#TRILOGIBUDAKCINTA
TRILOGI BUDAK CINTA
OB
Fiksi
Creepy Story
"Kopi saya mana?!"
"Baju saya sudah ditaruh di Laundry belum!"
"Makan saya mana? air saya habis, sepatu saya belum dicuci, mobil saya juga belum di cuci, kamu gimana sih, kerja nggak beres!"
Bu Ela, bos yang banyak orang takuti sekaligus benci, mereka menunduk di depannya dan merengut dibelakangnya.
Tidak heran karena setiap kali memberi perintah dia selalu semena-mena terkadang malah sebelum perintah satu selesai, sudah muncul perintah lain, karena sifatnya yang temperamental sekaligus manja ini bahkan dulu sekali ada mantan pegawai yang secara terang-terangan bilang akan menyantet, itu semua dilontarkan karena dia kesal, dipecat gara-gara hal sepele, hanya karena pegawai tersebut salah membeli kopi yang diminta, padahal pegawai tersebut jabatannya seorang supervisor tapi disuruh beli kopi, dari pada menyantet, kan ada cara lebih mudah.
Aku, Aku hanya OB disini, kerjaanku ya disuruh-suruh, makanya aku tidak masalah jika Bu Ela memperlakukanku semena-mena.
Saat ini aku sedang membelikannya makanan dan juga sekaligus mengambil baju di tempat laundrynya, tapi baru saja dia telepon, katanya dia juga minta aku untuk membersihkan sepatunya dan teriak-teriak untuk aku segera kembali ke kantor secepatnya.
Aku berlari sebisa mungkin untuk memenuhi semua perintahnya, karena aku selalu mencoba memberikan yang terbaik di tempat kerjaku, ya bisa dibilang aku adalah orang yang sangat menghargai pekerjaanku, karena tidak banyak orang mendapatkan pekerjaan tetap dengan gaji yang baik.
Saat ini aku sudah sampai kantor, aku sudah menyiapkan makanannya di meja tempat biasa dia makan, menaruh baju yang sudah selesai di laundry di mobilnya dan buru-buru mengambil sepatunya untuk dibersihkan.
Saat aku mengambil sepatu diruangannya, tepatnya dibawah mejanya lebih tepatnya lagk di kakinya, dia berkata begini, "Samsul! Lama banget, kemana dulu sih!"
Aku hanya tersenyum, dan mengatakan permisi, aku ingin cepat-cepat membersihkan sepatu kesayangannya, takut kalau dia marah lagi.
Ketika aku keluar beberapa orang menanyaiku karena katanya bu Ela uring-uringan pada saat menungguku, mereka bertanya, kok aku bisa tahan dengan perlakuannya yang kasar, aku hanya menjawab, aku Office Boynya, ya aku lakukan apa yang disuruh. "Sam, coba aku liat, udah bersih belum."
Bos Ela menyuruhku mendekatinya dan menunjukan sepatu yang sudah kubersihkan, setelah kuperlihatkan sepatu itu padanya, dia tersenyum tanda puas, aku pun tersenyum, sepatu yang masih kupegang langsung kuletakan di bawah mejanya, wah sudah selesai pekerjaanku, aku akan makan siang dulu, belum sempat soalnya tadi.
"Sam, sekarang kamu bersihkan kulkasku ya, lihat kotor banget, kau keluarin dulu semua makanannya, lalu setelah itu kau berihkan semua sela-selanya, pakai kain yang steril supaya makananku tidak basi."
Pupus sudah harapanku untuk makan siang, tak terhitung lapar yang kutahan karena pekerjaan yang diperintahkan Bu Ela selama ini, tapi apa mau dikata, aku kan memang OB nya, OB khusus untuknya.
Aku mengambil lap yang steril dan mulai membersihkan kulkas, kulkas di ruangan Bu Ela.
Selama aku membersihkan kulkas, kudengar dia sedang menelpon kekasihnya, kata orang-orang, mereka pacaran sudah lama sekali, sudah sekitar 5 tahun, tapi mereka tak kunjung menikah, katanya karena lelaki itu adalah suami orang, sehingga sulit bagi mereka untuk melegalkan hubungan, sayang sekali padahal Bu Ela cantik dan kaya.
Kudengar Bu Ela membanting telepon genggamnya, lagi-lagi bertengkar, selalu begitu, Bu Ela memang tidak pernah sungkan menelpon di sekitarku, dia mengancamku, katanya kalau sampai percakapannya diketahui orang lain, dia akan memotong lidahku.
Hari ini seperti biasanya, aku lembur menunggu bu Ela pulang, ada pak Min, satpam kantor, setiap hari selama 2 tahun aku bekerja di sini, Bu Ela selalu pulang malam, mungkin pekerjaannya banyak, aku akan keatas menawarinya kopi atau makan malam, dia belum makan soalnya dari siang tadi.
Aku melangkah menuju ruangannya yang ada di lantai 5 dengan tangga, karena memang di ruko kantor ini tidak ada lift, saat akan mencapai pintu ruangannya aku mendengar dia lagi-lagi sedang menelpon kekasihnya dan memaki-maki dengan kasar, sepertinya karena lelaki itu ingin putus dan lebih memilih kembali pada anak dan istrinya.
Setelah Bu Ela selesai menelpon, aku mengetuk pintunya dan masuk.
"Loh, kok belum pulang Sam? kan ada Pak Min, ngapain kamu ikut nungguin." Bu Ela kaget karena aku masih disini.
"Bu, apakah akhir-akhir ini ibu tidak kesulitan tidur lagi? apakah penyakit insomnia ibu sudah mulai sembuh?" aku bertanya.
"Ya, kau benar, memang kenapa? kok kau tau?"
"Aku melarutkan flunitrazepam kedalam air putih ibu, Pasti ibu tidak sadar, karena obat itu larut di air tanpa bau dan warna, tentunya dengan dosis yang tepat, sehingga ibu bisa tidur nyenyak dan bangun dengan segar di pagi harinya, katanya di luar negeri banyak orang pakai obat itu untuk membuat korbannya tertidur lama lalu memperkosanya tanpa disadari."
Aku menjawab dengan tersenyum lalu duduk di sofa yang menghadap meja kerjanya.
"A-apa maksudmu?" Bu Ela berdiri dan terlihat kaget.
"Dan apakah ibu merasa bahwa akhir-akhir ini Flu yang sering ibu derita sudah tidak kambuh lagi?" Aku kembali bertanya dan menyilangkan kaki.
"Sam! kau mulai membuatku marah." seperti biasa dia selalu marah dan marah, aku sudah tidak tahan lagi.
"Taukah kau tidurmu nyenyak karena aku membersihkan tungau dari kasurmu maka kau tidak sering Flu lagi." Aku kembali tersenyum.
"Kau masuk kerumahku tanpa Ijin!" dia membentakku.
"Mudah sekali Ela, kau tidak tahu bahwa kau mudah ditebak, kau membeli alarm pintu dengan password kan, passwordnya tanggal lahirmu digabung dengan tanggal lahir pria itu bukan? kau mudah sekali di tebak, Ela."
"Sam, keluar kau atau kupanggil Pak Min untuk menyeretmu keluar!" kulihat dia gemetar, ketakutan, kemana keberaniannya saat ini?
"Oh, Pak Min ya? tadi barusan saja, aku melarutkan flunitrazepam diminumannya, tapi aku sedikit menambah dosisnya, mungkin dia akan tertidur lebih lama atau tidak bangun lagi."
Aku mendekatinya dan dia mundur perlahan di balik mejanya.
"Kau gila!" Ela mulai menangis.
"Tidak, tidak, aku bukan pegawai gila yang ingin menyantetmu itu, caranya kasar sekali, lagian dia sudah kuberi sedikit pelajaran, aku menyuntiknya dengan pavulon, suntikan itu biasanya diberikan pada terdakwa hukuman mati, tapi aku memberikannya tanpa anastesi," aku tertawa terbahak bahak dan melanjutkan kata-kataku, "karena aku memberikannya tanpa biusan maka dia mengalami asphisiasi, tubuhnya akan terasa seperti terbakar, ototnya akan terasa nyeri pada tingkat yang tinggi dan akhirnya jantungnya akan berhenti, aku melihatnya terjatuh dengan muka yang ketakutan, kau harusnya lihat itu Ela."
"Sam, maafkan aku, aku minta maaf karena telah menyinggungmu dengan kata-kataku atau sikapku, aku minta maaf Sam, aku mohon, aku berjanji akan bersikap lebih baik, aku mohon Sam." Ela menangis dan memohon.
"Tapi mungkin kau benar Ela, aku memang cukup gila karena meninggalkan study kedokteranku, spesialis bedah Ela! hanya untuk mengejarmu kesini." Aku menatapnya.
"Dua tahun lalu, ada seorang gadis masuk ke ruang praktekku di rumah sakit, dia bilang dia sulit tidur dan sering sekali sakit flu, aku hanya Dokter umum waktu itu, aku sengaja meresepkan obat yang salah agar dia kembali lagi untuk berobat, aku melakukan itu karena merasa bahwa tidak pernah ada wanita yang lebih cantik darinya, dia terlihat tegas dan kuat," aku memandangnya lekat, "tapi kau tidak pernah kembali lagi Ela, aku menunggumu setiap hari, sampai aku fikir aku tidak tahan lagi dan disinilah aku sekarang, menjadi OBmu, hanya khusus untukmu." Aku tersenyum, khas senyumku padanya setiap hari.
"Sam, apapun tujuanmu, aku mohon Sam, aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin kembali ke rumah, Sam."
"Ela, aku ingin bercerita, dengarkan ok," Aku duduk tepat di bangku yang berada di hadapan meja kerjanya, sementara dia masih berdiri ketakutan.
"Dulu sekali ada seorang Dokter Bedah bernama Leonid Ivanovich Rogozov, dia melakukan operasi pada tubuhnya sendiri karena usus buntu, dia terpaksa melakukannya, wilayah yang sedang dia kunjungi terjadi musibah badai salju, dia tidak bisa kemanapun, sementara Usus buntunya semakin parah dan mungkin pecah, pilihannya hanya dua, mati disitu atau mengoperasi dirinya sendiri." Aku kembali tertawa terbahak-bahak.
"Sam Aku mohon." Ela berlutut sehingga tubuhnya tidak terlihat olehku yang sedang duduk.
"Tidak, tidak Ela, sebentar...."
Aku berlari kearah kulkas pribadinya dan mengeluarkan kotak berbahan plastik dari freezer, lalu kembali, aku melompati meja kerjanya untuk mendekati Ela yang sedang gemetaran dan menarik tubuhnya untuk berdiri.
Aku menyerahkan kotak berbahan plastik itu ketangannya, dia terdiam dan terlihat lemas karena ketakutan dan menangis, aku kembali menyodorkan kotak itu dengan tersenyum dan aku memeluknya.
Sudah kubilang aku sudah tidak tahan Ela, kau selalu menangis untuk pria itu, kau bilang pada pria itu untuk memberikan hatinya padamu, karena kau sangat mencintainya, tapi dia tidak mampu memberikannya.
Aku berbeda Ela, aku mampu memberi hatiku, aku membedahnya sendiri untukmu seperti Dokter Leonid Ivanovich Rogozov yang memotong usus buntunya sendiri, aku pun memotong sebagian hatiku untukmu, berbeda dengan dokter itu dia melakukannya terpaksa karena keadaan, sementara aku melakukannya dengan perasaan suka cita, aku menaruh hati itu di dekatmu, di kulkas itu, apalagi yang kau mau sayang? akan kulakukan, jika jantungkupun kau minta, aku tidak akan ragu untuk mengeluarkannya dari tubuhku, Anything Baby, Anything.
Aku memeluk erat tubuhnya yang gemetaran, tahukah kau Baby, kau terlihat menggemaskan dalam kondisi apapun.