Namaku Medina Arafah, aku seorang wanita berusia dua puluh enam tahun. Karirku di bidang kepenulisan cukup bagus, begitupun pendidikan yang ku tempuh. Di usiaku yang semakin matang, tentunya bisa terbilang sudah siap untuk menata masa depan.
Namun ada satu hal yang menjadi kendala, bukan tentang aku yang belum memiliki pasangan. Tetapi, karena pasanganku yang tak kunjung memperjelas kelanjutan hubungan kami.
Aku sudah menjalin hubungan selama hampir tiga tahun dengan seorang lelaki, namanya Arya. Hubungan kami selama ini baik-baik saja, bahkan bisa di bilang cukup berjalan dengan sempurna.
Tak pernah ada masalah yang tidak dapat kami selesaikan, Arya termasuk lelaki yang cukup pengertian.
Hingga akhirnya aku berada di titik jenuh, bukan karena aku bosan dengan Arya. Semua wanita menginginkan sesuatu hal yang baru dalam kehidupan percintaannya, bukan hanya bergelut dalam satu hal yang itu-itu saja.
Sampai satu pertanyaan yang sama selalu tertuju padaku, dan hal itu membuatku berpikir lebih jauh.
Suatu waktu aku pernah memberanikan diri untuk bertanya pada Arya, dan aku mendapat jawaban yang membuatku berpikir beribu kali untuk melanjutkan hubunganku dengannya.
"Ya, boleh aku bertanya?" tanyaku pada Arya.
Arya mengangguk, seperti biasa senyum manis tak pernah sirna dari wajahnya ketika menatapku.
"Sampai kapan kita seperti ini?" tanyaku dengan ragu.
Arya mengerutkan keningnya, "maksudmu?" tanyanya padaku. Mungkin memang pertanyaanku terdengar ambigu.
"Kamu serius menjalin hubungan denganku?" tanyaku. Tentunya aku memasang mimik muka yang serius.
Arya tertawa kecil, entah bagian mana dari pertanyaanku yang terdengar lucu di telinganya.
"Seriuslah, buktinya kita bisa pacaran sampai bertahun-tahun." Arya menuturkan dengan nada ringan.
Aku menghela nafasku, "Kalau kamu serius, kapan kamu akan menikahiku?" tanyaku.
Aku melihat dengan jelas perubahan raut wajah Arya, ia terlihat begitu terkejut.
"Menikah?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan cepat, aku tidak ingin basa basi lagi dengannya.
"Sayang, begini. Aku serius pacaran sama kamu, tapi untuk menikah... Aku belum memikirkan hal itu denganmu, aku belum siap." ucap Arya dengan lugas.
Aku terdiam, banyak pertanyaan yang bermunculan di kepalaku.
"Apa yang membuatku tidak siap?" tanyaku. Tentu aku menanyakan hal itu. Melihat dari segi kemapanan, Arya termasuk lelaki yang lebih dari mapan. Entah apa yang ada di pikiran Arya saat ini.
"Aku... belum mau terikat lebih jauh. Tapi sayang, selama ini kita baik-baik saja. Hubungan kita berjalan dengan baik, dan kita juga bahagia. Aku rasa itu juga sudah cukup," tuturnya dengan santai.
"Jadi kamu menjalin hubungan denganku, tanpa berniat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius dari ini?" tanyaku dengan perasaan tak percaya.
"Untuk saat ini iya," jawabnya.
Aku benar-benar kecewa pada Arya, dadaku seketika terasa sesak. Dengan cepat aku beranjak dari tempatku, rasanya aku tidak ingin melihat wajah Arya saat ini.
"Sayang, mau kemana?"
Arya menahan lenganku, aku menepisnya dengan kasar.
"Lepas! Aku tidak mau melihatmu." Aku berucap dengan menahan tangis. Aku tidak ingin terlihat lemah di mata Arya.
"Loh kenapa? Apa aku salah bicara?" tanya Arya. Lagi-lagi ia berkata tanpa dosa.
"Aku mau putus!"
Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutku.
Arya terkejut, ia menggelengkan kepalanya.
"Putus? Tapi kenapa?" tanyanya.
"Ya, aku butuh kepastian. Dan nyatanya, aku tidak mendapatkan itu darimu! Jika kamu hanya ingin bermain-main, maaf ini bukan tempat yang tepat untukmu!" Telunjukku mengarah pada dada sebelah kiri.
"Cari wanita lain yang mau menjalin hubungan tanpa kepastian!" seruku sembari berlalu meninggalkan Arya.
Aku memilih pergi bukan karena menyerah, bukan juga aku tidak pernah mencoba. Namun kali ini aku harus dapat membedakan, mana kepastian mana keputusasaan.
Kesalahanku selama ini adalah terlalu berharap, hingga aku lupa yang namanya kepastian.
Hingga kini aku telah memutuskan, semua hal itu butuh kepastian. Entah saat akan memulai, memutuskan untuk bertahan atau bahkan meninggalkan.
~ Medina Arafah. Bandung Hujan, 24 September 2020 ~