Pada hakikatnya wanita bisa mandiri, namun sekuat apapun wanita, dia akan merasa lemah di suatu kondisi tertentu. Oleh karena itu dia tetap butuh seorang pelindung.
Namun, tidak ada satupun pria di dunia ini yang akan sanggup jika setiap hari ia harus menaklukkan, melembutkan, dan mengalah demi wanita.
Jika ada pria yang seperti itu, maka itu bukan aku orangnya. Begitupun dengan pria mapan lainnya. Karena tidak ada pria mapan dan memiliki power yang bersedia menjadi batu pijakan atas sifat keras kepala seorang wanita.
---------------------------
Aku memiliki rekan kerja bernama Vita, dia wajahnya cukup manis, postur tubuhnya tinggi semampai dan kulitnya putih. Hampir mendekati sosok wanita yang sempurna.
Namun sayangnya dia masih single. Padahal usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Dan di usiaku yang sekarang ini aku sudah menikah dan memiliki dua orang anak.
Entah bagaimana sudut pandang Vita terhadap sebuah hubungan dan pasangan, tapi yang aku pahami dia bukanlah orang pemilih ataupun memiliki penyimpangan lainnya.
Dia bukannya tidak laku, aku yakin itu karena aku hampir sepuluh tahun berada satu gedung dengannya. Hanya saja semua hubungan yang ia jalani selalu tidak berlangsung lama dan akhirnya kandas di tengah jalan.
Mungkin saja karena Vita adalah wanita yang keras kepala. Sifatnya tak ada bedanya dengan bongkahan batu; keras, kasar, dan gelap.
Beberapa kali dia juga bermasalah denganku karena masalah sepele, bisa aku katakan mungkin hampir tidak penting. Terkadang masalah kertas yang dipinjam oleh anggota supervisiku, kadang masalah kopi yang tertukar saat di ruang meeting, dan masih banyak hal lain yang aku sendiri tidak mengerti kenapa dia bisa marah-marah hanya karena masalah yang sama sekali tak berarti menurutku.
Dan pagi ini, tiba-tiba Vita membuka pintu ruangan kantorku dengan tergesa-gesa.
"Brakk!"
Aku sempat kaget.
"Ada apa Vit?" Tanyaku padanya yang sudah memasang wajah sengit.
"Apa-apaan kamu, kenapa kamu menyuruh anak magang itu menaruh dokumen anak buahmu di mejaku!" Bentak Vita.
"Dia mungkin salah, namanya anak magang pasti dia belum bisa memilah dokumen yang benar. Tinggal kasihkan aja ke sini, beres kan?" Jawabku santai.
"Ren! Aku serius! Awas kalo sampai ada dokumen lagi, aku buang ke tong sampah!" Vita mengakhiri kalimatnya dengan melemparkan dokumen itu di mejaku sehingga menjadi berantakan. Lalu dia berlalu begitu saja sambil membuka pintu melengang pergi.
"Ck..ck.... setiap hari marah-marah..." ucapku lirih.
Sedangkan di luar ruangan, aku mendengar Vita melanjutkan marah-marah. Dan setelah aku mencoba mentamatkan untuk mendengarkan, dia memarahi anak magang yang meletakkan dokumen tadi di mejanya.
"Apa-apaan dia...." batinku.
Aku bergegas keluar dari ruanganku untuk mencegah Vita memarahi anak magang itu semakin parah.
Dan saat aku keluar, ternyata benar dugaanku.
"Sudah berkali-kali aku bilang kalau aku dan Rendi itu beda ruangan! Kamu gak lihat?! Buta?!" Teriak Vita.
"Saya tahu bu... tapi saya sudah memilah dokumen untuk Pak Rendi." jawab anak magang itu.
"Punya Rendi dipilah, trus sisanya dibuang ke tempat saya?!!!" Vita semakin naik pitam.
"Bukan bu... Saya juga memilah untuk ibu Vita..." Jawab anak itu lagi.
"Banyak omong kamu ya! Buktinya dokumen saya berantakan! Punya bu Hera juga ada di meja saya! Otak kamu...."
"Vita!!!" Aku memotong ucapan Vita yang mulai kasar.
Seisi ruangan mulai beralih melihatku.
"Masalah dokumen kan sudah selesai. Kenapa dibahas lagi?" Ucapku menengahi mereka.
Anak magang itu langsung menunduk dan terlihat tangannya gemetar. Beberapa saat aku melihat pipinya tampak berair. Sepertinya dia menangis.
"Vita, apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Dia juga anak magang harusnya kamu ngasih tahu baik-baik. Gak perlu bentak-bentak seperti itu..." Ucapku dengan nada pelan.
"Ya dia memang salah!" Vita sambil menunjuk wajah anak magang itu.
Spontan aku langsung menangkis tangan Vita yang menunjuk wajah anak itu. Hingga tak sengaja tubuh Vita terdorong mundur ke belakang dan menyenggol meja troli yang berisi gelas dan minuman.
"Praaaang!!!"
Vita melihatku dengan tatapan semakin sinis. Aku mulai melihat matanya tampak merah. Dia berkali-kali mengedipkan matanya seolah menahan sesuatu yang akan keluar dari matanya.
Semua mata di ruangan itu tertuju pada kami, terutama Vita.
Aku bisa menilai pandangan mereka seolah menyerukan "Kapok" pada Vita.
Meski aku tahu Vita keterlaluan, tapi aku tidak bermasalah mempermalukan Vita seperti itu. Aku hanya ingin mencegah Vita berbuat irasional pada anak magang itu.
Vita melihat sekeliling dan melihat sorot mata para karyawan Junior menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.
Vita memutuskan pergi secepatnya.
Aku tidak mungkin mengejar Vita dengan situasi seperti ini.
"Siapa nama kamu?" Tanyaku pada anak magang itu.
"Gina Pak..." Jawabnya lirih.
"Kamu duduk kembali saja, jangan terlalu diambil hati. Lain kali jangan sampai berurusan dengan Bu Vita." Pesanku pada Gina.
Aku kembali ke ruanganku dan melanjutkan pekerjaanku.
Sampai sore hari menjelang jam pulang kerja, aku sama sekali tidak melihat atau mendengar Vita masuk ke ruangannya yang berada di sebelah ruanganku.
"Hah... apa aku tadi terlalu kasar padanya?" Aku mulai meraba-raba tindakanku tadi pagi padanya.
Tidak berapa lama ada sebuah pesan WA masuk dari Yudi, salah satu rekan supervisiku.
Yudi: Ren, bisa minta tolong bawakan barang-barang Vita ke rumah sakit Mitra?
Aku: Rumah Sakit? Vita kenapa?
Yudi: Dia kecelakaan.
Mataku langsung terbelalak, aku hampir tidak percaya dia mengalami kecelakaan sesaat setelah tadi pagi aku membuatnya pergi dari kantor.
Aku: Oke. aku ke sana sekarang.
Aku masuk ke ruangan Vita, untuk pertama kalinya aku memegang barang-barangnya. Tas dan beberapa pocket yang sepertinya berisi make up.
"Plop!"
Sebuah buku jatuh dari atas meja. Aku segera merapikan buku tersebut, namun tiba-tiba ada foto yang jatuh dari buku tersebut. Tidak hanya satu.
Sekilas aku melihat foto yang tidak asing.
Itu fotoku.
"Apa ini?" Batinku.
Aku tidak bisa tidak peduli dan mengabaikan begitu saja pada buku itu. Dan aku pikiran lancangku mendorongku untuk membuka buku itu.
Dan banyak fotoku di sana. Bukan fotoku sendiri, tapi tepatnya foto itu diambil beberapa tahun lalu pada saat awal-awal kami masih menjadi anak magang. Banyak moment kegiatan yang tidak sengaja kami sedang bersama dalam satu project. Pada saat gathering di Bali, seminar di Palangkaraya, tour ke Raja Ampat, dan masih banyak moment di mana kami bersama.
Aku sama sekali tidak menyangka apa yang aku lihat. Kenapa Vita bisa menyimpan banyak fotoku.
Mungkinkah Vita suka padaku?
Seketika aku ingat istri dan anak-anakku di rumah. Aku langsung menutup rapat buku itu dan menempatkan foto-foto itu dalam keadaan semula.
Aku segera berangkat ke rumah sakit untuk menyerahkan barang-barang Vita.
Sepanjang perjalanan ke Rumah sakit, perasaanku kacau sekali. Kenyataan yang baru aku ketahui itu membuatku semakin merasa bersalah pada Vita.
Tapi saat aku merasa kasihan pada Vita, seketika nuraniku berulang-ulang memperlihatkan wajah-wajah keluargaku yang seharusnya lebih berhak mendapatkan belas kasihan dariku.
Sesampainya di rumah sakit, aku menghubungi Yudi.
"Halo... Yudi, ini aku udah bawa barang-barangnya Vita. Kamu di mana?" tanyaku pada Yudi melalui telepon.
"Di paviliun Adenium kamar no.3" Jawab Yudi.
Aku segera ke ruangan itu dengan membawa barang-barangnya Vita. Dan setelah berada di depan kamar itu, tiba-tiba aku merasa canggung.
Aku masuk perlahan, dan Yudi langsung menyambutku dengan senang.
"Hah... untunglah kamu datang. Aku mau jemput istriku, dia udah telepon." Yudi tiba-tiba nyelonong hendak pergi.
"Lah, kamu mau ke mana Yud? Vita gimana?" Tanyaku pada Yudi sambil sekilas aku lihat Vita masih tertidur tenang.
"Aku udah telepon adiknya, bentar lagi dia datang. Aku gak bisa nunggu dia lama karena istriku di supermarket sendirian." Tanpa menjelaskan lebih banyak Yudi segera pergi.
"Yud... aku juga mau pulang... Yudi!" Teriakku pada Yudi yang seolah tidak mendengarkan panggilanku.
"Fiuh..." Aku mendenguskan nafas.
Aku mana mungkin bisa menemani Vita dengan situasi yang canggung seperti ini. Bukan karena perasaan atas kepercayaan diriku, atau semacamnya. Tapi lebih ke menjaga sikapku sebagai seorang pria yang sudah menikah dan tidak ingin memiliki salah paham terhadap Vita.
Beberapa saat kemudian aku menelpon istriku, memberinya kabar bahwa aku akan pulang agak telat karena harus menunggu keluarga Vita sampai di rumah sakit. Istriku sempat terkejut mendengar Vita masuk rumah sakit. Namun aku meyakinkan dia untuk tidak perlu mengkhawatirkan kondisi Vita.
Tidak berapa lama saat aku menelpon, adiknya Vita dan suaminya datang. Dan tanpa basa basi aku berpamitan pulang.
-----------------------------
"Aku mau mengajukan pindah." Ucapku tiba-tiba pada istriku.
Istriku terkejut mendengar ucapanku. Wajar dia kaget, karena sebelumnya aku selalu mengatakan bahwa aku ingin terus berada di kantor cabang yang sekarang karena sudah nyaman. Bahkan aku beberapa kali menolak promosi jabatan dengan syarat pindah penempatan karena aku enggan pindah penempatan kerja.
"Kenapa berubah? Katanya enak di sini? Bahkan kita sudah daftar KTP kota sini..." Tanya istriku penasaran.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin suasana baru. Sejak aku OJT sudah di sini, jadi aku pengen merasakan suasana luar Jawa... Kamu mau ikut kan?" Tanyaku pada istriku.
Istriku diam. Aku tahu dia sedang memikirkan banyak hal jika ingin pindah. Masalah rumah, sekolah anak-anak, dan usaha cateringnya.
"Kalau kamu tetap di sini bersama anak-anak nggak apa-apa. Tapi sebenarnya aku ingin kamu dan anak-anak juga ikut...." Bujukku padanya.
Istriku hanya tersenyum. Aku tahu dia tidak akan tega kami saling berjauhan. Aku sangat mengenal wanita yang sudah 8 tahun aku nikahi itu. Dulu dia rela resign dari pekerjaannya di Jakarta demi agar kami tidak LDR lagi. Padahal saat itu kami masih belum memiliki anak.
Apalagi sekarang kami memiliki dua anak, tentu dia akan melakukan hal yang sama demi keutuhan keluarga kami.
"Aku mau ikut, tapi aku mau cari orang yang bisa mengelola cateringku di sini. Dan mungkin sebulan sekali aku akan berkunjung ke sini untuk melakukan evaluasi." Ucap istriku membujukku agar aku menyetujui persyaratannya.
Aku langsung mengangguk karena senang. Sesuai dugaanku, dia tidak akan tega kami saling berjauhan. Atas persetujuan istriku, aku semakin mantap untuk pindah tempat kerja. Sehingga aku bisa menjauh dari Vita.
Tidak butuh waktu lama pengajuanku disetujui oleh kepala kantor. Dan tidak sampai dua minggu, penempatan baruku sudah diputuskan, yaitu pindah ke kantor cabang Makassar.
-------------------------------
Persiapan pindahanku tentu saja tidak banyak orang yang tahu, termasuk teman-teman seruanganku. Mereka sangat terkejut saat H-2 aku pindah, aku mengadakan makan-makan bersama teman-teman di departemenku yang diselenggarakan di kantor.
Karena perpindahanku terkesan mendadak, beberapa orang bahkan merasa kecewa karena mereka tidak tahu apa-apa sebelumnya, termasuk Vita. Sesaat setelah dia mendengar aku akan pindah, dia bahkan tidak keluar dari ruangannya. Bahkan tidak berpura-pura sekedar basa-basi, padahal dia berada di ruangannya yang hanya dibatasi kaca tempered dengan ruanganku.
Dan saat menjelang jam pulang kantor. Aku masuk ke ruangannya.
"Vita. Boleh aku masuk?" Aku berusaha menyapanya.
"Ya. Silahkan..."Jawab Vita singkat.
"Aku mau pamitan sekarang, karena besok aku ambil ijin kerja untuk persiapan pindah. Lusa aku berangkat ke Makassar. Terimakasih atas kerja samanya selama ini." Ucapku pada Vita dengan nada yang sedikit lebih ramah.
Vita hanya diam dan mengangguk.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya... Oh iya, ini ada bingkisan kecil dari istriku. Dia membuat khusus untukmu karena dia tahu kamu teman baikku." Aku menyerahkan bingkisan yang sudah dihias tapi oleh istriku.
Vita menerimanya tanpa komentar apa-apa. Aku pun berbalik hendak pergi. Aku mengabaikan sikap Vita yang memang sudah biasa seperti itu.
"Rendi..." Panggil Vita tiba-tiba.
Aku berhenti lalu menoleh ke arahnya.
"Kamu sengaja pindah karena aku?" Tanya Vita sambil tetap menunduk.
"Tidak. Apa hubungannya?" Jawabku tanpa ragu.
"Terakhir kali aku bermasalah denganku soal anak magang itu...." Ucap Vita.
"Tidak, bukan itu. Sebagai teman kerja aku sudah sangat mengenalmu. Jadi aku tidak menganggap itu sebuah masalah besar sampai aku ingin mengajukan pindah." Jawabku dengan ramah pada Vita.
"Lalu kenapa kamu tiba-tiba pindah?" Tanya Vita penasaran.
"Satu-satunya alasan adalah keluargaku. Di kantor cabang ini aku merasa memiliki banyak tekanan, lembur, deadline, dan target pencapaian. Sehingga aku tidak memiliki banyak waktu untuk keluargaku. Jadi aku mengajukan pindah ke kantor cabang yang lebih kecil dari Surabaya, agar aku bisa punya banyak waktu untuk keluargaku. Itu alasan utamaku." Jelasku pada Vita.
"Rendi, apakah setelah ini kita akan tetap berteman baik?" Tanya Vita dengan suara lebih pelan.
"Kita saling mengenal karena pekerjaan, dan kita akan tetap berteman baik sebagai rekan kerja. Selamanya dan tidak akan berubah." Ucapku dengan mantap.
Vita terdiam, sepertinya kalimatku sudah tersampaikan mewakili maksudku yang sebenarnya.
Vita tersenyum.
"Ya.... Selamanya aku akan tetap jadi rekan kerja bagimu." Ucap Vita.
Aku sangat mengerti kalimat yang diucapkan Vita menyiratkan bahwa kami memang tidak akan pernah bisa lebih dari rekan kerja, aku bersyukur Vita memahaminya.
Pada akhirnya aku hanya bisa menjauhi Vita. Sejujurnya aku sudah cukup bersabar dengan wanita keras kepala dan kasar seperti Vita.
Aku tidak perlu berusaha untuk mengerti dirinya karena dia bukan wanita yang wajib aku mengerti. Dan aku juga tidak peduli dengan sikapnya.
Sampai kapanpun aku tidak ingin tahu dan tidak ingin peduli dengan foto-foto yang tersimpan di bukunya itu.
Aku hanya berdoa semoga dia mendapatkan Pria baik yang bisa bertahan dan mampu merubah wataknya yang keras kepala.
------------------------------------------