Asti mematut dirinya di depan cermin. Celana bahan berwarna biru tua, blouse lengan pendek warna putih sudah terpasang rapih di tubuhnya. Rambutnya dibiarkan yang sebahu dibiarkan tergerai begitu saja. Setelah memasukkan ponsel, peralatan kosmetik, dompet dan beberapa alat tulis ke dalam tas kerjanya, dia segera menuju ke bagian sudut kamar. Tangannya meraih high heels setinggi lima aenti untuk melengkapi penampilannya. Setelah dirasa taka da yang kurang dengan penampilannya, wanita berusia 26 tahun iu segera keluar dari kamarnya.
Suara ketukan high heels terdengar saat wanita itu menuruni anak tangga. Asti segera menuju dapur. Dia perlu mengisi perutnya sebelum berangkat ke kantornya. Di dapur terlihat sang mama tengah menyiapkan sesuatu. Melihat kedatangan anaknya, wanita paruh baya itu segera menuju meja makan dengan kotak bekal di tangannya.
“As.. ini mama buatin makanan buat kamu sama teman-temanmu. Dibawa ke kantor, ya.”
Asti melihat isi kotak bekal bersusun tiga tersebut. Lapisan pertama terdapat sandwich, lapisan kedua kroket kentang dan lapisan terakhir diisi irisan brownies kukus. Mama Asti menutup kotak bekal kemudian menyusunnya kembali. Dimasukkan kotak bekal tersebut ke dalam tote bag.
“Papa mana ma?” tanya Asti seraya menyuapkan lontong kari ke dalam mulutnya.
“Ada di depan. Biasa, lagi ngurusin burungnya.”
Asti menghabiskan lontong karinya yang memang hanya dibuat setengah porsi saja. Setelah itu, wanita tersebut segera menuju teras untuk menemui sang ayah. Nampak pria pensiunan BUMN tersebut tengah memberi makan burung perkutut kesayangannya.
“Pa..”
“Hmm..”
“Aku pinjam mobil papa ya hari ini.”
“Boleh. Tapi jangan lupa isi bensin dulu.”
“Siap pa. Makasih.”
Asti mencium pipi sang papa sebelum kembali masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara terjatuh disusul ringisan. Sontak dia melayangkan pandangan ke arah depan rumahnya. Nampak, Rio, tetangga sebelah rumahnya terjatuh dari sepeda. Pemuda berusia 17 tahun tersebut mengangkat sepedanya kemudian kembali mengendarainya untuk berangkat ke sekolah.
Melihat tak terjadi sesuatu pada Rio, Asti melanjutkan langkahnya masuk ke rumah. Tak lama kemudian dia keluar dengan tas tersampir di bahu serta tote bag di tangan kirinya. Setelah memasukkan barang-barang ke dalam mobil, wanita itu segera masuk ke dalam mobil dan mengendarainya dengan kecepatan sedang.
*
*
*
Pukul setengah Sembilan, Asti tiba di gedung perkantoran tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang farmasi dan produksi alat-alat kesehatan. Di lobi, beberapa karyawan nampak sudah berkumpul di depan lift, menunggu giliran untuk memasuki kotak persegi itu yang akan membawa mereka menuju lantai tempat mereka bekerja.
Kepala wanita itu menoleh ketika mendengar seseorang memanggil nama salah satu rekan kerjanya yang sudah setahun ini tak lagi bekerja karena penyakit dideritanya. Matanya menatap tak percaya pada Linda. Rekan kerjanya itu kini tampak sehat, jauh berbeda dengan keadaannya setahun lalu setelah divonis mengidap kanker otak stadium tiga. Dengan bergegas, dia menghampiri Linda.
“Linda.. ini kamu?” tanya Asti seraya memegang tangan Linda.
“Iya, As. Gimana kabarmu?”
“Baik. Kamu sendiri sehat?”
“Begitulah. Setelah divonis mengidap kanker otak, aku sudah tak punya semangat hidup. Tapi enam bulan yang lalu pak Petra datang dan menawarkan aku untuk mengikuti pengobatan.”
“Pak Petra anaknya pak Sam?” Sam adalah direktur utama sekaligus pemegang saham terbesar perusahaan tempat Asti bekerja.
“Iya. Mereka sedang membuat obat anti kanker dan butuh relawan untuk diuji coba. Aku mengambil kesempatan itu dan ternyata berhasil. Sel kanker di otakku sudah musnah.”
“Oh ya?” Asti masih belum percaya mendengarnya. Kanker masih menjadi momok menakutkan dan sampai sekarang masih belum ada obat yang mujarab untuk bisa menyembuhkan penyakit tersebut secara total. Bukan hanya Asti, tapi beberapa rekan kerjanya yang lain yang ikut mendengarkan percakapan juga terkejut.
“Dan aku juga diberi kesempatan lagi bekerja di perusahaan ini.”
“Selamat ya, Lin. Aku turut senang.”
Perbincangan mereka terputus ketika mendengar suara dentingan. Kotak persegi yang ditunggu akhirnya tiba juga di lantai dasar. Setelah menunggu pengguna sebelumnya keluar, barulah mereka semua masuk ke dalam lift.
Elevator berhenti hampir di setiap lantai, satu per satu penghuni lift keluar dari sana. Linda masih bertahan di lift sampai akhirnya berhenti di lantai 8. Kini hanya tinggal Asti dan Wina yang berada di kotak besi tersebut. Keduanya keluar setelah lift mencapai lantai 12, tempat di mana divisi mereka berada.
Sebelum menuju kubikelnya, terlebih dulu dia menuju pantry dan menaruh kotak bekal di nakas yang ada di sana. Tak lupa dia menempel label dengan namanya, agar tidak ada yang mengambilnya. Setelahnya dia segera menuju kubikelnya. Sebelum sempat mencapai tempatnya bekerja, dia berpapasan dengan Rizky, rekan sekerja sekaligus pria yang disukainya diam-diam.
“Pasti kamu bawa makanan ya?” tebak Rizky.
“Iya, nanti jam istirahat kita makan bareng.”
“Asik.”
“Guys.. siap-siap ya. Setengah jam lagi kita meeting bareng tim pemasaran di lantai 10.”
Sinta menginterupsi pembicaraan Asti dan Rizky, membuat keduanya langsung menuju kubikel untuk menyiapkan bahan untuk meeting nanti. Selain mereka bertiga, ada Wina, Tari dan Damar yang juga mengikuti meeting tersebut.
*
*
*
Waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Linda yang tengah berkutat dengan pekerjaan, tiba-tiba merasakan sakit kepala yang begitu hebat. Wanita itu menghentikan pekerjaannya sejenak. Tangannya meraih tas miliknya kemudian mengambil obat dari dalamnya. Dengan langkah tertatih dia segera menuju ke pantry. Linda mendudukkan diri di kursi kemudian meminum obatnya.
Sepuluh menit berlalu, rasa sakit di kepalanya tak kunjung hilang, bahkan semakin menjadi. Bukan hanya kepalanya, tapi kini perutnya pun terasa mual, dadanya mulai sesak. Dia terkejut saat merasakan cairan hangat berwarna merah keluar dari hidungnya. Tak lama, darah juga keluar dari telinga dan matanya.
“A.. ada apa denganku.”
Tangan Linda terus mengusap cairan merah yang keluar dari hidung, mata dan telinganya. Lalu dia merasakan sesuatu mendesak yang hendak keluar dari mulutnya. Wanita itu semakin panik saat baru saja memuntahkan darah dari mulutnya. Tak berapa lama tubuhnya mengejang lalu ambruk ke lantai.
Sari keluar dari kubikelnya kemudian berjalan menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Dia terpekik ketika melihat tubuh Linda ambruk di lantai dengan posisi menelungkup. Mendengar teriakan kencang Sari, beberapa rekan kerjanya langsung menghampiri. Mereka segera mendekati Linda dan membalikkan tubuhnya. Semuanya terkejut melihat wajah Linda berlumuran darah.
“Kenapa sama Linda?”
“Ngga tau.”
“Cepat hubungi ambulans.”
“kasih tahu pak Wira juga.”
Kepanikan langsung tercipta begitu melihat kondisi Linda. Saat dua orang rekan kerjanya berusaha memindahkan tubuh wanita itu ke sofa, tiba-tiba saja mata Linda terbuka, mengejutkan kedua pria tersebut.
“Lin.. kamu ngga apa-apa?”
Tak ada reaksi dari Linda, hanya matanya saja yang telah berubah menjadi merah menatap nanar ke arah mereka. Kepala Linda mulai bergerak perlahan dan seperti terpatah-patah gerakannya. Tiba-tiba saja wanita itu membuka mulutnya dan menggigit leher salah satu rekannya.
“Aaaaarrgghhh!!”
Linda tak melepaskan rekan kerjanya itu dan terus menggigitnya, hingga tubuh pria itu tak bergerak lagi. Melihat tersebut, rekan kerjanya yang lain tentu saja terkejut. Namun belum sempat dia melarikan diri, Linda sudah menyerangnya. Setelah membuat kedua pria itu kehilangan nyawa, Linda keluar dari pantry. Dua menit berselang, dua orang yang telah diserang Linda kembali hidup. Penampakan keduanya sama dengan keadaan Linda saat ini. Mereka juga segera keluar dari pantry.
Kepanikan seketika terjadi di lantai delapan tersebut. Semua yang berada di sana berlarian tak tentu arah, menghindari serangan Linda dan dua orang lainnya. Semakin banyak korban berjatuhan, maka semakin banyak sosok seperti Linda. Jumlah penyerang semakin banyak. Yang tersisa berusaha menyelamatkan diri. Ada yang masuk ke dalam lift, menuju tangga darurat atau bersembunyi di dalam ruangan tertutup.
*
*
*
Sapto bergegas menuju ruangan Sam, tempat di mana sang direktur utama berada. Tanpa mengetuk pintu, pria berusia 50 tahun tersebut segera memasuki ruangan. Hal tersebut tentu saja mengejutkan Sam dan Petra yang tengah berdiskusi. Mereka semakin heran melihat wajah pucat Sapto.
“P.. pak.. ga.. gawat..”
“Ada apa?” tanya Sam bingung.
“Ada kekacauan di lantai 8.”
“Apa yang terjadi?”
Tak tahu harus menerangkan dengan kata-kata, Sapto memilih memperlihatkan rekaman cctv yang baru saja diterimanya dari tim keamanan. Mata Sam dan Petra membulat melihatnya.
“Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Awalnya dari Linda. Dia ditemukan terkapar di pantry. Saat akan ditolong, tiba-tiba dia terbangun dan menggigit rekan kerjanya sampai mati. Setiap yang terkena gigitan hidup kembali dan mulai menyerang yang lainnya.”
“Maksud kamu jadi zombie?” tanya Petra.
“Iya, pak.”
“Bagaimana bisa?”
“Sepertinya ini efek dari obat yang diberikan pada Linda. Bapak mungkin masih ingat peringatan yang diberikan professor Ridwan saat kita akan melakukan uji klinis. Obat yang diberikan memang bisa membunuh sel kanker tapi berpotensi mematikan jaringan lain dalam tubuh, bahkan memicu munculnya jaringan baru. Dan sepertinya ini benar-benar terjadi.”
“Bagaimana situasi di sana?”
“Lantai 8, 9 sudah tidak terkendali. Kini mereka mulai menuju lantai 7, 6 dan 5. Kita harus segera melakukan tindakan. Bapak juga harus segera keluar dari sini, bisa saja sebentar lagi mereka tiba. Saya sudah meminta helikopter, kita harus segera ke rooftop.”
Petra mengambil ponselnya, kemudian segera menghubungi professor Ridwan, salah seorang peneliti yang mengembangkan obat kanker di perusahaannya. Sam mengambil beberapa dokumen penting dari dalam brankas sebelum meninggalkan ruangannya. Bersamaan dengan itu, Petra telah selesai dengan panggilannya.
“Bagaimana?” tanya Sam pada sang anak.
“Professor Ridwan masih membuat obat penawarnya. Untuk sementara, menghindari kontak dengan para zombie itu adalah langkah terbaik. Jangan sampai terkena gigitannya. Secara sistem kinerja otak, hanya telinga dan gerak motorik saja yang berfungsi, mereka hanya peka terhadap suara,” terang Petra.
“Minta tim keamanan untuk segera mengosongkan lantai dasar. Tutup semua akses keluar dari gedung ini,” ujar Sam.
“Pa.. bagaimana dengan para pegawai yang belum terkontaminasi. Mereka tidak akan bisa keluar dari sini dengan selamat.”
“Kita harus mencegah kemungkinan terburuk. Kalau sampai makhluk tersebut keluar dari gedung, maka seluruh kota akan hancur seketika. Sapto, segera hubungi tim keamanan.”
Sapto melihat sebentar pada Petra, sebelum akhirnya melakukan perintah sang atasan. Petra menuju meja kerja sang ayah kemudian mengangkat telepon ekstensi. Dia menghubungi pusat kontrol perusahaan.
“Halo.. apa bisa kamu menghubungkan panggilan ini ke seluruh gedung?” ujar Petra.
“Sebentar, pak.”
Setelah menunggu beberapa detik, sang petugas operator mempersilahkan Petra untuk berbicara. Pria itu mengambil nafas panjang sejenak sebelum memberikan pengumuman pada semua pegawainya.
“Selamat siang semuanya. Saat ini kantor kita tengah berada dalam kekacauan. Kami telah melakukan kesalahan dalam penelitian. Maaf…”
Ucapan Petra terjeda sejenak. Pria itu kembali mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak-banyaknya. Ada rasa sesak untuk melanjutkan kalimat berikutnya.
“Maaf kalau kelalaian kami telah menimbulkan kekacauan dan memakan korban jiwa. Kami telah mengubah Linda menjadi mayat hidup atau yang mungkin kalian kenal dengan istilah zombie. Sudah banyak rekan kita yang menjadi korbannya. Saya harap kalian bisa menyelamatkan diri, bawalah barang-barang yang bisa melindungi diri kalian, atau bersembunyi di tempat tertutup. Mereka tidak bisa melihat kalian tapi peka terhadap suara. Jadi usahakan untuk tidak menimbulkan suara jika berada di dekat mereka. Selamat berjuang rekan-rekan sekalian. Sekali lagi maaf…”
Petra mengakhiri pengumumannya dan segera menyusul ayah dan juga asisten ayahnya keluar dari ruangan. Mereka segera menuju rooftop, di sana helikopter sudah menunggu. Sapto keluar paling belakang. Ditutupnya pintu yang menuju ke rooftop.
“Aktifkan kunci keamanan rooftop,” ujar Sam.
“Pa..”
“Kita harus meminimalisir resiko.”
Sapto tak punya pilihan selain mengikuti perintah sang atasan. Dia memasukkan enam digit nomor sandi pada panel yang ada di dekat pintu. Kode pintu rooftop hanya bisa diakses melalui laptop yang ada di ruangan Sam. Setelah itu, Sapto bergegas menaiki helikopter. Matanya terus menatap gedung yang telah menjadi tempat bekerjanya selama dua puluh tahun.
*
*
*
Semua karyawan terkejut mendengar pengumuman yang disampaikan Petra. Seketika kepanikan terjadi. Asti dan beberapa rekannya yang baru saja selesai meeting juga terkejut saat mendengarnya.
“Itu maksud pak Petra apa ya?” tanya Wina.
“Kok jadi parno, ya. Maksudnya penelitian yang salah bagaimana sih?” sambung Tari.
Baru saja Tari menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar teriakan. Di saat bersamaan, orang-orang yang telah berubah menjadi zombie menerobos masuk ke lantai 10. Asti terpaku melihat mayat hidup tersebut menyerang semua yang ada di sana. Dan dalam hitungan waktu yang tak berapa lama, orang yang telah diserang berubah menjadi zombie, persis seperi di film zombie yang pernah ditontonnya. Lamunannya buyar, ketika Rizky menarik tangannya untuk segera menyelamatkan diri.
Rizky dan yang lainnya segera berlari menghindari serangan para zombie. Karena panik, Asti tak fokus dan terjatuh saat berlari. High heels yang dikenakannya patah, sedang zombie di belakangnya semakin mendekat.
“Lepas sepatumu!!” teriak Rizky.
Dengan cepat Asti melepaskan sepatunya. Saat akan bangun, salah satu zombie menyerangnya. Tangan Asti berusaha menahan tubuh zombie tersebut yang tengah berusaha menggigitnya. Rizky segera berlari mendekat. Diambilnya sebuah kursi kemudian dihantamkan ke zombie tersebut. Kemudian dia segera menarik Asti dan berlari menjauh. Dia membuka sebuah ruangan dan masuk ke dalam diikuti Asti, Tari, Wina, Damar dan Sinta.
“I.. itu beneran zombie?” tanya Sinta dengan nafas tersengal.
“Kita ngga lagi diprank kan?” sambung Tari yang masih belum percaya.
“Kamu dengar pengumuman pak Petra dan lihat sendiri bagaimana orang-orang berubah setelah terkena gigitan zombie,” terang Damar.
“Terus sekarang bagaimana?” tanya Wina, yang sedari tadi hanya diam.
“Kita harus keluar dari sini,” ujar Rizky.
“Bagaimana caranya? Lihat di luar sana semua sudah berubah jadi zombie.”
“Ingat kata pak Petra tadi. Mereka hanya bisa mendengar, tidak bisa melihat. Kita bisa mengalihkan perhatian mereka dengan membuat suara di tempat lain.”
“Kita juga perlu senjata untuk melawan, seperti di film-film,” sahut Damar.
Semua terdiam sejenak, kemudian mereka bergerak mencari barang-barang yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Asti melihat sebuah pensil di atas meja. Dengan cepat dia menyambarnya.
“Rencana kita bagaimana?”
“Kita harus ke rooftop. Kita buat tanda SOS di sana. Siapa tahu ada yang menjemput kita,” usul Rizky.
“Sekarang tinggal pikirin gimana caranya sampai ke rooftop,” ujar Asti.
Rizky berjalan menuju jendela, mencoba melihat situasi di luar. Samar-samar masih terdengar teriakan dari luar, dan zombie masih berkeliaran di dekat ruangan mereka. Risky menoleh pada teman-temannya lalu menggelengkan kepalanya.
“Kita tunggu sampai situasi sedikit aman.”
Semua kembali terdiam di tempatnya masing-masing. Pikiran mereka berkelana entah kemana. Wina yang sedari tadi diam mulai menangis, ketakutan semakin menguasai dirinya. Apalagi teriakan terus terdengar di luar sana. Semua terkejut ketika para zombie tersebut mendekati jendela. Wina sampai berteriak histeris.
Dengan cepat Rizky menutup jendela dengan gorden. Damar membungkan mulut Wina dengan tangannya. Tari, Sinta dan Asti mendekatkan diri, berusaha menguatkan satu sama lain.
“Wina.. diamlah. Kalau kamu berteriak, para zombie akan terus berada di depan ruangan dan kita tidak akan bisa keluar.”
Wina menganggukkan kepalanya dengan cepat. Perlahan Damar melepaskan tangannya dari mulut Wina. Wanita itu jatuh terduduk di lantai. Dia membekap mulutnya sendiri, menahan suara tangisnya sendiri.
Satu jam berlalu, suara teriakan dan jeritan sudah tak terdengar lagi di luar ruangan. Rizky pelan-pelan menyibak gorden, matanya mengintip dari sela-sela. Sudah tak ada lagi zombie di depan jendela. Dia lalu memberi aba-aba pada Damar untuk membuka pintu. Sedikit demi sedikit, Damar membuka pintu. Terlihat kumpulan zombie di beberapa titik. Damar kembali menutup pintu.
“Kayanya kita bisa keluar dari sini, tapi pelan-pelan. Jangan sampai berisik,” ujar Damar.
“Oke. Aku duluan, kamu jaga paling belakang,” usul Rizky. Damar mengangkat ibu jarinya.
Pelan-pelan Rizky membuka pintu, lalu keluar dari ruangan. Di tangannya terdapat cutter yang tadi ditemukan di ruangan. Dengan mengendap-endap, keenam orang tersebut keluar dari ruangan. Mereka menuju lift yang terletak di dekat tangga darurat.
KRAK
Tanpa sengaja kaki Sinta menginjak pecahan kaca. Semua langsung terdiam di tempatnya. Para zombie yang peka akan suara mulai mengalihkan perhatiannya. Seketika semua segera menuju sumber suara.
“LARI!!” perintah Rizky.
Semua langsung berlari menuju lift. Damar menyambar kursi yang tergeletak di dekatnya. Dia menghajar zombie yang mendekat padanya. Sinta mengambil apapun yang ada di dekatnya untuk memperlambat gerakan para zombie yang mengejar. Rizky yang lebih dulu sampai di depan lift, segera memijit tombol.
Wina yang ketakutan hanya bisa merapatkan punggungnya ke tembok, melihat teman-temannya yang tengah berjibaku melawan kumpulan zombie. Asti mendorong mayat hidup yang berusaha menangkapnya. Kemudian ditendangnya hingga jatuh tersungkur. Mereka terus bertahan sambil menunggu pintu lift terbuka.
TING
Pintu lift terbuka, namun ternyata di dalam sana justru keluar beberapa rekan kerja mereka yang telah berubah menjadi zombie. Asti yang terkejut tidak siap ketika salah satu zombie menerjangnya. Dia terjatuh dan zombie tepat berada di atas tubuhnya. Tangan kiri Asti sekuat mungkin menahan kepala zombie mendekati area lehernya. Kemudian dengan cepat tangan kanannya menancapkan pensil yang sedari tadi dibawanya ke leher makhluk tersebut. Dengan sekuat tenaga didorongnya zombie tersebut.
Rizky mengulurkan tangan pada Asti kemudian mengajaknya menuju tangga darurat. Semua segera mengikuti langkah Rizky. Karena terlambat menutup pintu darurat, semua zombie mengejar ikut masuk ke dalam tangga darurat. Sekuat tenaga mereka terus berlari menaiki anak tangga.
Langkah Rizky dan Asti terhenti ketika ada empat zombie berada di antara lantai 12 dan 14. Damar dan Rizky berinisiatif menyerang lebih dulu. Dua zombie berhasil mereka jatuhkan ke bawah. Rizky memberi aba-aba pada para wanita untuk jalan lebih dulu, sedang dirinya masih menahan zombie tersebut.
Wina yang berada paling belakang terpeleset hingga terguling di beberapa anak tangga. Naas di sana telah ada zombie yang menunggu. Tak ayal tubuh Wina langsung menjadi mangsa mereka.
“Aaaaaaa….”
“Wina!!!” teriak Asti.
“Jalan terus, As!!” teriak Rizky.
Mendengar teriakan Rizky, Asti, Sinta dan Tari melanjutkan langkahnya. Sesampainya di depan pintu lantai 14, mereka berhenti sejenak. Perlahan Asti menarik daun pintu, ketika melihat kondisi aman, mereka segera masuk. Tak lama Damar dan Rizky menyusul. Kedua pria itu mendahului para wanita, berlari menuju tangga rooftop.
“Sial.. pintu dikunci!” rutuk Damar.
Rizky mendekati panel yang ada di dekat pintu. Dia mencoba memasukkan beberapa digit nomor, namun gagal.
“Gimana nih?” tanya Tari panik.
“Kode pintu bisa dibuka dari laptop yang ada di ruangan pak Sam,” celetuk Damar.
“Ayo kita ke sana.”
Kelima orang tersebut kembali menuruni anak tangga. Suasana di lantai empat belas ini cukup lengang. Mereka bisa sedikit santai menyusuri koridor. Namun ternyata tepat di dekat ruangan Sam, ada empat zombie berkumpul di sana. Semuanya langsung menghentikan langkahnya.
“Gimana nih?” tanya Damar seraya berbisik.
“Mau ngga mau, harus maju,” ujar Rizky. Pria itu menoleh pada teman-temannya. Semua mengangguk setuju. Dengan langkah serempak, kelima segera berlari menuju ruangan Sam.
Damar dan Rizky masing-masing menghadapi satu zombie. Sedang sisanya melawan dua zombie bersama-sama. Damar yang telah berhasil menyingkirkan zombie, segera membantu para wanita. Dia menarik salah satu mayat hidup itu yang berusaha menggigit Tari. Naas, punggung tangannya terkena sedikit gigitan.
Setelah berhasil melumpuhkan para zombie, Damar bergegas masuk ke dalam ruangan diikuti yang lainnya. Pria itu segera menyalakan laptop. Setelah berhasil memasukkan kata sandi, dia langsung mengakses kode pintu rooftop. Keempat temannya berdiri di belakangnya.
“Beres.. ayo.”
Senyum kelegaan terlihat di wajah mereka. Damar berdiri dari duduknya, namun dia merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Pria itu terdiam di tempatnya dengan tangan bertumpu di atas meja. Tari yang melihat Damar masih bergeming di tempatnya, langsung mendekati.
“Dam.. ayo.”
Tari mengguncang pundak Damar. Wanita itu terkejut ketika Damar menolehkan kepala padanya. Dengan gerakan cepat Damar menerkam temannya itu.
“Aaaaa…”
Teriakan Tari menghentikan Rizky yang hendak membuka pintu. Mereka terkejut ketika melihat Damar telah berubah menjadi zombie dan kini berlari ke arah mereka. Rizky segera menahan Damar yang hendak menyerang Asti.
Belum hilang keterkejutan mereka akan perubahan Damar, mereka dikejutkan dengan kedatangan Tari yang juga sudah berubah. Karena tak siap menerima serangan Tari, Sinta hanya bisa pasrah ketika temannya itu menggigitnya.
Keadaan Rizky dan Asti semakin terdesak diserang oleh Damar, Tari dan Sinta sekaligus. Sebisa mungkin Rizky melawan mereka semua demi melindungi Asti. Namun pria itu pun tak kuasa melawan ketiga zombie tersebut seorang diri. Damar dan Tari berhasil menggigit pria itu.
“RIZKY!!!” teriak Asti. Di saat yang bersamaan Sinta menyerang Asti.
“Aaaaaa…”
*
*
*
“WAKTUNYA BANGUN TIDUR!!!”
Terdengar alarm di ponsel Asti yang suaranya mirip Doraemon ketika mengeluarkan alat dari kantong ajaibnya. Asti serta merta membuka matanya mendengar suara alarm. Matanya langsung melihat sekeliling seraya bangun dari posisinya berbaring.
Wanita itu menyeka peluh yang membasahi keningnya. Ternyata kejadian menyeramkan tadi hanyalah mimpi. Setelah menenangkan diri sejenak, wanita itu beranjak dari ranjang kemudian segera menuju kamar mandi. Waktu telah menunjukkan pukul enam. Dia harus segera bersiap.
Asti mematut diri di depan cermin setelah siap dengan setelan kerjanya. Pikirannya masih tertuju pada mimpi yang dialami. Tubuhnya bergidik ketika membayangkan adegan menyeramkan tadi. Dengan cepat dia menyambar tas kerjanya kemudian memakai sepatunya.
Suara ketukan high heels terdengar saat wanita itu menuruni anak tangga. Asti segera menuju dapur. Dia perlu mengisi perutnya sebelum berangkat ke kantornya. Di dapur terlihat sang mama tengah menyiapkan sesuatu. Melihat kedatangan anaknya, wanita paruh baya itu segera menuju meja makan dengan kotak bekal di tangannya.
“As.. ini mama buatin makanan buat kamu sama teman-temanmu. Dibawa ke kantor, ya.”
Tubuh Asti membeku begitu mendengar ucapan sang mama. Semua yang terjadi seperti dejavu baginya. Wanita itu memundurkan langkahnya saat melihat isi kotak bekal di atas meja. Kemudian dengan cepat dia kembali ke kamar.
“Asti! Kamu kenapa?”
Tanpa menghiraukan teriakan mamanya, Asti terus berlari menuju kamarnya. Sesampainya di sana, wanita itu nampak berjalan mondar-mandir kemudian mendudukkan diri di sisi ranjang.
"Ngga.. itu cuma kebetulan. Ngga ada hubungannya dengan mimpi semalam," Asti bermonolog.
Asti terus meyakinkan hatinya. Kemudian dia berjalan menuju balkon kamar. Dari atas dia bisa melihat sang ayah tengah memberikan makan burung perkututnya. Kemudian dia melihat Rio, tetangganya, mengeluarkan sepeda dari rumahnya. Pemuda itu mengayuh sepedanya dan ketika melintasi depan rumahnya dia terjatuh.
Dada Asti berdebar kencang menyaksikan peristiwa tersebut. Semua terjadi sesuai apa yang dialami dalam mimpinya tadi. Bergegas dia masuk ke dalam kamar kemudian mengambil ponselnya.
“Halo, As,” terdengar suara Rizky dari seberang.
“Riz.. gimana kalau hari ini kita ngga usah masuk kerja?”
“Jangan aneh-aneh deh, As. Hari ini kita ada meeting penting sama anak marketing.”
“Sia-sia juga meetingnya.”
“Maksudnya apa?”
Asti terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ingin rasanya menceritakan mimpi anehnya semalam, tapi pasti Rizky tidak akan percaya.
“As..” suara Rizky membuyarkan lamunan Asti.
“Aku.. ngga enak badan.”
“Ya udah kamu ngga usah masuk. Biar aku sama Sinta yang handle. Kamu istirahat aja. Udah dulu, ya. Aku mau siap-siap. Bye..”
Panggilan segera berakhir. Asti kembali mendudukkan diri di sisi ranjang. Hatinya bimbang antara berangkat ke kantor atau tetap di rumah. Bukan tidak mungkin mimpi buruk yang dialaminya benar-benar akan menjadi kenyataan.
Cukup lama Asti berdiam diri. Kemudian wanita itu berdiri lalu berjalan menuju meja kerjanya. Dia mengambil tas lain yang berbentuk ransel. Dimasukkannya pisau lipat, alat kejut listrik dan hairspray ke dalam tasnya. Kemudian dia mengeluarkan pulpen dan pensil dari dalam laci. Diserutnya semua pensil tersebut kemudian dimasukkan ke dalam wadah alat tulis beserta pena.
“Mimpi atau bukan, aku harus pergi ke kantor. Aku harus menyelamatkan Rizky dan yang lain kalau memang benar mimpiku menjadi kenyataan,” gumam Asti.
Dia lalu mengganti high heelsnya dengan sepatu kets. Sebelum keluar kamar, Asti mengikat rambutnya dengan gaya kuncir kuda. Setelah itu, dia menggendong tas ranselnya dan keluar dari kamar. Tanpa membawa bekal yang disiapkan sang mama, wanita itu pergi ke kantor menggunakan mobil papanya.
*
*
*
Rizky, Damar, Sinta, Tari dan Wina terdiam mendengarkan cerita Asti tentang mimpinya. Wanita itu menahan semua rekan kerjanya saat akan masuk ke ruang meeting. Sesuai perkiraannya, semua menertawakan apa yang diceritakannya, kecuali Wina.
“Win.. kita tadi bareng kan ke sininya? Apa yang terjadi tadi udah aku alamin dalam mimpi. Kalau kalian ngga percaya, coba hubungi yang ada di lantai 8. Tanya gimana kondisi Linda.”
Telepon di ruangan berdering, lagi-lagi Sinta harus menghadapi makian dari tim marketing karena mereka tidak juga datang ke ruang meeting. Waktu meeting sendiri sudah setengah jam berlalu.
“Dengar.. aku bisa aja bersikap egois ngga datang ke kantor hari ini. Tapi aku melawan rasa takutku dan tetap masuk kerja demi apa? Demi kalian, demi bisa menyelamatkan kalian semua. Karena dalam mimpiku, tidak ada satu pun dari kita yang selamat.”
“Ok.. kalau kalian ngga percaya, silahkan. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan kalian. Aku ngga mau mati konyol, aku akan pulang sekarang,” lanjut Asti.
Langkah asti terhenti ketika melihat salah seorang rekannya lari tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan.
“Guys.. ada kabar mengejutkan. Linda.. yang ada di lantai 8, tiba-tiba ambruk. Katanya dari hidung, telinga, mata dan mulutnya keluar darah.”
Rizky, Damar, Tari, Sinta dan Wina saling berpandangan. Apa yang dikatakan rekannya tadi sama persis seperti apa yang diceritakan Asti tadi.
“Mimpiku ternyata benar jadi kenyataan. Sebentar lagi bencana akan dimulai,” gumam Asti.
“Kita harus bagaimana?” tanya Rizky.
“Bawa alat-alat untuk melindungi diri kita, sesuatu yang tajam atau apapun yang bisa melumpuhkan para zombie. Kita harus menyelamatkan teman-teman sebanyak mungkin. Secepatnya kita harus keluar dari gedung ini sebelum pak Sam menutup semua akses keluar, termasuk rooftop.”
Semua menganggukkan kepala. Dengan cepat mereka mencari alat-alat yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Asti mengeluarkan alat kejut listrik dan hairspray dari tasnya. Dilihatnya kelima temannya sudah memegang sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Wanita itu menganggukkan kepalanya, memberi aba-aba pada teman-temannya. Keenam orang tersebut segera bergerak untuk menyelamatkan diri dan rekan-rekannya yang lain, keluar dari gedung yang terkontaminasi virus zombie.
THE END