Aku dan Arian...
Hai, perkenalkan namaku Amel, disini aku ingin menceritakan kisah putih abu-abu ku bersama lelaki bernama Arian.
Kalian tahu Arian siapa? Ya, Arian adalah kekasihku, dan juga kakak kelasku.
Aku bertemu dan mengenalnya, saat aku baru saja masuk ke sekolah menengah akhir.
Pada awalnya kami berdua hanya berteman, karena semakin hari semakin akrab orang-orang menganggap bahwa kami adalah sepasang kekasih.
Hingga akhirnya, anggapan semua orang itu Arian wujudkan.
Di taman dekat sekolah, Arian mengungkapkan perasaannya padaku, ia sampai membeli kalung yang ia pilih sendiri untuk diberikan kepadaku.
Kalung itu memang terlihat sederhana, tetapi debaran di jantungku saat menerima kalung itu membuatnya menjadi istimewa.
Akhirnya hari itu aku resmi jadian dengan Arian.
Oh ya, Arian juga tak hanya menjadi kekasihku, terkadang ia bisa menjadi teman, sahabat, ayah, kakak, sekaligus musuh bagiku.
Pokoknya semenjak aku bertemu Arian, hari-hariku menjadi lebih berwarna. Layaknya pelangi setelah turunnya hujan badai. Indah bukan?
Arian juga tipe lelaki yang cerewet, pernah waktu itu aku masuk ke UKS gara-gara maagku kambuh.
Baru saja aku mau berbaring di ranjang UKS, tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras, dan disana menampilkan sosok Arian dengan nafas yang terengah-engah dan peluh yang mengucur deras diarea dahinya. Ku tebak dia berlari dengan terbirit-birit dari kelas menuju UKS, demi ingin melihat keadaan ku.
"Ck, bodoh," cibirnya, begitu ia sudah berada tepat disamping ku.
Aku yang tak mengerti ucapan nya hanya mengedip-ngedipkan mata. Membuat ekspresi lucu.
"Kenapa maagmu bisa kambuh hah? " Tanyanya, ia terdengar seperti sedang marah-marah, tapi ketahuilah sikapnya berbanding terbalik. Ia malah menuntun ku untuk berbaring dan menyelimuti ku. Huh... Lambungku yang sakit Arian, aku tidak demam. Ingin aku berteriak seperti itu.
"Aku lupa sarapan," balasku pelan, dan tatapannya malah menajam. Tanda tidak suka.
"Kenapa bisa sarapan saja lupa?" Tanyanya menggebu. Aku tahu dia khawatir padaku. Jadi aku hanya bisa terima omelannya tanpa berniat membalas ataupun mengelak.
"Aku bangun kesiangan kak Ar. Tapi, tapi aku sudah minum obat tadi sebelum kau datang," aku mencoba menenangkannya.
Ku lihat dia berdecak, lalu berkacak pinggang di depanku. Aku mengerucut kan bibir. Membuat wajahku selucu mungkin, tak peduli pada penghuni UKS yang lain.
"Kau menggodaku dengan wajahmu?" Tanyanya tersenyum miring. Yes, aku berhasil, ia mengusap surai hitamku yang terkuncir asal.
Lalu aku membalas senyumannya.
"Kau sudah tidak marah kak? " Tanyaku dengan terus mengembangkan senyum.
Dia menggeleng, lalu memencet hidungku dengan pelan.
"Bagaimana aku bisa marah, jika kau memasang wajah seimut itu. Tapi ingat, lain kali jangan lupa sarapan lagi," balasnya, seketika pipiku merona mendengar gombalannya, lalu dengan gemas ia mengacak rambutku.
"Diam disini, aku akan keluar sebentar membelikanmu makanan," ujarnya, aku mengangguk, lalu detik berikutnya ia berlari kecil keluar ruangan berniat membelikanku makanan.
Sepulang sekolah, seperti biasa Arian mengantarkan ku terlebih dahulu, aku juga sudah mengenalkannya pada bunda, ayah dan juga kakakku. Dan mereka sama sekali tidak keberatan dengan hubunganku dan Arian, mereka hanya menasihati kami agar tahu batasan.
Dan aku memegang teguh nasihat itu.
Dan perlu kalian tahu, Arian bukan termasuk keluarga kaya, jika dibandingkan denganku. Maaf, taraf keluargaku masih berada diatasnya.
Tapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Bagiku, saat kita merasa nyaman dengan seseorang itu adalah saat yang membahagiakan.
Arian juga orang yang pekerja keras, separuh waktunya ia gunakan untuk bekerja part time di sebuah cafe yang cukup ramai. Itu semua ia lakukan untuk membantu perekonomian keluarga nya.
Di hari libur, jika dia mempunyai uang lebih, dia akan menyempatkan membawaku pergi menonton, atau hanya sekedar pergi ke perpustakaan nasional.
Maklum saja, jika aku ingin menonton atau mengajaknya pergi berlibur ke tempat wisata, aku kan dia harus menabung terlebih dahulu, baru bisa pergi. Hihi.
Kalian mau tahu tidak? Siapa diantara kami berdua yang paling pencemburu? Siapa aku? Hey... Kami berdua sama-sama pencemburu akut.
Tapi... Arian lebih bisa memendam rasa cemburu itu, jurusnya adalah membuatku menangis dan merasa bersalah. Lalu akhirnya aku meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya, barulah dia menyudahi cemburunya.
Kekanakan yah? Haha cemburuku lebih kekanakan lagi dari pada dia.
Kalau aku cemburu, aku pasti sudah mendiaminya berhari-hari, disaat dia membujuk barulah aku meluapkan semua amarah dan kebencianku.
Ketika semuanya sudah keluar, aku tak langsung baik-baik dengannya, harus ada seblak, cilok dan kawan-kawannya. Maka kami berdua akan berbaikan. Hehe menjadi remaja memang menyenangkan.
"Kenapa suka sekali sih dengan seblak?" Tanya Arian, ketika aku sudah menghabiskan satu mangkuk seblak langganan kami berdua.
Aku tersenyum.
"Tidak tahu! Tapi yang jelas, menyukai seblak itu seperti aku menyukai kamu. Tidak ada alasannya." jawabku, dan itu semua sukses membuat Arian tersenyum lebar, ia mencubit hidungku yang katanya minimalis itu.
Menariknya pelan, tapi tetap saja memerah.
"Ishh jahat!" Ucapku lalu pura-pura cemberut.
"Hei, kau mau aku menciummu?" Ucap Arian, aku reflek menutup mulutku dengan kedua tangan. Berbahaya sekali pertanyaannya.
"Kenapa? Apa aku tidak boleh menciummu? Kita berdua kan sepasang kekasih," ucapnya lagi, aku langsung menatapnya tajam. Lalu menggelengkan kepalaku dengan gerakan pelan, menjelaskan padanya bahwa semua itu tidak boleh dilakukan.
"Kakak, jangan mengajariku hal-hal yang aneh," timpalku merengek.
"Kalau begitu panggil aku Arian, aku ini bukan kakakmu, tapi pacarmu. A-R-I-A-N," balasnya sambil mengeja nama Arian.
Ia memang sudah sering mengatakannya, ia kurang suka aku memanggilnya kakak, katanya itu tidak romantis sama sekali.
"Tapi kak—"
"Kau benar-benar ingin di cium yah? " Sela Arian. Ia mulai mengancam, ini gawat.
"Tidak, tidak. Baik, aku akan memanggilmu A-R-I-A-N. Tapi dengan satu syarat," aku mengajukan syarat kepadanya, lalu ia membiarkan aku menyebutkan syarat itu.
"Syaratnya hanya satu, jangan ajari anak kecil ini hal-hal dewasa terlebih dahulu," ucapku kembali merengek sambil menjejak-jejak tanah.
Arian malah tergelak mendengar syaratku.
Aku sampai mengernyit bingung.
Mengaku anak kecil, tapi sudah bisa pacaran? Memang bisa begitu yah? Batin Arian.
Hari hariku bersama Arian selalu terasa indah, hubungan kami hanya dibumbui kerikil kecil tanpa orang ketiga.
Hingga akhirnya kami sampai di hari itu, hari dimana Arian benar-benar membuat hatiku terluka.
Waktu itu aku sedang berjalan beriringan menuju parkiran bersama Arian, kebiasaan ku dimana-mana selalu mengoceh, berharap di dengar oleh Arian, tapi hari itu Arian berubah jadi pendiam, entah ada masalah apa, Arian tidak pernah cerita kepadaku.
"Arian, hari ini kita ke perpustakaan kan?" tanyaku sambil terus berjalan dengan riang, baru kali ini Arian diam tak menjawab, ku pikir dia tak mendengar, hingga akhirnya aku kembali bertanya.
"Hari ini kita jadi ke perpustakaan kan?" lagi, aku hanya disuguhi wajah dinginnya.
"Arian kau kenapa? Sedari tadi aku bertanya kenapa kau diam saja? Kau malas mendengar ocehan ku, harusnya kamu—"
"Diam!!! Diam, diam dan diam!!!" bentaknya, aku langsung tersentak kaget mendapati sikapnya yang seperti ini, baru pernah Arian membentakku sekasar ini, hatiku langsung mencelos, rasa sakit itu tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku berjalan mundur, pelan tapi pasti, aku segera berlari menjauhi Arian, dengan perasaan sedih, marah dan terluka aku menyetop taksi yang kebetulan lewat.
"Melmel... " Panggil Arian, tapi itu semua tak membuatku berhenti untuk melanjutkan niatku untuk masuk ke dalam taksi.
"Melmel maafkan aku," teriak Arian berusaha mengejarku, tapi aku tetap bergeming. Tangisku pecah didalam taksi. Arian telah berubah, tapi kenapa?
Apa dihatinya sudah ada yang lain? Apa selama ini dia hanya main-main?
Padahal aku selalu menganggap serius hubungan ini, aku selalu berharap Arian lah pangeran berkuda putih yang akan meminangku kelak.
Tapi kenapa hari ini Arian jadi berbeda, apa ada yang salah? Sebenarnya ada apa?
Sesampainya dirumah, aku langsung berlari ke kamarku yang berada dilantai dua. Aku membuka pintu dan membuang tasku dengan asal.
Aku menelusupkan wajahku ke dalam bantal dan menangis sejadi-jadinya, persis seperti remaja yang baru saja putus cinta.
"Arian jahat! Arian nggak sayang lagi sama Amel." rancauku sambil memukul-mukul bantal, tak jarang aku juga mengigitnya karena kesal.
Hingga dua hari semenjak itu komunikasiku dengan Arian tak kunjung membaik, bahkan Arian tak masuk sekolah. Arian, sebenarnya kau kenapa?
Terlalu banyak menangis ternyata membuatku pusing, dan akhirnya tubuhku ambruk karena drop lagi. Aku mengalami demam tinggi, aku selalu memanggil-manggil nama Arian disetiap igauan ku. Bunda yang cerita.
Setelah meminum paracetamol, aku berbaring kembali untuk istirahat. Belum ada lima menit bunda masuk kembali ke kamarku.
"Mel, diluar ada Arian. Katanya mau ketemu." ucap bunda dari belakang punggungku. Seketika air mataku menetes, mengingat kembali bentakan Arian hari itu.
"Mel, lagi marahan yah? Tapi katanya Arian mau jelasin sama jengukin kamu, dia sampe bawa cilok kesukaan kamu loh."
Cih! Dia mau menyogokku dengan cilok?
Bunda tak bicara lagi, beliau keluar dari kamarku entah mau mengusir Arian atau apa.
Lalu terdengar kembali suara pintu dibuka. Aku tetap dalam posisiku. Sama sekali enggan untuk merubahnya.
"Melmel, aku datang." ucap seseorang dari balik punggungku, aku mengenali suara ini, bahkan hanya dia yang memanggilku seperti itu. Tetapi egoku begitu tinggi untuk mengakui kalau hati ini sebenarnya rindu.
"Melmel, maafkan aku. Aku terlambat menjelaskan, bahkan kamu sampai sakit begini. Pasti karena aku yah? " ucapnya lagi, dan aku semakin tak tahan, air mataku menderas, tanpa memperdulikan apapun lagi, aku langsung berbalik, menatap Arian sebentar dan tanpa ba bi bu aku langsung memeluknya erat.
"Kamu jahat kak, kamu jahat sama aku. " ucapku dengan sesenggukan. Arian membalas pelukanku tak kalah erat, melampiaskan rindu kami yang sudah begitu menggebu.
"Maaf... " hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulutnya, bahkan terdengar bergetar.
Untuk beberapa saat tak ada yang kami lakukan selain hanya berpelukan dan menangis. Hingga dirasa cukup tenang, Arian melerainya, lalu menangkup kedua pipiku.
"Maafkan aku, hari itu aku benar-benar sedang bingung. Ayahku masuk rumah sakit, dan aku beserta keluarga tidak mempunyai biaya untuk membayar pengobatan ayah. Aku pusing sekali memikirkannya, hingga tanpa sengaja aku membentakmu Melmel, maafkan aku." ucapnya penuh rasa bersalah, ia menunduk tak mampu membalas tatapanku.
Aku mengerti sekarang, ternyata ada beberapa hal yang Arian pikirkan waktu itu. Karena aku banyak bicara, dia tidak sengaja membentakku.
Itu artinya tidak sepenuhnya salah dia. Kita berdua hanya salah paham.
"Hey, lihat aku." ucapku memintanya untuk kembali menatapku. Ia menurut, manik mata kami langsung bertemu.
"Arian tidak sepenuhnya salah, aku juga bersalah karena terlalu banyak bicara. Aku juga minta maaf yah." aku berusaha tersenyum, agar ia tak lagi menyalahkan dirinya.
Dan dia merespon dengan baik, senyumku langsung menular padanya.
Cup!
"Melmel, kau nakal! "
Hahahah sudah ah, itu ceritaku dan Arian, dan sampai hari ini aku dan dia masih baik-baik saja, doakan yah. Semoga kami berdua bisa sampai ke jenjang menikah. Aamiiin...