Saat memasuki lantai dua di rumah Ana, aku merasakan hawa yang menekan. Dada terasa sesak terhimpit, pori-pori membesar dan bulu di tubuh terasa berdiri semua. Mulai dari ujung kaki sampai kepala merinding. Merasakan semua hal itu membuatku ingin muntah, ditambah suhu ruangan yang dingin, semakin terasa tidak nyaman. Kesadaran baru kembali saat Cindy menarik tanganku untuk duduk di lantai beralaskan tikar mendong. Ternyata teman yang lain sudah duduk bersila dan siap untuk memainkan kartu remi.
"Bayu kamu bisa main kartu Remi?" tanya Diki kepadaku.
"Bisa!" Aku menjawab dan menganggukan kepala.
"Bagus, jadi kita berlima akan main. Siapa yang kalah maka wajahnya akan dikasih coretan di wajahnya dengan masker bedak ini." Diki memperlihatkan satu mangkuk kecil berisi bedak yang telah dicampur dengan air.
Aku, Ana, Cindy, Diki dan Edi bermain kartu bersama di lantai dua itu. Entah kenapa aku ingin terus melihat ke arah sudut ruangan. Seolah ada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu.
"Aduh! Kok seperti ada yang menggelitik pinggangku," kata Edi yang duduk bersandar ke ranjang. Dia mengusap punggungnya dan memasukan tangan ke dalam baju. Tubuhnya menggeliat seperti sedang menari.
"Tadi kamu mandi nggak?" tanya Ana yang duduk disamping Edi.
"Mandi tadi pagi, sore nggak." Edi tersenyum malu dan Adi menepuk bahunya.
"Makanya gatal tuh badan," balas Ana.
Saat Edi tadi bicara ada yang menggelitik pinggangnya. Mata ini tanpa sadar langsung mengarah ke depan. Kolong kasur itu terlihat begitu gelap dan terasa ada angin dingin yang berhembus dari arah sana. Aku merasa ada sesuatu juga di kolong kasur itu. Kami pun melanjutkan bermain kartu selama satu jam. Diki dan Edi yang paling banyak mendapatkan coretan di wajah. Hampir semuanya tertutup masker bedak. Aku dan Cindy hanya mendapat satu coretan sedangkan Ana tidak ada sama sekali.
***
Kami pun membasuh wajah di kamar mandi yang letaknya di lantai bawah. Aku dan Diki selesai paling duluan, kemudian kembali naik ke lantai atas. Tanpa sengaja mataku bertatapan dengan seorang nenek yang tersenyum ke arah kami.
"Neneknya Ana?' batinku begitu melihat sosok nenek-nenek memakai baju kebaya kuno dan samping. Rambutnya sudah memutih semua.
"Sini ikut nenek!" Suara khas nenek-nenek langsung terdengar begitu jelas. Lagi-lagi senyumannya tercipta di wajahnya yang penuh keriput.
"Maaf, Nek." Aku pun membalas senyumannya dan menundukan kepala sebagai tanda hormat kepadanya.
"Bay, ayo! Kita kembali ke atas."
Aku dan Cindy menaiki anak tangga dan ketika aku palingkan lagi kepalaku ke arah tempat nenek Ana tadi, sudah tidak ada. Mungkin sudah kembali.
***
"Ana, katanya di rumah nggak ada siapa-siapa? Kok tadi ada nenek kamu di lantai bawah." Edi yang baru saja kembali dari kamar mandi yang berada di lantai satu tiba-tiba membicarakan ada orang lain.
Ana mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Edi. Dia pun berkata, "aku sudah tidak punya nenek, mereka sudah lama meninggal. Apalagi nenek dari pihak bapak, aku belum pernah bertemu dengannya. Beliau meninggal saat bapak masih kecil."
Bulu punduk aku langsung berdiri saat Ana bilang sudah tidak memiliki nenek lagi. Apa yang dikatakan oleh Edi tadi, aku juga melihatnya saat tadi masuk ke rumah Ana dan barusan.
"Lalu yang tadi itu, siapa?" tanya Edi dengan wajahnya yang berubah menjadi pucat.
"Jangan-jangan itu makhluk halus," jawab Cindy dengan berbisik dan itu membuat aku semakin merinding. Semua bulu yang ada pada tubuh terasa berdiri tegak lagi.
Ana langsung memeluk tubuh Diki yang berada disampingnya. Aku juga memegang tangan Cindy dengan tiba-tiba dan membuatnya terpekik, mungkin dia terkejut. Edi dan Ana pun ikutan berteriak dan itu membuat Diki terkekeh. Aku bukannya penakut kalau berurusan makhluk halus, hanya saja merasa tidak nyaman kalau mereka muncul di sekitarku.
***
Jam sudah menunjukan pukul 21.13 tetapi kita malah asik bermain gitar dan bernyanyi. Kali ini kita berada di beranda lantai dua. Aku memainkan gitar bersama Diki sedangkan Cindy, Ana dan Edi bagian bernyanyi. Suasana malam yang tenang berubah menjadi ramai karena suara gitar dan nyanyian dari suara trio CAE–Cindy, Ana dan Edi. Saat asik bermain gitar, ada yang melempari aku menggunakan buah palem. Tidak hanya sekali melainkan tiga kali. Teman-teman yang lain masih semangat bernyanyi. Tanpa sengaja terlihat ada bayangan orang di pojok searah kaca jendela, yang sejak tadi mencuri perhatianku.
Aku perhatikan sosok yang memiliki rambut pendek, ternyata tidak ada mata, hidung dan bibir. Hanya wajah polos tidak ada apa-apa, tetapi banyak darah di sana.
"Hai, kalian lihat ke pojok sana!" Pintaku sambil menunjuk ke sudut ruangan yang terlihat lewat jendela besar, kepada teman yang lain tanpa mengalihkan pandangan aku.
Aaaaaakh!
Teman yang lain pun berteriak dengan kencang, sampai telingaku berdengung mendengar jeritan mereka. Kemudian, semuanya merapat saling berpelukan. Cindy juga langsung memeluk tubuhku sedangkan Ana memeluk tubuh Edi.
"Turun! Turun! Ke lantai bawah," teriak Diki.
"Pergi! Wush … wush!" Edi menggerakkan tangannya tapi matanya terpejam.
Ana dan Cindy menutup mata mereka dengan tangan, tetapi jari-jarinya kadang dibuka. Sepertinya, mereka takut tapi penasaran ingin lihat lagi.
Sosok itu sudah menghilang begitu aku lihat ke arahnya lagi. "Sudah nggak ada, sudah menghilang," kata aku.
***
Kita tidur di lantai bawah di ruang keluarga yang lumayan luas. Beralaskan karpet dan tidur berjajar karena Ana dan Cindy sangat ketakutan. Bahkan mereka minta posisi tidurnya di tengah tidak mau di sisi. Aku pun tidur paling ujung, dekat meja yang tadi di seret menempel ke dinding. Jam dinding kuno yang ada di ruangan itu berbunyi pas pukul 00.00 dan membuatku terkejut begitu mendengar bunyi loncengnya. Entah kenapa itu mengingatkan akan jam yang ada di film-film horor zaman dulu. Saat aku membalikan badan menghadap meja, ada sesuatu yang muncul di sana.
"Kak, mau main dengan aku nggak?" Sosok anak kecil perempuan bermata hitam besar dan wajahnya sangat pucat menatap aku.
Aaaaaakh!
Spontan aku berteriak dan bangun menjauh dari meja. Sosok anak kecil itu kembali masuk ke dalam di kolong meja. Rupanya teriakan aku membangunkan anak yang lain.
"Ada apa?" tanya Ana, Cindy, Diki dan Edi bersamaan.
"A–Ada anak pe–rempuan, mengajak ber–main di kolong meja," jawab aku dengan terpotong-potong.
Jantungku masih berdetak sangat kencang karena masih teringat jelas suara dan tatapan mata dari hantu anak kecil tadi. Aku pun nggak mau tidur di dekat meja lagi. Akhirnya kita semua pindah tidur di ruang paviliun.
***
Sekitar jam 02.00 aku terbangun ingin kencing dan membangunkan Diki untuk menemani ke toilet. Aku takut bertemu dengan nenek-nenek tadi lagi.
"Diki, kita tadi tidur berlima atau berenam?" tanya aku saat teringat ada empat orang yang masih tertidur di paviliun tadi.
"Berlima. Kenapa kamu bertanya begitu?" Diki bertanya sambil menguap lebar. Kemudian terdengar suara tawa anak-anak kecil yang seolah menertawakan kelakuan Diki.
Aku dan Diki terdiam dan saling pandang, kemudian berlari kembali ke paviliun. Saat tiba di sana ada anak laki-laki yang yang menatap dan tersenyum ke arah kami.
Aaaaakh!
Senyuman dari anak laki-laki Itu membuat aku dan Diki berteriak kencang. Ternyata yang menjadi pikiran aku sejak tadi adalah bertambahnya satu orang yang ikut tidur bersama kami.
"Apa! Ada apa?" Edi yang terbangun karena mendengar suara teriakan kami, kepalanya celingukan ke kanan kiri. Dia tidak sadar kalau baru saja tidur bersisian dengan sosok asing.
Ana dan Cindy yang tidur di sofa langsung terduduk dan mengucek mata mereka. Wajahnya terlihat sangat kesal dengan bibir yang mengecut dan alis yang hampir bertautan.
"Ada apalagi, kali ini?" tanya Ana kesal sambil menatap ke arah aku dan Diki.
Saat aku alihkan lagi pandangan ke arah Edi, ternyata sosok anak laki-laki Itu sudah tidak ada. Aku jadi bingung harus mengatakan apa kepada mereka.
"Diki, tadi kamu melihatnya juga 'kan?" tanya aku untuk meyakinkan saja penglihatanku tadi.
"Iya, anak laki-laki yang tersenyum kepadaku," jawab Diki.
"Kepadaku juga," kata aku lagi.
***
Aku pun menceritakan apa yang sudah terjadi tadi. Ana mengeratkan pelukannya kepada Edi–kekasihnya, begitu juga sebaliknya. Cindy juga memeluk lenganku, terasa badannya bergetar mungkin dia merasa takut mendengar cerita barusan.
"Selama aku tinggal di sini, tidak pernah ada kejadian seperti ini," kata Ana.
"Lalu kenapa sekarang banyak banget penampakan makhluk halus?" tanya Cindy.
"Aku juga tidak tahu. Tapi, aku pernah mendengar cerita kalau pemilik rumah ini dahulu meninggal karena bunuh diri," jawab Ana yang masih dalam pelukan Edi.
"Jangan-jangan mereka itu adalah arwah penasaran? Dan meninggal dalam membawa dendam," kata Diki.
"Lalu apa yang menyebabkan arwah-arwah itu baru muncul sekarang? Keluarga aku sudah tinggal di sini lebih dari dua puluh tahun. Tapi, belum pernah ada kejadian seperti ini." Ana pun mengambil handphone miliknya dan menelepon seseorang. Ternyata Ana menghubungi orang tuanya yang sedang menjenguk sanak saudara di luar kota. Dia juga menanyakan pemilik rumah sebelumnya. Ternyata pemilik sebelumnya adalah pasangan suami istri dan memiliki anak kecil yang sering melihat penampakan di rumah ini, makanya mereka menjual kembali kepada orang tua Ana.
"Ana kamu dengar cerita tentang pemilik yang bunuh diri itu dari siapa?" tanya aku penasaran.
"Dari Mbah Joko yang tinggal di seberang jalan," Jawab Ana sambil menunjuk ke arah rumah besar yang tepat di depan rumah ini.
"Kita tanyakan kepadanya, siapa yang telah meninggal bunuh diri itu? Karena makhluk itu terus muncul di kita," kataku dan mendapat anggukan dari yang lainnya.
***
Kami pun mendatangi rumah Mbah Joko, untungnya beliau sudah bangun. Ana pun menceritakan kejadian yang sudah terjadi di rumahnya. Mbah Joko hanya manggut-manggut tanda dia mengerti.
"Pemilik rumah itu dulunya adalah Pak Galih, orang paling kaya di sini. Dia terlibat kasus pembunuhan berencana, kemudian divonis hukuman mati. Istrinya menjadi stress, saat menyebrang jalan di depan, dia tertabrak mobil dan ikut terseret sampai wajahnya hancur tidak berbentuk lagi rupanya."
Mendengar cerita Mbah Joko barusan kami saling pandang. Aku yakin pasti semuanya memikirkan makhluk yang muncul, di lantai dua. Sosok yang tidak memiliki wajah dan kepala yang berlumuran darah.
"Pak Galih memiliki seorang ibu yang sudah lanjut usianya waktu itu. Juga dua orang anak laki-laki dan perempuan. Entah karena apa, ibunya Pak Galih mencampurkan makanan mereka dengan racun tikus. Mayat mereka ditemukan dua hari kemudian karena kondisi rumah yang selalu mati lampunya. Juga, kedua anak itu tidak masuk sekolah. Jadi, aku dan beberapa warga masuk ke dalam rumah, ternyata mereka bertiga sudah meninggal dunia."
Wanita lanjut usia itu aku rasa adalah nenek-nenek yang aku temui begitu masuk rumah Ana. Anak perempuan itu, aku sempat berpikir kalau dia anak yang muncul dari kolong meja dan mengajak aku bermain. Sedangkan anak laki-laki yang ikut tidur bersama kami adalah anak lelakinya Pak Galih. Aku semakin merinding ketika teringat wajah-wajah pucat mereka.
"Oh, iya. Kasus Pak Galih dan kematian keluarganya sempat masuk berita koran dan televisi waktu itu. Aku juga mempunyai beberapa berita di koran dan majalah," kata Mbah Joko.
"Boleh kami melihatnya, Mbah?" tanya aku penasaran.
Mbah Joko kembali dengan membawa banyak koran dan majalah yang sudah menguning kertasnya. Kami pun membaca berita dari koran-koran itu. Hal pertama yang membuat aku terkejut adalah foto seorang yang aku kenal, terpampang jelas di persidangan Pak Galih.
Hal kedua yang membuat aku terkejut adalah foto-foto keluarga Pak Galih yang meninggal itu serupa dengan makhluk halus yang sejak tadi menampakan diri.
"Aku rasa tahu kenapa arwah-arwah penasaran itu baru muncul sekarang," kata aku, dan semua mata memandang ke arahku.
"Karena orang yang menjatuhkan vonis hukuman mati untuk Pak Galih adalah kakekku." Aku menunjukkan gambar seorang hakim yang memiliki wajah mirip dengan aku.
Aku lihat Cindy, kekasihku menatapku dengan pandangan tak percaya, begitu juga dengan yang lainnya.