Cinta, oh cinta, satu kata indah sejuta makna, tak perlulah mencari dalam kamus besar bahasa Indonesia, rumus alogaritma matematika atau pun anatomi tubuh manusia, tentang letak dimana menaruh cinta. Hati ?, Jantung ?, Ginjal ?, Paru-paru ?, Otak ?, Empedu ?, Pankreas ?.
Tidak ada yang tahu dimana cinta berasal. Datang tiba-tiba, merasuki jiwa, mencuci otak, membuat orang lupa diri, ada pula yang sampai lupa orang tua. Itulah cinta, lima kata indah yang memutar balikkan manusia dalam waras dan gila.
Orang-orang bisa gila karena memikirkan cinta, akal sehat lepas kendali karena kerasukan cinta. Kawin lalu cerai, kawin lagi cerai lagi, belum kawin udah cerai, karena cinta menjadi biang kesalahan.
Tapi cinta itu adalah perasaan. Perasaan seperti apa ?, sulit untuk dijelaskan, tidak mudah dipahami, sukar diterka, datangnya entah darimana, semua orang memiliki. Tapi tidak perduli siapa, tangis air mata, cerah tawa, diputar balik mudah saja tanpa permisi.
Sedangkan untuk Rea Azalea Refani, gadis cantik dengan rambut hitam panjang, tatapan tajam, mata dingin, 34 C, pinggang 51 cm, tinggi 158 cm dan berat 48 kg. Gadis keras kepala, berkemauan kuat seperti batu pondasi gedung bertingkat, bermulut kasar, seenaknya sendiri dan tidak ingin dipermainkan oleh cinta.
Lahir didesa kecil nun jauh, Desa pakusanga, sebelah barat kecamatan Margasura, kurang lebih tiga puluh kilometer dari kota Tegalaka. Gadis muda yang baru menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, atau tamat SMA, sedang duduk meratapi wajah kusut penuh goresan nasib perih korban dari cinta didepan cermin.
Cinta adalah penindasan, kepahitan setelah manis, hambar, sedih, sakit, marah, sepi, rindu, gila, nekad, ikhlas, kosong, cemburu, bahagia dan semua itu bergabung dalam lingkaran perbudakan cinta.
Sebuah misteri hidup yang hanya dia dengarkan dari mulut-mulut artis sinetron drama, perdebatan kisah janda dengan satpam penjaga, dan pilihan tragis yang diberikan oleh kedua orang tua.
Dia dijodohkan, kawin terpaksa, nikah sepihak.
Pilihan pahit itu tidak bisa ditolak oleh Rea, hanya menerima keputusan dan menunggu nasib menjadi istri seorang lelaki entah dari mana, kenal pun tidak, tahu saja baru kemarin, tapi datang sebagai calon suaminya.
Ayah Rea Samroji memang bukan orang terkenal, bukan orang kaya pula, bukan sekretariat desa, bukan ajudan lurah, pak RT, pak RW atau pun lainnya. Samroji hanya penjual buah di pasar, seorang lelaki polos yang mencintai keluarganya dengan sepenuh hati, walau pun hidup dalam kemiskinan tujuh turunan dari desa kecil di ujung selatan kota Tegal.
Tapi dia tidak bisa membenci keputusan orang tuanya itu, selama ini, Rea sudah dibesarkan dengan segala jerih payah, kerja keras, keringat, luka, perjuangan, panas, perih, pahit dan air mata. Demi membahagiakan kedua orang tuanya, rela dan ikhlas mempertaruhkan kebahagiaan masa muda yang dia impikan.
"Maafkan ayahmu ini Rea, jika bukan karena bantuan tuan Rahmat dulu, kau mungkin tidak akan pernah lahir, paling tidak, ini cara untuk membalas budi kepada mereka dan menjadi istri dari anaknya, Ryan."
Berat Samroji berbicara kepada Rea dengan wajah lembut penuh keriput, bukti nyata perjuangan hidup yang sudah dilewati selama 54 tahun.
"Tidak apa ayah, aku mengerti, bagiamana pun juga ini menjadi tanggung jawab yang harus aku lakukan." Jawab Rea tanpa ragu dan menerima apa yang akan terjadi.
Rea adalah wanita tangguh yang hidup dalam kerasnya dunia tanpa belas kasih, kaki berpijak tanah berkerikil tajam dan kepala terangkat melawan panas matahari, bahkan jika itu badai, kokoh kaki akan senantiasa melawan.
Hanya karena keterikatan takdir membawa Rea dalam pernikahan yang terpaksa, dia tidak akan goyah, bersedih atau pun kalah.
Dihadapan kedua orang tuanya, adik-adiknya, saudara-saudara jauh dan dekat, mertuanya, penghulu, wakil penghulu, saksi-saksi, tetangga kiri atau pun kanan, adik kelas, kakak kelas, teman kelas, guru wali kelas, satpam penjaga gerbang sekolah, hingga petugas kebersihan, guru mengaji, guru madrasah Ibtidaiyah.
Tidak lupa pula, supir angkot dan para kenek-keneknya yang sudah menjadi langganan pulang pergi ke sekolah, tidak lupa juga para mantan pacar, mantan yang belum sempat jadi pacar, mantan yang kini menjadi pacar orang, selain itu, pemilik warung makan, warung sembako, warung kopi, tidak lupa juga warung pulsa, serta para karyawan-karyawan tetap yang tidak pernah naik jabatan.
Semua orang yang mengenal Rea serta keluarga hadir didalam acara Ijab Kabul. Setiap saksi-saksi berekspresi tegang, nafas berat ditarik dan lupa dihembuskan, ketegangan wajah-wajah untuk mendengarkan satu kata. "Sah."
Saat satu kata itu terucap, semua orang mulai bernafas lega, ekspresi kebahagiaan, kesedihan, kebingungan, tegang, kaki keram, perut mules, gemetaran, kepala pusing, tergambar jelas dari masing-masing wajah para hadirin.
"Alhamdulillah."
Rea tidak bergeming, suara semua orang masih berdengung di gendang telinganya, tanpa senyum, tanpa air mata, hanya tatapan mata datar dan rumit isi pikiran.
Didalam jiwa Rea, semangat perlawanan terhadap takdir masih membara, tidak akan pernah menyerah dalam hidup, apa pun Rea lakukan dan bersiap melancarkan serangan balik.
Hanya demi satu hal, yaitu kebahagiaan.