Setelah jam pelajaran berakhir, aku di panggil untuk masuk ke ruang Pak Alfian. "Permisi pak? Anda memanggil saya?" tanyaku dengan ragu masuk ke ruangannya.
"Aline? Ya, masuk ada beberapa hal yang ingin bapak bicarakan," Jawa Alfian.
Dengan sigap Aline masuk, dan duduk tepat di kursi depan meja kerja Alfian. Perasaan gugup mencuat dalam diri Aline, apalagi saat gurunya itu sibuk sendiri seolah tak memerhatikan dia ada.
"Maaf pak, ada apa? Jika tak ada perlu boleh saya kembali?" tanya Aline kembali masih menjaga image baik sebagai seorang murid.
"Tunggu!" sergah Alfian langsung memberikan amplop berwarna navy pink pada Aline.
Perasaan Aline makin tak enak, apalagi ini terlihat seperti surat cinta pada anak-anak SMA. Akan tetapi, yang membedakan kali ini adalah gurunya sendiri yang memberikan surat itu.
"Maaf pak, ini apa?" tanya Aline pura-pura tak mengerti.
"Tiket bioskop sama dinner, nanti malam jam delapan," jawab Alfian cepat duduk depan Aline.
"Bu-buat apa ya pak?"
"Kamu masih gak sadar? Saya mengajak mu berkencan."
Antara bingung juga terkejut, lain hal dengan Alfian yang nampak biasa saja tanpa Ekspresi yang dia keluarkan. Jantung Aline serasa tak pada tempatnya, berdegup begitu hebat apalagi ini seperti pengakuan cinta pertama untuknya.
"Maaf pak, Anda nembak saya?!" kata Aline yang keluar spontan.
Mendengar ucapan dari Aline, bukannya marah malah tawaan pelan dari Alfian. Kekehan seperti mengejek, lalu melihat ke arah Aline kembali. "Saya gak nembak kamu, saya lagi lamar kamu," jawabnya santai.
"LOH! Bapak gila ya! Saya ini murid bapak!" teriak Aline kembali, langsung beranjak dari tempat duduknya. "Saya tau bapak itu guru, ya bapak ada kuasa di sini tapi sadar diri pak, usia bapak dengan saya beda jauh!" lanjut Aline.
"Saya baru dua puluh tiga tahun, tak terpaut jauh apalagi kamu sekarang di kelas akhir kan? Mungkin saya bi-"
"Pikir lagi pak! saya itu murid bapak!" teriak Aline kembali meninggalkan Alfian begitu saja.
Perjalanan ke kelasnya, Aline sedikit panik dengan apa yang telah dia lakukan. Rasanya dia menyesal apalagi membentak gurunya seperti tadi. 'Parah, nilai ku bisa turun parah....' batin Aline menyesali apa yang telah dia lakukan.
Keesokan harinya Aline merasa tak enak. Hari ini adalah jadwal Alfian mengajarnya. Entah apa yang harus dia lakukan, apalagi kejadian kemarin masih di simpan rapat olehnya.
Di jam pelajaran Alfian, Aline hanya bisa menundukkan kepalanya. Apalagi saat, dirinya termenung membuat dia tak sadar dirinya di panggil beberapa kali untuk kedepan.
"Aline, itu loh sekarang kamu yang presentasi," kata teman sebangku Aline.
"Eh-?! Iyakah?" tanya Aline pura-pura tak tau.
Dengan ragu dia berjalan ke depan, menyiapkan LCD yang dia sambungkan di laptop. Terlihat Alfian dari belakang menatapnya, terlihat senyum seperti puas dan mengejek.
Beberapa saat kemudian Aline mulai presentasinya. Tanpa sadar, dia juga tak memerhatikan Alfian kembali saat dia selesai presentasi.
"Ya, begitulah presentasi dari saya, apakah ada pertanyaan?" kata Aline ragu saat semuanya hanya diam.
Seperti biasa semua orang di kelasnya sangat pasif, apalagi saat pelajaran Pak Alfian. Dalam batin Aline bergejolak, saat tak ada teman sekelasnya yang bertanya maka Alfian sendiri yang akan bertanya.
"Baik, apakah ada pertanyaan? Sesi tanya jawab di buka sekarang," kata Alfian seperti biasa dengan nada dinginnya.
Lagi-lagi semuanya hanya diam, membuat Aline hanya bisa pasrah dengan apa yang akan di tanyakan oleh Alfian.
"Baiklah Aline, karena tak ada yang bertanya jadi saya saja yang bertanya. Apakah kamu sudah memahami benar apa yang kamu rangkum di dalam sana? Kenapa isinya hanyalah penjelasan bertele-tele dari buku saja? Saya minta buat kesimpulan bukan penjelasan ulang!" ujarnya.
Khas seperti biasa, tak ada yang berubah. Alfian memang di kenal sebagai guru yang tegas dan cermat. Tapi dia tak pernah merasa setegang ini saat di tanya oleh Alfian.
"Maaf pak, memang bapak di meminta kesimpulan, tapi saya juga memberikan sangggahan atau alasan dari kesimpulan saya. Saya sudah membuat kesimpulan, dan itu ada di slide terakhir ppt saya."
"Ya? Kamu bilang itu kesimpulan? Saat penjelasan kamu selalu melihat ppt milikmu, kamu tak paham apa yang kamu bawakan?! Pantas saja teman-teman mu tak bisa membuat pertanyaan," perkataan dari Alfian tentu saja membuat Aline marah. Dia sudah melakukan apa yang dia bisa, tapi di salahkan oleh guru labil itu. Mungkin ini juga balasan karena menolaknya untuk berkencan kemarin.
"Maaf ya oak, yang jadi guru di sini itu bapak bukan saya! Misal saya gak paham, setidaknya bapak yang kasih paham. Teman-teman saya juga sebenarnya paham, itu alasan mereka tak bertanya. Setidaknya jika tak bisa menghargai hasil kerja saya bapak tak perlu menjelekkan hasilnya!" teriak Aline.
Seketika ruang kelas menjadi hening, bahkan lebih suram dari sebelumnya. Kaki dan tangan Aline juga seketika menjadi lemas, apalagi sesaat setelah mengatakan hal seperti itu. Rasanya dia sudah akan di keluarkan dari sekolah sekarang.
Apalagi saat Alfian hanya diam, menekuk kedua tangannya lantas melihat ke arah Aline dengan tatapan dinginnya. Hingga suara bel istirahat, membuyarkan suasana kelas saat itu.
"Seolah tolong simpan laptop Aline, lalu Aline ikut dengan saya sekarang, ada sanggahan? Bicara langsung di hadapan saya!" ujar Alfian dengan tegas melanjutkan langkah kakinya keluar.
'Ya, aku akan di DO sekarang....' batin Aline merasa menyesal.
Dalam ruangan Alfian sudah duduk dengan rapi. Dengan wajah ragu dan takut Aline masuk dan langsung duduk.
"Tadi kamu bilang apa?" tanya Alfian langsung.
"Pak, saya...." belum sempat Aline selesei mengucapkannya kalimatnya, tangan Alfian tiba-tiba saja mengusap kepalanya.
"PA-!"
"Jangan teriak, atau guru lain akan masuk. Kamu mau misal semua murid dan guru tau jika saya calon suami kamu?"
"Saya gak pernah terima bapak jadi suami saya," jawab Aline dengan nada yang bingung juga kesal.
Di sisi lain Alfian justru terkejut saat Aline mengucapkan hal itu. Raut wajahnya berubah seketika, bahkan alisnya menyatu tanda dia kebingungan.
"Aline, jangan-jangan kamu belum tau? Sebenarnya Say-"
"Ya, saya tau bapak itu suka sama saya. Tapi bisa gak pak profesional sedikit? Saya itu masih murid bapak!" teriak Aline kembali lantas pergi begitu saja dari ruangan Alfian.
Setelah kejadian itu, Aline tak mau lagi pergi ke sekolah saat jam pelajaran Alfian. Bahkan jika Alfian tiba-tiba masuk, dia memilih untuk bolos ke kantin atau pura-pura sakit. Rasanya kesal, dia tak peduli jika ada keluhan yang masuk.
Belum lagi saat ibunya selalu mendorong Aline untuk setuju dalam perjodohannya. Sisi batin Aline serasa di uji, oleh guru juga ibunya.
"Nak, kenapa kamu gak mau dia itu orang baik. Dia anak temen mama, mama juga udah ketemu kok," ujar Maria ibu Dari Aline.
"Ma! Aline itu mau kuliah dulu, mau cari duit buat mama gak mau kepikiran nikah apalagi di jodohin ma!" ujar Aline.
"Aline, mama gak tau sampai kapan mama akan hi-"
"Mama kenapa ungkit hak kek gitu lagi ma! Mama gak mau gitu temenin Aline lempar toga?" tanya Aline dengan memelas.
Maria kembali diam, hanya air mata yang bisa dia keluarkan. Membuat Aline tak tega, dan ikut menangis sembari memeluknya.
"Maaf ya Aline, jika mama terkesan memaksa. Tapi mama takut, saat mama tak bisa memenuhi janji kamu ke Mendiang ayahmu. Untuk mengantarkan kamu ke pelaminan, mama takut umur mama gak sejauh itu," jelas Maria dengan tangisannya.
"Aline masih belum siap jadi istri ma, Aline gak mau nikah muda...." gumam Aline dengan tangisan juga.
"Dia orang yang cerdas, gak bakal buat kamu nikah dan cepat-cepat punya anak. Mama cuma minta kamu lihat orangnya dulu, saling kenal hanya itu pesan mama."
Akhirnya mau tak mau Aline menuruti apa kata Maria. Dengan berat hati, dia berdandan seperti orang yang berbeda. Paras yang lebih dewasa, membuat Maria bahkan tak sadar jika itu adalah putrinya.
Dalam sebuah cafe Aline merasa terkejut dengan orang yang di temuinya. Kenapa tidak, ternyata orang yang di jodohkan oleh dirinya adalah seorang yang selalu dia hindari di sekolah.
"Loh! Pak Alfian?!" kata Aline terkejut.
"Apa? Sudah saya bilang, jangan-jangan kamu belum tau jika kita di jodohkan sebelumnya?"