DEAR ANNA
September, 2011
Entahlah...
Aku sudah tak tau lagi...
Entah dihitungan detik yang keberapa, kita mengakhiri pembicaraan itu. Yang ku yakini, engkau sekarang sudah lelap tertidur diselimuti mimpi indahmu. Yang sebenarnya, aku enggan mengatakan ini padamu. Tapi aku harus menceritakannya, bukan? jika saja ini penting dan engkau pantas mengetahuinya sebagai sebuah kejujuran dari seorang pria yang melepaskan harga diri untuk mengatakannya. Sejujurnya, kau adalah rindu yang menjadi tuju dari jiwaku yang kesepian. aku adalah lelaki yang setiap menit menggenggam harap ingin bersenda gurau denganmu, bahkan jika itu via telepon sebagai medianya.
Namun tiap hal harus berganti dan berlalu dengan begitu cepatnya, bak kilat yang menyapa dengan sinar yang tertinggal di sudut mata, lalu kemudian menyudahinya dengan sepi. Membiarkan aku kembali sendiri, terkukung disudut malam yang sunyi. Yang kemudian tenggelam diratusan kata-kata, dalam sederetan cerita creepypasta sebagai bacaan kesukaanku. Meludahiku dengan dingin, memaksa mataku agar tetap terjaga. Menunggu mentari menyembulkan parasnya, menunggu pagi menampakan tandanya. Menunggu esok cepat datang, agar kita bertemu lagi. Dalam pergantian detik yang agak lama, dengan pacuan jantung yang mungkin akan berbeda dengan sekarang. Tapi, bukankah itu hanyalah sifat egois ku sendiri? Jika aku menyumpahi waktu, juga sunyi?
Menunggu adalah sebuah pekerjaan, bukan? Pekerjaan yang menutut karyawannya harus bersabar.
Lalu aku menyadari satu hal yang penting, dalam penantianku akan waktu. Bukankah kau lelah, setelah seharian beraktivitas?
Sesungguhnya, aku adalah pribadi dengan lisan yang bodoh. membiarkan kekikukan ini menjamuri niat merobohkan tekad. Namun tetap dengan sesederhana ini aku mencintaimu seperti aku mencintai tawamu. Aneh dan terdengar gila, seperti saat aku membohongimu. Tentang hantu yang menakutkan, dengan menyuruhmu menuangkan air di piring. Sambil kemudian tertawa terbahak-bahak, Karena tingkah polosmu yang ternyata mematuhi perintah konyolku.
Faktanya, bahagia ku sendiri pun adalah bahagia yang tercipta dari senyum dan tawamu. Aku ingin menjemput tawamu sambil menyeruput kopi hitam kesukaanku. Disana, ditempatmu. Yang tentu saja, kopi tersebut adalah hasil dari racikan tanganmu...
Itu akan terasa sangat damai. Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran ku saat ini. Betapa tidak, aku membayangkan aku yang sedang menikmati secangkir kopi bersamamu. memandang wajahmu, melihat senyummu, dan tertawa lepas bersamamu. menyaksikan pesonamu sebagai jingga senja di hati. Jingga senja yang menjadi kepunyaan ku. Jingga senja yang menjadi milikku. Jingga senja yang berdiam dihatiku, sehingga bisa ku bawa kemanapun aku mau. Jingga senja yang adalah ingatan akan kenangan. Dan jingga senja itu sendiri pun adalah Kau.