#Banyak adegan kekerasan, harap bijak🙏 maaf apabila cerpen ini mengganggu
Didunia ini percaya atau tidak 'iblis' bukan lagi hal yang tabu. Banyak sekian orang yang percaya akan kehadirannya, namun tak sedikit pula yang tidak percaya dengan keberadaan 'Iblis'.
Begitu pula dengan Anahira, gadis dengan rambut pirang tersebut mempercayai dengan adanya sosok yang sering menyesatkan manusia dengan cara yang menjijikkan, karena Anahira sering bertemu mereka.
Anahira percaya 'Iblis' selalu ada disamping manusia, apalagi manusia yang sering berbuat 7 dosa besar, ketujuh dosa yang sangat mematikan dengan penebusan dosa yang sangat tidak ringan
"Ana, apa kau sudah siap?" sapa sang gadis dengan mata hazel tersebut kepada Anahira, ia adalah Evangeline.
Mereka bertiga akan berpindah sekolah hari ini. Bertiga? Ya tentu si rambut pirang alias Anahira, lalu Evangeline sang gadis bermata hazel, dan juga Gelya yang ceria.
"Ah rasanya aku sangat tidak sabar di sekolah baru, cepatlah Anahira, kau sangat lama!" seru Gelya seiring lebarnya senyum yang mengembang.
Meskipun begitu, senyum tersebut bukanlah senyum manis, melainkan senyum miring membuat siapa saja yang melihatnya merinding.
"Kudengar sekolah baru kita terkenal sangat berhantu" jelas Evangeline yang kini duduk di kursi menunggu Anahira, sembari memainkan kedua kakinya.
"Justru itulah yang membuatku sangat semangat Eva hihi" tawa kecil Gelya tersebut cukup mengerikan. Namun tidak untuk kedua temannya yang telah lama mengenal Gelya.
Evangeline berdecak kesal, mungkin Gelya masih bisa tertawa sekarang ini tapi nanti? Mungkin tidak akan mudah seperti yang dibayangkan, "Ck, berhentilah mengoceh, kita hanyalah gadis remaja yang diberkahi dengan sedikit keistimewaan"
Gelya yang mendengar teguran Evangeline itu kini merubah raut wajahnya menjadi sedih dengan menekuk wajahnya. Sedangkan Evangeline hanya memutar bola mata malas.
Anahira mengambil tasnya, ia kini telah siap dengan seragam sekolah yang telah melekat ditubuhnya, tak lupa jas hitam sekolahnya yang kini ia kenakan.
"Kita berangkat, Eva, Gelya" ajak Anahira dengan singkat, begitu juga dengan wajahnya yang datar, siapapun didekatnya pasti bisa merasakan aura dingin dari diri Ana.
Evangeline dan Gelya mengangguk, mereka berdua mengikuti Anahira dari belakang.
Mereka bertiga berangkat bersama menggunakan kendaraan roda empat berwarna hitam. Mobil elegan tersebut melaju dijalanan yang sepi, dedaunan yang gugur menutupi jalan kini berterbangan.
"Aku sedikit mencari info tentang sekolah itu, kudengar sudah banyak yang kehilangan nyawa karena ada 'sesuatu' disana" Anahira berniat mengisi kesunyian. Namun yang ia katakan itu sangat serius.
Evangeline yang sedang menikmati perjalanan itu kini menatap Anahira dengan kerutan di dahinya, "Sudahlah Ana, kita hanya akan bersekolah 'normal' disana, tidak melakukan hal lain"
Evangeline kembali menatap keluar jendela, namun Gelya sepertinya tertarik dengan percakapan itu, jadi ia ikut menimpali ucapan Eva, "Tapi Eva, bagaimana jika ada hal yang tidak kita inginkan terjadi?"
"Karena itulah aku ingin kita bersekolah 'normal' disana, dan jangan berbuat macam-macam" jelas Evangeline penuh penekanan, jujur saja 'keistimewaan' yang ia miliki itu sangat mengganggu.
"Berhati-hatilah, jangan sampai ada sesuatu yang buruk terjadi" peringat Anahira serius, ia mempercepat laju mobilnya.
'Brum... brum'
Firasat Anahira berkata akan ada sesuatu yang buruk terjadi, tapi ia harap itu hanya sebuah fikiran yang terselip dan fiktif. Mengingat sekolah baru mereka sangat 'tidak biasa'.
"Baik Ana" sahut keduanya yakin, mereka juga tidak ingin mengambil resiko, bagaimana pun keadaan sekolah mereka nanti, mereka harus bersikap biasa saja, seolah tidak ada yang salah.
Tak berselang lama, mereka telah sampai didepan gerbang besi yang tertutup rapat. Anahira melihat kesekililing, suram.
'Bip' 'Bip'
Anahira menekan klakson, berharap ada seseorang ataupun penjaga yang akan membukakan pintu untuk mereka.
Dan benar saja, seorang penjaga dengan berseragam hitam kini membukakan pintu gerbang untuk mereka. Penjaga tersebut tampak seperti penjaga normal yang menyapa mereka dengan senyuman.
"Terimakasih" Anahira kembali melajukan mobilnya, ia memakirkan mobilnya di tempat yang telah tersedia disana.
Mereka bertiga keluar dari mobil dan memandang lekat bangunan suram yang ada dihadapan mereka saat ini. Seharusnya tempat ini 'beraura' biasa saja bagi orang normal, namun tidak bagi mereka bertiga.
"Kalian siap disekolah baru ini?" tanya Anahira memastikan, tatapan mata gray nya tersebut mengintimidasi seluruh penjuru bangunan.
Mereka memulai perjalanan menuju ruangan kepala sekolah, untuk memastikan kelas yang akan mereka dapat nanti.
"Sekolah ini memiliki guru yang religius, seharusnya energi negatif disini tidak terlalu kuat" ucap Evangeline yang masih menatap ke sekitarnya, bulu kuduknya ikut berdiri seakan disana ada 'sesuatu'.
"Apa kau lupa tentang Greed?" Anahira mengatakan itu tanpa menatap Evangeline, ia masih fokus untuk melangkahkan kakinya kedepan.
*Greed yang berarti ketamakan atau keserakahan, salah satu dari Seven Deadly Sins.
"Benar juga, tidak menutup kemungkinan semua yang ada disini adalah pendosa, yang membuat 'sesuatu' itu sangat nyaman disini" jelas Evangeline dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Greed, ketamakan dari manusia yang selalu ingin meminta lebih, pantas saja itu disebut dosa mematikan" sahut Gelya, ia tidak mengerti kenapa manusia selalu meminta lebih.
Padahal tuhan mereka lebih tau apa yang dibutuhkan, namun mereka tidak pernah berterimakasih atas apa yang telah diberikan, sungguh miris sekali.
Tuntunan langkah mereka terhenti didepan pintu sebuah ruangan. Anahira mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali, itu hanya untuk formalitas.
'Tok... Tok... Tok...'
"Masuk" suara sahutan dari dalam itu menyuruh ketiga remaja tersebut untuk masuk kedalam ruangan. Mereka pun menurutinya.
Seorang pria dengan rambut yang sedikit memutih, namun itu tidak menutupi ketampanannya. Pria itu terlihat sangat formal.
"Apa kalian murid baru disini?" Tanya Pria tersebut menatap ketiga gadis itu secara bergantian.
Anahira menganggukan kepalanya, ia tidak suka berbasa-basi, "Yes sir, bisakah kau memberi tahukan dimana kelas kami?"
Pria itu menatap Anahira dengan senyum simpul, gadis yang memiliki aura dingin tersebut memikat perhatiannya.
Prof. Gerald melihat berkas yang ada di tangannya, itu adalah data siswa yang didalamnya ada data dari ketiga pelajar tersebut, "Baik, disini tertulis Anahira di kelas D, sedangkan Evangeline dan Gelya dikelas A"
Evangeline melirik Anahira, haruskah mereka berpisah kelas? Lalu jika ada sesuatu yang terjadi bagaimana?
"Nee sir, apa tidak bisa kita satu kelas saja?" Gelya ingin bernegosiasi, hanya untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi.
Prof. Gerald menatap ketiganya dengan senyuman, "Sayang sekali kalian harus berbeda kelas, dan keputusan ini tidak bisa dirubah"
Eva dan Gelya berdecak kesal, tidak dengan Anahira yang bersikap tenang, "Baik sir, kami permisi"
Anahira mengajak kedua temannya itu untuk pergi dari sana dan mencari kelas masing-masing. Prof Gerald tidak bisa mengubah arah pandangnya dari gadis tersebut.
Ia sangat istimewa, begitu pula dengan namanya 'Anahira' yang berartikan Malaikat Utama. Seperti yang diyakini, sebuah nama biasanya mencerminkan pemiliknya.
"Kuharap kau bisa mengatasi sesuatu disana" gumam Prof Gerald lirih.
*********
Ketiga gadis tersebut melangkahkan kakinya dengan cepat, dengan ocehan-ocehan yang keluar dari mulut salah satunya.
"Astaga kenapa kita harus berpisah kelas? Apa susahnya dijadikan satu kelas saja?" Oceh Evangeline yang kini menekuk wajahnya kesal, seharusnya mereka satu kelas saja.
Gelya yang jenuh mendengar keluhan Evangeline kini merengut kesal, "Sudahlah Eva, aku juga kesal kepada profesor itu, tapi aku lebih kesal kepadamu yang sedari tadi mengoceh"
Evangeline menatap Gelya dengan bola mata yang membesar, "Diamlah, aku hanya takut sesuatu terjadi dan kita tidak bisa menghadapinya jika terpisah seperti ini"
"Hei kau seperti tidak mengenal kita berdua saja, banyak hal yang telah kita lewati, dan sekarang kita juga pasti bisa, lagipula belum tentu akan ada sesuatu" jelas Gelya panjang lebar untuk menenangkan si gadis bermata hazel tersebut.
Evangeline menatap Gelya serius, kemudian ia menghela nafas putus asa, lagipula berapa banyak ocehan pun keputusannya tidak akan berubah.
"Selagi kita berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa" penjelasan Anahira yang singkat tersebut dapat menenangkan kedua temannya itu.
Mereka sampai di lorong yang akan memisahkan kelas keduanya, Anahira menatap keduanya dengan senyum simpul dan tatapan yang lekat.
"Baiklah kita berpisah disini, jika terjadi apa-apa segera kabari aku" peringat Anahira kepada Eva dan Gelya.
Evangeline dan Gelya mengangguk mengerti, "Baiklah, semoga hari ini tidak terjadi apa-apa"
Mereka mengangguk kemudian berpisah, kelas Anahira melewati lorong sebelah kanan, sedangkan ruangan kedua temannya itu berada di lorong sebelah kiri.
Anahira melanjutkan langkah kakinya dengan tidak nyaman, ia sudah menahannya sedari awal masuk ke sekolah ini, bisikan-bisikan yang memekakkan telinganya membuat ia muak.
'Shshshshshshs'
Bisikan yang mengatakan sesuatu yang tidak jelas itu membuat telinga Anahira sakit, semakin lama bisikan itu semakin kuat yang membuat Anahira sedikit merintih, "Ah telingaku"
Anahira tidak fokus kepada langkah kakinya, ia berjalan dengan menunduk dan kedua tangannya menutup telinga. Ia pun tanpa sadar menubruk seseorang.
'Brukk'
"Eh- Maafkan aku, aku tidak berhati-hati" ia meminta maaf karena merasa bersalah, dan bisikan yang mengganggu itu seketika menghilang.
Seorang laki-laki berjas hitam menatap gadis yang kini berada dihadapannya itu dengan tatapan aneh, ia seperti tidak asing dengan sosok itu, "Ana-hira?"
Anahira mengerutkan keningnya bingung, bagaimana orang itu tau namanya? Apakah ia pernah mengenalnya? "Kau... siapa?"
"Ah sudah kuduga itu kau Ana, jika kau lupa izinkan aku memperkenalkan diri" sapanya dengan senyum simpul, ia dipertemukan kembali dengan seseorang yang ia kenal dulu.
Anahira semakin bingung dengan sikap laki-laki yang ia tabrak itu, keningnya mengerut dan kedua alisnya menyatu. Ia hanya menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Aku Malvin yang dahulu satu sekolah denganmu, apa sekarang kau mengingatku?" Malvin menaikan satu alisnya menatap Anahira memastikan.
Anahira terperangah, ia sedikit terkejut namun ia masih bisa mengontrol ekspresi wajahnya, ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Oh ya aku mengingatmu, dahulu kita satu sekolah lalu aku mendapat kabar bahwa kau pindah sekolah" meskipun ia tidak begitu dekat dengan Malvin namun Anahira mengenalnya, hanya sekedar mengenal.
"Tidak kusangka aku akan bertemu kau lagi disini" ujar Malvin bernada aneh. Ia tidak banyak tau tentang Anahira, karena mereka dahulu hanya satu sekolah bukan satu kelas.
Malvin adalah pribadi yang tertutup, ia dikenal misterius. Anahira pun hanya sekedar tau nama Malvin tanpa tau seluk beluk ataupun sifatnya.
Mereka kemudian berjalan bersama di sepanjang lorong, memecah keheningan dengan sebuah percakapan yang canggung.
"A-ah iya" Anahira mencetak senyum canggung di bibirnya. Ia tidak tau harus bersikap bagaimana dengan situasi seperti ini.
"Berhati-hatilah disekolah ini Ana" peringat Malvin misterius. Malvin menatap Anahira dengan tatapan aneh.
Seketika langkah kaki Anahira terhenti, bukan karena ucapan Malvin melainkan karena Anahira merasakan sesuatu. Anahira pun menatap Malvin dengan serius.
"Malvin, aku masih ada urusan, bisakah kau meninggalkanku disini?" raut Anahira berubah menjadi datar, begitu pula dengan wajahnya yang dingin.
Malvin bingung, namun ia mengangguki apa yang diucapkan Anahira. Ia pun melangkah meninggalkan gadis itu sendirian, gadis yang aneh menurutnya.
'Tap... Tap... Tap...'
Bisikan itu kembali muncul, seketika kegelapan menyelimuti lorong tersebut. Anahira terganggu dengan itu. Ketakutan yang tidak ia inginkan kini hadir.
'Shshshshshshshshs'
Sangat menusuk, Anahira mengatur nafasnya ia berhasil mengendalikan ketakutanya sendiri. Terdengar suara angin dari belakang.
"Sebenarnya apa yang sedari awal mengintaiku" Anahira melangkah mundur dengan perlahan, suara angin kembali terdengar, menyapu kulitnya dengan lembut, tapi juga membuat bulu kuduknya berdiri.
Anahira berbalik dengan cepat, dan...
'BOOM'
Tidak ada sesuatu disana. Hanya kosong dan hanya ada dirinya yang sendirian di lorong itu.
"Siapapun kau, jangan pernah menggangguku!" Ancam Anahira penuh penekanan, ia sangat tidak suka jika ada 'sesuatu' yang mengganggu dirinya.
Anahira pergi dari sana dengan raut kesal, ia melangkah cepat ke ruangan kelasnya. Tanpa membuang-buang waktu Anahira langsung membuka pintu kelas tersebut.
'Ceklek'
Beruntungnya disana tidak ada guru, sehingga ia tidak mendapatkan teguran karena berlaku tidak sopan.
Pandangan matanya tertuju pada seseorang yang duduk di sudut ruangan, Malvin? Lagi-lagi dia harus bertemu dengan orang itu, baiklah lagi pula itu tidak merugikan Anahira.
Anahira melangkahkan kakinya dengan anggun.
'Tap... Tap... Tap...'
"Bisakah kau tidak melamun?" peringat Anahira kepada Malvin yang hanya berdiam diri dan menatap keluar jendela.
Malvin menatap gadis yang tadi ia temui dengan tatapan misteriusnya, "Oh kau Ana, lebih baik kau memperkenalkan diri, lihatlah banyak yang menatapmu aneh"
Keduanya menatap ke sekeliling, benar saja banyak murid disana yang menatap Anahira aneh.
'Wah itu siapa ya? Cantik sekali'
'Dia siapa?'
'Cantiknya'
'Kenapa gadis itu malah bersama si misterius?'
Anahira yang menyadari itu pun kini tersenyum canggung dengan melambaikan tangannya, "Perkenalkan namaku Anahira"
'Oh namanya Anahira'
Anahira tidak memperdulikan mereka lagi, ia duduk disamping Malvin karena hanya disana tempat duduk yang tersisa. Ia melihat Malvin yang kembali melamun.
"Bukankah sudah ku bilang, jangan melamun dan jangan membiarkan pikiranmu menjadi kosong" tegur Anahira serius, jiwa yang sedang kosong sangat mudah untuk.... 'dirasuki'
"Lagipula kenapa mereka memanggilmu misterius?" tanyanya dengan nada lirih. Malvin menatap Anahira dengan kerutan didahinya.
Anahira menyadari tatapan Malvin, ia tidak bermaksud untuk menyinggingnya, "Eumm maaf, aku tidak bermaksud menyinggumu"
Malvin mengangguk singkat, "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu"
Hening, tak ada lagi percakapan. Sekarang Anahira mengerti, mereka memanggil Malvin misterius karena Malvin memang sangat misterius. Dia tidak banyak bergaul, dia hanya berdiam diri.
Suara gaduh terdengar, ada langkah cepat yang menuju kelas dan pintu terbuka dengan sangat keras.
'Brakkk'
"A-anu di kelas A ada sesuatu..."
'Deg'
Anahira terdiam, kegelapan pun menyelimuti ruangan tersebut. Anahira seketika menatap kesekililing, siapapun jiwa kosong akan mudah terpengaruhi oleh energi negatif ini.
"Malvin, kita harus segera keluar dari sini!" Seru Anahira yang langsung menarik tangan Malvin, ia ingin berlari dan membawa Malvin keluar.
Malvin menatap Anahira lekat, tatapan matanya berbeda, suaranya menjadi lebih berat, "Ada apa Ana? Tidak ada apa-apa disini"
Anahira menatap Malvin aneh, kenapa suara Malvin seperti berbeda. Malvin menunjukkan senyum smirknya. Tidak! itu bukan Malvin, ada sesuatu yang... merasukinya.
Ana juga menyadari bahwa semua murid yang ada dikelas ini kini tidak sadarkan diri, kesadaran mereka telah dimakan habis oleh sesuatu.
~5 Menit sebelum kejadian~
'Tap... Tap... Tap...'
Suara langkah kaki dari kedua gadis itu terdengar jelas. Mereka merasakan sesuatu yang sama, "Apa kau merasakan sesuatu ketika kita berpisah dengan Ana tadi?"
Gelya menganggukan kepalanya menyetujui, "Aku merasakannya, ada sesuatu disini yang mengintai kita dan mengikuti kita"
"Sebaiknya kita segera menuju kelas" mereka cepat-cepat melangkah kaki.
'Swushhh'
Mereka merasakan angin yang melewati keduanya. Seketika mereka saling pandang, "Gelya, aku memiliki firasat buruk"
"Aku juga sama sepertimu, sebaiknya kita mencari tau apa yang sebenarnya terjadi" keduanya berlari di sepanjang lorong, tanpa memikirkan apa yang terjadi keduanya langsung membuka pintu kelas A dengan keras.
'Brakkk'
Aura gelap sudah menyebar diruangan tersebut, membuat sebagian siswa disana tak sadarkan diri, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Mereka berdua menutup mulutnya tak percaya, bagaimana keadaaan disini bisa sangat buruk sekali?! Sebenarnya apa... apa yang terjadi?!
Sesuatu merangkak di tembok, tunggu apa itu?
"Eva mundur!" Seru Gelya yang langsung menyeret Eva untuk mundur. Sesuatu yang ada dihadapan mereka saat ini sangat berbahaya.
Eva masih terperangah, ia masih sangat terkejut dengan apa yang terjadi, "H-hah? Sebenarnya ini ada apa!"
"Aku tidak tau Eva, apa yang harus kita lakukan?!" Mereka berdua sangat panik, sehingga tidak tau apa yang harus mereka lakukan. Raut wajah mereka sangat ketakutan.
"Kita harus pergi ke Ana, dia pasti bisa mengatasi ini!" Seru Evangeline yang hendak mengajak Gelya pergi dari sana, namun sesuatu memanggil mereka dan mencegah mereka pergi.
"Wahai anak yang diberkahi tuhan, aku sudah menunggu kalian disini" suara serak tersebut sangat menusuk, membuat Eva dan Gelya sangat ketakutan.
Keduanya kini saling berpegangan, mereka tidak dapat melihat jelas apa yang ada dihadapanya saat ini karena kepekatan kegelapan yang ada disana.
"S-siapa kau sebenarnya?! Dan apa maumu?!" Tanya Evangeline dengan sedikit berteriak. Ia memejamkan matanya, dia sangat takut melihat makhluk itu.
'Krekk... krekk'
Makhluk tersebut bersuara aneh, dan itu semakin membuat mereka ketakutan, "Eva, aku sangat takut"
Mereka seakan tidak bisa melakukan apa-apa, mereka hanya bisa diam mematung, ini terlalu cepat terjadi! Mereka baru saja masuk sekolah ini.
"Aku adalah iblis yang tinggal di bangunan ini, dan sekarang ini aku meminjam tubuh dari seseorang!" Jawab makhluk itu dengan suara mengerikan, siapa pun yang mendengar itu pasti akan sangat ketakutan.
Evangeline memicingkan mata, ia ingin tahu sebenarnya tubuh siapa yang dirasuki oleh iblis biadab tersebut, setelah Evangeline menyadari ia semakin ketakutan.
"Bagaimana bisa seseorang yang sangat religius dirasuki dengan mudah?" Evangeline sangat terkejut ketika tau bahwa orang yang menjadi 'pinjaman tubuh' tersebut adalah seorang guru agama.
Ia tau karena ia sempat mencari tau data-data dari seseorang yang berhubungan dengan sekolah ini, itu sebabnya dari awal dia sudah mengetahui banyaknya guru-guru religi disini.
Tubuh Evangeline melemah, ia terduduk ke lantai, wajahnya dipenuhi keringat dingin, tatapan matanya menjadi kosong.
"Eva! Eva! Kita harus segera memberitahukan Ana sekarang, bangunlah!" Gelya mencoba menyadarkan Eva, ia sangat panik bahkan sekarang setetes air turun dari matanya.
Evangeline menatap Gelya, benar ini bukan pertama kali mereka menghadapi sesuatu seperti ini, mereka sudah terbiasa berhadapan dengan iblis. Meskipun kali ini lebih berbahaya.
"Gelya, kita harus melakukan sesuatu!" Ucap Evangeline dengan yakin, Gelya pun menganggukan kepalanya setuju.
Mereka berdua bersiap untuk berdoa, dengan sikap berdiri dan memejamkam mata. Mereka merapalakan doa, doa yang biasa mereka gunakan untuk mengeksekusi 'setan-setan' biadab.
"PERGILAH WAHAI IBLIS!" teriak mereka berdua bersama dengan kekuatan doa yang mereka rapalkan.
Kegelapan yang ada disana sudah pergi, hanya makhluk yang merasuki tubuh seseorang itu masih ada disini.
"Eva, dia masih belum pergi, b-bagaimana ini?" lirih Gelya ketakutan. Nafas Eva tercekat, biasanya mereka bisa dengan mudah untuk mengusir setan-setan kecil yang mengganggu.
Tapi kali ini? B-bagaimana makhluk itu masih bisa bertahan, "Aku tidak takut kepadamu, seharusnya kau yang takut akan Tuhan!"
Evangeline berteriak dan mengancam makhluk tersebut.
'Krekk... krekk'
Makhluk tersebut mendekat, sebenarnya dengan tampilan tubuh manusia itu tidak terlalu menakutkan, yang lebih menakutkan ketika melihat seseorang merangkak di dinding seperti saat ini.
"Apa kau mengamcamku wahai manusia yang penuh dosa?!" nada makhluk tersebut menjadi marah. Mereka berdua pun tidak tau apa yang skan terjadi lagi.
Makhluk yang merangkak tembok tersebut kini semakin mendekat, keduanya melemah dan terduduk dilantai. Apa yang harus mereka lakukan?!
Mereka berdua menyeret tubuh masing-masing untuk mundur, bagaimana pun juga mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan makhluk itu.
********
Raut wajah Anahira berubah menjadi khawatir, ia pun memutuskan untuk meninggalkan Malvin disana. Anahira segera pergi dari kelas D, dan ia pun langsung berlari sekuat tenaga menuju kelas A.
Namun tanpa Anahira sadari, sosok yang merasuki tubuh Malvin tersebut bergerak mengikutinya dari belakang.
'Huh... Huh... Huh...'
Anahira mempercepat larinya hingga ia sampai dikelas D atau kelas Evangeline dan Gelya. Ia mendapati keduanya yang sudah tidak berdaya, meskipun begitu mereka masih mendapat kesadaran.
"Eva, Gelya!" Seru Anahira yang sangat khawatir terhadap keduanya. Anahira langsung menghampiri teman-temannya itu.
"Apa yang terjadi disini?! K-kalian berdarah" Anahira semakin panik saat melihat darah yang mengalir dari kepala kedua temannya itu.
Evangeline menatap Anahira, ia sedang mengumpulkan tenaganya kembali, "Ana, berhati-hatilah 'Dia' masih ada disini"
'Dia'? Siapa? Siapa yang masih ada disini? Apa yang sebenarnya terjadi? Segala pertanyaan itu kini memenuhi isi kepala Anahira, ia tidak bisa berfikir jernih untuk saat ini.
"Gelya, kau tidak apa-apa?" Anahira membantu Gelya duduk bersandar di dinding, nampak wajah Gelya yang sangat pucat.
Gelya mengangguk pelan, ia menjawab pertanyaan Ana dengan sisa tenaganya, "Aku tidak apa-apa Ana, t-tapi 'sesuatu' itu masih disini"
Tampak dari wajah Evangeline dan Gelya yang masih sangat ketakutan, Anahira semakin terheran-heran dengan 'sesuatu' apa yang dimaksud teman-temanya itu.
Evangeline menatap sesuatu yang tiba-tiba hadir, kedua bola matanya membola, ia berusaha untuk memperingatkan Anahira, "ANA AWAS!"
Anahira yang terkejut dengan suara teriakan Eva pun menatap teman-nya dengan aneh. Ternyata ada sesuatu yang datang dan sayang sekali Ia tidak bisa menghindarinya.
'Srekkk'
Goresan pisau sedikit melukai punggungnya, yang seketika membuat tetesan darah keluar dari sana, Anahira menjerit kesakitan, "Arghhhh"
Anahira memejamkan matanya kuat-kuat, ia menahan rasa sakit yang baru saja menyerangnya, perih terasa dari lukanya.
"HAHAHA kalian tidak akan selamat, aku benci seseorang yang taat kepada tuhan" iblis tersebut mengintimidasi.
Anahira berdecih keras, Ia lebih benci kepada iblis yang tidak mempercayai tuhan. Padahal sudah jelas bahwa Tuhan-lah yang menciptakannya, dan iblis masih berani menentang Tuhan?!
"Aku lebih membencimu!" Seruan Ana menggema diruangan tersebut. Evangeline dan Gelya menatap Ana dengan pandangan khawatir.
'Krekk... Krekk'
Makhluk itu kembali mengeluarkan suara-suara aneh yang menjadi ciri khasnya. Makhluk yang merangkak dan merasuki seseorang itu terlihat sangat menjijikan sekaligus menakutkan.
"Ana, apa kau baik-baik saja?" Tanya Evangeline khawatir, ia kini mencoba berdiri bersama Gelya, mau tidak mau mereka harus melawan sesuatu yang ada dihadapan mereka saat ini.
Anahira menganggukan kepalanya, "Tenang saja, aku tidak apa-apa"
"Ana apa yang harus kita lakukan?" Ujar Gelya yang merasa sangat putus asa, ia tidak tau lagi apa yang akan terjadi, akankah takdir mereka hanya sampai sini?.
Belum sempat Anahira menjawab ia dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba masuk ke ruangan kelas... Malvin.
Anahira semakin bingung, mereka kini dalam keadaan sangat terdesak. Malvin menatap Anahira dengan smirk, tidak itu adalah senyum dari makhluk yang memasukinya "Ana, kemarilah bermain bersamaku"
Bulu kuduk Anahira berdiri ketika mendengar suara Malvin yang sangat berat, begitu pula dengan nadanya yang menusuk.
Anahira menatap kedua temannya, begitu pula dengan Evangeline dan Gelya yang membalas tatapan Anahira, mereka seakan sedang memikirkan rencana, "Eva, Gelya, kalian lawanlah makhluk bodoh itu, aku akan mengurus yang satunya"
Begitulah rencana yang diberikan Anahira. Evangeline dan Gelya mengangguk mengerti, mereka berlari ke arah belakang untuk memancing iblis yang sedari tadi mengganggu mereka.
"Kemarilah wahai iblis bodoh" meskipun langkah kaki mereka kini tertatih, namun mereka tidak akan menyerah untuk melawan.
Sedangan Anahira, ia berusaha mendekat ke arah Malvin, dengan raut wajah yang menahan rintihan karena luka yang cukup dalam di punggungnya.
"Malvin, sadarlah!" Tegur Anahira keras. Namun sayang Malvin tidak akan sadar begitu saja.
Malvin justru memberikan tatapan membara, seakan-akan Anahira adalah mangsanya. Dan ia tidak akan membiarkan Anahira lari darinya.
Kuku-kuku Malvin tiba-tiba memanjang, sungguh iblis yang merasukinya sangat kuat hingga sampai bisa memberikan perubahan wujud pada Malvin, "Ana, aku tidak akan melepaskanmu"
'Srekkk'
Dengan gerakan yang sangat cepat Malvin tiba-tiba sudah berada dihadapan Ana, kedua tangannya mencengkeram lengan Anahira dengan kencang, hingga kuku-kuku tajamnya melukai lengan Ana.
"Malvin sadarlah! Dan lepaskan aku!" Anahira meronta, ia merasakan kulit lengannya seakan tersobek, kini seragamnya sudah tidak berbentuk dengan di beberapa bagiannya robek.
Punggung Anahira juga semakin sakit, tapi ia yakin ia bisa bertahan sampai akhir, itulah alasan kenapa ia bisa melawan semua yang terjadi.
"Hahaha!" Tawa Malvin menggema, ia menatap puas Anahira yang kini penuh luka, ia semakin gencar untuk menyiksa gadis berambut pirang itu.
Ingat saja itu sebenarnya bukan salah Malvin, melainkan perbuatan dari makhluk yang merasukinya.
Kini ditangan Malvin telah tersedia pisau tajam, entah darimana ia bisa mendapatkannya benda tajam itu. Raut wajah Anahira berubah menjadi panik, ia semakin meronta, "Malvin lepaskan!"
Anahira memejamkan matanya, ia kini merapalkan doa-doa dan meminta bantuan kepada tuhan untuk mengusir makhluk yang sangat mengganggu ini.
Makhluk yang ada didalam tubuh Malvin itu merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, itu membuatnya marah, "Apa yang kau lakukan bodoh?!"
"Arghhh" Makhluk tersebut meronta, sayang sekali Ia tidak bisa mengendalikan Malvin lebih lama lagi, dan Makhluk tersebut pun melakukan sesuatu yang tidak terduga....
'Srekkk'
Pisau tersebut menusuk Anahira, hingga cairan merah pun keluar dari sana, Anahira melemah dalam hati ia masih merapalkan doa-doa.
'Sringg'
Malvin menjatuhkan pisau yang telah melukai Ana itu kelantai, tatapan matanya telah berubah, ia menjadi terkejut dengan keadaan kacau yang sedang berlangsung ini, "Ana!"
Anahira terjatuh diatas Malvin. Malvin yang masih dalam keadaan 'Shock' itu kini terduduk bersandar di dinding kelas, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tatapan mata Malvin menjadi penuh kebimbangan, ia sangat ketakutan dengan kejadian ini, apalagi saat melihat keadaan Anahira yang penuh darah, "Tenanglah Malvin"
Anahira masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk menjawab, meskipun suara yang ia keluarkan terdengar sangat lirih. Tangan kanannya menutupi luka perutnya, ia berharap darah berhenti mengalir.
Tangan Malvin yang penuh darah itu kini menutup wajahnya, ia sangat ketakutan. Malvin menatap Anahira yang terbaring diatas dada bidangnya.
Kini tangan Malvin mengusap kulit pipi yang memucat itu. Nafasnya tercekat, ia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, sungguh, "Ana kau baik-baik saja?"
Seharusnya Malvin tak perlu menanyakan itu, ia sudah mengetahui keadaan Anahira yang cukup parah dengan banyak bercak darah.
Kini tinggal Evangeline dan Gelya yang masih berusaha melawan makhluk yang satunya, "Pergilah kau sejauh-jauhnya dan jangan pernah kembali lagi!"
Evangeline dan Gelya membacakan doa untuk iblis Itu, berbeda dengan tadi kini doa tersebut cukup untuk membuat sang iblis tidak bisa berkutik.
"Argghh cukup!" Iblis tersebut merasa sangat tidak nyaman, dengungan yang terngiang dikepalanya sangatlah mengganggu.
Evangeline dan Gelya semakin yakin untuk melawan iblis itu, mereka berdua memilik keyakinan yang cukup kuat didalam hatinya, "Pergilah dan jangan kembali lagi"
"Argghhh, manusia sialan, ingatlah satu hal, Aku akan selalu ada jika tujuh dosa mematikan masih ada, dan kalian para makhluk hina masih saja bermaksiat"
Iblis tersebut semakin kesakitan, hingga ia menyerah dengan kekuatan doa dari kedua gadis Itu, iblis itu pun akhirnya memilih untuk... menghilang.
Evangeline dan Gelya kini bernafas lega, mereka berdua terduduk lemah dilantai, sungguh hari ini sangat tidak terduga. Mereka tidak percaya sesuatu yang sangat buruk telah terjadi.
"Dimana Ana?" Tanya Evangeline yang kini mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia mencari gadis tersebut untuk memastikan keadaanya.
"Dia disana" jawab Gelya lirih saat melihat sosok Ana yang bersimbah darah bersama dengan seorang laki-laki yang dalam keadaan lemah.
Mereka mendengar suara kegaduhan dari luar, dan tampaklah beberapa orang yang masuk ke dalam ruang penuh kekacauan itu.
"Bagaimana keadaan kalian semua?" Tampak raut Prof. Gerald yang sangat khawatir.
Bagaimana pun keempat orang itu memiliki pemikiran yang sama yaitu... 'Bantuan yang sangat terlambat, dan mereka tidak membutuhkannya'
Malvin merapihkan rambut Anahira yang berantakan, ia memeriksa denyut nadi gadis Itu, dan untunglah Anahira masih bernafas, ia masih hidup.
Malvin sangat bersyukur, ia memiliki perasaan bersalah yang teramat besar kepada sosok gadis yang kini bersandar di tubuhnya.
*******
NB : Cerpen pertama, maaf jika penuh kekurangan.
Genre : Horor, Thriller, Misteri.
4119 kata, Author : Gegechan💝
*Mohon maaf apabila banyak adegan kekerasan, dan maaf apabila cerpen ini mengganggu*