Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, tapi aku masih terjaga di tepi ranjang. Ada hal yang mengganjal hatiku sampai kantuk tak berani menghampiri.
Di depanku, Lala terlelap dengan mata sembap. Bocah 7 tahun itu habis menangis dalam waktu yang lama. Dia sedih melihat orang tuanya bertengkar hebat dan pergi sendiri-sendiri—Mas Andra pulang ke rumahnya, sedangkan Mbak Dinar pergi ke rumah Nenek.
"Mama dan Papa akan cerai, Tante. Terus ... siapa yang akan ngasuh aku?" ratap Lala tadi sore, ketika orang tuanya baru saja pergi.
"Seharusnya Mbak Dinar bisa memaafkan Mas Andra. Dengan begitu, Lala nggak akan sesedih ini," gumamku seorang diri.
Perkara dalam rumah tangga mereka memang tidak sepele. Kakak iparku—Mas Andra, dia ketahuan punya simpanan. Bukan sekadar sering jalan bersama, tapi Mas Andra juga memberikan separuh gaji setiap bulan. Sebenarnya hal wajar jika Mbak Dinar marah, tapi aku hanya kasihan dengan Lala.
"Aku nggak bisa menahan ibumu. Dia bersikeras cerai dan akan kerja ke luar kota. Entahlah ... kenapa dia tidak memikirkanmu." Kuusap lembut rambut Lala yang bergelombang.
"Lala, Tante akan berusaha menyayangimu dan menjagamu. Semoga kamu bahagia dan bisa melupakan kejadian kelam ini. Jangan menangis lagi ya, kamu nggak sendiri. Selain Tante, kamu juga punya Kakek dan Nenek yang sayang banget sama kamu," ucapku usai mengecup kening mungilnya.
Lantas, aku berbaring di samping Lala. Bukan tidur, melainkan menatap langit-langit kamar sambil memikirkan rumah tangga Mbak Dinar dan Mas Andra.
"Sayang sekali, pernikahan yang sudah berjalan bertahun-tahun akhirnya kandas karena pengkhianatan," ucapku dalam hati.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk di dapur, memasak lauk dan juga menyeduh kopi untuk Bapak. Setelah selesai, aku langsung mandi dan berdandan rapi. Hari ini, aku ada janji dengan kekasihku.
"Nggak sarapan dulu, Nduk?" tanya Ibu ketika aku baru keluar dari kamar.
"Nanti saja, Bu, aku belum lapar."
"Kamu mau pergi?" Ibu kembali bertanya.
"Iya, Bu. Aku ada janji dengan teman." Aku mengangguk. "Aku titip Lala ya, Bu. Dia masih tidur. Kata Mbak Dinar, dia biasa bangun siang," sambungku.
Ibu mengangguk, "Iya, Nduk."
Setelah mendapat izin dari Ibu, aku bergegas pergi dengan menggunakan motor matic. Aku menuju taman yang tak jauh dari rumah. Dari pesan yang baru kuterima, kekasihku sudah menunggu di sana.
Tak lama kemudian, aku tiba di tempat itu. Di antara terpaan sinar matahari yang mulai hangat, kekasihku tampak rupawan dalam balutan celana panjang dan kaus warna putih. Senyumnya mengembang ketika mata kami sudah beradu.
"Mas Andra!" panggilku dengan nada manja.
"Diana Sayang, akhirnya kamu datang juga. Mas udah kangen banget, semalam suntuk nggak ketemu kamu."
Aku tersenyum malu dalam pelukannya. Mas Andra sangat pintar menunjukkan cinta kasih yang hangat dan manis, sehingga aku selalu rindu dan tak bisa lepas darinya. Bahkan, aku ingin memilikinya secara utuh meski tahu dia adalah suami kakakku.
TAMAT