Bulan ramadhan, bulan suci yang selalu di rindukan, seperti hal nya diriku sebut saja Puri gadis berusia dua puluh tahun hanya gadis kampung yang jauh dari kebisingan hiruk pikuk.
Kampung yang masih murni, meski sudah ada beberapa bangunan tinggi tapi di kampungku masih ada rumpun pohon bambu, tumbuhan pohon pisang dan kalau malam masih ada patrol di malam hari untuk membangunkan orang sahur.
Mungkin ini umum, tetapi ada kesan tersendiri yang kusuka ramadhan di kampung ini.
Aku segera terbangun saat terdengar suara patrol lewat depan rumah, masih pukul dua malam dengan menyibak selimut dan mata mengantukku aku turun dari ranjang, bergegas ke dapur menyiapkan ini dan itu. "Ibu sudah bangun?" tanyaku tetapi ibu diam saja tak menjawab.
Setelah semua siap masih jam tiga kurang, menunggu hingga pukul tiga, akhirnya aku kembali ke kamar lagi.
"Bu ... Puri ke kamar dulu, nanti Puri saurnya jam tiga saja," ucapku sembari masuk kamar.
Aku menoleh sesaat ke ibu tetapi kenapa ibu juga tak menjawab.
Tak terdengar suara apapun, hingga pukul tiga aku keluar dari kamar, bersamaan dengan ibuke luar dari kamar. "Sudah bangun Puri?" tanya ibu.
"Sudah jam dua tadi Bu, semuannya sudah siap," ucapku lagi.
"Hem ... hayo makan, keburu imsak," kata ibu sembari menyendok nasi dan sayur.
Hari terus berlalu dan sama seperti hari hari biasanya dan aku juga masih berfikir setiap aku bangun pukul dua malam, ibu juga terbangun menemaniku dan aku juga tak pernah ingin bertanya pada ibu.
Dan ini Ramadhan ke dua puluh lima berarti, kurang lima hari lebaran karena sesuatu hal. Akhirnya ibu menginap di rumah nenek.
Masih seperti biasa kini aku terbangun pukul dua, kulihat ibu sudah duduk di meja. "Loh. Bu kapan datangnya? Jam berapa ibu pulang dan siapa yang mengantar?" Tak menjawab pertanyaanku malah berlalu pergi menuju kamar."
"Aneh ...." Kini aku mengikuti langkah ibu ke kamar, hanya terdengar suara kran air di kamar mandi menyala tanda ibu di kamar mandi, masih dengan gaweku di dapur menyiapkan teh hangat dan yang lainnya.
"Bu ...."Panggilku mengajak ibu untuk sahur, "Bu ...."Kembali aku memanggil, "keburu imsak Bu," panggilku lagi.
"Ya ...sebentar." Terdengar suara besarnya, seketika tubuhku meremang, sambil melangkah ke ruang makan. 'Ih ... suara ibu besar sekali,' ucap hatiku.
Sudah jam setengah empat, ibu belum juga keluar dari kamar, akhirnya hanya aku sendiri yang sahur hari ini.
Hingga pagi menjelang, sudah berkali-kali kutengok ibu hanya nampak tubuhnya saja yang terbungkus selimut dan wajahnya menghadap dinding. "Tumben," pikirku.
Karena aku pun harus bekerja akhirnya aku menunda dulu untuk masuk ke kamar ibu.
Menutup pintunya kembali dengan pelan. Hingga sore menjelang aku pulang kerja, semua pintu masih tertutup dan lampu masih menyala.
Begitu aku membuka pintu dan masuk rumah dan duduk sesaat, nampak ibu datang dari depan.
"Assalammualaikum." Dengan segera aku berdiri.
"Loh ... Ibu dari mana?"tanyaku heran.
Ibu juga memandangku dengan heran. "Ibu dari rumah Nenek Puri. Ini juga barusan masuk rumah," jawab ibu meyakinkan aku.
"Lalu ... "Belum selesai aku bicara aku langsung berlari ke kamar ibu.
"Kosong! Lalu tadi siapa? Dan apa itu?"
"Hi ...."Sembari aku melangkah ke luar lagi.
"La-lalu, jadi semalam apa itu?"
"He ... magrib-magrib melamun pamali. Ayo, bantu ibu bawa ke dalam," ucap ibu lagi .
"Bu ... yakin Ibu baru nyampai hari ini?" tanyaku lagi.
"Jangan aneh-aneh Puri, Ibu baru datang."
"Lalu ... yang semalam?"
"Semalam apa?" tanya ibu heran
"Semalam ibu pulang, nemani Puri tetapi suara ibu besar sekali dan ... "
"Dan apa?"
"Dan seperti ini!" Tiba-tiba ada suara besar yang ikut bicara dan saat kami menoleh aku dan ibu langsung mundur beberapa langkah.
"Apa itu Bu!" seruku engan suara gemetar.