Jangan menjauh...
Kau kubunuh...
Jika selingkuh...
(Sepenggal lirik di akhir lagu)
Jreng... Jreng... Jreng...
(Alunan melodi gitar)
Bruug... Bruug... Cesss
(Suara hentakan drum)
Suara lengkingan khas roker mengakhiri lagu yang baru saja dinyanyikan seorang pria tampan berambut gondrong. Sekedar info, lagu itu adalah lagu ciptaannya sendiri loh.
Penasaran bagaimana lagunya? Lagunya enggak enak didengar dan berisik. Bikin perut mulas, kepala pening, mata buram dan telinga congean.
Eits, itu kalau pendapat dangduters atau orang yang tidak menyukai musik rock. Kalau menurut si vokalis dan kedua rekan ngeband-nya, tentu saja lagu mereka itu emejing ruarr biasa. Lagu rock masa kini ala Superman Is Dead kalau band lokal atau Green Day kalau band luar. Pernyataan ini pasti akan diamini oleh para pecinta musik rock.
Ialah Dewa bersama dua sahabatnya, mendirikan sebuah band beraliran rock yang diberi nama Lakotum Band.
Sang drumer adalah Jejed. Sebenarnya nama aslinya cukup keren yaitu Bima Sakti Bambang Pamungkas. Mau dipanggil Bima, postur tubuhnya kurus kering, tidak sesuai dengan namanya yang identik dengan sosok yang kuat. Mau dipanggil Sakti, tapi ia tidak sakti mandraguna. Mau dipanggil Bambang, malah jadi bimbang.
Maka ia dipanggil Jejed singkatan dari jerawat jedogan. Karena si Bima ini, masyaallah ... wajahnya dipenuhi jerawat yang jedogan seperti orang lagi nonton konser Rhoma Irama. TER-LA-LU.
Pemain bass adalah Sol, nama aslinya islami banget yaitu Soleh Munawar. Orangtuanya memberi nama itu pasti karena berharap Sol menjadi anak yang soleh. Namun, kenyataannya, solehnya sih belum kelihatan, yang ada malah pria bertubuh sedikit gempal itu hobi menawar karena nama belakangnya Munawar.
Sampai-sampai saat belanja di indoapril pun ditawar. Sehingga kasir indoapril pun mengubah ritual kalimat saktinya seraya mengatupkan tangan di dada. “Terima kasih, jangan berbelanja kembali.”
Dan terakhir adalah Dewa. Nama lengkapnya Syadewa Argian yang paling tampan menawan memesona cetar membahana sebagai gitaris sekaligus vokalis. Wajahnya benaran tampan loh, perpaduan Keanu Reeves dan Lee Min Ho. Coba deh bayangin, kalau begitu ‘kan Rizki Billar saja kalah ganteng. Lebih ganteng pria gondrong itu ke mana-mana.
Sebagai grup band yang mempunyai visi dan misi yang jelas, padat dan merayap, Lakotum Band sudah menciptakan beberapa lagu dan mencoba peruntungan dengan mengirimkan lagu mereka ke beberapa label rekaman. Namun, tak ada satu pun produser yang berminat untuk menerima lagu mereka. Saat ini mereka dalam mode menyerah dan pesimis untuk menggapai cita-cita masuk dunia rekaman.
Terlebih saat ini, yang sedang merajalela adalah musik dangdut. Band terkenal Indonesia saja sepertinya sudah tidak aktif membuat album lagi. Tergeser dengan kehadiran para penyanyi dangdut baik yang baru, yang instan maupun lawas.
Setelah selesai latihan, ketiga pria muda itu duduk di bangku dan meminum sebotol minuman teh dingin dalam botol. Perlu dicatat, meskipun mereka adalah anak band, tapi tidak suka minum minuman keras loh. Apalagi dua sahabat Dewa itu, jangankan minuman beralkohol, minum coca cola saja bisa menyebabkan sendawa berkepanjangan.
"Jadi gimana nih, Lur, kita bubarin aja band ini?" lontar Dewa sang vokalis setelah latihan usai.
"Iya, Wa. Soalnya orang tua gue dah neleponin terus ... suruh gue balik," jawab Sol sang bassist.
"Memangnya lo mau ngapain suruh pulang kampung, Sol?" tanya Jejed sang drummer.
"Gue juga enggak tahu. Mungkin gue disuruh mondok di pesantren, biar gue dapat istri anak kiayi yang secantik Nisa Sabyan,” jawab Sol yang membuat kedua sahabatnya pengen nimpuk wajahnya pake sepatu.
"Huh... kalau kiayi itu cari menantu yang bisa baca kitab kuning, bukan yang hobi nonton film bokep kayak lo," umpat Dewa disertai sebuah toyoran di kepala Sol.
"Habisnya kita selalu gagal dan gak ada harapan masuk dapur rekaman. Mending gue mondok deh," kilahnya.
"Kayaknya kalau mau masuk dapur rekaman, kita harus mengubah genre musik kita deh. Musik rock gak komersil, mending kita hijrah aja ke genre dangdut terus nama band kita ubah jadi SONETI biar saingan sama SONETA," usul Jejed.
"Eh, bener juga tuh kata Jejed.” Sol menimpali.
"Enggak, enggak. Jiwa kita ini rock, Men. Sekali rock selalu rock, iya gak, Men,” sahut Dewa yang tidak setuju dengan pendapat kedua sahabatnya.
"Terus Jed, lo gimana kalau band ini kita bubarin?" Kali ini Dewa bertanya kepada pria bertubuh kurus dengan wajah dipenuhi jerawat.
"Gue juga besok ada panggilan kerja, Wa. Kayaknya gue mau kerja aja ah, mau hidup normal kayak orang-orang. Punya pekerjaan yang bagus, terus nanti menikah dan punya istri yang cantik serta punya anak yang lucu-lucu," jawab Jejed dengan tatapan menerawang.
"Lo kalau mengkhayal jangan ketinggian, Jed! Segala mengkhayal punya istri cantik, pacar aja ga punya, Huuu...." Sol menoyor kepala Jejed.
"Nanti kalau jatuh nyugsep ke bawah baru tahu rasa loh," imbuhnya.
"Kalau mengkhayal mah jangan nanggung, mengkhayallah setinggi-tingginya. Jikalau kemudian hari ternyata ekspektasi tidak sesuai dengan realita, ya harap dimaklumi saja karena ini dunia nyata bukan dunia khayalan," jawab Jejed sok bijak. Dibalas dengan toyoran dua kali dari kedua sohibnya.
Di antara mereka bertiga, Dewalah yang paling beruntung, karena hanya ia yang sudah memiliki kekasih. Tentu saja dengan tampang yang ganteng rupawan begitu, tidak akan sulit untuk mendapatkan kekasih. Malahan cewek-cewek pada mengantre untuk jadi pacarnya. Sedangkan kedua sahabatnya adalah jojopa jomblo jomblo hampa.
Ngomong-ngomong soal kekasih, leader of Lakotum Band itu jadi teringat dengan pujaan hatinya yang bernama Clara.
Sedari tadi Dewa belum sempat membuka ponselnya. Jika sudah nge-band, ia terkadang lupa untuk sekedar mengirim pesan atau menelepon kekasihnya.
Ia meraih dan merogoh sling bag miliknya untuk mengambil ponsel. Benar saja, banyak pesan dan puluhan panggilan terjawab dari Clara. Ada juga satu pesan dari mama.
Clara : Beb di mana?
Clara : Kita ketemuan yuk, Beb.
Clara : Emot love warna pink
Clara : Kamu lagi ngapain sih, Beb. Angkat dong teleponnya!
Clara : Kamu tuh sayang aku ga sih, kamu ga pernah ada waktu buat aku.
Clara : Aku sebeeellll sama kamu. Suebeeeel...
Clara : emot marah tiga baris
Dewa mengacak rambut belakangnya kasar. Ah, alamat ngambek lagi nih cewek gue. Batinnya. Namun, ia memilih untuk tidak membalas pesan tersebut. Sepulang dari studio ia berencana untuk menemui Clara.
Kemudian bibirnya melengkungkan senyum saat membaca pesan dari mamanya.
Mama : Sayang, jangan pulang malam-malam, ya. Kita akan makan malam bareng sama papa dan kakakmu juga.
Di keluarga, Mama adalah sosok yang paling menyayangi Dewa. Ia tidak begitu dekat dengan papa dan kakak laki-lakinya yang semata wayang itu.
Dewa : Asiyaap. Mamaku yang cantik.
Setelah membalas pesan mama, ia bersama dua personil Lakotum Band lainnya saling bercengkerama penuh canda dalam gelak tawa. Menceritakan mimpi mereka masing-masing. Mulai dari mimpi indah, mimpi buruk sampai mimpi basah. Setelahnya, ia berpamitan pulang.
"Lur, semoga kita semua bakalan sukses ya, meskipun bukan sukses di dunia musik.” Dewa merentangkan tangan lalu memeluk kedua sahabatnya itu persis seperti teletubbies.
"Biarlah kita gak sukses di dunia musik. Tapi kita harus sukses di dunia dan akhirat." Tumben amat Sol berbicara dengan bijaknya, padahal biasanya suka konslet kalau ngomong.
"Walaupun band ini bubar tapi persahabatan kita jangan sampai bubar yah," balas Jejed.
"Berpelukan...." sambungnya. Dan mereka berpelukan kembali seperti Tinki Winki, Dipsi dan Lala tanpa Po.
Dewa mengendarai Lamborghini miliknya. Bukan Lamborghini sungguhan hanya motor Honda CBR yang dinamakan Lamborghini. Motor tersebut baru sebulan dibeli oleh papanya. Itu pun dengan susah payah merengek meminta. Sebelumnya ia menggunakan Fortuner, juga bukan Fortuner sungguhan hanya motor Vario yang sudah jadul. Karena si Fortuner sudah penyakitan, maka sang papa mau membelikan Lamborghini untuknya.
Dewa mengendarai Lamborghini menyusuri jalan beraspal. Menuju sebuah gerai bunga untuk membeli buket bunga untuk kekasihnya, berharap agar sang pujaan hati tidak mengambek lagi.
Ini pertama kalinya Dewa membeli bunga untuk seorang wanita. Ia merasa seperti bukan dirinya.
Dan inilah awal keterpurukannya. Seandainya saja ia tahu, apa yang akan terjadi setelah ini. Ia tidak akan menurunkan harga dirinya dengan membeli bunga untuk betinanya.
Matahari mulai bersahabat dengan menghilangkan terik dan berganti dengan kehangatan sehangat hati Dewa saat ini. Ya, hatinya yang hangat sebelum tragedi itu terjadi. Tragedi yang akan memorak-porandakan hatinya dalam sekejap.
Dewa sampai di rumah mewah di kawasan perumahan elit. Ini adalah kediaman Clara--kekasihnya. Clara adalah wanita cantik putri dari seseorang yang sangat berpengaruh di negeri ini. Ayahnya memiliki perusahaan properti, dan bidang usaha lainnya. Mulai dari hotel, restoran dan retail.
Dewa memacarinya bukan karena status sosial Clara, tetapi karena ia memang mencintainya. Percayalah hati Dewa tulus penuh cinta. Mereka sudah menjalin kasih selama lima tahun, sejak awal kuliah dulu hingga sekarang. Hubungan paling langgeng di antara kisah percintaan sebelumnya.
Dewa melirik arloji di tangannya, menunjukkan pukul 15.40. Ia membunyikan klakson, dan satpam yang sudah sangat mengenalnya membukakan pintu gerbang. Tidak lupa, Dewa menyapa satpam yang berkumis lebat itu. Ia kembali melajukan motornya dan memarkirkannya di depan rumah mewah megah Clara. Tampak Bi Ning, seorang ART yang juga sudah sangat mengenalnya tengah menyiram tanaman hias yang bertengger rapi di halaman depan rumah.
"Bi, Clara ada?" tanyanya ketika menghampiri Bi Ning. Tangan kanannya menggenggam buket bunga yang tadi dibeli.
"Loh, bukannya tadi Non Clara katanya mau ketemu sama Den Dewa yah?" jawab Bi Ning. Ia menghentikan sejenak kegiatan menyiram tanaman hias karena meladeni pertanyaan Dewa.
"Jadi Clara ga da di rumah Bi?" tanyanya lagi.
"Ga ada Den," jawab Bi Ning sambil melirik tangannya yang menggenggam buket bunga.
Setelah mendapat jawaban dari Bi Ning, ia mencoba menelepon Clara, berniat memberitahu sang kekasih tentang kedatangannya, namun ponsel Clara tidak bisa dihubungi, hanya dijawab oleh operator telepon.
"Ya sudah Bi, kalau begitu saya pulang saja," ujar Dewa setelah usahanya untuk menghubungi Clara gagal.
Ia berbalik badan, dengan langkah gontai berjalan menuju motornya.
"Den ...!” seru Bi Ning ketika Dewa hampir sampai menuju motor.
“Iya, Bi Ning,” sahut Dewa berbalik badan.
"Bunganya untuk Non Clara ‘kan?" tanya Bi Ning seraya mengulas sebuah senyuman tersipu.
"Iya, Bi.”
"Atuh ngapain bunganya dibawa lagi? Sini atuh, kasih ke Bibi, nanti Bibi berikan sama Non Clara.”
Sempat ragu akan tawaran Bi Ning, namun akhirnya Dewa berjalan menghampiri dan menyerahkan buket bunga yang dipegangnya kepada wanita berdaster itu.
"Nitip yah Bi, untuk Clara sampaikan salam cintaku untuknya," kata Dewa dengan diiringi sebuah senyuman.
Bi Ning menerima buket bunga itu sambil senyum-senyum gimana gitu. "Uh, romantisnya. Den Dewa nih udah ganteng, romantis lagi. Bibi pengen deh punya suami kayak Den Dewa," balas Bi Ning sambil cengengesan dan mengerjapkan mata berkali-kali.
Seringai ketakutan seketika menghias wajah Dewa. Bi Ning usianya sekitar 35 tahun, namun belum pernah berumah tangga. Serem juga ‘kan kalau dia senyum-senyum begitu.
Dewa langsung berbalik badan dan berjalan cepat menuju motornya. Secepat kilat ia menyalakan motor, lalu langsung ngacir bersama si kuda besi.
Sekitar dua puluh menit waktu yang ditempuh untuk menuju rumah. Dewa memarkirkan motornya di garasi. Pandangannya tertuju pada Honda Jazz warna putih yang terparkir di sana.
Mobil milik sang kakak semata wayangnya.
Tumben sekali jam segini Bang Deka sudah ada di rumah. Gumam Dewa dalam hati.
Dewa memiliki seorang kakak laki-laki, Radeka Bastian namanya. Sama seperti Dewa, kakaknya pun berparas tampan. Namun, sifat mereka sungguh berbeda.
Bang Deka, begitu Dewa memanggilnya adalah tipe pria metroseksual yang selalu bergaya rapi dan stylish. Berbanding terbalik dengan sang adik yang cenderung urakan meskipun tetap terlihat tampan. Deka juga adalah seorang playboy, kalau tidak mau disebut cassanova. Urusannya selain bekerja adalah hanya tentang wanita.
Deka kini bekerja di perusahaan Pak Satya—papanya dan digadang-gadang yang akan meneruskan perusahaan papanya kelak. Makanya, Pak Satya cenderung lebih menyayangi Deka dibanding Dewa yang tidak tertarik untuk bekerja di perusahaannya.
Dewa masuk ke dalam rumah yang ternyata tidak terkunci. Tak sengaja pandangannya menemukan sebuah tas yang tergeletak di atas sofa ruang tamu. Ia memandangi tas itu, seakan mengenali pemiliknya.
Apakah itu benar tas milik Clara? Apa tadi Clara ke sini lalu tasnya ketinggalan? Atau itu tas teman wanita Bang Deka yang kebetulan sama dengan tas kepunyaan Clara?. Beragam pertanyaan dpemiliknyanya.
Ah, sudahlah, ngapain juga gue mikirin tas itu punya siapa. Batinnya.
Dewa melanjutkan langkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Persis berhadapan dengan kamar sang kakak. Saat hendak menaiki tangga, ia berpapasan dengan Bi Siti. Beliau adalah seorang ART yang sudah lama bekerja bersama keluarganya.
"Den Dewa su-sudah pulang?" sapa Bi Siti dengan terbata.
Kening Dewa mengernyit mendengar sapaan Bi Siti. Merasa ada perasaan cemas dan khawatir berlebihan dari raut wajah ART yang sudah dianggap sebagai ibu keduanya itu.
"Memangnya kenapa, Bi?" tanya Dewa yang merasa heran dengan tingkahnya.
"Eh ... Eng-enggak papa kok Den," jawab Bi Siti masih dengan raut wajah cemas.
"Mama sudah pulang, Bi?"
Bi Siti diam tidak menjawab seperti tidak mendengar pertanyaan Dewa. Lebih tepatnya seperti ada yang dipikirkan sehingga tidak mendengar pertanyaan Dewa. Atau memang beliau tidak mendengarkan.
“Bi ...!” Dewa berseru lagi.
Raut wajah Bi Siti semakin tampak tengah mencemaskan sesuatu.
"Eh, i-iya, Den." Bi Siti meremas jemarinya karena gugup.
"Mama sudah pulang?" Dewa bertanya lembut supaya tidak membuat wanita berusia empat puluhan itu menjadi lebih gugup.
"Be-belum. Hmmm ... saya permisi, Den," pamit Bi Siti, lalu melangkahkan kaki menuju dapur.
Dewa hanya menggelengkan kepala melihat reaksi Bi Siti. Saat kakinya baru menginjak dua anak tangga , tiba-tiba ia teringat tentang tas wanita yang ada di sofa. Ia memutar tubuh berniat menanyakannya kepada Bu Siti. Namun, kemudian mengurungkannya karena sang ART sudah melangkah jauh dan masuk ke dapur.
Dewa melanjutkan langkah menaiki anak tangga menuju kamar. Tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia mendengar suara-suara aneh dari kamar sang kakak yang posisinya berhadapan dengan kamarnya.
"Emmmh... Ahhhh... Ssshhh."
Suara itu sungguh menarik atensinya. Langkahnya terayun menuju pintu kamar Deka.
Ia kembali memfokuskan pendengarannya. Ia tersenyum usil saat hatinya merasa yakin bahwa itu adalah suara de-sahan seorang wanita.
Pasti Bang Deka lagi nonton film bokep. Sebab tidak mungkin kalau kakaknya itu berani bercinta di rumah ini. Bisa-bisa Papa akan menggantungnya hidup-hidup. Begitu pikirnya.
Seperti pria pada umumnya menonton film anu-anu sudah menjadi hal biasa. Kalau ada pria yang tidak atau belum pernah nonton film bokep berarti mereka masuk kategori pria pada khususnya.
“Ah ... emmmh ... ssshh.”
Kira-kira tampang Bang Deka kalau lagi nonton film bokep kayak gimana ya? Kira-kira apa yang dilakukan Bang Deka saat nonton film bokep ya? Hatinya tergelitik penasaran. Jadi pengen lihat tampang Bang Deka kalau lagi mupeng.
Oke, sekali-kali boleh dong mengusili Bang Deka. Bagaimana kalau kita buka saja pintunya.
Dewa menekan pelan gagang pintu yang sepertinya tidak terkunci.
Ceklek ...
Oh, no.
Dewa terbelalak saat melihat adegan yang terjadi di atas tempat tidur kakaknya. Tebakannya salah. Ia tidak pandai menebak rupanya. Ternyata Bang Deka bukan sedang menonton film bokep, melainkan tengah asyik menindih seorang wanita.
Gleek...
Dewa menelan liur melihat pemandangan yang membuatnya turut menggigil. Baiklah, ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidak akan turut campur dengan kegiatan yang sedang dilakukan kakaknya.
Namun, tepat saat berbalik badan, sorot matanya menangkap pakaian wanita yang teronggok di lantai kamar. Sial. Ia mengenali pakaian itu. Dress cantik motif kotak putih biru yang pernah dibelinya dengan susah payah untuk hadiah ulang tahun Clara—kekasihnya.
Seketika tubuhnya terasa panas bagai disulut api. Ia segera menghampiri dua manusia yang sedang bergumul panas di atas peraduan. Dua insan yang hasratnya tengah menggila itu tidak menyadari atas kehadiran Dewa.
Dewa menggelengkan kepala tidak percaya. Dadanya panas terbakar. Wajahnya sontak memerah karena amarah, saat pandangannya tertuju pada wanita cantik yang tengah mengerang nik-mat di bawah tubuh sang kakak.
"BRENGSEK... BANGSAT... ANJING KEPARAT...!!!!"
"BRENGSEK... BANGSAT... ANJING KEPARAT...!!!!"
Kedua manusia bejat itu tampak terkejut melihat Dewa yang sudah berdiri di dekat mereka dengan raut murka.
Dewa langsung menarik tubuh kakak brengsek itu dan melemparnya ke lantai. Dengan perasaan emosi, Dewa mengunci tubuh Deka yang terkapar di lantai lalu memukulinya dengan beringas dan membabi buta.
Buug...
Buug...
Buug...
"BANGSAT Lo ... MATI LO BRENGSEK!!!"
Dewa terus menghajar Deka tanpa ampun dengan disertai sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibir Deka. Wajah tampan si kakak brengsek itu sudah babak belur akibat pukulan tanpa jeda dari Dewa.
Deka tampak pasrah, sama sekali tidak melawan ataupun menghindari pukulan yang dilayangkan Dewa. Entah memang tidak mampu melawan sebab kekuatan Dewa yang naik berkali-kali lipat karena perasaan amarah dan emosi. Atau karena memang Deka tidak ingin melawan sang adik sebab menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya.
"MAMPUS LO BRENGSEK... SETAN... BRENGSEK... MATI... MATI... MATI!” umpat Dewa dengan emosi sambil terus menghajar Deka.
"Dewa ... hentikan!! Maafkan aku... Maafkan kami ... Huuu ... huuu ..." Clara menangis sambil memeluk tubuh Dewa dari belakang.
Clara berusaha melerai perkelahian kedua pria kakak beradik itu. Salah, bukan perkelahian karena tidak ada perlawanan dari Deka. Lebih tepatnya, wanita yang berstatus pacar Dewa itu berusaha melerai pukulan demi pukulan yang dilayangkan sang kekasih pada pria pria yang baru saja mengarungi lautan has-rat membara bersamanya dan kini telah tergolek tidak berdaya di lantai.
Dewa membalikkan tubuh dan memandang Clara yang tubuh polosnya kini ditutupi selimut hingga ke dada. Clara menghambur memeluk Dewa.
"LEPAS...!!! JANGAN SENTUH AKU!!! DASAR MURAHAN!!!" hardik Dewa.
Ia merasa jijik dengan pelukan kekasihnya. Pelukan yang dulu terasa hangat dan selalu dirindukan, tiba-tiba berubah menjadi sangat menjijikkan.
"LEPAS...!!! Aku tidak sudi tubuh kotormu menyentuhku," hardik Dewa lagi.
Dewa mendorong tubuh Clara hingga terjatuh ke lantai. "Cuih... Aku jijik melihatmu!! Dasar betina murahan!!" Hardikan Dewa semakin membuat wanita cantik itu menangis tersedu.
Dewa kembali memukuli pria yang telah meniduri kekasihnya atau kini berstatus mantan kekasih. Ia sangat ingin membunuh kakaknya itu. Seperti Deka yang tidak peduli dengan perasaannya sebagai adik kandung. Kakak macam apa dia, tega-teganya menusuknya dari belakang.
Kemudian terdengar derap langkah kaki seperti berlari-lari mendekat ke arah kamar terkutuk tersebut.
"DEWA HENTIKAN!! Kakakmu bisa mati!" teriak Mama dari gawang pintu, setelah terkesiap beberapa saat melihat adegan kekerasan putranya. Beliau yang baru pulang ke rumah, kemudian mendapat laporan dari Bi Siti untuk segera naik ke lantai dua
"Biar saja dia mati, Ma ... dia pantas mati!!" geram Dewa. Emosinya sudah memenuhi hati dan pikiran, tak dapat dengan mudah diredam.
"Dewa mama mohon Hentikan! Huuu ... Huuu ..." Ibu kandung dari dua pria yang tengah berseteru itu menangis meraung sambil memeluk salah satu putranya yang masih mengepalkan tangan hendak kembali menyerang.
"Mama tidak mau kehilangan kedua anak mama. Mama tidak mau kakakmu mati dan mama tidak mau kamu masuk penjara karena membunuh kakakmu. Huuu ... Huuu ..." bujuk
Mama sambil menangis tersedu.
Tangisan Mama menyadarkan Dewa. Ia paling tidak bisa melihat Mama menangis. Hati yang terbakar emosi membuatnya sangat ingin membunuh si kakak brengsek. Meskipun hal itu akan membuatnya masuk bui, ia tidak peduli. Ia tidak takut perbuatannya akan melemparkannya masuk jeruji besi. Yang ditakutkan adalah membuat Mama bersedih dan menangis.
Mama terus memeluk Dewa berusaha meredam amarahnya. Dewa pun menghentikan pukulannya demi Mama. Namun, amarahnya perlu dilampiaskan, bukan?
Berhenti menghajar pria mesum itu, Dewa membanting setiap barang yang disentuhnya. Meja, kursi, remot, tv LED, hampir semua barang yang ada di kamar itu ia hancurkan hingga kamar itu porak-poranda. Setelahnya ia pergi keluar kamar dengan sisa amarah yang masih merajalela dalam dada.
Saat keluar dari pintu kamar, ia berpapasan dengan Bi Siti. Sepertinya Bi Siti sudah berdiri lama di gawang pintu dengan raut wajah sedih. Matanya berkaca-kaca seperti hendak mengeluarkan sesuatu. Dewa baru menyadari, ternyata hal ini yang membuat raut wajah Bi Siti tadi terlihat cemas saat Dewa baru sampai rumah tadi.
Dewa berlari menuruni tangga lalu keluar rumah dengan perasaan bergemuruh. Ia bergegas mengendarai motornya meninggalkan rumah. Ia ingin pergi jauh dari rumah. Ia tidak mau lagi melihat wajah si bajingan itu. Setidaknya untuk saat ini atau sampai kapan nanti.
Usai berputar-putar mengendarai motornya tanpa tujuan, akhirnya ia menghentikan si Lamborghini di sebuah gedung terbengkalai. Tempat persinggahan favoritnya ketika sedang suntuk.
Perasaan marah, sakit hati, kesal, kecewa, dendam melebur menjadi satu. Mengapa Clara dan kakak brengseknya bisa melakukan perbuatan itu? Sejak kapan mereka saling kenal? Ia tahu kakaknya itu bajingan, tetapi mengapa Clara? Bukankah banyak wanita lain di luar sana yang bisa dengan leluasa dia tidur?
Bukankah si kakak brengsek itu tahu jika Clara adalah kekasihnya? Mengapa dia setega itu? Rentetan pertanyaan menyeruak dalam benaknya.
Hubungan Dewa dan Deka memang tidak terlalu dekat, namun tidak pernah terpikir oleh Dewa jika kakaknya akan sampai tega menyakitinya seperti tadi. Sungguh perbuatan kakak dan kekasihnya itu sangat ... biadab.
Dewa memang tidak terlalu dekat dengan Papa dan kakaknya. Sejak ia duduk di bangku kelas 3 SD, kedua orangtuanya bercerai. Papa menceraikan Mama karena menginginkan Mama berhenti bekerja. Mama yang saat itu bekerja di Bank swasta dan karirnya tengah cemerlang menolak mengikuti keinginan Papa dan memilih untuk bercerai dengan Papa.
Setelah mereka bercerai, Dewa ikut dengan sang Mama, sedangkan Bang Deka ikut dengan Papa. Saat Dewa duduk di kelas 3 setingkat SMP, Papa dan Mama kembali rujuk. Papa yang dulu hanya karyawan biasa, akhirnya bisa mempunyai perusahaan sendiri meskipun hanya perusahaan kecil. Papa juga membuka usaha butik untuk Mama. Segala yang dilakukan Papa ini berhasil meyakinkan Mama untuk rujuk kembali dengan Papa. Dan membuat mama memilih berhenti bekerja mengikuti keinginan papa.
Oh, Clara, mengapa kamu semurahan itu? Bahkan, Dewa tidak pernah melakukan perbuatan nista itu, ia begitu menjaga kekasihnya. Ia bukan pria brengsek seperti kakaknya yang bisa mereguk madu sebelum terjadinya pernikahan. Ia masih perjaka ting ting. Dijamin masih ting ting. Begitu kata Ayu ting ting.
Tunggu, apa perbuatan itu pertama bagi Clara? Atau dia sudah pernah melakukan perbuatan itu sebelumnya? Apakah dia sudah tidak ting ting?
Bagaimana bisa Clara berbuat seperti itu? Ataukah memang Dewa yang salah memilih kekasih? Menjatuhkan hati dan cintanya pada orang yang salah. Percayalah, Dewa selalu menjaga kesetiaan terhadap hubungannya. Ia adalah tipikal pria setia. Meskipun banyak wanita yang berusaha mendekati, ia tetap fokus pada satu hubungan. Menjaga hati dan cintanya hanya untuk sang kekasih.
Ia mengenang kembali hubungannya bersama Clara. Sebelum tragedi ini, ia menganggapnya wanita yang nyaris sempurna. Cantik, pintar, supel, dan berasal dari keluarga kaya raya. Ia merasa pria yang sangat beruntung karena memilikinya.
Hubungan mereka pun selama ini baik-baik saja. Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Hanya pertengkaran biasa sebagai riak-riak kecil yang justru lebih memperindah hubungan mereka.
Jikalau ada yang Dewa kurang sukai dari Clara yaitu sifat manjanya. Wanita cantik itu selalu menolak jika Dewa mengajak jalan dengan motornya. Alasannya karena Clara tidak suka dengan debu jalanan yang akan membuat wajahnya kusam dan make up-nya luntur. Oleh karena itu, Dewa akan mengajaknya kencan hanya ketika papa mengizinkannya untuk memakai mobil.
Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta Dewa kepada kekasihnya. Namun, kini Clara telah menghancurkan semuanya. Pujaan hatinya itu telah membuat Dewa jatuh ke titik serendah-rendahnya. Clara telah membuat Dewa hancur sehancur-hancurnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!