Malam itu aku sedang duduk kursi bambu yang hampir rapuh, aku menatap nastabala di temani secangkir teh hangat.
Aku sengaja tinggal jauh dari ke dua orang tua ku supaya aku bisa mandiri dan memiliki keberanian yang kuat di dalam tubuhku.
Bisa di bilang aku seorang independen women, tetapi aku juga tidak yakin dengan sebutan itu.
"Huh... bapak, mamak, apa kabar kalian disana?" tanya ku pada anila malam yang sedang menusuk setiap tulang tulang di tubuhku.
"Udah lah besok saya akan menjutkan perjalanan ke Lawu, jadi saya harus istirahat cukup."
Aku sedang melakukan rencana perjalanan ke sebuah gunung di daerah Jawa. Gunung tersebut sering di juluki "Gunung setan" atau "pasar setan."
Ya, itulah Gunung Lawu. Aku bukan seorang pendaki profesional tetapi dulu saat aku masih kuliah aku pernah menjadi anggota tetap di suatu organisasi MAPALA.
Mahasiswa Pecinta Alam yang terkenal dengan ke gagahannya saat di lapangan dan keberaniannya menaklukkan sebuah Gunung yang terkenal mistiknya.
Aku beristirahat cukup hari itu dan aku akan melanjutkan perjalanan bersama tiga temanku. 2 laki-laki dan 2 perempuan.
Kami tidak memiliki hubungan, hanya saja kami teman semasa kuliah dulu. Jadi wajar kalau kami sangat akrab.
Pagi pun tiba, aku dan 3 temanku melanjutkan perjalanan pukul 8.00 am. Karena kami yakin jika kami berangkat siang maka kami akan sampai sore atau mungkin malam di pos satu.
Tepat pukul 11.00 am, kami sampai di basecamp. Istirahat sebentar sembari mendengarkan arahan kuncen Gunung ini.
Selama pendakian tidak ada masalah, hanya terkena badai dan, ya.. suara-suara dari makhluk yang tak kasat mata sering terdengar.
Kami melakukan tek tok pada malam hari, walaupun sangat beresiko tetapi kami harus sampai di perkemahan sesuai jadwal yang kami buat.
10 menit sebelum kami sampai di perkemahan, aku mendapatkan sebuah telfon dari nomor tidak di kenal.
Tetapi aku terheran-heran, 'Bagaimana bisa handphone ku dapat menerima dering telfon dari seseorang, padahal kami sedang berada di hutan rimba.'
Tapi aku tidak menghiraukannya, sampai di tengah-tengah tanjakan, temanku yang lain mendapatkan hal serupa.
"Siapa yang nelfon?" tanya Aldi temanku.
"Gak tau, bukan hp gua," jawabku.
"Gita hp lo ya?" tanya Huki temanku juga.
"Bukan, hp gua gak geter kok. Ini ada di kantong," jawab Gita.
Seketika wajah panik kami pun muncul. Tetapi Aldi selaku pemandu jalan memberikan arahan untuk maju terus, jangan menengok belakang.
Kami pun hanya berjalan maju sampai di bumi perkemahan. Teman-teman ku yang lain pun mengiyakan perkataan Aldi dan kami bergerak maju.
Tepat pukul 22.00 aku dan teman-teman sampai di bumi perkemahan.
"Gua sama Huki akan mendirikan tenda, lo sama Gita masak ya," perintah Aldi.
"Okay."
Kami pun melakukan tugas kami masing-masing. Setelah tenda jadi dan masakan kami jadi, barulah kami menyantap makanan ini bersama di dalam sebuah tenda yang berhadapan.
Di tengah-tengah makan malam ini, Gita menyeletuk " Tumben, yang kemah gak ada ya? biasanya ada lampu-lampu gitu kalo di perkemahannya."
"Iya, ya, ini gak ada sama sekali. Tapi yaudah biarin aja lah."
"Habis ini kita Istirahat ya, jangan sampe ada yang gak Istirahat!" perintah Aldi selaku leader kami.
Kami menuruti perintah Aldi karena Aldi satu-satunya teman kami yang tahu medan di Lawu ini.
Jujur aku tidak bisa tertidur sama sekali aku tidak bisa memejamkan mata. Gita mungkin sudah tertidur, tetapi aku masih menatap atap tenda berwarna hijau kuning ini.
'Kok gua denger suara gendang ya?' tanya ku dalam hati.
'Perasaan doang kali ya.'
5 menit kemudian,
'Suara hp siapa sih yang geter? Dari tadi loh ini. Tapi masa iya di perkemahan ada sinyal? Gak mungkin lah.'
Aku masih heran tapi aku dengar arahan kuncen tadi untuk membiarkan hal-hal seperti itu terjadi.
Aku memaksakan mata untuk terpejam dan akhirnya dengan segala cara, aku berhasil tidur.
Pagi pun tiba, Gita membangunkan aku untuk keluar tenda dan saat keluar, aku melihat sekeliling kami di penuhi kabut tebal.
Jarak pandang kami pun terhalangi tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku dan Gita seperti semalam, memasak makanan yang kami bawa.
Tepat pukul 10.00 am, kabut sedikit menipis dan jarak pandang kami pun mulai terlihat. Aku membangunkan Huki dan Aldi untuk makan bersama.
Mereka pun bangun untuk makan sarapan yang kami masak. Walau seadanya tetapi kami menikmati ini.
"Enak banget siapa nih yang buat?" tanya Aldi memuji.
"Gua lah," jawab Gita percaya diri.
"Pantes, asin banget hahaha," ledek Aldi.
"Ish jahat."
"Itulah kenapa saya gak mau jawab ucapan Aldi, pasti dia nyela makanan yang kita buat hahaha."
"Dasar Aldi ini!"
Tepat pukul 11.00 am, kabut sudah menghilang dan kami baru sadar kalau kami bertentangan dengan pendaki lainnya.
Tetapi kami sama sekali tidak menyadarinya bahkan suara tertawa mereka saja baru terdengar saat kabut benar-benar menghilang.
"Lah ada tetangga toh?!" sahut pendaki lain.
"Mas," sapa Aldi.
"Dari mana?" tanya pendaki itu.
"Kami dari pintu Sumatera. Kakak barusan kah?" tanya Aldi lagi.
"Kami sudah 2 hari disini mas, tapi kami kok gak tau ya ada yang datang?" tanya mas-mas pendaki ini penasaran.
"Kami juga gak tau kalau ada tetangga disini hehehe," ucap Huki.
Terlihat juga beberapa tenda kemah bersandar disini. Tapi kenapa kami tidak mendengar suara seseorang atau lampu seseorang disini semalam.
-------------------------
Setelah 3 hari menjelajahi Lawu, kami berempat serta rombongan mas mas pendaki lain pun turun bersama.
Tepat pukul 12.00 kami sampai di basecamp tempat awal kami menemukan sang kuncen.
Kami bercerita dengan pendaki lain saat kami berada di sana, tentang kejanggalan, kejanggalan yang kami alami.
"Semalam mas, mas ini ada nerima telfon kah?" tanya ku terlihat begitu polos.
"Enggak mba, lagian kita di top mana ada sinyal."
"Emang kenapa gitu?"
" Dari pas naik ke bumi perkemahan dan sampai di puncak, saya denger suara getar hp gitu."
"Bahkan saya ngedenger suara panggilan seseorang nemerima telfon itu," jelasku.
"Iya saya juga denger kok," sahut Gita.
"Gua itu. Gua dapet telfon dari nomor gak di kenal. Pas gua angkat suaranya gresek, gresek gitu gak jelas," jelas Huki.
"Tapi pas gua cek nomernya di panggilan, gak ada sama sekali. Nih, Huki menyodorkan hpnya.
"Hah?" reflek ucapan itu keluar dari mulut dan Gita.
"Biasa itu mah mas, karena kalian baru makanya ada yang mau kenalan mungkin," sahut mas mas pendaki lain.
Kami hanya bisa terdiam, tercengang mendengar pendaki lain menjelaskan hal seperti itu.
Bahkan aku yang tidak takut akan hal mistik pun ikut takut dengan pengakuan mas-mas yang lain.
Kejadian jangan memang sering terjadi. Asalkan kita sopan di tempat yang bukan tempat kita, pasti mereka tidak akan menganggu kita lebih.
So, hormati tempat yang kalian singgahi, jangan berkata kasar dan patuhlah pada semua larangan serta peraturan disana.
- END -
~ Cerita ini hanya sebuah fiksi pandangan penulis saja, tidak ingin menjelek-jelekan apa lagi menjatuhkan.~
Salam Lestari!!
Dari ku Muara, sungai yang terus mengalir deras.