"Sini kamu, dasar anak a*j*ng!" bentak Amelia menjambak rambut adiknya dengan kasar membuat gadis itu terseret mengikuti kakaknya. Terlihat beberapa helai rambut gadis malang itu bertengger di telapak tangan kakaknya karena jambakkannya yang kuat.
Dengan membabi buta Amelia memotong rambut gadis itu serta mencukur kepalanya hingga botak. Aulia, gadis malang itu hanya pasrah dan menangis sesenggukan ketika melihat helai demi helai rambutnya berjatuhan ke bawah.
"Ini hukuman buat anak gak tau diri seperti kamu!" ujarnya mencukur habis rambut adiknya tanpa ampun.
"Hiks aku minta maaf kak, sumpah aku gak tau kalau foto itu gak boleh dikasihin ke teman kakak." mohon Aulia sesenggukan.
Nenek Siti yang baru kembali berbelanja dari pasar bergegas menuju halaman belakang rumah ketika mendengar suara tangisan dan begitu terkejut ketika mendapati cucu bungsunya telah kehilangan seluruh rambutnya dengan kondisi wajah yang lebam-lebam, keningnya yang benjol dan membiru, sudut bibir kanannya yang sobek serta ada beberapa luka sayatan di lengannya.
"Astaghfirullahhaladzim, apa-apan kamu Amel?" nenek Siti berlari menghampiri Aulia dan memeluknya. Menuntun gadis itu berjalan kembali memasuki rumah. Amelia mendengus kesal melihat itu. Ia berjalan mendahului mereka memasuki rumah dengan langkah lebar, berjalan memasuki kamarnya kemudian membanting pintu.
Aulia, sang adik yang malang saat ini tengah meringis pilu setiap kali neneknya menempelkan kapas yang dibasahi alkohol di permukaan lukanya. "Ada apa ini sebenarnya? Kenapa kakakmu bisa ngamuk begitu?" tanya Nek Siti lembut kepada cucunya.
Mendengar pertanyaan neneknya membuat hati Aulia kembali bersedih. Matanya mulai berkaca-kaca dan tanpa dapat dicegah bulir air matanya mengalir dengan derasnya, dia mulai meraung penuh kesakitan.
Dengan sesenggukan perlahan ia mulai menceritakan duduk permasalahan di antaranya dan kakaknya. "Tadi ada temannya kak Amel datang dan minta foto, nek." nadanya menggantung seolah menerawang pada kejadian sesaat sebelum ia dihajar habis-habisan oleh kakaknya.
Siang itu seorang gadis imut bertubuh mungil dan berkulit putih dengan senyum menyejukkan hati datang berkunjung ke rumah mereka disaat Aulia tengah bermain di ruang tamu rumahnya sendirian. Saat itu neneknya berpamitan ke pasar di dekat rumah mereka untuk membeli lauk dan sayuran yang akan dimasak siang itu.
Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Rita dan mengaku sebagai sahabat dari Amelia, kakaknya. Singkat cerita Rita berkata telah meminta foto mereka yang sudah dicetak bersama yang diambil saat mereka datang ke acara pernikahan Uun teman mereka yang lain kepada Amel sejak seminggu yang lalu. Namun Amel tidak kunjung memberikan foto itu, entah apa alasannya.
Yang jelas Rita bermaksud meminjam foto itu untuk sementara karena akan memperbanyak cetakan foto itu dan akan membaginya kepada beberapa teman yang lain. Rita berjanji akan mengembalikan foto itu kepada Amel ketika selesai dengan cetakan yang lainnya.
Aulia yang tidak tahu apa-apa mengajak Rita masuk ke dalam kamar kakaknya dan mereka mencari foto yang dimaksud bersama-sama.
Mereka lalu menemukan foto itu tersimpan di dalam sebuah album foto dan Aulia memberikan foto itu kepada Rita dengan senang hati.
Aulia yang malang tidak pernah menyangka jika foto itu akan menjadi petaka baginya yang berakibat fatal hingga dia dianiaya oleh kakaknya sedemikian rupa. Amel yang baru kembali dari rumah temannya seketika emosi setelah adiknya menceritakan tentang foto itu.
Dia lalu menyerang adiknya dengan membabi buta hingga meninggalkan beberapa luka di tubuhnya. Yang lebih parahnya lagi Aulia tidak menyangka jika hal ini sampai membuatnya berakhir dengan kepala botak seperti ini.
"Gitu nek. Uli juga gak tau apa alasannya kenapa kak Amel sampai semarah itu. Padahal Uli lihat itu cuma foto biasa." tutup Aulia mengakhiri ceritanya yang ditanggapi dengan anggukan oleh neneknya.
Usai mengobati cucunya, nek Siti meminta Aulia untuk beristirahat. Gadis itu menurut dan dalam beberapa saat ia mulai terlelap. Melihat cucunya yang telah pulas, nek Siti bangkit dan berniat menghampiri Amelia, bermaksud untuk menanyakan hal apa yang memicu amarah Amelia hingga ia tega melakukan hal yang begitu kejam kepada adiknya yang bahkan masih duduk dibangku kelas dua SD tersebut.
Sementara di dalam kamarnya Amelia tengah asik memainkan ponsel. Suara ketukan di pintu ia abaikan dan tetap fokus pada layar ponselnya.
Bukannya berhenti, semakin ia diamkan ketukan itu semakin kuat dan intens. Merasa terganggu akan ketukan yang terus menerus tanpa henti akhirnya Amelia memaksakan diri untuk membuka pintu kamarnya dan membiarkan neneknya masuk.
"Ada apa ini Mel? Kenapa kamu sampai tega membotak kepala adikmu seperti itu? Kamu bahkan memukulnya dan menyayat tangannya dengan pisau? " tanya nek Siti tanpa basa basi. Amelia enggan menjawab pertanyaan dari sang nenek. Ia tetap memainkan ponselnya dan sesekali tertawa ketika melihat sesuati yang lucu di layar ponselnya.
"Jawab nenek! Orang tua sedang bicara itu didengar. Dimana sopan santun kamu?" sungut nek Siti mulai emosi. Ia merampas ponsel itu dari tangan Amelia.
Amelia mendengus dengan seringai kecil di sudut bibirnya "Itu anak emang pantas digituin. Muak aja liat mukanya, dia mirip sama ibunya yang kejam itu. Amel benci liat dia nek!" ujarnya dengan nada bergetar menahan tangis.
"Amel liat dia jadi ingat sosok ibunya yang udah ngerebut ayah dari bunda dulu. Ibunya yang seperti pe**cur yang merusak hubungan ayah sama bunda. Yang buat Amel jadi anak broken home dan punya ibu tiri kejam kaya dia." lanjut Amel panjang lebar diiringi air matanya yang mulai berderai. "Masalah foto itu cuma alasan, cuma alasan biar Amel bisa siksa dia sepuas hati Amel."
Mendengar penuturan cucunya yang salah membuat nek Siti menggeleng prihatin. Ia yakin mantan menantunya baru saja menemui Amelia dan menanamkan kebencian di hati Amelia terhadap ibu tiri dan adiknya.
"Kamu salah, Mel. Tidak ada yang merebut ayah kamu. Demi Allah, ibu Rina itu perempuan soleha. Dia tidak pernah merebut ayah kamu dari Faridah, bunda kamu." Amel terdiam mendengar penjelasan neneknya. Merasa tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Bunda kamu selingkuh! Tepat disaat usia kamu dua bulan, Faridah pergi meninggalkan kamu dan ayahmu selama setahun lalu kembali membawa suaminya yang baru dengan kondisi tengah hamil tua." nek Siti diam sejenak mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipinya.
"Dia datang berniat untuk membawamu pergi bersama suami barunya. Saat itu ayahmu begitu terpukul hingga ia membiarkan bundamu membawamu. Tapi belum sampai seminggu bersama bundamu, dia datang membawamu kembali karena saat itu kamu terserang sakit. Kamu muntah-muntah dam tidak mau makan." Amelia mulai menangis tak percaya akan penjelasan neneknya yang bertolak belakang dengan cerita yang ia dengar dari bundanya.
"Saat itu kamu masih terlalu kecil sayang. Ayahmu begitu patah hati karena cintanya dikhianati oleh bundamu. Butuh empat tahun bagi ayahmu untuk bisa bangkit dan akhirnya bertemu dengan ibunya Aulia." nek Siti tersenyum ketika mengingat menantunya yang telah tiada itu.
"Meskipun kamu adalah anak tirinya, tapi dia memperlakukanmu seperti anak kandungnya sendiri. Tidak pernah ada kata atau sikapnya yang menyakitimu, Mel. Malang sekali dia tidak berumur panjang. Malangnya kalian yang tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu." nek Siti mengusap sayang puncak kepala cucunya yang menangis tersedu-sedu. Merasa menyesal akan apa yang ia lakukan pada adiknya yang tak bersalah.
"Saling menyayangi lah sama adikmu. Kalian itu saudara kandung meskipun beda ibu. Ayah dan ibu kalian telah tiada, nenek cuma punya kalian. Tolong kalian yang akur agar nenek tenang ketika akan menyusul orang tua kalian nantinya." Amelia mengangguk. Nek Siti merasa lega telah menceritakan kebenarannya kepada Amelia. Dia harus tahu bahwa yang kejam bukanlah ibu tirinya ataupun ayahnya, melainkan ibu kandungnya sendiri.
"Yasudah. Kalau begitu nenek mau masak dulu. Nanti kamu jangan lupa minta maaf sama adikmu!" ujar nek Siti yang diangguki oleh Amelia. Nek Siti kemudian meninggalkan Amelia dan bergegas untuk memasak makan siang.
Amelia yang bimbang hatinya mengendap-endap memasuki kamar adiknya dan menatap gadis malang itu yang sesenggukan dalam tidurnya. Ia menatap adiknya yang berkepala botak lekat-lekat. Melihat wajah sang adik yang tenang dalam tidurnya membuat Amelia kembali teringat akan perkataan bundanya.
"Si Aulia itu anak sial. Dia yang buat ayah kamu meninggal. Gara-gara dia lahir, ayah kamu jadi kecelakaan karena terburu-buru mau lihat anak sial itu ke rumah sakit."
"Ibunya juga mati karena pendarahan setah melahirkan dia kan. Emang dasar dia itu anak sial, sayang percaya deh sama bunda. Udah kamu ikut bunda aja, emangnya kamu mau merawat adik tiri kamu itu kalau nenekmu mati nanti?"
Amelia bergidik ngeri membayangkan jika sang nenek telah tiada dan dia hanya hidup berdua dengan adiknya. Rasa jijik menjalar dihatinya dan iapun menguatkan tekadnya.
"Kamu itu parasit. Sana susul ibumu si pe**cur itu ke neraka!" ujarnya seolah menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran yang ada.
Detik itu, tanpa rasa iba dan bersalah. Tangan halus Amelia meraih bantal di samping adiknya dan membekap wajah gadis malang itu dengan brutalnya. Kaki dan tangan mungilnya meronta-ronta mencari udara hingga semua berakhir baginya. Tangannya terkulai tak berdaya, tubuhnya membeku seketika tak lagi bergerak maupun bernafas.
Amelia menyeringai puas atas apa yang dilakukannya. Gadis itu merasa sangat bahagia hingga ia keluar dari kamar itu dengan bersenandung kecil. Ia menuju dapur dan memeluk neneknya dari belakang dengan erat.
"Aku udah minta maaf nek sama Uli." ujarnya dengan wajah sumringah. Sang nenek yang tengah menumis sayuran menghentikan kegiatannya dan mematikan kompor. Ia lalu membalik badan menatap cucunya yang mulai beranjak dewasa itu.
"Oh ya? Alhamdulillah. Nenek senang kalau kalian sudah baikan. Sepertinya mulai besok adik kamu harus pakai kerudung kalau ke sekolah. Kasihan pasti nanti dia diejek teman-temannya kalau kepalanya gak ditutupin." ucap nek Siti bahagia membayangkan cucunya yang pasti kelihatan jauh lebih cantik jika memakai kerudung.
"Tidak perlu nek. Dia gak perlu ke sekolah lagi. Amel udah beresin semuanya" ujar Amelia. Suaranya berubah dingin dan datar. Dia mengecup pipi neneknya lalu beranjak kembali ke kamarnya.
Mendengar apa yang barusan dikatakan Amelia membuat nek Siti cemas. Ia berlari kecil menghampiri Aulia yang terlelap dalam damai. Wajahnya begitu tenang dan damai. Nek Siti lalu mendekati cucunya dan duduk di samping gadis yang ia kira tengah terlelap itu.
Ada apa dengan Amelia, kenapa dia bisa begitu membenci adiknya. Sudah sering ia memukuli adiknya yang malang ini, namun kali ini anak itu benar-benar telah kelewat batas. Bocah malang ini menderita begitu banyak luka, entah setan apa yang merasuki Amlia hingga dia tega melakukan hal sekejam ini pada adiknya sendiri.
Nek Siti membelai kepala Aulia yang botak dengan sangat lembut, begitu tenang tidur gadis ini pikir nek Siti. Dia terus mengamati sang cucu dengan seksama bermaksud membangunkan gadis itu dari tidurnya untuk makan siang bersama.
Namun meski tubuhnya diguncang berkali-kali gadis kecil itu tak kunjung terbangun. Nek Siti mulai cemas, ia memeriksa denyut nadi sang cucu, namun tidak ada. Gadis kecil itu bahkan tak lagi menghembuskan nafasnya. Nek Siti melongo merasa bodoh karena telat baginya menyadari situasi yang terjadi.
Ada apa ini?
Kenapa Aulia tak lgi bernafas?
Nek Siti bertanya resah di dalam hati. Ia begitu kalut hingga tak tahu harus melakukan apa. Ia terus mengguncang tubuh kaku sang cucu yang malang dengan raungan dan deraian air mata. Seakan sesal tak cukup, nek Siti menangis histeris hingga ia rasakan dadanya yang sesak seakan tertusuk sembilu.
Ia memegangi sebelah dadanya yang sakit, perlahan tubuhnya ambruk di samping cucunya yang lebih dulu terbujur kaku. Tak ada lagi raungan terdengar di kamar itu. Yang ada hanya keheningan yang sepi.
Amelia keluar dari kamarnya. Menenteng tas ransel yang berisikan pakaian dan perlengkapan yang dibutuhkannya. Ia memasuki kamar yang hening itu dengan air mata yang mengalir. Sesenggukan ia mencium kening neneknya yang tak lagi bernyawa, "Aku pergi, nek." ia lalu membelai pipi sang nenek mengusap bekar air mata di pipi keriput itu.
"Bunda gak mungkin bohong sama Amel, nek. Setelah 17 tahun dan akhirnya bunda datang ngajak Amel tinggal bareng. Amel gak akan sia-siakan kesempatan ini." diam sejenak. Ia beralih menatap adiknya penuh kebencian.
"Selamat. tinggal, adikku sayang." ujar Amelia dengan tawa renyahnya. Ia meninggalkan rumah itu dengan perasaan bahagia dan puas. Tidak ada sedikitpun penyesalan dalam hatinya karena telah membunuh adik dan membuat neneknya meninggal akibat serangan jantungnya.
Yang ada dibenaknya saat ini hanyalah berlari ke pangkuan ibunya.
Ibu yang telah lama dirindukannya. Ibu yang bahkan tak pernah ia temui sebelumnya meski hanya dalam mimpi sekalipun.
Gadis itu begitu bersemangat hingga tanpa sadar ia telah berjalan begitu jauh dan melewati sebuah tikungan tajam.
Dari arah berlawanan sebuah truk kuning melaju dengan kecepatan tinggi tak terkendali melesat ke arah gadis itu. Amelia terpaku ketakutan tak dapat menghindar hingga dia rasakan tubuhnya melayang ke udara lalu terhempas kembali ke aspal yang terasa pas membakar kulitnya.
Kepalanya. berdentam-dentam dan seluruh tubuhnya serasa hancur. Perlahan pandangannya mulai gelap hingga matanya jadi begitu berat untuk terbuka.
Amelja terbatuk-terbatuk dan memuntahkan darah dari mulutnya. Ia menerawang ke langit yang menyilaukan matanya akibat matahari yang terik. "Secepat ini? Kalian mau ajak aku pergi bersama tepat beberapa saat setelah aku keluar rumah?" ujarnya lemah dengan suara tertahan-tahan yang hanya dapat didengar oleh telinganya sendiri.
"Ah sialan. Bunda benar, dia memang anak sial.. Dia bahkan membunuhku sekarang setelah kematiannya." kekeh Amelia sebelum ia akhirnya menutup mata dan kehilangan nyawanya.
~Tamat~
****
Halo readers. Maaf kalau ceritanya singkat ya. Terimakasih buat yang udah baca dan like cerita ini. 😍😍