---
Matahari tak begitu terik, kami berdua duduk di bawah pohon nan rindang yang kami beri julukan `Reida`, ditemani dengan si asam manis berwarna orange juga beberapa kertas yang sudah kami gores sedemikian rupa.
Aku memandangi ketika wajah tampannya terkena sang mentari, dirinya tersenyum saat angin menerpa wajahnya pelan, sungguh perpaduan yang apik. Goresan demi goresan ku ciptakan membentuk sebuah figur yang selalu aku kagumi.
"Ra, sudah saatnya aku pergi."
Aku menoleh, mendapati dia dengan semburat sedih tergambar di wajahnya. Aku benci jika harus seperti ini, ketika aku sudah bisa mengukir senyum tanpa beban dan kau harus pergi.
"Ra, aku berjanji akan pulang, tunggu aku di sini." Dia tersenyum sambil menggenggam tanganku erat, senyuman itu entah kenapa lebih manis dari biasanya.
"Janji harus ditepati, jadi kumohon tepati janjimu." Ucapku lirih memandang wajahnya.
"Aku akan menepatinya."
---
Memakai dress merah muda dengan perpaduan bandana putih dengan bentuk pita membuatku tampak menawan. Melirik jam di pergelangan tangan, aku segera bergegas menuju Reida, ini sudah tiga bulan sejak dia pergi dan hari ini dia akan pulang.
.
.
Reida sudah mulai menggugurkan daunnya, angin bertiup lebih kencang dari biasanya, tubuhku sedikit menggigil kala teringat bahwa musim gugur telah tiba. Sudah terhitung empat jam aku menunggunya datang, sesuai dengan permintaannya sebelum pergi aku tetap menunggu di bawah pohon ini, sendirian.
.
.
.
Ini hari kedua, dan aku datang kembali untuk menunggunya, jika pun terlambat pasti ia meninggalkan sebuah pesan.
.
.
.
Hari ketiga. Aku masih datang dan menunggu disini, aku tau dia bukan tipe orang yang suka mengingkari janjinya.
.
.
.
Hari ke empat, aku mulai frustasi dengan kebosanan menunggu, apakah dia lupa bahwa sudah menjanjikan sesuatu padaku? Teleponku berdering secara acak, ibu menelponku berkali-kali dan memintaku untuk pulang, katanya sesuatu menungguku di rumah, akhirnya dengan berat hati aku melangkah pergi.
.
.
.
Hari ke lima. Aku membenci kenyataan, aku benci perpisahan dan kenapa perpisahan itu harus terjadi? Jika aku tau semua menjadi seperti ini, mungkin aku akan melarangnya pergi. Aku menangis, bukan untuk menangisi nya yang tak kunjung datang, tapi menangisi nya yang sudah pergi.
Hei Devian, aku akan selalu melihatmu disini, -melihat kenangan yang kita buat bersama. Dibawah naungan Reida yang selalu melindungiku dari sang mentari. Aku merindukan bagaimana senyum mu dan mentari menyatu menjadi satu, menciptakan lukisan indah mahakarya Tuhan.
Hei Devian, aku akan selalu datang menemui Reida, bukan untuk menunggumu lagi karena aku tau kamu tak 'kan kembali. Jika dulu tempat ini menjadi tempat paling berisik dengan ocehan mu, maka sekarang di tempat ini hanya ada suara berisik dari gesekan daun yang diterpa angin juga tangis lirihku.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hei Devian, terima kasih telah berbagi waktu bersama diriku di sini, di bawah naungan Reida kita.
- Kalara, bersama Reida kita.
⸙ 25 November 1993