan apa yang dia alami, tangan Jisung bergerak mengelus surai Chenle yang masih bercerita.
"coba tunjukan sosok aslimu."
"kau akan ketakutan."
"tidak apa."
Chenle diam cukup lama hingga akhirnya menunjukan sosok aslinya, wajah yang awalnya cantik kini berubah menjadi wajah pucat dihiasi memar serta luka, tangan mulusnya bahkan terdapat sayatan besar yang membuat Jisung prihatin melihatnya.
"kau pasti sangat tersiksa." Chenle mengangguk.
"aku lebih tersiksa karena orang tua ku tak tau jika anak mereka ini sudah tiada, jasadku bahkan disembunyikan oleh orang gila itu."
"aku akan membantumu, tenang saja." perkataan Jisung bukanlah hanya sebuah kata-kata semata, dia tentu akan membuktikan jika benar-benar akan membantu.
Hari-hari Jisung mulai ditemani oleh Chenle, suara dari tempat Chenle juga menghilang karena Jisung yang memintanya agar tetangga lain bisa istirahat dengan tenang.
02.36
Jisung pergi ketempat Chenle, karena dia tak bisa masuk jadi dia hanya memasukan kamera dari bawah pintu untuk melihat keadaan di dalam, Chenle membantu membawa kamera kecil itu berkeliling agar jisung dapat melihat semua tempat.
Ada banyak darah, dada Jisung menjadi sesak saat melihatnya. diatas kasur juga ada beberapa foto yang di cetak, itu foto Chenle yang dianiaya tanpa mengenakan sehelai benang pun. Jisung segera mematikan kameranya, dia sudah tak sanggup pada awalnya dia berpikir jika dirinya lah yang paling menderita karena ibu tirinya, namun ternyata masih ada Chenle yang lebih menderita lagi.
Chenle muncul tepat disamping Jisung, tanpa izin Jisung langsung memeluk Chenle dengan erat, mengelus lembut surai Chenle. dia sangat takjub dengan chenle yang kuat dan mampu bertahan hingga maut menjemputnya, mungkin jika itu dirinya sudah lama dia akan mengakhiri hidupnya sendiri.
"besok aku cuti, aku akan coba masuk kesana lewat balkon." ucap Jisung kemudian melepas pelukannya.
"jam lima nanti aku mulai nyebrang."
Chenle hanya mengangguk dan duduk diam membiarkan jisung beristirahat sebentar.
"kau tidak tidur?"
"aku bukan manusia lagi." Jisung terkekeh pelan kemudian menarik Chenle untuk berbaring bersamanya di sofa, tak ada penolakan dari hantu cantik itu yang malah memeluk tubuh Jisung dengan erat.
🐹🐬
Jisung sedang berusaha menyebrang melewati balkon, Chenle berada diseberang sana menunggunya dengan raut khawatir karena takut Chenle kenapa-napa.
Bau busuk langsung menyengat saat Jisung tiba di balkon Chenle, sebisa mungkin Jisung tak memperdulikan bau itu dan segera masuk mencari barang bukti sebanyak mungkin untuk menangkap pelaku pembunuhan Chenle.
"foto-foto ini baru mereka bawa beberapa hari lalu, makanya aku mengamuk karena sangat marah." Jisung mengangguk paham, akhirnya dia tau mengapa terdengar suara bantingan benda dengan amat dasyat.
Jisung mengambil foto-foto itu sebagai bukti, tapi dia tak akan meninggalkan foto itu di kantor polisi, rasanya aneh meninggalkan foto Chenle yang tanpa busana di tempat orang.
Mereka kembali menjelajah untuk mencari bukti lain, di dapur penuh dengan barang tajam yang dihiasi darah. Jisung tak akan menyentuhnya, biar saja nanti polisi yang mengurus.
Di kamar mandi, Jisung sedikit heran karena dinding Chenle yang dirasa lebih tebal hingga kamar mandinya terasa sangat kecil.
Mata Jisung melihat sebuah alat perekam suara di bawah bathtub, segera dia ambil dan dia putar untuk mendengarnya.
Disana terdengar suara Chenle yang terus meminta ampun serta suara cambukan yang keras, ada juga suara beberapa orang yang tertawa sambil menghina Chenle.
Mata Jisung memanas, dia rangkul sosok manis yang juga mendengarkan rekaman itu. dirasa buktinya sudah cukup, Jisung segera kembali ketempatnya melewati balkon lagi.
Dia harus bertanya juga pada pemilik apartemen mengenai kamar mandi karena dia sungguh penasaran.
"Chenle aku akan segera melapor agar bisa langsung ditangani, kau tunggu disini saja ya?" Chenle menggeleng kemudian menggenggam tangan Jisung, dia ingin ikut.
Jisung menghela napas dan mau tak mau dia pergi bersama Chenle.
Setelah Melanie, Jisung kembali ke apartemen untuk berbicara dengan pemilik apartemen soal tempat yang ditinggali Chenle.
"jadi aku istrimu?" tanya Chenle, Jisung terkejut lalu tertawa kaku. tadi dikantor polisi dirinya mengaku adalah suami Chenle, jelas Jisung punya alasan jadi Chenle tidak seharusnya bertanya karena dia jadi malu.
Terdengar tawa pelan dari Chenle yang merasa lucu dengan jisung yang panik.
Polisi sudah datang, mereka langsung menuju tempat kejadian bersama pemilik apartemen. Jisung dan Chenle berjalan paling belakang karena Chenle yang terus menggenggam tangan Jisung.
Soal kamar mandi ternyata sang pemilik apartemen ikut bringing karena kamar mandi yang sangat kecil, setaunya dia tak mendesain kamar mandi seperti ini.
"aku curiga, bisa bongkar dindingnya?" tanya seorang polisi yang diangguki oleh pemilik apartemen.
Sementara pembongkaran kamar mandi berlangsung, Jisung pergi ke kamar Chenle untuk mengambil semua pakaian Chenle yang sudah tak pernah tersentuh itu. semua barang penting chenle yang masih bisa digunakan, Jisung masukan kedalam koper. dia akan membawanya ketempat orang tua Chenle sesuai permintaan Chenle.
"tuan Jisung, mari lihat apa yang kami temukan." seorang polisi menghampiri Jisung.
Jisung mengangguk dan mengikuti polisi itu, dia terkejut melihat jasad Chenle yang disembunyikan di dalam dinding kamar mandi, dia tak bisa berkata-kata melihat wajah penuh luka dengan mata yang terpejam.
Pengevakuasian pun dilakukan, jasad Chenle berhasil dikeluarkan. Jisung mengambil tangan kaku Chenle dan menggenggamnya, dia sendirilah yang akan membersihkan jasad Chenle dan membawanya ke desa tempat dia tinggal.
"Jisung.." sosok cantik yang sempat menghilang kini kembali saat Jisung sedang membereskan pakaian miliknya.
"emm, aku menyimpan uang di belakang lemari. tolong kasih ke ibuku ya?" Jisung mengangguk dan segera mengambil uang yang Chenle bilang.
Amplop coklat besar, Jisung menatap Chenle. rasanya dia selalu kagum dengannya, dia mampu bertahan bahkan pekerja keras.
Hari itu Jisung mulai disibukan dengan mengurus jasad Chenle untuk dibawa ke kampung halaman, dia duduk disamping peti yang di dalamnya ada seorang pemuda kuat yang sangat berbakti pada orang tuanya.
Di kampung halaman Chenle sudah ada banyak warga yang menjemput mereka, jisung melihat seorang wanita yang wajahnya sudah dibanjiri air mata, Jisung yakin itu ibunya. kemarin Jisung sudah menghubunginya perihal Chenle dan dia benar-benar terkejut mendengarnya hingga pingsan.
Chenle kini dimakamkan dengan layak, Jisung melihat sosok Chenle yang berdiri jauh dari mereka. Segera dia tinggalkan kerumunan dan menghampiri si cantik yang tersenyum melihat kedatangannya.
"terimakasih, sekarang aku benar-benar tenang. biar saja orang-orang jahat itu mendapat karma sendiri." Jisung tersenyum menanggapinya.
"Chenle.." Jisung mengambil kedua tangan Chenle untuk dia genggam dengan erat.
"kau ini benar-benar membuatku kagum, bahkan saat sudah tiada pun kamu bisa mengambil hati seseorang." tatapan jisung menjadi sendu mengingat sosok didepannya sudah tak bisa dia gapai.
Chenle hanya diam, dia paham apa yang jisung katakan. tak lama jisung menarik tengkuknya untuk menyatukan bibir mereka, biar saja orang mengatakan dia gila karena mencium udara.
"maaf Jisung." Jisung hanya mengangguk.
"aku harap dikehidupan lain bisa bersama denganmu."
Itulah harapan terakhir Jisung yang di dengar oleh Chenle, mereka harus berpisah karena perbedaan alam yang tidak mengizinkan mereka untuk bersama. Jisung akan terus mengenang Chenle dalam hatinya, Chenle adalah motivasinya untuk menjadi orang yang kuat dan tak mudah menyerah.
Hingga dia berhasil mendapatkan semua yang dia inginkan, sampai dimana akhirnya dia tutup usia dan keinginannya untuk dimakamkan di samping makam Chenle pun terwujud.
•
•
•