Cerita ini hanyalah cerita biasa saja. Mengidolakan seseorang yang benar-benar membuatnya sadar. Bukan artis atau tokoh terkenal hingga mengubah hidupnya sedikit demi sedkit ke arah yang baik.
Diandra laki laki berusia dua puluh lima tahun. Laki laki dengan usia matang dan mungkin sudah pantas untuk berumah tangga.
Namun, Diandra seakan tak berfikir ke arah itu. Masih suka melajang dan keluyuran kesana ke mari.
Sang ibu hanya mampu mengelus dadanya dengan sabar.
Hingga sang ibu memintanya untuk berlibur di rumah sang kakek dengan syarat memilih di coret namanya dari KK atau menuruti keinginan sang ibu dan dengan waktu berlibur tak terbatas.
"Syarat yang aneh," ucapnya dengan nada sedikit tinggi.
"Berangkat atau ibu coret namamu dari daftar KK dan berarti semua fasilitas akan ikut lenyap," ucap sang ibu tanpa mau di tolak lagi.
Dan dengan tersenyum, Ibumelangkah pergi.
"Ibu beri waktu sehari untuk berfikir dan semua tergantung dengan keputusan mu."
"Oh ... ya! Untuk kerumah kakek tak ada istilah bawa motor atau mobil, gunakan bis atau kereta api."
Aku masih terdiam mendengar semua syarat yang di berikan sang ibu.
Hingga dua hari, akhirnya mau tidak mau Diandra menyetujui semua syarat sang ibu.
Setelah berkemas. Di sinilah aku di terminal bis dan untuk pertama kalinya, aku harus antri berdesakan. Hingga tanpa sengaja aku menabrak seorang ibu-ibu.
Dengan tersenyum sang ibu memaafkan kelakuanku. Tapi nampak di sudut terminal tatapan tak suka dengan tingkahku.
Karena bis akan segera berangkat akhirnya aku naik juga dengan membawa tas besarku.
Setelah melihat nomor dudukku aku langsung menghempaskan begitu saja tubuhku di kursi.
Perjalanan yang lumayan jauh. Tiba di rumah kakek saat panas matahari mulai tinggi dengan membawa tas besar ku aku berjalan.
Nampak di depan rumah kakek nampak sudah menjemputku .
Aku tersenyum melihat sosoknya berdiri di halaman dengan memakai topi bundar dari anyaman bambu .
Dengan tergesa kakek menyongsongku segera memelukku dan menepukk bahuku berkali kali kemudian mengajakku untuk masuk .
Masih sama rumah panggung dengan halaman luas di penuhi bunga dan beberapa pohon. Aku tersenyum saat melihat pohon mangga masih tumbuh dengan kokohnya serta pohon rambutan yang mulai menguning buahnya.
Seperti biasa , kakek langsung menyuruhku untuk menempati kamar atas. Kamar yang mempunyai balkon menghadap ke jalan. Otomatis begitu aku berdiri di balkon pasti aku bisa melihat apapun yang melintas.
Sehari dua hari hingga satu minggu aku masih merasakan ketenangan tidur di pagi hari.
Tapi tidak untuk pagi ini, mungkin masih pukul empat pagi, terdengar seorang wanita berteriak keras.
"Menik ... "teriak suara wanita ini. tak ada jawaban hanya terdengar suara pintu terbuka kemudian terdengar suara barang di turunkan.
"Sreeek ... "
"Brugh. Duk, duk ... dan tak lama."
"Terima kasih pak, ini ongkos nya."
Mendengar kebisingan ini aku langsung menutup tubuhku dengan selimut ku.
Keadaan ini terus setiap harinya hingga akhirnya aku bangun dan berdiri di balik jendelaku.
Menyibak tirainya sedikit .
Nampak olehku saat pintu terbuka, seorang gadis dengan rambut sebahunya, ku lihat gadis ini menggelung rambutnya asal kemudian mengikat nya asal.
Beberapa saat kemudian. Gadis ini mulai mengangkat satu persatu barang yang ada di atas bentor.
"Hati hati itu telur nanti pecah," ucap sang ibu mengingatkan.
Tak lama semua barang sudah berganti tempat bersamaan dengan suara adzan subuh berkumandang.
"Menik ibu akan shalat, atur dulu semuanya," ucap sang ibu.
Aku masih betah saja memandang gadis ini dari balik tirai kamarku.
Hingga sang ibu keluar baru gadis ini masuk dam mengunci kembali pintunya.
Begitu juga denganku. Aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang dan kembali terlelap.
Matahari sudah tinggi saat aku terbangun. Kembali mengintip sejenak ke rumah depan tapi sepi!! Kini aku membuka pintu penghubung balkon dan kamarku.
Setelah mandi aku pun turun ke bawah menemui kakek. Tapi sudah mencari kakek ke seluruh rumah kakek tak ada tapi di meja sudah ada makanan yang tersedia.
Hingga sore menjelang. Nampak, kakek datang membawa belanjaan di tangannya.
"Dari mana kek, tanyaku?"
"Biasa Dra, belanja itu di depan," ucap kakek lagi
Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Keadaan seperti biasa pagi dengan kebisingan. Tapi aneh itu semua seperti alarm tersendiri untukku dan seperti suatu keharusan bagi ku mengintip nya.
"Ya. sosok Menik yang tanpa bicara langsung mengerjakan semua perintah ibu nya dengan semangat."
Gadis yang masih muda mungkin terpaut dua atau tiga tahun lebih muda dari ku.
Aku yang setiap pagi mengintipnya di balik tirai jendela kamarku lambat laun muncul rasa kagum untuknya .
Pagi ini sudah lima belas menit aku berdiri namun aku tak melihat sosok Menik. Gadis yang bisa membuatku merubah gaya hidupku.
Ada rasa sedih saat melihatnya tak muncul pagi ini .
Ku hibur hatiku sendiri. "M ... mungkin besok Menik akan membantu ibunya lagi," pikir ku.
Entah kenapa siang ini kakek mengajakku untuk berbelanja di rumah depan dengan malu-malu. Aku mengikuti langkah kakek.
Hingga tiba di rumah tetangga ku. Ku lihat Menik tengah duduk di ruang tamu dengan seseorang.
Sesaat aku tertegun, gadis manis, rambut sebahu ini hanya menatapku sekilas. Kemudian tersenyum. Entah itu pada kakek atau padaku.
Sesaat hatiku menghangat, tapi sayang tak ada satu keberanian di diriku untuk menyapanya lebih dulu. Hingga aku dan kakek kembali pun aku masih membisu.
Kakek hanya tersenyum menatapku dan berlalu masuk, akhirnya aku hanya mengagumi mu dari balik tirai jendela kamarku.
End