Arum berteriak riang mengikuti langkah kakaknya Angga menyusuri jalan perkampungan. Kaki kecilnya menghentak di setiap genangan air yang dia temui, membuat air memercik ke rok yang dikenakannya. Sandalnya sudah kotor terkena lumpur. Meski begitu, dia tidak ambil pusing, masih terus mengejar langkah kakaknya yang cepat sambil sesekali menirukan suara Angga.
"Donaaaattt! Enak!!" Suara cempreng Arum mengudara di sore yang mendung.
Angga yang berjalan di depan sesekali melihat adiknya, memastikan Arum masih di belakangnya. Keranjang penuh dengan donat masih terpanggul di pundaknya.
"Arum, jangan mainan air!" teriak Angga ketika lagi-lagi Arum berhenti demi menginjak-injak genangan air berlumpur.
Mendengar suara kakaknya, Arum segera mendongak. Dengan senyum merekah, gadis kecil itu berlari menghampiri.
Sudah dua jam mereka mengitari perkampungan itu, tapi tidak ada satu pun warga yang berminat membeli donat hari ini. Angga merasa aneh, tapi mungkin karena hujan seharian jadi mereka malas untuk keluar dari rumah sekedar menengok jualannya. Angga memutuskan untuk melangkah ke perkampungan sebelah. Dia melihat Arum mulai berjalan tenang di belakangnya, jika sudah seperti itu, dia tahu adiknya lelah.
Angga kemudian berhenti di sebuah posko keamanan yang ada di ujung jalan. Dia menurunkan keranjang donatnya dan mengangkat Arum untuk duduk di bangku posko.
"Capek?" tanya Angga mengangsurkan sebotol air mineral ke arah adiknya.
Arum menggelengkan kepala, dia mengusap matanya, pipinya yang sudah kucel bertambah kotor oleh usapan tangan itu. Dia mengantuk.
"Pulang," pinta Arum, mengayunkan kakinya, berharap dengan begitu Angga akan menuruti permintaannya.
Angga tidak bisa pulang sebelum semua donat itu terjual, tapi dia juga tidak bisa mengatakan tidak pada adiknya. Untuk itu dia mencoba menghibur Arum dengan memberikan sebuah donat.
Arum berteriak, kembali riang menerima donat dengan cokelat meses tebal menghias atasnya. Seketika wajahnya kembali berseri.
Angga tersenyum. Dirinya beristirahat sebentar sembari menunggu Arum menghabiskan makanannya. Di sela lamunannya, dia melihat segerombol anak SD yang tengah bercengkrama melewati jalanan di depannya. Dia heran anak SD itu pulang begitu larut, apakah orangtuanya tidak mengomel? Melihat postur tubuh mereka yang kecil, Angga menebak usia mereka lebih muda satu tahun darinya. Atau mungkin dua tahun?
Angga juga berpikir apakah mereka memiliki adik lucu seperti Arum? Arum masih berusia empat tahun, tapi adiknya itu sudah bisa segalanya. Paling tidak, Arum selalu bisa membuatnya tersenyum.
Angga terkejut mendengar suara tertahan Arum. Arum tersedak, dengan cepat dia membuka tutup botol Aqua yang sudah dia isi ulang, dan memberikannya pada Arum. Dengan lembut, dia menepuk punggung adiknya. Arum meminum air itu seperti orang kehausan demi melancarkan napasnya.
"Pelan-pelan makannya."
Arum membalas dengan cengiran lebar.
"Habis," ucap Arum menunjukkan kedua tangannya yang belepotan meses. Angga segera mengusap kedua tangan dan mulut adiknya dengan handuk yang dia bawa.
Setelah itu, Angga menggendong adiknya di punggung sembari membawa keranjang di satu tangan.
"Pegangan, ya!"
"Iya!!!"
***
Malam sudah larut ketika Angga berjalan pulang ke rumah. Arum tertidur di dekapannya. Berulang kali dia menepuk kantung demi memastikan uang dari Mbah Darmi masih di sana. Hari ini dia hanya menjual sepuluh donat, artinya dia membawa pulang uang lima ribu rupiah. Untung Mbah Darmi tidak memotong donat yang dia berikan pada Arum. Jika iya, matilah dia.
Angga berhenti di depan rumah kayu kecil yang diapit dua bangunan kokoh di kanan kirinya. Rumah itu mirip gubuk hampir rubuh dengan pintu triplek yang melengkung tak menutup sempurna.
Dengan ragu, dia berjalan perlahan sembari memegang tubuh adiknya yang saat ini tertidur pulas. Tubuhnya sedikit gemetar, jantungnya berdegup sangat kencang. Rasanya sulit sekali menelan saliva. Semakin dekat dengan rumah itu, semakin parah juga getaran tubuhnya.
Rasanya Angga ingin lari sekarang juga.
Namun, dia tidak boleh melakukannya. Dengan tekad bulat, Angga membuka pintu yang berderit menyakiti telinga. Kakinya menapak lantai tanah yang tidak rata.
"A-aku pulang!" seru Angga segera menuju kamarnya untuk meletakkan Arum di atas tikar yang menjadi tempat tidurnya.
"Ssshhh..." Angga menenangkan adiknya ketika gadis kecil itu mulai merengek. Dalam beberapa detik saja, Arum kembali tenang.
Angga segera keluar, tapi begitu menoleh dia berteriak kaget. Tubuhnya sampai terjengkang.
"Emak..."
Wanita kurus, Lastri, yang terlihat ringkih itu mengisyaratkan Angga untuk keluar. Dengan perasaan tak menentu, Angga menurut.
"Mana uangnya?" tagih Lastri sambil menodongkan tangan.
Angga dengan gemetar merogoh uang dua ribuan dan dua koin lima ratusan dari dalam kantung, lalu memberikannya pada Lastri.
Lastri tampak memperhatikan uang yang sudah ada di tangannya. "Cuma ini?"
"Iya... Mak."
"Seharian kamu ngapain, aku udah kerja seharian kamu enak-enakan tidur?!"
Angga seketika menegang mendengar Lastri mulai marah. "Tadi hujan, Mak. Aku baru jualan sore hari."
"Itu buat apa payung, jas ujan plastik?!"
"Ta-tapi Arum nanti kehujanan."
"Alasan! Anak orang lain aja bisa cari duit, kamu aja kebanyakan tingkah!!"
Jika sudah begitu, Angga menerima saja tempelengan dan cubitan yang mendera tubuhnya. Meski tubuhnya tampak ringkih, tapi jemari Lastri begitu kuat hingga menyisakan memar di tubuh Angga.
Angga berusaha menahan, tapi akhirnya dia menangis juga. Meski berusaha mengelak, tapi tangan Lastri seolah selalu berhasil menemukan celah untuk mencubitinya, disertai ribuan tumpahan kekesalan dari mulut wanita itu.
"Aku sudah capai kerja! Kamu malah enak-enakan! Nggak tahu kebutuhan hidup! Bapak sama anak sama saja! Bisanya bikin susah! Kalau nggak bisa kerja pergi saja sana! Anak sialan! Nggak tahu diuntung!"
Ucapan-ucapan itu terdengar jelas disela suara tangisan Angga yang semakin menjadi.
Itu hanya terjadi setengah jam, setelahnya Lastri akan berhenti untuk menarik napas panjang. Seolah lelah dengan hidup yang dijalaninya.
Setelah terdiam beberapa saat, Lastri memperhatikan Angga yang masih terisak, mendekap kakinya. Tatapannya tampak luluh, tapi dia merasa anaknya harus diberi pelajaran supaya lebih disiplin dan bertanggung jawab. Anak itu harus tahu cara mendapatkan uang, jangan sampai seperti bapaknya yang hanya tahu mabuk-mabukan. Ketika besar nanti, Angga juga harus paham kewajibannya sebagai seorang anak, jangan sampai Angga jadi anak liar yang tidak tahu cara membalas budi orang tua.
Wanita itu menarik napas, dia merasa telah melakukan hal yang seharusnya dilakukan seorang ibu untuk mendidik anaknya. Setelah itu, dia meninggalkan Angga sendirian di sana. Meringkuk di bawah jendela.
"Mas Angga..." Arum berlari menghampiri kakaknya, dia terbangun oleh teriakan ibunya. Arum ikut terisak memeluk kakaknya.
Angga mengusap air mata, tapi tiba-tiba dia merasakan darah keluar dari hidungnya. Dia mimisan lagi. Dengan bajunya, Angga berusaha menghentikan darah itu keluar. Begitu berhenti, dia segera menggendong adiknya kembali masuk ke kamar. Tubuhnya masih oleng dan gemetar.
***
Sebulan setelah itu, Angga jualan seperti biasa. Dia berusaha untuk tidak mengecewakan ibunya dengan langsung jualan begitu pulang sekolah. Dan hasilnya memang lumayan. Dia sedikit senang jika melihat ibunya tersenyum setiap kali dia membawa uang lebih.
Hari itu pun, Angga segera menggendong adiknya begitu melihat adiknya kelelahan berjalan. Si kecil Arum tak berhenti berceloteh dan membantu meneriakkan dagangan sepanjang jalan.
"Mas, mau donat!" teriak Arum tiba-tiba ketika Angga tengah memasukkan donat ke dalam plastik untuk diberikan ke seorang ibu yang membeli donat itu.
Angga memberikan donat itu pada si ibu, dan melihat masih ada satu donat tersisa. Dia melirik Arum yang menatap donat itu berbinar.
***
Lastri pulang dari tempat kerjanya sebagai pengasuh bayi. Bayaran empat ratus ribu sebulan tidak pernah cukup membeli kebutuhan rumah. Tekanan itu membuatnya tidak pernah tersenyum dan selalu memasang wajah kesal.
Begitu membuka pintu, dia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dia menggerutu karena majikan yang sebenarnya juga miskin itu harus pulang lembur sehingga dia tidak bisa meninggalkan si anak begitu saja.
Lastri memasak nasi untuk makan malam. Dia merasa aneh karena anak-anaknya belum pulang. Apa mereka main lagi? Lastri menggerutu kesal.
Tiga jam berlalu. Sekarang sudah hampir jam sebelas malam. Lastri tidak bisa tidur sebelum memarahi anak-anaknya yang sudah membuatnya khawatir.
Lastri mengakui dirinya khawatir sekarang. Akhirnya, tak ingin menunggu lebih lama lagi, Lastri keluar dengan langkah cepat. Mencari anaknya.
Perkampungan demi perkampungan dia putari, berbagai rutukan dia keluarkan sepanjang jalan.
"Anak setan! Ke mana dia?!"
Sesampainya di ujung jalan, Lastri mendengar teriakan beberapa orang yang memanggilnya.
"Las, Lastri!! Anakmu!"
Lastri termangu sesaat, merasakan perasaan tidak nyaman merasuki tubuhnya. Dia segera berlari menghampiri rombongan yang terus meneriakkan namanya.
Ada apa? batin Lastri.
Pikiran-pikiran buruk memenuhi otaknya.
Namun, dia sedikit lega. Sesampainya di sana, dia melihat Arum tengah melonjak senang. Lastri mengembuskan napas panjang.
"Emak!" Arum menghampiri dengan donat di tangan kanannya.
Lastri menutup mulutnya. Donat cokelat itu, berlumuran cairan merah di satu sisi.
"Angga kayaknya ketabrak motor, ditemuin Hendra barusan." Suara seorang pria mengaburkan pandangan Lastri. Dia kemudian menatap sosok anak kecil di sebelah kanannya, tertutup warga, bersimbah darah.
"Mak! Mas Angga tidur terus! Nggak mau bangun!"
TAMAT