NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Duda

Digo Uparengga

Satu seperempat tahun yang lalu...

 

Senyap menyapa, Digo ketika tiba di flat apartemen mewahnya yang berada di pulau Dewata Bali. Keningnya mengerut bingung, karena tak biasanya apartemen tipe Penthouse itu sepi.

 

Digo mengambil seribu langkah cepat memasuki apartemen mewah yang hampir delapan puluh persen dindingnya terbuat dari kaca transparan yang langsung memperlihatkan laut lepas di belakang apartemen.

 

"What the hell happened here?" Digo tertegun dan nyaris tidak percaya, ketika samar-samar melihat ruang tamu apartemennya dalam keadaan begitu berantakan.

 

Ada sepasang baju wanita lengkap dengan ********** yang berserakan di atas maupun di bawah sofa, juga ada bekas bungkus makanan ringan dan kaleng minuman bersoda dalam jumlah banyak tercecer tak karuan memenuhi ruangan.

 

Maju beberapa langkah mendekati televisi layar datar yang di biarkan menyalah dan memutar serial Western, Digo kembali di buat tercengang dan tertegun kala matanya melihat sepasang baju milik lelaki asing yang di biarkan bergantung di atas meja kecil depan televisi.

 

Hatinya tiba-tiba saja terusik. Terganggu dengan pikiran negatif yang tidak tau datang dari mana dan langsung menerjang pikirannya.

 

Perlahan mata Digo terpejam, nyeri menyerang ulu hatinya. Di cengkeramnya baju berwarna hitam dengan tulisan band Amerika 'Avenged sevenfold' kuat-kuat, sebelum kemudian dia kembali mengambil seribu langkah naik ke lantai atas apartemen.

 

Dengan langkah gontai dan hati teriris seperti tau apa yang terjadi di sana, Digo menelusuri lorong lantai dua apartemen. Terlihat buliran air mata menggenang di pelupuk pipi. Digo menghapus air mata sialan yang tiba-tiba datang itu dengan kasar, mencoba menguatkan diri untuk mendekat ke arah ruangan di ujung lorong lantai yang pintunya sedikit terbuka. 

 

Langkahnya tiba-tiba terhenti tepat satu langkah lagi dari ambang pintu karena gendang telinganya yang mendengar begitu jelas suara desahan yang keluar dari mulut wanita yang amat dia kenal. Dan, seperti sudah tau apa yang terjadi di dalam ruangan itu, Digo menghempaskan baju yang berada di genggamnya, melangkah lebar dan mendobrak pintu kayu berwarna hitam pekat dengan kasar.

 

Matanya membelalak nyaris copot ketika mendapati seorang perempuan cantik nan seksi tengah duduk di atas tubuh seorang lelaki dengan penyatuan diri mereka.

 

"Di... Digo?" Perempuan itu kaget bukan main ketika melihat Digo berada di hadapannya.

 

Buru-buru, dia menutupi tubuh polosnya dengan selimut tebal yang sudah berantakan karena aktivitas panas yang dia lakukan. Tak lupa, dirinya juga melepaskan penyatuannya dengan lelaki yang tak lain adalah adik kandung Digo sendiri. Steve.

 

"Lo udah pulang, bang?" tanya Steven dengan begitu santainya. Dia bahkan tidak peduli dengan kehadiran Digo yang bak jelangkung.

 

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Digo kepada kedua pasangan itu.

 

Perempuan berambut panjang, dan bernetra hitam meneduhkan itu maju mendekati Digo. Berusaha meraih tangan Digo, namun dengan cepat di tangkis oleh lelaki berusia tiga puluh tahun itu.

 

"Digo, ini gak seperti yang kamu pikir." Perempuan itu mulai terisak.

 

Sebuah senyum getir terlintas di bibir Digo. "Tidak seperti yang aku pikir? Lalu apa, hah? Lalu apa, Luna?" Teriakan Digo menggelegar memenuhi kamar dengan dinding kaca berbentuk L yang langsung menghadap ke lautan lepas.

 

"Kamu istri aku, Luna. Bisa-bisanya kamu selingkuh saat aku kerja di luar negeri sama adik aku sendiri."

 

Mata Luna memanas, dia tidak dapat mencegah air mata jatuh. Penyesalan dan rasa bersalah kepada suami yang telah dia nikahi lima tahun silam baru dia rasakan sekarang setelah hampir satu tahun lamanya, Luna bermain api bersama Steve adik iparnya sendiri.

 

"Maafin aku, Digo," Suaranya tercekat karena air mata yang turun deras. "Aku salah, maafkan aku."

 

Luna berusaha meraih tangan suaminya untuk dia genggam. Tapi dengan cekatan, Digo menepisnya lagi namun kali ini dengan satu langkah menjauh dari Luna.

 

"Jangan sentuh aku." Seru Digo sambil mengangkat jari telunjuknya. "Aku jijik sama kamu, Luna."

 

"Digo, aku mohon jangan kaya gini. Aku ngaku salah, maafkan aku." Luna maju dan masih berusaha meraih tangan suaminya. Tapi, Digo yang sudah tersulut emosi, dan rasa kecewa tak mau sedikitpun menyentuh istrinya. Dia begitu jijik dan hina melihat kelakuan kotor sang istri.

 

"Aku mati-matian kerja di luar negeri, demi bahagiain kamu. Tapi ini balasan kamu buat aku, Luna? Kamu gak punya otak Luna!" Lagi, Digo membentak Luna dengan begitu keras.

 

Luna tersentak kaget, karena selama tujuh tahun mengenal Digo tak pernah sekali pun lelaki itu membentaknya dengan begitu keras. Isaknya semakin terdengar begitu pilu. Luna begitu kalut, dan tak tau harus berbuat apa sekarang untuk membuat suaminya merendahkan amara yang memuncah itu.

 

"Sejak kapan kalian main di belakang aku?"

 

Steve yang masih tertidur dengan santai di atas ranjang sambil menyaksikan pertengkaran kakak dengan istrinya itu dengan santai menjawab

 

"Satu  tahun."

 

Mata Digo memincing kebencian kearah Luna. Dia mengusap wajahnya kasar, dan menggerutuki dirinya yang begitu bodoh hingga tak menyadari perselingkuhan istri dan adiknya sendiri itu.

 

"Satu setengah tahun kamu main api di belakang aku, Luna?"

 

Diam, Luna tak menjawab. Dia malu dan amat takut mengakui akan dosanya itu kepada suaminya.

 

"Kenapa, Luna? Kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku?" Kali ini giliran air mata Digo yang tak bisa di cegah untuk keluar.

 

Di pandanginya lekat-lekat wajah cantik meskipun tanpa make-up di hadapanya untuk menunggu jawaban. Tapi sayang, hingga beberapa menit hanya suara isakan yang memekikkan hati yang Digo dengar.

 

"JAWAB SAYA, LALUNA?!"

 

"Karena aku kesepian, Digo. Dan kamu gak pernah pulang ke Indonesia dan sibuk dengan pekerjaan diplomat kamu." Tak lagi ada air mata, Luna justru menjawab alasannya berselingkuh dengan amarah yang tiba-tiba muncul memenuhi relung hati.

 

"Haha, kamu bilang kesepian?" Digo menatap miris ke arah Luna yang sudah menengadahkan kepalanya menatap lekat wajah tampan blasteran Digo.

 

"Apa semua ini salah aku, Luna?"

 

Luna kembali menundukkan kepalanya. Diam seribu bahasa, dan menyadari jika penjelasannya hanya akan membuat semua terlihat jelas jika ini adalah kesalahannya sendiri.

 

"Dua tahun lalu, aku nyuruh kamu ikut dengan aku pindah ke Canada. Tapi kamu kekeh milih tetap tinggal di Indonesia karena ingin merintis karier modeling kamu. Apa ini salah aku juga, huh? Salah aku Luna?"

 

"Digo, aku benar-benar minta maaf. Aku janji gak akan ngulangin ini lagi."

 

Kepala Digo menengadah, menatap langit-langit temaram kamarnya. Hatinya benar-benar sakit, seperti teriris benda yang tidak kasar mata hingga meninggalkan bekas luka yang menganga.

 

"Aku janji, Digo, aku janji gak akan ngu..."

 

"Cukup!" Digo mengangkat tangannya. "Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita, Luna."

 

Mata Luna membeliak sempurna, kepalanya menggeleng cepat merespons ucapan Digo yang bak seperti sebuah petir di tengah hari.

 

"Enggak! Aku gak mau pisah sama kamu, Digo. Aku gak mau."

 

Tanpa di duga, tiba-tiba Luna bersimpuh di bawah kaki Digo. Memeluk kaki suaminya sambil terus melanjutkan tangisan penyesalannya.

 

"Aku mohon jangan giniin aku, Digo. Aku gak terima. Aku gak mau pisah sama kamu."

 

"Terserah. Terima atau tidak terimanya kamu, ini keputusan terakhir aku." Dengan kasar dan tak lagi memperdulikan Luna, Digo menendang tubuh Luna hingga terpental dan mengenai dipan ranjang. Luna meringis, dan merasakan cairan kental berwarna merah keluar dari kepalanya.

 

Di sisa-sisa usahanya, Luna menatap Digo dan berusaha memasang wajah memelas agar lelaki itu kasihan dan merasa bersalah karena telah melakukan kekerasan kepadanya. Namun, sayangnya Digo malah tak memedulikan Luna dan melenggang pergi meninggalkan kamarnya begitu saja.

 

Pernikahan ini sungguh harus berakhir, Laluna. Kau telah melukai dan menghancurkan hatiku. Mengkhianati cinta suci yang ku berikan kepadamu.

 

 Bersambung...

Arumi Maharani

“Sudah saya bilang jangan masuk ke kamar saya. Apalagi sampai membereskan kamar saya dan memindahkan barang-barang saya. Apa kamu tuli atau tidak punya otak, huh?”

Suara keras Arkan, suami Naysila atau Nana menggelegar memenuhi seluruh isi ruangan tamu rumah besar itu. Air mata Nana seketika jatuh. Dia merunduk, segera menghapus air mata sialan yang datang tanpa di undang dan berusaha menguatkan diri.

“Saya sudah memberikan mu ijin berkeliaran di seluruh area rumah ini.  Namun bukan berarti kamu boleh dan dengan sangat tidak sopan naik ke lantai atas dan masuk ke kamar pribadi saya. Saya, kan sudah memperingatkan kamu jangan berani menginjakkan kaki kamu ke lantai atas tapi kenapa kamu masih melakukannya? Apakah kamu tuli? Tidak punya otak, atau bagaimana, huh?!”

Hati Nana mencelos sakit sekali. Namun dengan sekuat tenaga dan suara bergetar, Nana berkata.

“Maaf, mas. Aku hanya ingin membereskan kamar mu yang berantakan.”

“Maaf, maaf. Kamu tau, kan apa akibat dari perbuatan kamu? Dokumen saya hilang, Nana. Itu adalah dokumen penting. Apa kamu bisa mengganti dokumen tersebut. Sekolah saja enggak."

Nana diam menundukkan kepala dalam tidak berani menjawab. Hatinya terasa begitu sakit dengan ucapan ketus dan kasar yang Arkan katakan kepada dirinya.

"Sampai kamu berani lagi masuk ke kamar saya, jangan harap kamu bisa miliki kebebasan berkeliaran di depan mata saya. Dasar wanita enggak berguna!"

Dengan tubuh yang bergemetar dan air mata yang bercucuran, Nana mencoba memberanikan diri mengangkat kepalanya. Di tatapnya wajah sang suami yang tidak sedikitpun menyimpan rasa kasihan kepada dirinya. Matanya yang memancarkan rasa benci sudah terlihat jelas ketika melihat Nana dengan enggan.

“Minggir, saya mau berangkat kerja.”

“Tapi, Mas kamu kan baru saja pulang.”

“Kamu pikir saya betah tinggal sama wanita nyebelin dan enggak berguna kaya kamu?”

Nana tidak menjawab dan menyadari akan kesalahannya. Dia pun mencoba menjulurkan tangannya hendak mencium tangan suaminya, namun Arkan langsung menampik tangan Nana dan pergi sembari membanting pintu. Suaminya kembali pergi setelah semalaman tidak pulang dan dalam keadaan marah. Sudah sejak enam bulan dirinya menyandang status istri Arkan. Namun tidak sehari pun, Arkan menganggap Nana sebagai istri. Arkan selalu dingin dan ketus kepada Nana. Bahkan menganggapnya pengganggu dan wanita tidak berguna.

Naysila Sasmita, wanita berusia 24 tahun yang memiliki nasib sial seumur hidupnya. Dia di perkosa oleh Abraham Arkan Prakasa sewaktu dirinya bekerja menjadi pegawai magang di perusahaan milik Arkan. Akibat pemerkosaan itu, Nana hamil anak Arkan. Awalnya Arkan tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan Nana dan malah menuduh Nana telah menggoda dirinya. Namun, karena paksaan kedua orangtuanya yang takut skandal Arkan tersebar akhirnya lelaki berusia 30 tahun itu dengan terpaksa menikahi Nana, meskipun tanpa rasa apalagi cinta.

Dan seperti yang sudah di duga-duga, setelah menikah Naysila bukan hanya tidak di anggap oleh Arkan menjadi istrinya, tapi juga kerap kali Arkan mengeluarkan kata-kata kasar yang menohok hati Nana. Juga sifat playboynya yang suka bergonta-ganti pasangan dan membawanya pulang kerap membuat Nana harus menahan rasa sakit akibat cemburu.

Dan setelah menikah dengan Arkan pun, dalam kondisi hamil yang sebentar lagi memasuki usia tua yang seharusnya mendapatkan perhatian dari suami, Nana malah harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Arkan tidak menafkahi Nana. Tidak sama sekali. Dan lebih parahnya kedua orangtua Arkan yang memaksa Arkan menikahi Nana dan tahu jika anaknya itu tidak menafkahi istrinya sendiri malah diam saja dan membenarkan tindakan sang anak dengan berkata,

“Masih muda, kan? Mama dulu juga kerja kok. Enggak cuman diam saja di rumah menghabiskan uang suami.”

Nana tersiksa hidup dengan Arkan juga keluarga suaminya. Namun, Nana bertahan demi anak di dalam kandungannya. Dia tidak mau anaknya harus merasakan pahitnya hidup seperti yang Nana jalani. Tidak memiliki seorang ayah, dan di anggap sebagai anak haram hasil berzina. Nana bertahan, setidaknya masih berharap ada mujizat dari Tuhan agar Arkan bisa berubah, setidaknya sedikit saja bisa menerima kehadiran Nana.

Dan, pagi itu Arkan baru saja pulang setelah semalaman Nana menunggu dan suaminya tidak pulang. Arkan murka sekali waktu melihat kamarnya yang berantakan sudah rapi di bereskan oleh Nana. Bukan karena, Arkan tidak mengijinkan Nana masuk meskipun itu salah satu alasannya. Namun yang membuat, Arkan murka bukan main adalah Nana tanpa sengaja membuang dokumen penting milik Arkan. Padahal dokumen itu benar-benar sangat penting. Makanya Arkan marah dan murka bukan main. Dia bahkan tidak peduli dengan bahasa yang keluar dari mulutnya yang begitu menyakiti hati Nana. Nana di anggap wanita tidak berguna dan tidak punya otak.

“Selamat pagi, non.” Bi Tuti, pembantu di rumah Arkan menyapa Nana ketika melihat tuannya itu keluar dari kamar.

“Pagi, bi.” Nana duduk di kursi makan hendak untuk sarapan. Namun sayangnya Nana lupa jika tadi Arkan tidak sarapan. Jadi tidak ada makanan yang bisa ia makan pagi itu.

Selama menikah dengan Arkan, Nana terbiasa memakan makan sisa Arkan makan. Nana tidak punya uang untuk membeli makanan. Ada uang, tapi dia simpan untuk biaya persalinan anaknya yang tinggal menghitung minggu lagi. Jadi kadang-kadang, Nana mengorbankan diri untuk tidak makan dan memilih menahannya hingga siang nanti.

“Maaf non, bibi enggak masak. Tuan Arkan pagi ini kan tidak pulang.”

Sembari mengulas senyum di bibir, Nana menjawab.

“Enggak apa-apa, bi. Nanti Nana beli di luar saja sekalian berangkat jalan ke tempat kerja.”

“Ibu mau saya buatkan telur ceplok? Biar nanti jika tuan tanya saya akan bilang jika saya yang memakan telurnya.”

Kepala Nana menggeleng. Dia tidak mau selalu menyusahkan Bi Tuti dengan mengambil jatah makanannya. Bi Tuti sudah sangat lelah bekerja di rumah Arkan seharian. Nana mana tega jika harus mengambil jatah makan Bi Tuti setiap hati.

“Enggak perlu, Bi. Hari ini di kafe tempat Nana kerja akan ada acara besar. Bos Nana pasti akan memberikan bonus, Nana bakal pakai uang bonus itu untuk membeli dan menyentok makanan.”

“Alhamdulillah, non kalau begitu. Semoga acara di kafe tempat non Nana kerja lancar, ya. Supaya, non bisa membeli makanan dan tidak memakan sisa dari tuan Arkan.”

Miris sekali doa yang di panjatkan oleh Bi Tuti, tidak ada istri yang semenyedihkan Nana. Namun, Nana tetap berusaha tegar dan menguatkan diri dengan kembali menyunggingkan senyum kepada Bi Tuti sebelum kemudian dia pamitan untuk pergi bekerja.

Nana bekerja menjadi seorang juru masak di sebuah kafe di bilangan Kelapa Gading. Kafe bernama kafe Aksara itu adalah milik teman baik Nana, Pradikta. Pradikta sendiri adalah seorang pengusaha kaya raya yang dahulu sempat menimba ilmu di luar negeri. Namun, dia kembali ke Indonesia setelah menemukan kekasihnya ternyata telah menikah dengan ayahnya sendiri. Nana sering sekali menjadi tempat curhat bagi Dikta, biasa sapaan lelaki itu di kala dia sedang merindukan mantan kekasihnya. Dikta juga menjadi saksi hidup Nana yang menyedihkan itu. Bahkan kerap kali lelaki itu menyuruh Nana untuk berpisah dengan Arkan. Namun, tetap saja Nana tidak akan melakukan itu demi anak di dalam kandungannya.

"Na, sorry ya hari ini bakal sibuk. Padahal lo lagi hamil besar gini.” Dikta masuk ke dapur ketika kafe baru hendak akan buka. Menghampiri Nana yang sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan makanan untuk dia kelola.

“Maaf kenapa? Gua, kan kerja di tempat lo. Sudah sepatutnya dong gua harus profesional.”

“Ya, tetap saja gua enggak enak sama elo, Na hamil sudah gede gini masak banyak buat pelanggan.”

“Apaan, sih elo lebay banget. Gua sudah tahan banting, cuman masak buat lima puluh porsi mah gampang.”

“Iya lah lo mah strong, tahan banting. Di sakitin sama laki lo saja kuat kokoh seperti semen.”

“Jangan mulai deh, Dik.”

Keduanya pun terkekeh bersama. Untuk sesaat memang hanya Dikta lah yang mampu menghapus sejenak rasa sakit yang Nana rasakan. Dan hanya Dikta yang berani menjadikan kehidupan pahit Nana menjadi bahan ejekan. Dan, beruntungnya Nana malah terhibur dengan ejekan dan celotehan yang Dikta sering ucapkan kepadanya.

“Oh, ya by the way ada acara apaan sih? tumben banget dadakan ngadainnya.”

“Acara kumpul biasa begitu. Tapi yang booking orang kaya, lumayan lah buat nambahi omset kafe ini yang lagi merosot.”

Nana berdecak. Tunggu, sejak kapan Dikta menjadi peduli dengan mengurus kafe ini? Padahal Nana ingat betul waktu Dikta mengambil alih kafe ini dari ibunya dia sama sekali tidak peduli. Katanya, kafe ini salah satu kafe yang di buat dari uang ayahnya. Dan bagi Dikta itu sangat haram untuk dia ambil.

“Bagus deh kalau elo masih peduli dengan tempat ini. Karena bagaimana pun juga kafe ini milik ibu loh, ya meskipun di bangunnya gunai duit bokap, lo.”

Dikta tersenyum geli. Bersamaan, Yuli salah satu pelayan di kafe itu masuk ke dalam dapur menghampiri Dikta.

“Pak, orang yang booking tempat ini sudah datang dan ingin bertemu dengan bapak.”

“Oh oke, saya akan segera ke sana.”

“Baik, pak.”

Yuli pun kembali keluar dari dapur meninggalkan Nana dan Dikta lagi

Pergi Dan Kembali

“Sudah saya bilang jangan masuk ke kamar saya. Apalagi sampai membereskan kamar saya dan memindahkan barang-barang saya. Apa kamu tuli atau tidak punya otak, huh?”

Suara keras Arkan, suami Naysila atau Nana menggelegar memenuhi seluruh isi ruangan tamu rumah besar itu. Air mata Nana seketika jatuh. Dia merunduk, segera menghapus air mata sialan yang datang tanpa di undang dan berusaha menguatkan diri.

“Saya sudah memberikan mu ijin berkeliaran di seluruh area rumah ini.  Namun bukan berarti kamu boleh dan dengan sangat tidak sopan naik ke lantai atas dan masuk ke kamar pribadi saya. Saya, kan sudah memperingatkan kamu jangan berani menginjakkan kaki kamu ke lantai atas tapi kenapa kamu masih melakukannya? Apakah kamu tuli? Tidak punya otak, atau bagaimana, huh?!”

Hati Nana mencelos sakit sekali. Namun dengan sekuat tenaga dan suara bergetar, Nana berkata.

“Maaf, mas. Aku hanya ingin membereskan kamar mu yang berantakan.”

“Maaf, maaf. Kamu tau, kan apa akibat dari perbuatan kamu? Dokumen saya hilang, Nana. Itu adalah dokumen penting. Apa kamu bisa mengganti dokumen tersebut. Sekolah saja enggak."

Nana diam menundukkan kepala dalam tidak berani menjawab. Hatinya terasa begitu sakit dengan ucapan ketus dan kasar yang Arkan katakan kepada dirinya.

"Sampai kamu berani lagi masuk ke kamar saya, jangan harap kamu bisa miliki kebebasan berkeliaran di depan mata saya. Dasar wanita enggak berguna!"

Dengan tubuh yang bergemetar dan air mata yang bercucuran, Nana mencoba memberanikan diri mengangkat kepalanya. Di tatapnya wajah sang suami yang tidak sedikitpun menyimpan rasa kasihan kepada dirinya. Matanya yang memancarkan rasa benci sudah terlihat jelas ketika melihat Nana dengan enggan.

“Minggir, saya mau berangkat kerja.”

“Tapi, Mas kamu kan baru saja pulang.”

“Kamu pikir saya betah tinggal sama wanita nyebelin dan enggak berguna kaya kamu?”

Nana tidak menjawab dan menyadari akan kesalahannya. Dia pun mencoba menjulurkan tangannya hendak mencium tangan suaminya, namun Arkan langsung menampik tangan Nana dan pergi sembari membanting pintu. Suaminya kembali pergi setelah semalaman tidak pulang dan dalam keadaan marah. Sudah sejak enam bulan dirinya menyandang status istri Arkan. Namun tidak sehari pun, Arkan menganggap Nana sebagai istri. Arkan selalu dingin dan ketus kepada Nana. Bahkan menganggapnya pengganggu dan wanita tidak berguna.

Naysila Sasmita, wanita berusia 24 tahun yang memiliki nasib sial seumur hidupnya. Dia di perkosa oleh Abraham Arkan Prakasa sewaktu dirinya bekerja menjadi pegawai magang di perusahaan milik Arkan. Akibat pemerkosaan itu, Nana hamil anak Arkan. Awalnya Arkan tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan Nana dan malah menuduh Nana telah menggoda dirinya. Namun, karena paksaan kedua orangtuanya yang takut skandal Arkan tersebar akhirnya lelaki berusia 30 tahun itu dengan terpaksa menikahi Nana, meskipun tanpa rasa apalagi cinta.

Dan seperti yang sudah di duga-duga, setelah menikah Naysila bukan hanya tidak di anggap oleh Arkan menjadi istrinya, tapi juga kerap kali Arkan mengeluarkan kata-kata kasar yang menohok hati Nana. Juga sifat playboynya yang suka bergonta-ganti pasangan dan membawanya pulang kerap membuat Nana harus menahan rasa sakit akibat cemburu.

Dan setelah menikah dengan Arkan pun, dalam kondisi hamil yang sebentar lagi memasuki usia tua yang seharusnya mendapatkan perhatian dari suami, Nana malah harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Arkan tidak menafkahi Nana. Tidak sama sekali. Dan lebih parahnya kedua orangtua Arkan yang memaksa Arkan menikahi Nana dan tahu jika anaknya itu tidak menafkahi istrinya sendiri malah diam saja dan membenarkan tindakan sang anak dengan berkata,

“Masih muda, kan? Mama dulu juga kerja kok. Enggak cuman diam saja di rumah menghabiskan uang suami.”

Nana tersiksa hidup dengan Arkan juga keluarga suaminya. Namun, Nana bertahan demi anak di dalam kandungannya. Dia tidak mau anaknya harus merasakan pahitnya hidup seperti yang Nana jalani. Tidak memiliki seorang ayah, dan di anggap sebagai anak haram hasil berzina. Nana bertahan, setidaknya masih berharap ada mujizat dari Tuhan agar Arkan bisa berubah, setidaknya sedikit saja bisa menerima kehadiran Nana.

Dan, pagi itu Arkan baru saja pulang setelah semalaman Nana menunggu dan suaminya tidak pulang. Arkan murka sekali waktu melihat kamarnya yang berantakan sudah rapi di bereskan oleh Nana. Bukan karena, Arkan tidak mengijinkan Nana masuk meskipun itu salah satu alasannya. Namun yang membuat, Arkan murka bukan main adalah Nana tanpa sengaja membuang dokumen penting milik Arkan. Padahal dokumen itu benar-benar sangat penting. Makanya Arkan marah dan murka bukan main. Dia bahkan tidak peduli dengan bahasa yang keluar dari mulutnya yang begitu menyakiti hati Nana. Nana di anggap wanita tidak berguna dan tidak punya otak.

“Selamat pagi, non.” Bi Tuti, pembantu di rumah Arkan menyapa Nana ketika melihat tuannya itu keluar dari kamar.

“Pagi, bi.” Nana duduk di kursi makan hendak untuk sarapan. Namun sayangnya Nana lupa jika tadi Arkan tidak sarapan. Jadi tidak ada makanan yang bisa ia makan pagi itu.

Selama menikah dengan Arkan, Nana terbiasa memakan makan sisa Arkan makan. Nana tidak punya uang untuk membeli makanan. Ada uang, tapi dia simpan untuk biaya persalinan anaknya yang tinggal menghitung minggu lagi. Jadi kadang-kadang, Nana mengorbankan diri untuk tidak makan dan memilih menahannya hingga siang nanti.

“Maaf non, bibi enggak masak. Tuan Arkan pagi ini kan tidak pulang.”

Sembari mengulas senyum di bibir, Nana menjawab.

“Enggak apa-apa, bi. Nanti Nana beli di luar saja sekalian berangkat jalan ke tempat kerja.”

“Ibu mau saya buatkan telur ceplok? Biar nanti jika tuan tanya saya akan bilang jika saya yang memakan telurnya.”

Kepala Nana menggeleng. Dia tidak mau selalu menyusahkan Bi Tuti dengan mengambil jatah makanannya. Bi Tuti sudah sangat lelah bekerja di rumah Arkan seharian. Nana mana tega jika harus mengambil jatah makan Bi Tuti setiap hati.

“Enggak perlu, Bi. Hari ini di kafe tempat Nana kerja akan ada acara besar. Bos Nana pasti akan memberikan bonus, Nana bakal pakai uang bonus itu untuk membeli dan menyentok makanan.”

“Alhamdulillah, non kalau begitu. Semoga acara di kafe tempat non Nana kerja lancar, ya. Supaya, non bisa membeli makanan dan tidak memakan sisa dari tuan Arkan.”

Miris sekali doa yang di panjatkan oleh Bi Tuti, tidak ada istri yang semenyedihkan Nana. Namun, Nana tetap berusaha tegar dan menguatkan diri dengan kembali menyunggingkan senyum kepada Bi Tuti sebelum kemudian dia pamitan untuk pergi bekerja.

Nana bekerja menjadi seorang juru masak di sebuah kafe di bilangan Kelapa Gading. Kafe bernama kafe Aksara itu adalah milik teman baik Nana, Pradikta. Pradikta sendiri adalah seorang pengusaha kaya raya yang dahulu sempat menimba ilmu di luar negeri. Namun, dia kembali ke Indonesia setelah menemukan kekasihnya ternyata telah menikah dengan ayahnya sendiri. Nana sering sekali menjadi tempat curhat bagi Dikta, biasa sapaan lelaki itu di kala dia sedang merindukan mantan kekasihnya. Dikta juga menjadi saksi hidup Nana yang menyedihkan itu. Bahkan kerap kali lelaki itu menyuruh Nana untuk berpisah dengan Arkan. Namun, tetap saja Nana tidak akan melakukan itu demi anak di dalam kandungannya.

"Na, sorry ya hari ini bakal sibuk. Padahal lo lagi hamil besar gini.” Dikta masuk ke dapur ketika kafe baru hendak akan buka. Menghampiri Nana yang sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan makanan untuk dia kelola.

“Maaf kenapa? Gua, kan kerja di tempat lo. Sudah sepatutnya dong gua harus profesional.”

“Ya, tetap saja gua enggak enak sama elo, Na hamil sudah gede gini masak banyak buat pelanggan.”

“Apaan, sih elo lebay banget. Gua sudah tahan banting, cuman masak buat lima puluh porsi mah gampang.”

“Iya lah lo mah strong, tahan banting. Di sakitin sama laki lo saja kuat kokoh seperti semen.”

“Jangan mulai deh, Dik.”

Keduanya pun terkekeh bersama. Untuk sesaat memang hanya Dikta lah yang mampu menghapus sejenak rasa sakit yang Nana rasakan. Dan hanya Dikta yang berani menjadikan kehidupan pahit Nana menjadi bahan ejekan. Dan, beruntungnya Nana malah terhibur dengan ejekan dan celotehan yang Dikta sering ucapkan kepadanya.

“Oh, ya by the way ada acara apaan sih? tumben banget dadakan ngadainnya.”

“Acara kumpul biasa begitu. Tapi yang booking orang kaya, lumayan lah buat nambahi omset kafe ini yang lagi merosot.”

Nana berdecak. Tunggu, sejak kapan Dikta menjadi peduli dengan mengurus kafe ini? Padahal Nana ingat betul waktu Dikta mengambil alih kafe ini dari ibunya dia sama sekali tidak peduli. Katanya, kafe ini salah satu kafe yang di buat dari uang ayahnya. Dan bagi Dikta itu sangat haram untuk dia ambil.

“Bagus deh kalau elo masih peduli dengan tempat ini. Karena bagaimana pun juga kafe ini milik ibu loh, ya meskipun di bangunnya gunai duit bokap, lo.”

Dikta tersenyum geli. Bersamaan, Yuli salah satu pelayan di kafe itu masuk ke dalam dapur menghampiri Dikta.

“Pak, orang yang booking tempat ini sudah datang dan ingin bertemu dengan bapak.”

“Oh oke, saya akan segera ke sana.”

“Baik, pak.”

Yuli pun kembali keluar dari dapur meninggalkan Nana dan Dikta lagi

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!