“Eh, Ndis. Kamu tahu, nggak? Tadi siang waktu aku ke warung nasinya Bu As, aku ketemu sama Arin, teman abangku waktu SMA,” kata Ratih memberitahu Gendis.
“Lalu?” Gendis bertanya biasa saja. Gadis itu sedang menelepon sahabatnya, Ratih.
“Awalnya, kita ngobrol biasa aja. Sampai akhirnya dia bilang sama aku, kalau dia mau pindah kos,” ucap Ratih terlalu bersemangat.
“Pindah kos?” Gendis mengerutkan dahi dibalik ponselnya. Lantas, ia pun berkata, “Oh … mungkin lingkungan dikosannya nggak aman. Atau kosannya kotor? Atau bisa juga … ibu kosnya galak?”
“Bukan, bukan,” seru Ratih. “Bukan karena itu, Ndis. Ibu kosnya nggak tinggal di situ. Dia ada di luar kota. Jadi … di kosan si Arin hanya ada asisten rumah tangganya saja yang jagain kosan itu.”
“Kalau bukan karena itu, apa lagi coba?” tanya Gendis menanggapi. “Ah, atau dia nunggak kosannya?”
“Bukan karena itu juga, Ndis …” jawab Ratih. “Dengerin aku, nih, ya. Tadi, Arin cerita ke aku kalau awalnya kosan dia baik-baik saja. Nggak ada yang aneh.”
Belum juga Ratih melanjutkan kalimatnya, Gendis menyahut karena penasaran, “Nggak ada yang aneh, gimana?”
“Gini,” kata Ratih memberi jeda sembari membenarkan posisi duduknya di atas tempat tidur agar lebih nyaman bercerita. “Menurut Arin, semula dari sepuluh kamar yang terisi, sekarang hanya tinggal dua kamar saja yang berpenghuni. Karena nggak sampai sebulan, anak-anak yang ngekos di sana pada pindah ke tempat kos lain. Mereka sudah nggak tahan alias takut ngekos di tempat itu, Ndis…” jelasnya penuh semangat.
“Takut?” tanya Gendis penasaran dengan dahi berkerut.
“Iya,” seru Ratih. “Kata Arin lagi, satu persatu penghuni kos itu selalu diganggu. Entah kamar mereka bau pandan lah, ada yang mainin pintu lemari baju lah, sampai bunyi ketukan pintu yang nggak jelas. Ihh … kan, serem.”
“Ah … Arin bohong,” sahut Gendis tak percaya. Dari dulu ia selalu beranggapan bahwa cerita-cerita hantu yang begitu melegenda dimasyarakat tentang pocong, kuntilanak, dan sebangsanya, hanyalah mitos belaka.
“Ye …” ejek Ratih. “Kamu diceritain nggak percaya. Nanti kalau sudah ketemu sama Mas atau Mbak cong, baru tahu rasa, loh.”
Gendis tertawa sebelum ia berkata, “Emang, aku nggak percaya. Itu hanya tahayul.”
“Tapi—”
“Udah, ah. Nggak usah bahas ini,” ucap Gendis sambil melirik jam dinding di kamar kosnya. Seketika ia sedikit terkesiap, ternyata sudah jam setengah satu malam. Tak terasa perbincangan mereka sudah berjalan tiga jam lamanya. Terkadang, gibah bagi perempuan itu menyenangkan sehingga membuat lupa waktu.
Sampai akhirnya, Gendis harus menyudahi obrolan ini karena ia pun teringat akan mata kuliah besok pagi. “Tih, udahan dulu, ya. Besok pagi aku ada mata kuliah. Dosennya galak. Kalau telat, urusannya jadi panjang.”
“Tapi aku belum selesai cerita, Ndis. Aku mau bilang kalau tempat kosnya—”
“Dilanjut besok aja, deh … Sekalian aku mau cerita tempat kosku yang baru. Kamu, kan, belum tahu, Tih.”
Ratih menghela napas, seolah mengerti betapa galaknya dosen Gendis. “ Ya, udah, deh … Dilanjut besok.”
“Oke … Bye, Ratih …” pamit Gendis. “Gulingku sudah manggil-manggil mau ngajak tidur, nih,” candanya.
Ratih tertawa. “Hati-hati, lho, Ndis, dengan ucapanmu,” ledeknya.
Setelah mengucapkan selamat malam kepada Ratih, Gendis mengakhiri sambungan telepon terlebih dahulu. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik selimut hingga dada. Namun, gadis itu membuka ponsel—ingin membaca sebentar salah satu judul novel bergenre romantis di salah satu platform novel digital yaitu NT, sebelum akhirnya rasa kantuk menyerang matanya.
Gendis bergelung di bawah selimut, memeluk guling empuk yang menemaninya selama dua hari dirinya tinggal di kos ini. Perlahan, gadis itu memejamkan mata dan mulai membuka kilas-kilas mimpi di alam bawah sadarnya.
Namun, beberapa detik kemudian dahi Gendis mengernyit dalam. Tiba-tiba saja indera penciumannya menangkap bau. “Eh? Bau apa ini?” tanya Gendis dalam hati. Ia seketika mengendus, mencium bau pandan yang menyeruak hebat di dalam kamarnya. “Sejak kapan ada pandan di kamarku?”
Akhirnya, Gendis dengan malas membuka mata karena bau ini begitu menyengat sampai mengganggu pernapasannya. Lantas, Gendis duduk di tepi ranjang dengan gontai, berniat untuk minum segelas air. Tak berselang lama, ia menaruh gelasnya kembali di atas nakas setelah meneguk air hingga tandas.
Detik berikutnya, Gendis kembali ke tempat tidur—mencoba memejamkan mata lagi. Akan tetapi, bau pandan itu semakin parah seolah bau tersebut berada di dekatnya. Gulingnya yang wangi bahkan tak mampu mengalahkan bau tidak sedap ini. Gendis mendengus kesal, sebab ingin tidur pun susah sekali.
Dan karena tidak suka dengan bau tersebut, Gendis menutup hidung dengan gulingnya. Ia tetap berpikir positif thinking bahwa bau pandan itu berasal, mungkin saja Mbok Darsih—penjaga kosnya, sedang membuat kolak pisang di tengah malam. Mbok Darsih barangkali membutuhkan daun pandan begitu banyak untuk dicampurkan pada santan supaya cita rasanya menggugah selera di lidah.
Namun, sayangnya usaha gadis itu tetap gagal. “Bau banget, sih,” gerutu Gendis. “Bikin mual.”
Pada saat ia hendak memejamkan mata lagi, Gendis merasakan bulu kuduknnya meremang. Pikirannya pun mulai kalut dan tidak tenang. “Astaga … tetap berpikir positif, Ndis, Gendis …” katanya pada diri sendiri.
Akan tetapi, tak sampai lima menit Gendis mengingat sesuatu. Gadis itu mengingat kejadian sore tadi, bahwa Mbok Darsih berpamitan pergi ke rumah saudaranya, dan akan menginap satu malam di sana. Mata Gendis langsung membulat, tersadar dengan hal tersebut.
Mendadak, ia teringat lagi oleh perkataan sahabatnya. Dengan tak sabaran, Gendis meraih ponsel yang berada di sampingnya untuk segera menghubungi Ratih.
***
Suara dering telepon membangunkan seorang gadis yang baru saja tertidur. Ia meraba nakas di sebelah tempat tidurnya dan mengambil ponsel. Dengan mata terpejam, Ratih menjawab panggilan telepon itu, “Hallo …”
“Tih, ini aku, Gendis.” Ia berkata pelan, tapi hatinya sangat kalut.
“Kenapa, Ndis…?” tanya Ratih dengan malas. “Bukannya tadi kamu bilang mau tidur, ya?”
“Lupakan soal itu.” Gendis menjawabnya cepat. “Tih, kamu tadi sempat cerita masalah kosan teman abangmu, kan? Dia—” Sebelum melanjutkan kalimatnya, gadis itu menelan ludah dengan susah payah. “Kos di mana?”
“Bukannya kamu nggak tertarik sama ceritaku tentang kosan Arin, ya?” ejek Ratih. “Katanya mau dilanjut besok .…”
“Astaga …” seru Gendis. “Buruan … jawab aja, kenapa, sih.” Ia mulai tak sabaran.
“Iya, iya. Kamu ganggu orang tidur aja,” keluh Ratih. “Arin ngekos … di Perum. Griya Blok. D No. 303.”
Seketika Gendis menganga dan matanya membulat begitu lebar. Bagaimana tidak? Alamat tersebut adalah tempat di mana Gendis mengekos saat ini. Hawa dingin pun menusuk lehernya seakan belum cukup membuatnya ketakutan. Gendis merasakan ada sesuatu yang memperhatikannya dari jauh.
“Tapi tadi Arin bilang, kalau mulai malam ini dia nginap di rumah tantenya sampai Arin dapat tempat kos baru,” ujar Ratih memberitahu.
“Bu-bukannya kamu tadi bilang, kosan Arin tinggal dua kamar saja yang dihuni?” tanya Gendis. Jantungnya semakin berdegup kencang karena ketakutannya semakin memuncak.
“Hmm … iya, sih.” Ratih menjawab dengan nada malas. “Yang tinggal di kosan itu selain Arin dan asisten rumah tangga, ada satu orang lagi di sana. Arin belum sempat kenalan dengan penghuni baru. Waktu itu Arin buru-buru karena sudah ditungguin sama abang ojek onlinenya.”
“Terus?” tanya Gendis frustrasi sambil menggigit kukunya.
“Ah … udahan, ya. Lanjut besok. Aku ngantuk, nih … Bye.” Ratih begitu saja langsung memutus sambungan ponselnya terlebih dulu. Sungguh, rasa kantuknya tak bisa tertahankan.
Deru napas Gendis terdengar memburu seakan dirinya baru saja dipaksa berlari. Ingin menelan ludah, tapi rasanya mengapa begitu sulit. Jika Arin menginap di rumah tantenya, dan Mbok Darsih bermalam di rumah saudaranya, berarti kini dirinya hanyalah seorang diri di tempat kos ini, pikir Gendis.
Gendis berusaha masa bodoh, meskipun saat ini dirinya diselimuti ketakutan yang luar biasa. Ia lantas menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Namun, Gendis tersentak ketika selimutnya seolah ditarik paksa, dan melihat sosok tinggi seperti guling nyaris tak berekspresi dengan seraut wajah yang menyeramkan.
Terkejut akan hal tersebut, rasanya Gendis tak mampu berteriak. Ia hanya berusaha beranjak dari tempat tidur untuk segera mungkin ke luar dari kamar agar tak melihat pocong itu lagi.
Itu hal terburuk yang pernah Gendis alami. Ternyata, mitos-mitos tentang makhluk halus benar-benar nyata.
THE END