Pagi ini seharusnya aku tersenyum dengan senang, karena ini pertama kalinya aku berangkat bekerja setelah kemarin aku menyingkirkan ribuan orang dalam tes dan wawancara kerja. Namun Ibuku mengalami serangan jantung pagi ini.
Aku dilema, antara harus merelakan pekerjaan dengan gaji puluhan juta atau menemani ibu di rumah sakit. Aku hanya memiliki seorang adik yang duduk di bangku SMP.
Suasana mencekam, aku dan adikku duduk di ruang tunggu ICU. Aku menggoyangkan kaki, menggigit jari untuk menghilangkan kepanikan dalam diriku seraya berdoa dalam hati, berharap ibu baik-baik saja.
Andi menggenggam tanganku, anak kecil itu amat tenang. Tak seperti diriku, mungkin dia seorang laki-laki yang mampu menyimpan perasaan kalutnya.
"Kakak, pergilah bekerja. Aku disini akan menjaga ibu. Jika terjadi sesuatu nanti, aku akan segera menghubungi kakak. Bukankah ini hari pertama kak Nisa bekerja di perusahaan besar itu?" ucap Andi dengan dewasanya
Aku sampai terkejut mendengarnya, dalam kondisi panik aku harus memutuskan merelakan pekerjaan itu atau tetap di rumah sakit. Karena syarat perusahaan, aku harus masuk dihari pertama bekerja, jika tidak akan dianggap mengundurkan diri.
Belum saja ku menjawab perkataan Andi, sang dokter yang menangani ibu pun keluar.
"Anda anak dari pasien bernama Nyonya Septi?"
"Ya dokter, bagaimana keadaan ibu saya?" Tanya ku
"Alhamdulillah kondisi beliau sudah stabil, hanya saja, beliau harus dirawat beberapa hari untuk pemantauan kesehatannya," saran Dokter.
"Alhamdulillah," ucapku dan kemudian segera ku urus proses rawat inap ibu.
Aku meminta Andi untuk menjaga Ibu, tak lupa ku berikan dia uang untuk makannya nanti. Sementara aku harus pergi bekerja. Masih ada waktu untuk mengejar keterlambatan.
.
.
.
Aku memutuskan berjalan kaki dari rumah sakit menuju perusahaan tempat ku bekerja. Karena sangat tidak mungkin menunggu bus yang akan datang berjam-jam lamanya.
Tak buruk, anggap saja berolahraga pagi dengan sepatu high heels. Pemandangan pun sedikit teduh karena melewati danau di tepi kota. Saat aku melihat danau itu ada sedikit pemandangan tak enak.
Sepasang kekasih entah kekasih atau suami istri, mereka seperti bertengkar dengan nada sedikit berteriak. Aku mendengar mereka berteriak, saling menyalahkan dan saling menuding.
"Hmm pasti bertengkar masalah orang ketiga," gumamku seraya mengambil napas dan mencoba tersenyum menyambut pekerjaan baru ku nanti.
Aku sendiri belum mempunyai kekasih, lantaran trauma akan hubungan percintaan yang selalu diselingkuhi karena orang ketiga.
Tiba-tiba aku mendengar suara orang tercebur. Rupanya pria itu didorong oleh kekasihnya ke dalam danau, sementara sang kekasih berlari pergi menjauhinya.
Pria itu terlihat meminta tolong, dan dia melambaikan tangannya sesekali wajahnya tenggelam lalu muncul lagi dan berteriak-teriak meminta tolong.
"Astaghfirullah," seruku
Tanpa berpikir panjang, aku berlari secepat mungkin untuk menolong pria itu. Tak ada siapapun didekat danau dan amat sepi. Saat hampir mendekati danau, aku melepas blazer ku, membuang tas kerja serta sepatu ku. Lantas aku menceburkan diriku sendiri kedalam Danau untuk menolong pria itu secepat mungkin.
Setelah aku meraihnya, aku membawanya ke tepi menyandarkan kepala dan tangannya di bibir danau. Lalu aku naik ke permukaan, mengangkat tubuhnya yang berat. Pria itu pingsan, mungkin dia sedikit menghirup air ke dalam paru-paru.
Aku membaringkannya sembari menepuk-nepuk pipinya. Tak ada pergerakan dari orang itu.
"Masya Allah. Dia tampan sekali, ahh apa yang ku pikirkan. Sepertinya aku harus melakukan CPR,"
Aku bertekad memberinya bantuan CPR dengan menekan dadanya beberapa kali. Jika dia sadar aku tak perlu memberikan napas melalui mulutnya. Semoga saja hanya 30 kali penekanan di dada, dia akan tersadar.
"Uhuk-uhuk," pria itu beranjak duduk sembari terbatuk-batuk.
"Baguslah, dia sadar tanpa harus ku bantu dari mulut," batin ku
"Syukurlah Anda sadar, hemm maaf saya terburu-buru dan harus ke kantor. Saya tidak ingin terlambat. Permisi," pamitku.
Segera ku pakai sepatuku dan mengambil blazer serta tasku kemudian pergi meninggalkan pria itu tanpa perkenalan. Dia terlihat masih terbatuk-batuk seraya mengatur napasnya lalu berusaha menahanku.
Aku sedikit mendengar suaranya memanggilku namun ku abaikan.
"Ahh bajuku basah. Semoga sampai disana pakaianku bisa kering. Untung saja jenis bahan ini cepat kering dan dengan ditutup blazer sehingga tidak akan terlihat," ucapku berbicara sendiri.
Sesampainya disana aku merapikan baju yang ternyata belum benar-benar kering. Lembab dan saat memasuki gedung kantor yang dingin tubuhku sedikit menggigil.
Kantor divisi ku berada di lantai 7. Di dalam lift Aku merapikan dandanan ku. Beberapa orang memperhatikan ku. Rambutku ku terlihat basah, serta rok ku, meskipun tidak kelihatan basah tetapi mereka tahu.
"Habis kecebur ya mbak, haha," beberapa wanita cantik menertawai ku didalam lift.
Aku sempat malu dan canggung ingin rasanya aku menghilang saat itu juga dan tidak akan masuk kedalam dengan keadaan seperti ini. Tetapi terlambat.
Ting
Lift terbuka dan aku sampai di lantai 7, rupanya wanita-wanita yang berada didalam lift juga turun di lantai 7, tak hanya itu mereka juga masuk ke ruangan yang sama.
Lengkap sudah hari pertama ku bekerja di perusahaan besar ini. Aku pasti menjadi bahan tertawaan mereka.
Aku memberanikan diri bertanya pada mereka soal ruangan HRD. Tetapi salah satu dari mereka maju dan berbicara dengan ku.
"Ikut saya," ajak salah satu wanita yang juga menertawakan ku.
Wanita itu membawaku menuju ruangan yang di pintunya bertuliskan HRD. Aku dan dia masuk keruangan itu, lalu dia menyuruhku duduk sementara wanita itu menduduki kursi HRD.
"Duduklah, kamu pasti anak baru disini," ucap Wanita itu dengan senyuman miring dan memandangiku seperti mengejek. Di mejanya bertuliskan nama wanita itu, Ratna.
"I-iya, saya baru saja diterima sebagai sekretaris," jawabku dengan senyum.
"Kamu tahu dengan siapa kamu berhadapan nanti? Dia bos besar perusahaan ini. Tapi melihat rambutmu yang terurai basah, kemeja dan rokmu pun sedikit lembab. Saya menjadi ragu untuk mempekerjakan kamu. Seharusnya kamu mengganti pakaianmu, juga keringkan dulu rambutmu sebelum memasuki kantor. Kamu pikir ini pasar? Hah?"
"Saya menerimamu karena kamu lulus dengan nilai sempurna. Tapi jika penampilanmu seperti ini, saya malu memperkenalkan dirimu pada bos nantinya. Sudah saya putuskan saya tidak menerima karyawan yang tidak bisa menjaga kerapian dirinya,"
Belum apa-apa aku sudah mendapatkan ceramah dari HRD ku. Saat aku menjelaskan kebenaran dia hanya mencibir dan tidak mau tahu tentangku.
"Sekarang kemasi barang mu, kamu tidak layak bekerja di kantor ini," ujarnya
"Apa? Bagaimana mungkin? Yang terpenting saya masuk dihari pertama bekerja, dan itu tidak melanggar peraturan. Saya akan mengeringkan rambut dan pakaian saya setelah ini," ucapku berusaha bertahan
"Keringkan dengan apa? Saya HRD disini meskipun bukan bos, tetapi saya mempunyai hak untuk menerima atau memecat karyawan sesuai kriteria saya. Jika saya bilang kamu tidak layak, itu artinya kamu harus pergi dari tempat ini," ujar Ratna
Aku hanya bisa diam, menerima keputusan sepihak dari kepala HRD. Segera saja aku pergi meninggalkan ruang divisi ku. Aku masuk ke dalam lift yang sepi dan aku menangis disana.
Tak berapa lama lift terbuka dari lantai tiga, seorang pria berjas masuk ke dalam lift. Aku melihatnya, dan dia melihatku. Kami terdiam beberapa detik. Akupun berpikir, "Seperti pernah bertemu, tetapi dimana ya," batinku yang masih sesegukan.
"Hmm maaf, apa Anda wanita yang menolong Saya tadi?" ucapnya memulai pembicaraan.
Aku bingung karena pria yang ku tolong tadi memakai jas berwarna merah, sementara pria di dalam lift ini memakai jas hitam.
"Astaga dunia ini sempit," pria itu tertawa kecil, "Hmm mungkin Anda heran, Saya mengganti pakaian sebelum kemari," jelasnya seperti mengerti dengan pertanyaan dikepalaku.
"Hmm iya," jawabku singkat karena tidak tahu apa yang harus ku tanyakan. Hatiku masih sakit karena baru saja di keluarkan sebelum masuk kerja.
Ting
Lift terbuka di lantai dasar dan aku harus turun.
"Permisi, saya harus pulang. Hmm Anda berdiri didepan saya," ucap ku meminta pria itu untuk memberikan jalan.
"Tunggu kita belum berkenalan dan saya belum berterimakasih," ucapnya menahan lift agar tetap terbuka dan masih tidak memberikan jalannya untukku.
"Saya Nisa, maaf saya terburu-buru karena harus kerumah sakit," jawabku yang malas mengurusi pria itu.
Aku terus berjalan dan sedikit mendorong pria yang menghadang jalanku. Akhirnya pria itu menyingkir tetapi dia masih mengejar ku.
"Tunggu Nisa, kalau boleh tahu kamu berkerja di divisi mana? karena saya belum pernah melihat mu sebelumnya," aku pria itu.
"Saya tidak jadi bekerja disini karena saya diusir," jawabku sedikit ketus dan pergi berlalu begitu saja.
.
.
.
Sore itu, aku menunggu ibu di rumah sakit sembari melihat lowongan kerja yang baru. Tak berapa lama ponselku berdering. Tercantum sebuah nomor yang pernah ku simpan sebelumnya.
"Ini bukannya perusahaan yang mengusirku kemarin? Mau apa dia telepon," gumam ku
Aku tak mengangkatnya, sengaja ku biarkan karena malas mendengar suara kepala HRD itu. Tapi dia tak menyerah juga, dua puluh kali panggilan telepon ku abaikan. Akhirnya berhenti juga, namun ada pesan yang masuk saat bersamaan.
Aku membuka pesan itu, kepala HRD itu memohon padaku untuk berangkat esok hari dan kembali bekerja. Aku malas menanggapinya tetapi ku balas singkat.
"Saya tidak perduli," jawabku membalas pesannya.
Setelah itu muncul pesan berkali-kali dengan ucapan permintaan maaf, sepertinya kepala HRD itu baru saja terkena marah oleh atasannya karena menyalahgunakan jabatan.
"Tolong saya, kalau anda tidak datang maka saya akan dipecat. Tolong saja, datanglah esok hari. Kalau perlu saya akan bersujud meminta maaf padamu," balas kepala HRD itu.
Sampai segitunya dia memintaku untuk masuk ke perusahaan kembali. Aku pun sedikit iba dan terlebih, aku sangat mengharapkan pekerjaan itu. Akhirnya aku menerima ajakannya untuk kembali ke perusahaan.
.
.
.
Aku sudah berada di gedung perusahaan yang kemarin mengusirku. Saat ku langkahkan kaki untuk memasuki ruangan divisiku, seorang wanita menyambutku.
"Terimakasih kamu sudah datang," ucap Ratna sembari memelukku.
Dia lalu bersujud dan meminta maaf padaku, aku merasa canggung dan tidak enak. Aku juga tidak pernah memintanya seperti itu.
"Maaf, jangan seperti itu, saya tidak pantas diperlakukan seperti itu,"
Ratna berdiri dan segera mengajakku untuk menemui bos besar. Aku dipersilahkan duduk di kursi empuk dekat meja kerjanya.
"Bos belum datang, kamu duduk saja dan tunggu disitu ya," ucap Ratna dan ku jawab dengan anggukan kepala.
Sedikit lama menunggu di ruangan ber-Ac membuatku mengantuk. Lalu terdengar suara daun pintu dibuka. Aku segera duduk tegap dan merapikan diri dan tersenyum, karena kemungkinan yang akan datang adalah bos ku.
Ceklek
Pintu terbuka, dan aku melihat seorang pria tampan yang tak asing lagi dimataku.
"Selamat pagi Nisa, maaf saya terlambat. Hemm kita duduk disini saja ya," ucapnya sembari duduk dihadapanku di sofa yang sama
Pria itu adalah orang yang pernah ku selamatkan, rupanya bos ku. Dan dia pernah ku acuhkan perasaan canggung dan malu pun menyelimuti ku
"Saya, Rama. Saya meminta maaf atas nama perusahaan, karena pihak HRD, telah membuatmu menangis saat di lift itu," ucapnya dengan tersenyum
Deg deg deg
Pria itu hanya melemparkan senyum padaku, tapi jantungku berdetak sangat kencang dibuatnya. Setelah perbincangan dan perkenalan sedikit, aku resmi menjadi sekretarisnya.
.
.
.
Dua bulan kemudian.
Aku menemani Bos ku ke bank untuk urusan pinjaman. Tetapi hal yang tak diinginkan terjadi. Ada perampokan di Bank itu secara brutal. Mereka menangkap para nasabah sebagai sandera.
Aku dan bos ku berusaha lari. Tanganku digenggam erat olehnya. Namun tiba-tiba ada ibu-ibu bertubuh gendut menabrak kami hingga pegangan tanganku terlepas dari genggamannya.
Segera aku berlari menyusul bos ku namun langkahku terhenti. Lenganku ditarik oleh salah satu perampok, dia menangkap ku untuk dijadikan sandera.
Bos ku merasa menyesal melepaskan genggaman tangannya. Dia berlari ke arah perampok dengan gentle. Memukul serta menendang perampok itu. Aku menjadi panik, takut jika bos ku terkena peluru yang mereka lontarkan. Tapi tak ku sangka pria itu dengan tangkas menghindari tembakan-tembakan yang melesat.
Rama, meraih tanganku setelah berhasil menjatuhkan beberapa lawan. Kali ini dia menggenggam tanganku sangat erat dan kami lari sekencang mungkin. Kami berhasil keluar dari bank dan berhenti di sebuah bangunan yang jauh dari bank itu.
"Huff, untung saja kita berhasil lepas dari mereka," ucap Rama
Nafas kami tersengal-sengal. Rama sedikit mengintip ke arah bank itu.
"Kamu tidak apa-apa kan?" Tanya Rama seraya menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Tidak, Saya baik-baik saja," jawabku
"Syukurlah karena aku tidak ingin kehilangan kamu," ujar Rama , Bos ku.
Terdengar sedikit aneh dengan ucapannya, kata Saya berganti menjadi Aku.
"Aku mencintaimu Nisa," timpalnya lagi.
Jantungku berdetak kencang mendengar pernyataan darinya.
"Menikahlah denganku Nisa," ajak Rama meminta hubungan kita menjadi lebih dekat
Aku menggigit bibir bawahku dan ku beranikan diri untuk menjawab.
Sebenarnya dia tipe ku, aku juga diam-diam mencintainya. Tapi sebelum aku menjawab, ku teringat pertemuan ku pertama kali dengannya.
"Jawablah Nisa, Apakah kamu mau menikah denganku?" Tanya Rama lagi seraya menggenggam tanganku
Di Danau pinggir kota...sebelum tragedi tenggelam dia bertengkar dengan seseorang. Ingin ku menanyakannya, mungkin ini saatnya sebelum aku menerima cinta dan ajakan menikahnya
"Maaf Pak Rama, sebelum saya menjawab...hemm ini soal seseorang yang dulu pernah bertengkar dengan Anda di Danau. Pertama kali kita bertemu, dia...siapa?" Tanya ku memberanikan diri.
Pak Rama sudah berumur, beliau berusia 40 tahun Sedangkan Aku, baru berumur 23 tahun. Meskipun pria itu sudah berumur tetapi dia sangat terlihat muda. Dan aku ingin tahu, siapa wanita di Danau itu. Lalu apakah dia masih single atau sudah menikah? Tidak ada yang tahu soal statusnya.
Aku sekretarisnya tetapi jika berurusan dengan hal-hal yang berbau identitas, pria itu tidak pernah menyuruhku untuk mengurusnya.
Rama masih terdiam, dia melepaskan genggaman tangannya dan sedikit menunduk. Sepertinya dia sedikit takut untuk menjawab.
"Dia mantan istriku. Aku sudah memiliki seorang putra yang tampan," Rama mengakui statusnya dihadapanku kemudian ia mengulas senyum dan sedikit airmata dipelupuk matanya.
"Hak asuh jatuh ke tangan mantan istriku, tetapi dia tidak menginginkannya. Dia malu mempunyai anak yang autis....Pertengkaran itu karena anakku masih membutuhkan sosok ibunya," Rama terdiam lama setelah mengatakan kebenaran bahkan dia sedikit ragu untuk memintaku menjadi istrinya lagi.
"Nisa, seharusnya aku tidak melamarmu sebelum aku menceritakan kebenaran. Jadi sekarang kamu tahu jika saya duda beranak satu, tetapi anak itu bukanlah anak yang normal. Bagaimana Nisa? Apakah kamu...," Aku memotong perkataan pak Rama
"Saya bersedia menjadi ibu dari anak itu. Saya bersedia memberikan cinta kasih saya untuknya dan juga untuk Pak Rama," jawabku tanpa berpikir dua kali.
"Sungguh?" Tanya Rama yang tidak menyangka jika aku menerimanya. Dia sempat takut jika aku menolaknya.
Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum padanya. Dia memelukku dan berkata, "Terimakasih, mulai sekarang jangan panggil aku Pak Rama, panggil Mas dan jangan memakai bahasa formal,"
Begitulah kisah cinta singkatku. Aku berpacaran setelah menikah dan langsung memiliki anak darinya. Rama benar, anaknya sangat tampan. Dan aku bahagia hidup bersama mereka.
•
•
NB : Autis dan Down syndrome berbeda. Autis adalah kondisi dimana ada masalah kompleks pada gangguan sarafnya. Down-syndrome merupakan kelainan yang terjadi akibat adanya masalah pada kromosom