Raisa, gadis berumur dua puluh tahun, memiliki postur tubuh yang tinggi untuk ukuran wanita jawa, Seratus enam puluh centi meter, wajah terukir sempurna, bibir tipis dengan gigi ginsul yang di milikinya. Seakan memberikan kesan tersendiri saat Raisa tersenyum.
"Cantik," guman seorang laki-laki yang mengamatinya dari jauh.
Ini bukan pertama kalinya bagi panji, mengamati Raisa yang sedang melakukan perkerjaanya. Pekerjaan yang mungkin beberapa wanita menolaknya. pekerjaan kasar yang akan merusak kulit lembut tangan seorang wanita atau membakar kulit mereka di bawah terik matahari.
Seperti siang ini Panji memilih makan siang di tempat yang cukup jauh dari kantornya. Duduk dengan tenang menatap area parkir di mana Raisa sering nampak mondar mandir dengan celana jeans yang terlihat lusuh serta kaos lengan panjang yang begitu longgar menempel di tubuhnya. Bermodalkan sepatu buntut yang setiap hari di pakainya bukan lagi berwarna, tetapi masih layak untuk di gunakan.
"Hey," sapa Guntur mengejutkan Panji.
"Argh ... kau menganggu pandanganku, minggir sana!" titah Panji sembari mendorong tubuh Guntur agar menepi.
"Ish ... kau menyukai tukang parkir itu atau kau sedang terobsesi dengan wajahnya? Cantik sih! Tapi sayang kita tak selevel," ejek Guntur begitu saja.
Panji tak menghiraukan ocehan Guntur, tatapan Panji masih fokus pada gadis yang tanpa lelah tersenyum untuk mengucapkan terima kasih saat menerima uang berwarna abu-abu sebesar dua ribuan.
Hingga beberapa saat Raisa telah menghilang dari area parkir. Panji tak menyadari jika hari itu menjadi hari terakhir kalinya Panji melihat Raisya.
Satu bulan telah berlalu, Panji masih saja datang ke rumah makan di mana Panji melihat Raisa, setiap hari yang menjadi Jukir terus berubah bukan. Hal ini pun tak luput dari pantauan Panji.
Rasa penasaran dan penantian Panji yang tak kunjung berujung, akhirnya Panji memberanikan diri untuk bertanya mendekati salah satu jukir laki-laki yang sering di lihatnya.
Di sinilah Panji saat ini, duduk sendiri melihat area parkir. Saat ponselnya berdering berulang kali.
"Ibu," guman Panji lirih.
Panji memilih mematikan ponselnya sepihak, "ini pasti tentang perjodohan itu lagi," guman Panji lirih.
Guntur yang melihat reaksi temannya hanya menggeleng. "Dosa kau jika membantah keinginan Ibu Panji," ujar Guntur tiba-tiba.
"Ash! Kau selalu saja ikut campur, jika kau mau nikahi saja gadis yang di pilihakan ibu untukku," ujar Panji pelan.
"Kau ... "Andaikan aku belum menikah pasti aku ambil juga wanita ini. pulanglah dan lihat siapa tahu kalian klik," ujar Guntur sembari tersenyum.
"Malas," guman Panji sembari menatap ke area parkir.
"Kenapa? Kau masih menunggu gadis jukir itu?" tanya Guntur seenaknya.
"Ingat Panji dia tak selevel, ingat perhatikan bibit, bebet dan bobot," ujar Guntur lagi.
"Pemikiran kolot, jika aku menyukainya memang ada masalah untukmu, aku yang akan menjalaninya, tapi sayang mereka semua menutupi keberadaan gadis itu," ujar Panji lirih.
Sesaat Guntur menatap jam tangannya, "Ayo, jam makan siang sudah habis, jangan sampai kita memberi contoh yang tak baik untuk karyawan kita," ujar Guntur sembari berdiri.
"Mas," panggil Panji pelan sebelum Guntur melangkah pergi.
"Andaikan suatu hari nanti aku menemukan gadis itu, kira-kira ibu setuju tidak?" tanya Panji pelan.
"Jangan cari masalah Panji," ujar Guntur sembari tersenyum.
"Sudah, bawa mimpi saja semua angan-anganmu itu Panji," tutur Guntur sembari berlalu pergi.
Satu bulan, dua bulan dan ini di bulan ke tiga. Panji belum juga bisa menemukan gadis idamannya.
Hingga di suatu sore hari ponsel Panji terus berdering, Panji yang sedari tadi mematikan ponselnya secara sepihak dan bahkan Panji dengan tega mengubah dering ponselnya menjadi getar.
Berkali-kali Panji menghembuskan napas dengan berat. "Argh ... akankah aku menyetujui, pilihan Ibu? Bagaimana jika aku tak menyukainya aku hanya tak ingin membuat gadis pilihan Ibu terluka begitupun sebaliknya," guman Panji pada dirinya sendiri.
Kini bukan hanya ponselnya yang terus bergetar, teriakan dan gedoran pintu kamarnya membuat Panji sedikit geram.
"Argh ... siapa lagi ini," umpat Panji geram dan tak urung membuka pintu kamarnya.
Panji seketika terkejut melihat Guntur dan isterinya menatap dengan amarah. "Pulang sore ini juga atau kami yang akan menyeretmu, telingaku sudah sangat panas mendengar omelan Ibu dan dapat di pastikan jika kau tak segera pulang ... tanggung sendiri akibatnya," ujar Guntur marah.
Panji yang kena damprat langsung terdiam. "Aku tunggu lima belas menit lagi dan jika kau masih enggan untuk pulang aku sendiri yang akan menyeretmu, mengikatmu bahkan kau akan ku karungi agar tak kabur," ujar Guntur marah dengan wajah merahnya.
Mendapat omelan dua kali dalam waktu lima belas menit membuat Panji segera bersiap dengan wajah menunduk Panji ke luar dari kamarnya.
"Ayo, kita berangkat," ajak Panji sembari berjalan mendahului.
"Akhirnya," itu yang keluar dari bibir Guntur pelan.
"Jangan senang dulu, meskipun Panji mau pulang belum tentu Panji menerima gadis ini," ujar Panji sembari menutup pintu garasi.
"Terserah! Kau yang akan menanggung akibatnya, asal kau mau pulang selesai urusanku," ujar Guntur tak mau di repotkan.
Panji hanya menggaruk kepalanya saja dan tak lama Panji melajukan mobilnya.
Perjalanan yang cukup lama, hampir tiga jam akhirnya mereka tiba di rumah masa kecil mereka, bangunan sederhana tetapi tertata rapi dan asri.
Memasuki halaman rumah, sudah pukul sembilan malam. Ibu yang sedari tadi duduk di ruang tengah menunggu dengan gusar. Senyum Ibu terbias sempurna saat melihat kami masuk. "Dasar anak bandel, apa Ibu harus mengancammu lebih dulu agar kau mau pulang Panji dan Kau Guntur dan isterimu ternyata sama saja. Guntur, Panji dan kau Mega, menginaplah hingga tiga hari ke depan dan sebagai jaminan dari keamanan dan kesungguhan kalian. Letakkan dompet, Ponsel dan kau Mega letakkan tasmu juga. Masalah di kota Ibu sudah meminta Pak Rahmat untuk mengurusnya dan jangan harap dalam tiga hari ke depan kalian dapat keluar dari kota ini. Oh, Ya. sudah Ibu siapkan semuanya untuk acara besok," ujar Ibu Maharani sembari menatap dua anak dan satu menantunya.
"Semua gara-gara kamu, Panji," gerutu Guntur tak terima.
Panji hanya diam menanggapi gerutuan Guntur dan memilih masuk dalam kamarnya, kamar yang sama seperti saat di tinggalkannya terakhir kali.
Lelah akan perjalanan yang di laluinya membuat Panji terlelap begitu saja, hingga pagi Panji baru membuka netranya perlahan. Panji langsung terkejut saat melihat Ibunya berdiri di depan ranjangnya.
"Ibu," panggil Panji.
"Bangun dan segera bersiap, Ibu tunggu hingga satu jam kedepan," tutur Ibu Maharani sembari melangkah keluar dari kamar Panji.
"Hash ... Ibu yang killer," guman Panji lirih.
Mengingat pesan Ibunya Panji bergegas bersiap, setelah mandi dan memakai baju yang sudah di siapkan Ibunya dari kemarin malam.
Panji keluar dengan wajah segarnya, Guntur sudah menunggu dengan wajah cemberutnya, sementara Mega isterinya dan kakak iparku tengah sibuk membantu sang Ibu mertua hingga semuanya beres Ibu baru melihat ke arah dimana aku duduk.
"Panji ingat, hari ini kita pergi melihat gadis yang Ibu pilihkan dan jika kau setuju besok kita akan adakan lamaran dan hari ketiganya kita akan terapkan tanggal pernikahan. Ingat untuk yang satu ini Ibu tak mau ada penolakan, camkan itu," tutur Ibu Maharani tak ingin di bantah.
Mendengar omelan Ibunya Panji hanya mendengus kesal sementara Guntur tersenyum puas. "Akhirnya kau marasakan juga apa yang aku rasakan, mampus kau dan semoga kau langsung klik dengan gadis yang di pilihkan oleh Ibu," oceh Guntur memanas-manasi.
"Masa bodoh," akhirnya kata ini yang keluar dari bibir Panji.
"Bu, kenapa kita berjalan kaki," protes Guntur saat melewati begitu saja mobil tang terparkir rapi di halaman rumah.
"Hash ... kokean protes, nurut wae," ucap Ibu marah.
Panji yang sedari tadi hanya diam, kini hanya mengekor saja langkah Ibunya yang berjalan dengan anggun melewati beberapa gang yang tak jauh dari rumah. Panji sedikit merengutkan keningnya, sementara Guntur terus tersenyum seakan puas akan menyaksikan wajah Panji yang pasrah atas pilihan Ibunya.
Memasuki rumah yang terbilang megah, nampak suasana ramai terlihat meskipun hanya beberapa orang yang duduk dengan tenang menunggu.
Melihat kedatangan Ibu, seketika mereka semua berdiri menyambut dengan hormat.
"Kak, apa kita punya tetangga baru?" tanya Panji heran.
"Sudah ikuti saja kemauan Ibu," jawab Guntur.
Setelah ramah tamah sederhana yang di lakukan akhirnya tiba juga acara yang membuat Panji sedikit malas.
Entah acara apa yang mereka lakukan Panji hanya mengikuti semuanya dengan enggan. Panji terbekalak terkejut saat melihat gadis yang keluar dari ruang tengah terakhir kali, seketika semangat Panji terpacu, wajah sumringah jelas terlihat sempurna.
"Ish ... jangan berharap banyak, mungkin dia yang akan menolakmu," ujar Guntur tiba-tiba.
Panji tak ingin melepaskan pandangannya sedikitpun, akhirnya selama tiga bulan Panji bisa melihat lagi wajah yang di rindukannya, wajah cantik dengan tampilan sederhananya.
Panji beringsut mendekat ke arah Ibunya dan berbisik lirih. "Bu, Panji mau dan suka," ucap Panji membuat Ibu Maharani tersenyum.
"Bagaimana Raisa, anak saya Panji menerima perjodohan ini," ujar Ibu Maharani pada Raisa.
Raisa hanya mengangguk dan setelahnya menunduk malu. "Alhamdulillah," hanya ini yang terdengar saat Rasia mengangguk setuju.
"Guntur, akhirnya tak sia-sia kita melakukan trik ini," bisik Ibu Maharani lirih.
Seperti tujuan awal, Ibu segera mempercepat semua hal mengenai perjodohan ini.
Hingga tak terasa sudah tiga bulan kami menikah, tetapi ada satu hal yang belum bisa Panji pahami, lantas untuk apa Raisa menyamar menjadi jukir jika rumah dan kehidupannya mapan.