"Mah, mamah,"
"Mah,"
Apa yang terjadi?
Aku merasa seseorang mengguncang-guncang tubuhku.
"Mah?"
Tubuhku rasanya sakit semua. Mataku sulit dibuka. Tapi aku merasakan tangan mungil menyentuh-nyentuh lenganku sekaligus mengguncangkan tubuhku.
Suara itu..
Suara Dito, kah?
Dan siapa yang menangis itu?
Dilla kayaknya ya?
"Mah?"
"Heh?" aku membalas panggilannya. "Kenapa ini Nak?"
"Eyap Mah," gumam Dito. Perbendaharaan katanya masih sangat sedikit, ia baru berusia 4 tahun bulan lalu. Mungkin maksudnya 'Gelap Mah'. Dan di sebelahnya, Dilla, adik perempuannya yang berusia 2 tahun menangis sesenggukan.
Cahaya dari ponsel, sejak diberi hadiah henpon jadul oleh suamiku, Dito kerap membawanya ke mana-mana. Dia bahkan sudah mahir menyalakannya sendiri. Mau bagaimana lagi, anakku ada 4 orang, 2 diantaranya masih SD dan suamiku jarang dirumah karena bekerja sebagai supir truk. Aku tidak tahu persis ia bekerja di perusahaan yang mana dan mengangkut apa saja. Jadi pulangnya bisa seminggu hanya dua kali.
Jadi agar anak-anak anteng dan aku bisa membereskan rumah serta melakukan pekerjaan lain, Dito diberi ponsel jadul untuk sekedar membuka-buka game yang sudah suamiku donlot di sana, tentu saja tidak memakai simcard, semuanya offline agar Dito tidak membuka sesuatu yang tidak sesuai untuk anak seusianya. Kadangkala Dilla juga ikut nimbrung dengan Dito jadi aku bisa istirahat sebentar sebelum memulai pekerjaan rumah lain.
Lalu hari ini, selesai sholat subuh seingatku, Aku bahkan belum sempat membuka mukena. Kedua anakku yang SD menginap di rumah orang tuaku, jauhnya sekitar 15 km dari sini. Aku di rumah bersama Dito dan Dilla. Aku memang sudah mendengar suara gaduh di luar. Sesuatu menimpa atap rumah kami, seperti ada batu yang jatuh.
Aku mempercepat dzikir subuhku kemudian menenangkan Dilla yang terbangun dan menangis karena kaget dengan suara gemuruh itu. Kulihat Dito masih tidur di sebelah Dilla, di kasurku. Kami biasa tidur bertiga karena mereka masih kecil. Nanti setelah berusia menginjak 7 tahun mereka baru mulai tidur sendiri-sendiri seperti kedua kakaknya.
Lalu suara gemuruh itu semakin kencang, aku pun meletakkan Dilla di ranjang dan berjalan menuju pintu, untuk memeriksa keadaan sekitar.
Dan itu yang kuingat terakhir kali.
Kini,
Dari lampu di ponsel Dito aku bisa melihat sekitar kami. Gelap dan... astaga!
Pemandangan ini bukan seperti di rumahku! Aku bisa melihat lemariku, ranjangku, tapi penuh...
Tanah?!
Benarkah itu tanah?
Ada banyak sekali tanah!
Aku mendongak ke atas. Lewat cahaya ponsel Dito aku melihat plafon kami porak poranda, namun bagian tepat diatas Ditto dan Dila ada plafon yang menimpa lemari sehingga menghalangi tanah untuk jatuh menimpa mereka.
"Di situ saja ya nak, jangan bergerak," sahutku kuatir. Aku ingin menggapai mereka tapi, aku pun menyadari kalau...
Setengah tubuhku juga terpendam di tanah!
Tapi Dilla dan Dito ada di atas ranjang, tanah tidak menimpa mereka karena terhalang lemari. Aku yang tadinya berdiri di pinggir ranjang malah kena ambrukan. Namun setidaknya aku bersyukur anak-anakku selamat.
"Ada yang sakit Nak?" tanyaku ke Dito sambil berusaha mengeluarkan tanganku dari tanah.
Dingin dan lembab, juga berat. Begini rasanya ditimbun tanah basah.
Kulihat Dito dan Dilla menggeleng. Syukurlah kalau mereka baik-baik saja.
"Errgh!" susah payah aku keluar dari timbunan tanah tapi ternyata berat sekali.
Dito mengulurkan tangan ke arahku dan menarikku.
Namun pegangan kami malah terlepas dan dia terhempas ke atas ranjang.
"Sudah Nak, biar mama mencoba keluar sendiri, ya," Kataku. Aku jelas tak tega melihat Dito terjatuh begitu.
Wajahnya mulai membentuk cemberut, sepertinya dia hampir menangis.
Anak itu sudah cukup besar untuk menyadari kalau situasi saat ini lumayan serius.
Aku berusaha mengingat-ingat dimana kuletakkan ponselku.
Ah! Diatas Nakas.
Duh, nakasku kemana? Aku hanya melihat timpukan tanah gelap. Kemungkinan besar nakasku juga tertimbun tanah.
Pokoknya, keluar dulu dari timbunan, baru mencari yang lainnya.
Aku berhasil mengeluarkan kedua tanganku dari dalam tanah. Bahuku rasanya remuk, dan...
Ya ampun kenapa lagi ini?!
Jariku terpuntir ke belakang?!
Pemandangan itu cukup membuatku ternganga. Namun aku cepat menyadari kalau Dito sedang memperhatikanku.
Jadi aku bergegas menyembunyikan tanganku agar ia tidak melihat.
Biarlah nanti saja jariku diobati, yang penting anakku tidak melihat.
Lagipula, rasa sakitnya belum muncul.
Aku mengernyit membayangkan kalau rasa sakit itu muncul pasti nyerinya amat sangat. Aku pernah mendengar kalau hal seperti ini di menit pertama biasanya tidak terasa, menit kedua baru mulai agak nyeri.
Sudahlah, diriku tak penting. Sekarang, bagaimana caranya mengeluarkan mereka berdua dari sini.
"Eeerghhh!" aku kembali mencoba keluar. Kutumpu kedua tangannya ke atas gundukan tanah di dadaku, kudorong tanah sekuat tenaga agar badanku terangkat.
"Huff!" aku tidak berhasil.
"Nen," gumam Dilla.
Ia tampaknya ketakutan, jadi dia minta Asi. Suatu hal yang sudah jarang ia minta karena seharusnya sudah selesai proses menyapih. Tapi dia suka minta asi kalau sedang marah atau sedih, untuk menenangkan dirinya. Beruntung Asiku belum sepenuhnya kering.
Anak itu berdiri dan berjalan pelan-pelan ke pinggir ranjang.
"Nak, jangan," sahutku mencegahnya. Aku takut terjadi apa-apa. Bagaimana kalau dia jatuh dari ranjang dan terjebak di tanah gembur? Atau kalau gerakannya membuat terpal di atas malah longsor dan menimbun mereka?
Lebih baik aku saja yang kesana.
"Neeeen, hueee," Dilla menangis sambil menghentikan rangkakannya dan menatapku dengan mengiba.
Hati ini rasanya sedih sekali melihatnya. Ia membutuhkanku, tapi aku tidak bisa langsung datang.
Ya Tuhanku, seandainya saja ada suamiku di sini sekarang.
Sedang apa ya dia sekarang? Mungkin sedang mengantri masuk ke pelabuhan. Bisa berhari-hari dia di jalanan untuk sekedar mengantri.
Apakah suamiku tahu yang menimpa kami sekarang?
Apakah orang tuaku tahu?
Yang penting, aku keluar dulu dari sini!
"Sabar ya sayang, di situ sebentar. Mamah akan keluar, lalu kita nenen ya," kataku sambil mencoba kembali mendorong tanah di sampingku.
Aku sejenak mengumpulkan tenaga. Dalam hatiku aku berdoa, Ya Allah izinkan hamba menolong anak-anak. Atas kuasamu, yang terjadi maka terjadilah.
"Bismillahirahmanirrahiiiim, errrghhhh!!" aku mendorong sekuat tenaga.
Saat itu yang terpikir adalah memeluk anak-anakku.
Sekali lagi aku mendorong. Tangis Dilla semakin kencang. Dia benar-benar ketakutan. Aku sekuat tenaga mendorong.
Terakhir aku mendorong seperti itu saat aku mengejan mengeluarkan Dilla dari perutku.
Saat itu aku bisa.
Jadi saat ini, mudah-mudahan aku juga bisa.
"Aaarghhh!!" seruku mengumpulkan semua tenaga.
Aku bisa!
Aku bisa keluar!!
Susah payah aku mengangkat kakiku, lalu aku menapakkannya.
Alhamdulillah... gumamku berkali-kali.
Lalu kuhampiri anakku tanpa peduli tubuhku yang kotor. Dito memegangiku erat sekali. Dan Dilla mendusel-dusel wajahnya ke dadaku yang masih memakai mukena.
"Jangan nak, kotor. Ayo kita nen," aku segera memberi Dilla Asi.
Dito duduk di dekatku sambil menatap ke pinggir ranjang. Lalu ia menatapku lagi. Lalu menatap ke arah depan lagi.
"Ada apa Nak?" tanyaku sambil membersihkan pipinya yang kotor kena tanah.
Dito beringsut memelukku. Ia tiba-tiba terisak-isak.
"Jangan takut sayang. Mama di sini," sahutku.
Aku juga takut...
Aku butuh mamaku
Aku butuh suamiku
Aku butuh ayahku
Tapi, anak-anakku saat ini butuh aku.
Jadi aku harus kuat.
Lalu aku melihat ke arah nakas. Seharusnya di atas nakas ada ponselku. Tinggi nakas setara dengan kasur, jadi logikanya sedikit dirogoh saja ponselku bisa ketemu.
Mudah-mudahan ada sinyal. Kalau tak salah saat menghubungi nomor darurat tak perlu sinyal.
Beberapa saat sambil menunggu Dilla, kami bertiga berpelukan dalam diam.
Aku mengatur strategi, bagaimana caranya anak-anak bisa keluar dari sana. Kutatap bagian atap, semua penuh tanah. Entah berapa meter tebalnya diatas sana. Tapi seingatku, rumahku dibangun lebih tinggi dari tetangga yang lain.
Jadi seharusnya tidak terlalu jauh dari permukaan. Tapi bagaimana caranya menggali ke atas? Aku takut kalau tanahnya akan ambles ke bawah dan mengenai anak-anak.
Lalu Dilla pun selesai minum, "Anak mama, cantik," aku mengecup dahinya bermaksud membuatnya agak tenang. Ia tersenyum tipis.
"Oke, sekarang kita cari henpon mama, kita hubungi papa biar bisa cari kita,"
Aku menghampiri lokasi nakas.
Kurogoh tanah tepat diatas nakas, tapi ternyata tanah di sana keras.
Kucoba berkali-kali jemariku tidak bisa menembus tanah.
Dito menghampiriku dan meniru yang kulakukan.
Herannya tangannya bisa masuk ke dalam tanah dan ia meraih ponselku.
"Anak mama pintar," sahutku sambil mencium pipinya.
"Hehe," Dito memelukku.
Aku memeriksa ponselku. "Alhamdulillah," gumamku saat mendapati ponsel itu masih menyala.
Tapi sinyalnya sangat sedikit. Hanya satu bar. Itu pun hilang sesekali.
Kalau menelpon sudah pasti buang-buang tenaga. Lebih baik kukirim SMS saja. Kalau Whatsap takutnya tidak sampai.
Lalu aku pun mulai mengetik, "Longsor Pah, kami tertimbun. Tolong anak-anak, cepat pulang,"
Lalu aku diam sesaat. Kutambahkan kalimat apa lagi ya. Rasanya kata-kata itu sudah cukup.
Yah, salam seperti biasa saja deh, "Aku sayang kamu,"
Lalu send.
Kuketik pesan yang hampir sama ke ayahku, "Longsor Yah, kami tertimbun. Titip anak-anak ya ayah. Bilang aku sayang mereka, aku juga sayang ayah ibu,"
Entah kenapa kuketik kalimat begitu. Aku reflek saja.
Lalu Dilla menguap.
"Ngantuk sayang? Bobo yuk?" aku memeluknya. Ia mulai memejamkan mata di dadaku.
Dito pun mematikan ponselnya dan ikut memelukku.
Aku mengirimkan kordinat dan shareloc ke suami dan ayahku.
Lalu aku pun ikut tertidur.
*
*
"Hoyyy ada oraaaaang??"
Aku membuka mataku. Langsung siaga.
Tim pencari sudah datang!!
Kulihat Dilla dan Dito masih tidur di ranjang. Aku berdiri di atas kasur sambil mendongak ke atas.
"Adaaaa!! Di sini!!" seruku sekencang-kencangnya.
"Bertahan ya!! Sebentar lagi bu!! Kami sedang gali!!" seru suara itu.
Aku membangunkan Dilla dan Dito lalu membawa mereka supaya mepet ke dinding, aku takut kalau tim pencari menapak atap lalu tanah itu ambrol ke bawah dan mengenai mereka.
Lalu tiba-tiba cahaya muncul dari atas. Tanah mulai berjatuhan ke bawah.
"Buuuuu? Di sini kah??"
"Iyaaaaa, di sini! Tolooong!!" seruku.
"Ya bu!!" seru tim pencari.
Aku melihat sebuah tali dijatuhkan dari atas.
"Maah?" Dito mencengkeram lenganku kencang sekali. Bagaikan ia tak ingin kehilangan aku.
"Dito, Mamah sayang Dito, juga sayang Dilla, Juga sayang Kak Aqila, dan sayang Kak Arisa. Mamah juga sayang Papah," aku mengecup pipi keduanya.
"Tumbuh besar dengan baik ya sayang, semoga kamu selalu bahagia," aku benar-benar ingin melihat mereka tumbuh besar.
Sayangnya, aku tidak bisa.
*
*
"Hanya dua anak ini Pak?"
Dengan wajah pucat Pria itu mengangguk.
"Tapi tadi ada suara ibunya..."
"Kita semua dengar tadi. Jadi jangan dibahas di sini," Pria dengan seragam Tim SAR memotong ucapan pria paruh baya di depannya. "Jasad ibunya anak-anak itu sedang berusaha kita angkat, tertimbun di depan ranjang, kepalanya hancur tertimpa plafon,"
"MashaAllah..." gumam si pria paruh baya sambil mengusap mukanya.
"Kuasa Illahi," Tim Sar itu menghela napas, ia sudah sering menghadapi kejadian semacam ini. Anak-anak yang baru saja mereka tolong hanya memandang dengan sedih ke arah bekas rumah mereka. Kini, Sang Kakek dan Nenek sudah berada di sana memeluk anak-anak itu.
"Ayo, kita lakukan pengangkatan jenasah dan mencari yang lainnya,"
*
*
"Ani masih menghubungi saya lewat SMS di jam 9.15," Si suami dengan terbata-bata.
"Sama, ayah juga. Ini buktinya, tidak mungkin Dito yang mengetik ini," gumam Si Kakek dengan lesu.
"Tim SAR bilang, saat mereka berada di atas atap rumah dan berteriak mencari korban yang masih hidup, mereka mendengar suara perempuan minta tolong. Bahkan saat atap berhasil digali dan tali diturunkan, suara itu terdengar jelas,"
Lalu semua terdiam sambil memandang nisan di depan mereka.
"Biarlah ini cerita hanya kita saja yang tahu," kata si Kakek sambil menghapur air matanya, "Bahkan sampai meninggal, Ani tetap menolong anak-anak,"
Sang suami kembali mengusap wajahnya dan mengucapkan takbir.
Istrinya, Ani, tewas dalam bencana longsor saat subuh kemarin pagi.
Siapa yang menyangka, bahwa SMS terakhir yang terkirimkan pada mereka, berisi kata-kata terakhir Almarhum yang sudah menjadi mayat. Entah siapa yang mengetikkan pesan yang begitu menyentuh itu.
Yang jelas, sesuai amanah Almarhum, Pak Suami dan Kakek Nenek anak-anak akan melindungi Dito, Dilla dan kedua kakaknya dengan baik.
Dengan rasa sayang, Si Suami mengecup ponsel Ani. Benda itu terselip di kantong celana Dito saat anak itu diangkat.
"Aku juga sayang kamu, maafkan aku selama ini sering meninggalkan kamu hanya dengan anak-anak. Aku akan resign dan mencari pekerjaan lain yang memiliki waktu lebih fleksible. Dan kami akan pindah ke rumah yang dekat dengan ayah ibu," si suami mengelus nisan itu.
Lalu ia pun berdiri dan berbalik, meninggalkan pemakaman dengan rasa sedih.
TAMAT