Dar! Suara pintu kamar yang tertutup. Ibuku baru saja menutup pintu kamarku. Karena sudah jam sembilan malam, Ibuku mengharuskan Aku untuk tidur lebih awal karena besok hari senin dan mengharuskan Aku untuk bangun lebih pagi. Secarakan besok pagi ada upacara di sekolah.
Kebetulan setelah perutku kenyang makan bakso telur satu bungkus barusan membuatku mengantuk seketika dan Aku mulai memejamkan mataku mencoba untuk tertidur.
Dalam sekejap Aku tertidur, dalam sekejap Aku terbangun di pagi hari. Padahal rasanya baru beberapa detik yang lalu Aku memejamkan mataku, kenapa matahari sudah bersinar terang saja.
Aku melirik jam dinding di kamarku “Oh my God sudah jam sembilan pagi pantas saja pancaran sinar matahari dari jendela itu terasa panas!” Langsung saja Aku terperanjat dari kasurku dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aku tak sempat lagi untuk mandi sempurna. Dengan mengambil sikat gigi dan odol, Aku mulai menggosok gigiku dengan cepat kemudian dilanjutkan dengan mencuci muka. Setelahnya Aku keluar kamar mandi dan mengenakan seragam.
Aku berlalu turun dari tangga, kamarku berada di lantai atas. Aku akan sarapan terlebih dahulu, niatku sih tidak sarapan di meja makan melainkan mengambil sepotong roti lalu berlari untuk berangkat ke sekolah.
Sesampainya di dapur Aku melihat Ibuku telah duduk bersama Ayah di meja. Mereka berdua bahkan terlihat bersamaan menggigit roti panggang buatan Ibuku.
“Ayah? Bukankah Ayah kemarin—“ ucapanku terhenti kala Ayahku memelukku dengan erat. Pelukan itu terasa sangat hangat. Sudah dua tahun lamanya Aku tidak merasakan pelukan seorang Ayah, lebin tepatnya pelukan dari Ayahku sendiri.
“Bella ayo sini makan bareng sama Ayah.” Panggil Ibuku. Ayahku langsung mengangkat kursi keluar dari meja seraya berkata duduklah di sini.
Dengan wajah yang sedikit heran, terpaksa Aku duduk di samping Ibuku. Karena Ayahku sepertinya menginginkannya seperti itu. Pahadal, Aku sangat ingin duduk berdampingan dengan Ayahku.
“Tempatmu di kursi itu Bella.” Kata Ayahku. Tiba-tiba Aku merasa kembali heran. Bagaimana Ayahku membaca apa yang ku pikirkan.
“Bisa, Ayah bisa dengar semuanya.” Sahut Ayahku lagi. Aku bedecak kagum, Mataku bahkan hampir meneteskan air mata bahagia. Namun, air mata itu ku tahan karena inilah hari bahagia selama hidupku.
Kehidupan kami pas-pasan sepeninggal Ayahku dua tahun lalu. Bisa makan sepotong roti tiap pagi saja sudah lumayan. Bisa makan dua kali sehari saja sudah luar biasa. Aku dan Ibuku di terpa kemiskinan saat Ayahku terbaring kaku di rumah sakit. Dan syukurnya pagi ini Ayahku terlihat sehat yah walaupun wajahnya masih saja pucat pasih seperti seorang mayat.
“Ibu, sejak kapan Ayah bisa mendengar dan berbicara?” Tanyaku pelan kepada Ibuku.
“Semenjak kau bangun pagi ini Bella.” Sahut Ibuku datar. Entah mengapa Ibuku terlihat tidak bersemangat seperti diriku. Padahal Suami yang ia cintai berada di depannya.
Aku tidak menghiraukan keduanya. Bibirku mengences saat melihat makanan yang ada di atas meja. Ada roti tawar dengan beberapa tumpukan, keju, selai strawberry, buah-buahan, susu, dan jus orange. Aku rasa Ayahku sedang menang lotre kemarin hingga ia membelikanku banyak makanan.
Tanpa menunggu lagi Aku memakan makanan itu satu persatu, pipiku pun menggembul sekarang, bahkan tak sempat ku kunyah sempurna sudah ku telan. Sesekali Aku meneguk susu dan jus orange itu bergantian.
“Bella, makannya pelan-pelan nak.” Pesan Ayahku. Aku tak dapat menjawabnya dengan mulut yang penuh makanan. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan memakan makanan itu.
Ini momen makan yang sangat membahagiakan. Setelah dua tahun berlalu tanpa Ayah. Setelah dari kecil Ayah yang tak pernah berbicara padaku atau sekalipun mendengarkanku, karena memang Ayahku adalah Pria yang bisu sekaligus tuli. Untung saja Ibuku tidak demikian, tetapi Ibuku tidak dapat melihat diriku sampai saat ini karena Dia itu buta.
Namun pagi ini semua terasa sempurna. Kemiskinan yang tak lagi melanda, Ibuku yang dapat melihat kecantikanku dan Ayahku yang mendengar kalimat dan menjawab percakapanku.
Dar! Tiba-tiba pintu rumah kami dibuka oleh seseorang. Saat pintu itu terbuka, sebuah sinar terang masuk ke dalam rumah. Sungguh terang sinar itu sampai menyilaukan mataku dan seluruh ruangan di dalam rumah dipenuhi dengan cahaya hingga mataku tak dapat melihat lagi.
Seketika dadaku sesak, nafasku tertahan, Aku tak dapat menahannya lagi. “Tuhan tolong Aku, ada apa dengan dadaku?” Pintaku kepada Tuhan.
Kemudian Aku terbangun, terduduk di atas kasur. Aku menoleh ke jendela kamarku, ada bulan purnama yang bersinar terang.
“Ternyata ini hanya mimpi.” Gumamku. Aku berdiri dan bercermin, kulihat badanku yang tinggal tulang dan kulit, mataku yang keluar melotot karena tiada otot wajah yang dapat menopangnya. Aku sudah tak makan selama satu minggu. Sedangkan Ibuku sudah terbujur kaku disampingku tak bernafas lagi
Aku berjalan menuju balkon pada jendela kamarku. Menatap rembulan dengan nafas yang terengah, energiku sudah lama terkuras atau bahkan telah habis.
Aku memanjat pada pagar balkon kamarku. Aku berdiri sempoyongan dan ku putuskan untuk terjun. Aku ingin menyusul kedua orang tuaku.
“Ayah, Ibu, Aku datang! Terima kasih atas kiriman pelangi dari mimpi terakhirku yang bahagia.” Ucapku dalam hati kala rambutku melambai diterpa angin di dalam kejatuhanku sebelum semuanya terasa gelap untuk selamanya.