NovelToon NovelToon

Started Without Love

Prologue

Hanya sedikit mengingatkan, jangan terlalu jauh dalam perasaan.

.

.

Jangan terlalu percaya hanya karena rasa cinta.

.

.

Tau betul 'kan sakitnya saat cinta dibalas mendua?

Tau betul 'kan sulitnya melupa saat hati masih mencinta?

Saat ini ku tanya,

Pernah gagal move on?

Apa yang kalian lakuin saat kalian gagal move on?

.

.

Perkenalkan, namaku Alina. Aku salah satu dari ribuan orang yang gagal move on. Namun caraku untuk mengurangi kadar kegalauan dari gagal move on adalah dengan menulis.

Hingga aku bertemu dengan dia, tanpa sengaja. Laki-laki tengil yang membuatku menaruh rasa.

Dan, inilah kisahku .........

SWL 1

Namaku Alina Ayu Amanda, mereka biasa memanggilku Alina. Usiaku saat ini 18 Tahun. itu artinya kini aku duduk di kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Aku bersekolah di SMA Pelangi. Kesibukanku sepulang sekolah adalah menulis.

Ya, aku memang suka menulis. Tepatnya menulis novel. Sering aku mengirimkan novel-novelku ke penerbit, namun sepertinya dewi fortuna belum berpihak kepadaku. Jadi sering sekali naskahku di tolak oleh penerbit. Sebenarnya bukan sering lagi, melainkan selalu. Aku sedikit malu mengakui ini.

Namun perlu kalian tahu, tujuan utamaku menulis novel bukan untuk di terbitkan oleh penerbit, lalu aku mendapat royalti dari karyaku. Tapi, tujuan utamaku menulis adalah untuk melupakan seseorang.

Apa kalian tahu siapa seseorang itu?Dia adalah Rafa Ginanjar Putra Pratama. Biasa di panggil Rafa. Dia tampan, pintar dan juga baik. Saat ini dia menjabat sebagai ketua OSIS, sekaligus kapten tim basket di SMA Pelangi.

Dulu, Rafa perhatian sekali denganku, bahkan malam-malam dia sampai menelponku hanya untuk mengetahui aku sudah makan atau belum. Jadi, kalian bisa lihatkan betapa perhatiannya dia padaku?

Dia memang segala-galanya bagiku. Saat itu aku merasa beruntung sekali bisa menjadi pacarnya. Bahkan kami berdua di juluki CoupleGoals. Namun sayang, dia telah menghianati cintaku.

Saat itu, hari minggu, tepat dengan hari jadi kami yang ke Dua tahun. Kami berdua sudah ada janji untuk jalan-jalan sebentar, setidaknya menghilangkan stress setelah satu minggu kami melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas.

Aku sudah menunggunya sejak jam 1, jam 2, jam 3.

Namun ia tak datang juga. Padahal kami janjian akan pergi jam 1 kala itu.

Aku berkali-kali menelponnya, namun yang ada hanya jawaban bahwa nomor dia tidak aktif. Karena kesal dan lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menemani Ibuku ke pasar.

Saat di perjalanan menuju pasar, angkot yang kami tumpangi menghentikan lajunya dan menunggu penumpang lain untuk naik.

Pikiranku saat itu entah kemana, hingga aku melihat seorang gadis tengah menangis di pinggir jalan. Gadis itu terlihat amat terpukul. Aku bisa membayangkan apa yang ia rasakan saat itu juga. Namun, senyumnya mengembang saat aku melihat ada seorang lelaki yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu terus menangis dan menumpahkan air matanya pada laki-laki yang memeluknya tersebut.

Ingatanku langsung menuju pada Rafa. Dimana dialah yang selalu mencoba menghentikan tangisanku dengan pelukannya. Aku memang sedikit manja padanya.

Pandanganku masih menuju kepada gadis itu, hingga senyum yang ku kembangkan perlahan sirna saat aku melihat wajah laki-laki yang masih berdiri di samping perempuan itu.

"Rafa?"

Air terdiam membeku saat aku sadar bahwa laki-laki itu adalah Rafa, pacarku.

Dadaku tiba-tiba terasa sesak, air mataku seketika turun, namun segera ku hapus karena takut Ibu panik dengan aku yang tiba-tiba menangis.

Syukurnya ibuku asik mengobrol dengan temannya yang kebetulan satu angkot dengan kami. Jadi Ibu tak melihat apa yang membuatku menangis.

Sepulangnya dari pasar, aku langsung memutuskan hubunganku dengan Rafa via whatsapp. Bukannya aku tak berani bicara langsung, tapi sepertinya jika aku bicara langsung aku tidak bisa bicara, mungkin yang ada aku hanya menangis. Mau bagaimana pun aku tidak ingin terlihat lemah di depannya.

Aku segera memutuskan Rafa tanpa meminta penjelasan darinya. Aku tak butuh penjelasan, mungkin yang aku lihat tadi sudah menjelaskan semuanya. Kalian boleh menyebut aku egois. Tapi inilah aku.

Saat ini aku tengah duduk di depan meja belajar dengan jari yang sibuk menekan tombol alfabet pada keywoard yang ada di laptop. Instrumen piano yang berdurasi 59 menit lewat 3 detik tersebut terus memutar dan seakan menari di keheningan kamarku.

Aku tengah melanjutkan ceritaku. Aku berniat, jika cerita ini selesai. Aku akan mengirimkannya ke penerbit. Dan aku akan membuat cerita ini sebagus mungkin. Aku ingin sekali merasakan bagaimana rasanya jika karyaku terpajang dalam sebuah deretan buku yang ada di toko buku seluruh indonesia. Mungkin mimpiku terlalu tinggi. Tapi apa salahnya kita bermimpi? Bukankah itu bisa memotivasi diri kita sendiri. Betul kan?

Sudahlah, aku tak mau banyak bicara. Aku akan melanjutkannya dengan serius.

"Alina!"

Teriakan itu membuat aktivitasku terhenti. Kalian tahu itu teriakan siapa? Itu adalah teriakan Ibuku. Sebelumnya aku akan memperkenalkan Ibuku terlebih dahulu.

Namanya Raisa. Bukan Raisa penyanyi ya. Rasia di sini adalah Raisa yang hobi membuat kue dan membuka toko kue yang Alhamdulillah selalu laris manis.

Ibu adalah sosok perempuan hebat yang selalu ada untukku. Meskipun Ibu sibuk dengan oven dan pencetak kuenya, Ibu selalu ada untukku. Ibu adalah perempuan yang hebat. Aku ingin seperti ibu.

Aku berjalan menghampiri Ibuku yang tengah berkutik dengan ovennya. "Ada apa Bu?"

Ibuku berjalan menuju meja makan dan mengeluarkan kue yang sudah di masukkan ke dalam kotak berukuran sedang. "Tolong kamu antarkan kue ini ke rumahnya Bu Iva ya, Na?" ucapnya menyuruhku.

Sungguh, sebenarnya aku malas sekali untuk keluar. Padahalkan aku sudah ada inspirasi untuk melanjutkan ceritaku. Akhirnya aku menghela napas dan mengangguki ucapan Ibu.

Aku pun kembali ke kamar untuk mengambil jaketku dan segera mengantarkan kue ke rumah Bu Iva dengan mengendarai sepeda motor.

Jarak antara rumahku dengan rumah Bu Iva tak terlalu jauh. Belum sampai Lima menit akhirnya aku sampai di sebuah rumah yang halaman depannya begitu luas dan asri.

Aku mengetuk pintu sebanyak dua kali dan akhirnya pintu di buka oleh seorang laki-laki yang mungkin bisa dibilang sebaya denganku.

Tidak, sepertinya dia lebih muda dariku.

Dia menatapku. Alis matanya yang tebal dan sorotan matanya yang tajam seakan-akan menatapku seperti maling yang baru saja tertangkap.

Apa yang salah denganku?

Karena merasa tidak beres, aku pun melihat pakaianku, dan, aku pakai pakaian yang benar. Apa yang salah?

Aku mencoba membuang pikiran burukku dan tersenyum ke arahnya.

Dan apa yang terjadi?

Dia membalas senyumanku dengan senyum miring. Senyumannya menyebalkan sekali.

Sebenarnya siapa dia?

Berani-beraninya menatapku seperti itu?

Apa dia tidak tahu kalau aku adalah perempuan yang selalu Bu Iva inginkan untuk menjadi menantunya.

Ya, walau aku sadar, Bu Iva tak memiliki anak laki-laki.

Atau jangan-jangan dia anaknya Bu Iva?

Setahuku Bu Iva hanya memiliki satu anak perempuan yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Memang sih aku tidak terlalu paham dengan keluarga Bu Iva. Karena aku saja tinggal di Jakarta belum genap 3 tahun. Namun meskipun begitu, aku cukup dekat dengan Bu Iva. Selain dia adalah teman Ibu, dia juga sering memintaku menemaninya jika ia di tinggal oleh suaminya keluar kota.

"Hey!" teriaknya membuatku tersentak dan seperti orang bingung, "ngelamun aja, kesambet entar lo!" ucapnya dengan tangan yang di lipat di depan dada.

Aku hanya menatapnya datar.

"Cari siapa?" tanyanya.

"Cari Bu Iva," jawabku, "mau anter kue pesanannya," lanjutku.

"Nyokap lagi ke pasar. Mungkin bentar lagi pulang. Lo tunggu sini aja," ucapnya cuek.

Oh, jadi dia benar anaknya Bu Iva.

Kenapa Bu Iva tak pernah cerita ya jika dia memiliki seorang anak laki-laki?

"Kamu beneran anaknya Bu Iva?" tanyaku memberanikan diri.

Laki-laki itu menatapku kesal, "Kalau bukan anaknya, lo fikir anaknya siapa? Anak tetangga?" jawabnya sarkatis.

Aku mendumal, "Ya, maaf. Aku kan cuma nanya. Gak bisa biasa apa?"

Dia hanya menatapku datar. Menyebalkan sekali dia.

"Gimana kalau kue-nya aku kasihin ke kamu aja?" ucapku.

Dia menggeleng, "Tunggu nyokap gue aja. Gue gak ada uang buat bayar kuenya."

"Kalau gitu bayarnya nanti aja gak papa kok," ucapku.

Dia menghela napas gusar, "Gue bilang tunggu nyokap gue aja!" tegasnya.

"Yaudah sih, biasa aja!" Aku ikut menatapnya tajam.

Aku menggigit bibir bawahku seraya menatap sekotak kue yang ada di tanganku. Memainkan jari-jariku tanpa sebab. Jujur aku seperti orang bingung saat ini. Haruskah aku pulang?

"Lo mau berdiri di situ aja?" tanyanya yang sudah duduk di kursi.

Aku menoleh ke arahnya. Aku bingung, haruskah aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya? Atau aku tetap berdiri disini sambil menunggu Bu Iva yang tak tahu kapan pulangnya? Atau aku lebih baik pulang saja?

Aku menarik napas perlahan dan akhirnya berjalan dan duduk di sampingnya dengan hati-hati.

"Kavin," ucapnya seraya mengulurkan tanganku ke arahku.

Aku menaruh kotak kue ke atas meja sebelum membalas uluran tangannya, "Alina," jawabku.

Kavin tertawa setelah aku memperkenalkan namaku.

"Ada yang lucu?" tanyaku datar.

Kavin semakin tertawa, "Lo gugub deket gue?" tanyanya dan aku pun menggeleng, "kok tangan lo dingin terus keringetan gitu," ucapnya sambil tertawa.

Oh jadi itu alasan dia menertawaiku. Aku tidak gugub. Tanganku memang selalu dingin dan sering keluar keringat. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas aku sering seperti itu. Ada yang bilang katanya ada hubungannya dengan jantung. Tapi, entahlah. Aku kurang paham mengenai itu.

Aku tak mau meladeninya. Aku yakin, jika aku menjawab pun, ia tak akan percaya. Sudahlah, lebih baik aku diam.

Tak lama dari itu, terdengar suara motor yang memasuki halaman rumah Bu Iva. Aku menatapnya motor itu dengan seksama.

Ternyata itu adalah Anan, sepupuku. Saat ini Anan kelas 11. Dan ia bersekolah di SMK Cahaya Bintang. Kami memang tidak satu sekolah. Karena itu kami berdua jarang bertemu. Namun komunikasi kami tetap berjalan lancar.

Anan mencoba melepas helm lalu turun dari motornya. Bisa ku lihat Anan memperhatikan motorku yang terparkir tepat di sampingnya. Mungkin ia bingung kenapa aku bisa ada di sini.

Sebenarnya bukan dia saja yang bingung, melainkan aku juga. Apa tujuan Anan kemari?

Kavin yang melihat kehadiran Anan pun segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Anan.

"Hey, Bro! Kangen banget gue sama lo," ucap Kavin seraya merangkul Anan.

"Gila, gue juga kangen kali. Gimana? Enak tinggal di Bali? Pasti di sana lo sering liat bule-bule cantik ya? Jangan bilang udah banyakyang lo sikat?" ucap Anan dengan jari telunjuknya yang menunjuk ke Kavin.

Kavin tertawa, "Lo kan tau gue sukanya produk lokal. Mana mau gue sama bule-bule gitu,"

'Sombong!' batinku.

Kavin mempersilahkan Anan masuk dan Anan pun melihatku yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Lah, Na? Kok kamu ada di sini?" tanya Anan.

Aku tersenyum, "Iya, aku di suruh Ibu nganterin kue ke sini."

"Pantes aja motor didepan itu mirip banget sama motor kamu. Ternyata beneran ada kamu disini," ucap Anan.

"Lo kenal sama dia, Nan?" tanya Kavin bingung.

Anan mengangguk, "Iya, dia sepupu gue."

"Sepupu?!" tanya Kavin terkejut.

"Biasa aja kale!" ucap Anan.

"Tau tuh orang, dari tadi gak bisa biasa!" Aku mendumal seraya melirik ke arah Kavin.

Melihatku seperti itu, malah membuat Kavin tertawa.

'Gak waras!'

"Assalamualaikum," suara Bu Iva membuat kami semua menoleh bersamaan.

"Wallaikumsalam," jawab kami kompak.

"Wah udah rame aja. Ada Anan, ada Alina. Oh, Alina kesini pasti nganter kue ya?" tanya Bu Iva.

Aku mengangguk dan tersenyum lalu menghampiri Bu Iva, "Iya, Bu. Tadi aku di suruh Ibu suruh nganterin kue kesini. Katanya Bu Iva pesen."

"Iya ni Na, makasih banyak ya udah repot-repot nganterin. Seharusnya biar anak ibu aja yang suruh ambil ke sana," ucap Bu Iva seraya memberikan beberapa lembar uang kepadaku. Dan aku pun segera menyerahkan kue itu kepada Bu Iva.

"Hehe, gak papa Bu. Yaudah Bu, kalau gitu aku pamit pulang ya?"

"Loh kok buru-buru banget? Oh ya, kamu udah tau belum kalau ini anak Ibu, namanya Kavin." Bu Iva menunjuk Kavin. Kavin pun tersenyum miring ke arahku.

Aku mengangguki ucapan Bu Iva, "Iya, Bu. Tadi kami udah kenalan."

Bu Iva melebarkan senyumnya, "Wah, bagus dong kalau gitu."

Aku mengangguk dan tersenyum, "Ya sudah Bu, kalau gitu saya permisi ya?"

"Iya Na, hati-hati ya?" ucap Bu Iva dan ku angguki.

Aku menoleh ke arah Anan, "Nan, aku pulang duluan ya?" ucapku.

"Iya, hati-hati Na," ucap Anan.

Aku menatap sekilas ke arah Kavin dan melangkah pergi meninggalkan rumah Bu Iva.

"ALINA!" teriak Kavin membuatku menoleh ke belakang dan menatapnya dengan penuh tanya.

"Iya?"

"GAK PAPA, MANGGIL AJA!"

Aku hanya menatapnya tajam dan melanjutkan langkah menuju motorku. Menyebalkan!

Jam sudah menunjukan pukul Sebelas malam, namun mataku belum juga mau terpejam. Jemariku masih berkutik dengan huruf alfabet yang masih setia disana.

Sesekali aku meraih biskuit coklat buatan Ibu yang sengaja aku taruh di meja belajar untuk cemilan di saat aku sedang melanjutkan ceritaku.

Ponselku bergetar bersamaan dengan ketukan pintu dari luar kamarku. Aku bingung harus menjawab mana dulu.Akhirnya aku pun lebih memilih membukakan pintu terlebih dahulu.

"Ibu? Kenapa Bu? Ibu belum tidur?" tanyaku.

"Ini Na, Ibu cuma mau bilang, besok kalau kamu pas pulang sekolah, tolong mampir ke pasar beliin Ibu tepung di tempat yang biasa Ibu beli. Terus langsung kamu anterin ke ruko ya?"

"Iya Bu," jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, Ibu pun kembali ke kamar dan aku pun kembali ke meja belajar untuk melanjutkan kerjaanku tadi.

Oh iya, aku hampir saja lupa kalau ponselku berbunyi. Aku meraih ponselku dan melihat ada panggilan tidak terjawab dari Anan.

Tumben Anan menelponku malam-malam begini. Aku pun langsung menelponnya balik. Aku takut ada sesuatu yang penting sampai Anan menelponku malam-malam.

"Halo," ucap Anan di seberang sana.

"Kamu tadi nelpon aku?" tanyaku.

"Iya,"

"Kenapa? Tumben," ujarku.

"Tadi Kavin minta nomor WA kamu. Makanya aku mau nanya, boleh apa enggak."

"Gak boleh!"

"Yah, telat , Na."

Aku melebarkan mataku, "Kamu udah ngasih nomor aku ke dia?"

"Hehe, iya, Na. Maaf ya? Dia maksa banget soalnya. Tapi kamu tenang aja Na, dia cowok baik-baik kok. Ya walaupun suka aneh orangnya."

Mendengar penjelasan Anan membuatku ingin sekali memakannya hidup-hidup.

"Maaf ya, Na. Hehe. Yaudah kalau gitu, aku mau main game lagi."

Aku tak menjawab ucapan Anan. Pikiranku masih mengarah pada nasib nomor telponku yang Anan berikan pada Kavin.

Aku membuka aplikasi WhatApps, namun tak ada pesan masuk dari nomor baru. Syukurlah!

Aku menaruh kembali ponselku ke atas meja dan berniat melanjutkan ceritaku yang selalu tertunda.

Hening, inilah suasanaku. Keheningan inilah yang membuatku dapat konsentrasi dan inspirasi pun mengalir.

Tenang, tak ada suara tv yang menggema di rumahku. Ayah dan Ibu sudah tidur di kamarnya. Tak ada seorang pun yang bisa menganggu konsentrasiku.

Drttt!

Lagi-lagi ponselku bergetar, namun kali ini menandakan ada pesan masuk.

+628122007xxxx

P

Aku melirik notifikasi yang masuk melalui layar ponselku tersebut.

+628122007xxxx

P

P

P

Assalamualaikum ukhti,

Gak jawab jadi perawan tua.

Aku melebarkan mataku setelah membaca pesan terakhir dari manusia itu. Mau tak mau aku harus menjawabnya.

Alina Ayu Amanda

Wallaikumsalam

Aku menaruh kembali ponselku. Dalam hati aku berkata, 'Anan-Anan, tega banget sama sepupu sendiri.'

Drttt!

Ponselku kembali bergetar. Aku mengintip notifikasinya tanpa berniat membaca ataupun membalasnya.

+628122007xxxx

Alhamdulillah gak jadi perawan tua.

Aku memutar bola mataku. Tidak penting sekali kan?

+628122007xxxx

Save nomor gue ya,

Kavin

Aku tak membaca ataupun mengiyakannya. Sangat tak ada nafsu untukku membalasnya. Bahkan aku tak peduli jika ia mengatakanku sombong.

Namun tiba-tiba, ia malah menelponku. Karena refleks, aku malah menggeser tombol hijau hingga membuat suaranya terdengar melalui ponselku.

"Alhamdulillah di angkat."

Aku memutar bola mataku, "Ada apa?" tanyaku cuek.

"Elah, jutek amat sih. Susah ketemu jodoh baru tau rasa, lo."

"Terus kenapa emangnya?"

Kavin terdengar berdecak, "Yaelah, gitu aja marah. Takut, gue."

Aku malas meladeninya. Akhirnya ku matikan sambungannya sekaligus mematikan ponselku supaya tak ada lagi yang akan mengangguku.

Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Kalau Bu Iva pengen banget aku jadi menantunya, berarti dia yang bakal jadi suamiku?"

Aku bergidik ngeri lalu menutup laptop dan melompat ke atas kasur.

--------------

Hola-hola!!!

Makasih ya udah nyempetin waktu buat baca 'Started Without Love'.

Aku disini mau ngasih tau kalau kisah Started Without Love ini kisah yang paling berkesan buat aku.

Ya, aku harap kalian suka ya dengan kisah ini. Dan aku harap kisah ini bukan hanya berkesan buat aku, tapi buat kalian juga :)

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

SWL 2

"Ini bang," Aku menyerahkan satu lembar uang Lima ribuan dan melangkah pergi meninggalkan angkot tersebut.

Langkahku terus melaju melewati gerbang sekolah yang telah di ramaikan oleh beberapa siswa lainnya.

Tak terasa, sudah hampir 3 tahun aku bersekolah disini. Banyak kenangan yang sudah ku lalui. Salah satunya kenangan bersama Rafa. Sakit jika aku mengingatnya, namun tetap sulit untuk aku melupakannya.

Jika ada obat untuk melupakan seseorang, mungkin aku sudah memborongnya.

Aku mempercepat langkahku, namun terhenti begitu Rafa berdiri di hadapanku dan menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

Selama ini aku selalu menjauh dan menghindar darinya. Namun, mau sejauh apapun aku menghindar, aku akan selalu bertemu dengannya.

Karena perlu kalian tahu, aku satu kelas dengannya. Bisa kalian bayangkan bagaimana sulitnya aku untuk melupakannya.

Bagaimana bisa melupakan? Jika setiap hari selalu bertemu.

Setiap mata kami bertemu, aku selalu membuang tatapanku. Dan setiap kali ia mendekat, aku selalu saja menjauh. Namun untuk kali ini, sepertinya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tanganku di tahan olehnya. Aku mencoba melepaskan tangannya dari tanganku, namun dia semakin memperkuatnya.

Aku menghela napas panjang, "Raf, bisa gak, lepasin tangan aku?!" ucapku dengan nada yang meninggi.

Rafa menggeleng, "Aku gak akan lepasin, sebelum kamu dengerin penjelasan aku dan maafin aku, Na."

"Apa kamu butuh banget kata maaf?" ucapku dan di anggukinya, "kalau gitu, aku maafin. Sekarang kamu lepasin tanganku dan biarin aku pergi."

"Tapi Na, aku mau kita kaya dulu lagi," ujar Rafa yang membuat mataku melebar.

Dengan mudahnya ia bicara seperti itu setelah apa yang sudah ia lakukan padaku. Apa kau tak tahu Rafa, betapa sakitnya aku saat melihat kamu memeluk perempuan lain. Walaupun aku tak tahu apa alasan kamu memeluk perempuan itu.

Aku tertawa mendengar ucapan Rafa tadi, "Kamu fikir, dengan aku maafin kamu, aku bisa lupa dengan apa yang udah kamu lakuin ke aku?" ucapku membuatnya diam, "asal kamu tau Raf, selama kita pacaran, aku selalu berusaha jadi yang terbaik buat kamu. Aku selalu belajar ngertiin kamu yang super sibuk, aku selalu belajar mahamin kamu. Tapi kenapa ujungnya kamu malah nyakitin aku? Kamu fikir, mudah buat aku ngelupain semua tentang kita. Kita pacaran udah lama Raf, kenangan begitu banyak. Untuk saat ini aku memang belajar untuk ngelupain semuanya dan aku yakin aku bisa. Tapi kenapa sekarang kamu dateng dan minta kita kaya dulu lagi?"

"Kamu perlu denger penjelasan aku Na. Yang kamu liat itu gak seperti yang seperti yang kamu bayangin. Perempuan itu-"

"Selingkuhan kamu?" tanyaku.

Rafa diam sejenak, "Bukan, Na. Dia itu-"

"Cuma temen?" Aku tersenyum kecut.

"Na, dengerin aku dulu," Matanya menatapku penuh harap.

Aku menyipitkan mataku dan menunjuk dadanya menggunakan jariku, "Kamu sama aja kaya cowok play boy yang ada diluaran sana Raf," aku menghela napas, "Jangan ganggu aku lagi!" ucapku kesal lalu berjalan pergi meninggalkannya sendiri.

Apa aku sudah keterlaluan dengannya? Ah, aku tak peduli. Salah siapa dia menyakitiku.

Aku melangkahkan kakiku menuju kelas sebelum bel berbunyi. Aku berjalan sedikit berlari. Setidaknya kurang dari 3 menit aku sudah berbaris di lapangan. Karena sebentar lagi upacara bendera akan di mulai.

Dan seperti dugaanku, kini aku sudah berbaris di lapangan dengan Deca dan Nana. Mereka berdua adalah sahabatku. Kami kenal sejak di adakannya MOS, dan saat ini pun kami masih di persatukan dengan kelas yang sama.

Dulu, saat aku masih pacaran dengan Rafa, mereka selalu menjadi tempat curhatanku. Sebenarnya sampai saat ini aku juga selalu curhat dengan mereka. Namun tak sesering dulu.

Karena memang benar, tingkat kegalauan orang yang berpacaran lebih besar daripada jomblo.

Pikiranku sedang tak fokus. Bahkan aku tak sadar jika pemimpin upacara menyuruh kami untuk hormat.

Aku menggigit bibir bawahku dan melirik ke barisan kenanku. Mataku bertemu dengan Rafa yang tengah berbaris sejajar denganku. Aku segera membuang tatapanku dan berusaha fokus mengikuti upacara.

"Hari ini ada Fisika ya?" bisik Nana yang berada di belakangku.

Aku hanya menganggukinya.

"Na, nanti bantuin aku ngerjain PR Fisika ya?" bisik Deca yang berada di samping kiriku.

"Aku aja belum!" ujar Nana.

Deca berdecak, "Aku minta tolong Alina, bukan Nana!"

"Tadi kamu bilangnya Na," ucap Nana berbisik kesal.

"Tapi aku manggilnya Alina buka Nana," ujar Deca.

Nana menghela napas, "Tapi kan sama-sama Na."

"Makanya nama gak usah sama-sama!" ucap Deca namun penuh penekanan.

Nana menggelengkan kepalanya dan menatap Deca kesal, "Ya biasa aja, gak usah pake otot ngomongnya. Salahin tuh Alina, ngapain nama panggilannya ikut-ikut Na. Kan bisa Al, Ayu, atau Amanda kek."

Aku hanya memutar bola mataku malas. Meladeni mereka sama saja memancing emosi, "Diem, Pak Budi ngeliatin ke arah sini aja," ucapku membuat mereka berdua diam.

Pak Budi adalah guru BK sekaligus pembina OSIS di sekolah kami. Hampir seluruh murid SMA Pelangi takut dengan beliau. Mungkin karena ketegasannya.

Setelah upacara bendera selesai. Deca dan Nana menarikku untuk buru-buru ke kelas.

Ya, apalagi kalau bukan meminta aku mengajari mereka Fisika. Sebenarnya aku tidak terlalu jago, namun setidaknya aku paham sedikit.

"Ayo Na, keburu Albert Einstein masuk."

Albert Einstein yang Deca maksud adalah Pak Asen, guru Fisika kami. Pak Asen memang sangat pintar dalam hal fisika, tak heran jika semua murid SMA Pelangi memanggilnya dengan sebutan Albert Einstein.

Aku melangkahkan kakiku memasuki kelas yang ber-plang '12 IPA 2' tersebut mengikuti langkah Deca dan Nana yang terus menarik-narik tanganku.

"Na, kamu di panggil," ucap Dewi, teman sekelasku.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh, "Sama siapa Dew?" tanyaku padanya.

"Sama Pak Budi, kamu disuruh kesana sekarang. Cepetan! Keburu dia ngamuk lho," ucap Dewi lalu melangkah masuk ke dalam melewatiku.

"Ih Dewi ini, ganggu aja lho. Kami tu ada bisnis sama Alina!" ucap Deca yang di angguki oleh Nana.

"Loh, kok nyalahin aku? Salahin tuh pak Budi," ucap Dewi yang sudah duduk di kursinya seraya mengeluarkan buku dari dalam tas.

"Apasih Pak Budi ini, ganggu aja. Gak tau apa kalau aku belum ngerjain PR Pak Albert. Gimana dong Na, nasib kita?" ucap Deca dengan raut wajah menyedihkan.

Nana mengangguki ucapan Deca dengan wajah tak kalah menyedihkan, "Mati kita berdua Na. Gimana dong Na?" tanya Nana padaku.

Aku mengedikkan bahuku, "Ya gimana dong? Salah siapa kalian gak ngerjain PR. Makanya jangan pacaran aja," ucapku lalu melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

"WOY, NA! AKU UDAH JOMBLO!" teriak Nana yang terdengar olehku.

Aku hanya tertawa dan mempercepat langkahku menuju ruangan Pak Budi.

Selama perjalanan menuju ruangan Pak Budi, pikiranku terus dihantui pertanyaan.

Mengapa Pak Budi memanggilku?

Apa aku berbuat kesalahan?

Atau jangan-jangan beliau marah karena kami bertiga tadi mengobrol saat upacara?

Jika benar, mengapa hanya aku saja yang dipanggil?

"Ahhhh!" Aku mengusap wajahku gusar.

"Ngapain sih?"

Aku menghentikan langkahku saat aku mendengar seseorang berbicara ke arahku.

Aku menoleh ke samping.

"Kamu?"

"Hai, bingung ya gue ada di sini?" ucapnya seraya menaikan kedua alisnya.

Aku menatapnya malas, tiba-tiba aku merasa mual melihat sikapnya yang sok keren itu.

"Boleh minta tolong gak?" ucapnya lagi.

"Apa?" tanyaku.

"Tolong anter gue ke kelas dong," ucapnya seraya mengeluarkan kertas dari dalam tas dan membacanya, "ke kelas 11 IPS 2. Iya bukan sih ini 11 IPS 2? Jelek banget tulisannya," lanjutnya sambil menyerahkan kertas itu padaku.

Aku meraih kertas itu dan membacanya, "Iya, 11 IPS 2."

Kavin tersenyum, "Bagus deh, kalau gue masuk IPS. Gue fikir gue bakal diterima di IPA."

"Sombong banget sih?!" ucapku.

Dia malah tertawa mendengarnya, "Gak papa sombong, yang penting ganteng. Daripada jelek, tapi sombong."

Aku malas meladeni ucapannya yang sudah melantur kemana-mana.

"Jadi gak?"

Kavin mengangguk, "Yuk!"

Aku melangkah lebih dulu dan Kavin mengekoriku. Aku tak menyangka jika dia akan bersekolah di SMA ini. Dan hal ini tak akan menutup kemungkinan kalau aku akan sering bertemu dengan dia.

Namun, untunglah! Sebentar lagi aku akan lulus. Jadi aku tak akan berlama-lama melihat wajahnya yang super menyebalkan. Baru melihatnya saja sudah membuatku emosi.

Setelah melewati beberapa kelas, kini kami berdua sudah sampai di depan kelas 11 IPS 2.

"Ini kelas 11 IPS 2." Aku menunjuk sebuah kelas yang berplang '11 IPS 2' tersebut.

Kavin membaca plang tersebut seraya mengangguk. "Kelas lo dimana?" tanyanya.

"12 IPA 2," jawabku singkat.

"Murid rajin dong?" ucapnya namun tak ku ladenin. Tak penting juga untuk ku jawab.

Kavin masih berdiri dan menatap plang itu sekilas dan kembali menatapku, "Mau nemenin gue masuk?"

"Ngapain?" tanyaku bingung.

"Ya, siapa tau aja lo pengen ikut masuk bareng gue," ucap Kavin dengan pedenya.

"Ogah!" ucapku jutek lalu berjalan pergi membuatnya tertawa.

Aku mempercepat langkahku untuk kembali ke kelas. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menghentikan langkahku.

Ah, ya! Aku lupa kalau Pak Budi memanggilku.

Aku pun segera mempercepat langkahku sebelum Pak Budi marah karena aku tidak datang juga.

Sesampainya di sana, aku melihat Pak Budi tengah berkutik di depan laptopnya.

"Permisi Pak," panggilku membuat Pak Budi menoleh, "Bapak manggil saya?" tanyaku memastikan.

"Iya Na, Bapak denger kamu jago nulis. Jadi Bapak mau minta tolong kamu bantuin Rafa ngerjain tugas OSIS dari Bapak. Tapi berhubung tadi ada Amara disini, jadi Bapak minta tolong Amara."

Aku bernapas lega. Syukurlah, untung saja bukan aku yang membantu Rafa. Kalau saja aku, mungkin yang ada aku hanya diam dan tak berkutik sekalipun.

"Ya sudah Pak, kalau gitu saya kembali ke kelas." Aku pun melangkah pergi meninggalkan meja Pak Budi.

"Eh, Na. Bapak mau minta tolong lagi ke kamu."

Aku menghentikan langkahku dan kembali ke meja Pak Budi.

"Tolong kamu antarkan dokumen ini ke Pak Manda ya?"

Aku mengangguk, "Baik, Pak."

"Oh ya, Pak Manda ada di kelas 11 IPS 2," lanjutnya.

11 IPS 2? Itukan kelasnya Kavin. Ah, malas sekali aku kesana.

"Gimana Na? Bisa kan?" tanya Pak Budi lagi membuatku mau tak mau harus mengangguk.

"Iya Pak, bisa kok."

Aku meraih dokumen itu lalu mengantarkannya ke kelas Kavin, dimana ada Pak Manda disana.

Sebenarnya aku malas sekali kesana, tapi mau bagaimana lagi, masa iya aku menolak perintah Pak Budi. Tapi, sudahlah! aku antarkan saja.

Kini aku tengah berdiri di depan kelas 11 IPS 2. Dari luar saja, suasana kelas itu terdengar amat bising. Sebenarnya apa yang membuat Pak Manda betah disini? Aku saja yang melihatnya sudah pusing sendiri.

Aku mengetuk pintu membuat semua yang ada di dalam menoleh ke arahku. Dan yang paling menyebalkan, Kavin menatapku dengan seringainya. Mungkin dia pikir aku kesini untuk menemuinya. Dasar!

"Assalamualaikum Pak," ucapku kepada Pak Manda.

"Wallaikumsalam," jawabnya dan aku pun berjalan menghampirinya, "ada apa Na?"

Aku menyerahkan dokumen kepada Pak Manda, "Ini Pak, ada dokumen dari Pak Budi," ucapku membuat Pak Manda mengerti.

"Makasih ya Na,"

"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi Pak."

Setelah menyerahkan dokumen tadi ke Pak Manda, aku pun segera keluar dari kelas itu. Aku sama sekali tak melihat ke arah Kavin. Jangankan melihat, mendengar suaranya pun aku malas. Dari awal bertemu aku memang tak suka dengannya. Apalagi setelah dia mendapatkan nomorku dari Anan.

Aku keluar dari kelas itu dengan napas lega, tak ada kebisingan lagi di telingaku.Namun langkahku terhenti saat aku sadar ada yang memegang tanganku dari belakang. Aku segera melepaskam tangan itu dan menoleh.

Rupanya itu tangan Kavin. Kavin menatapku dengan tatapan yang sok imutnya.

"Ngapain kamu di sini?" ucapku padanya.

"Emang kenapa kalau gue di sini? Gak boleh? Ini juga kan sekolah gue," jawabnya seraya melipat kedua tangannya.

"Maksudnya, kan di dalem ada guru."

"Terus?" tanyanya seperti menantangku.

Aku memutar bola mata malas dan berjalan pergi. Bukannya kembali ke kelasnya, Kavin malah mengimbangi langkahku membuatku semakin risih.

"Bisa gak, gak usah ikut-ikut?" tanyaku jutek.

"Emang gue ikut-ikut lo? Gue kan mau ke kamar mandi. Geer banget sih jadi cewek."

Aku mencoba menahan emosiku dan mempercepat langkahku. Namun Kavin malah mengikutiku. Dia juga mempercepat langkahnya.

Aku menoleh dan menatapnya tajam, "Kavin!"

"Apa?" ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

Aku menghela napas panjang dan menatapnya malas, "Aku tau kamu bukan mau ke kamar mandi."

"Itu tau,"

Aku terus menahan emosiku, sabar Alina, ini cobaan untukmu, "Sebelumnya kita gak ada masalah, dan kita pun baru kenal. Tapi kenapa kamu gangguin aku? Emang gak ada cewek lain yang bisa kamu gangguin?"

"Gak ada," ucapnya santai.

Aku menatapnya tajam berusaha manahan emosiku yang mulai menggebu.

"Orang gue pengennya gangguin lo doang," lanjutnya.

"Kenapa harus aku?" tanyaku kesal.

Kavin tersenyum dan mendekat ke telingaku, "Lo cantik sih," ucapnya membuatku bergidik ngeri dan memperceoat langkahku.

Aku yakin pasti kini Kavin sedang tertawa setelah melihat ekspresiku tadi. Dasar, Bisanya membuatku kesal saja.

Mana tak sopan lagi denganku, padahalkan aku Kakak kelasnya dan jelas aku lebih tua darinya. Menjengkelkan!

Aku memasukan buku-ku ke dalam tas setelah pelajaran Pak Asen selesai.

Aku sudah berjanji pada Ibu kalau sepulang sekolah ini aku akan mampir ke pasar untuk membeli titipan Ibu.

Setelah itu aku baru ke ruko Ibu. Kebetulan pasar yang Ibu maksud tak jauh dari sekolahku. Jadi aku hanya perlu naik angkot sebentar untuk sampai disana.

Kini aku sudah berada di pinggir jalan. Aku memperhatikan angkot yang beberapa meter lagi sampai di hadapanku.

Dan tepat dugaanku, kini angkot itu berhenti di hadapanku.

"Angkot, neng?" tanya supir angkot itu.

"Enggak, Pak!"

Aku menoleh ke arah Kavin yang sudah berani-beraninya menolak tawaran supir angkot itu padaku. Dan kini, angkot itu sudah berlalu.

Aku menatap Kavin tajam, namun tatapan tajamku itu hanya di balas senyuman yang sok manis miliknya itu. Aku pun menatapnya kesal dan membuang tatapanku ke arah lain.

"Kenapa? Marah?" tanyanya yang sepertinya tidak merasa bersalah.

"Udah tau nanya!" ucapku seraya melipat kedua tanganku di depan dada.

Kavin tertawa, "Biasa aja kali, tambah cantik entar lho kalau marah-marah. Yuk, naik motor gue," ucapnya seraya menunjuk jok motornya.

"Ogah!" ucapku lalu pergi.

Aku mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Kavin mengejarku dengan motor ninjanya, ia fikir aku akan mau menerima ajakannya untuk pulang bareng?

Haha, sorry, aku lebih baik jalan kaki daripada harus satu motor dengannya.

"Yakin gak mau naik?" ucapnya saat motornya tepat berada di sampingku.

Aku tak menoleh sedikitpun, malas sekali aku menoleh!

"Nengok dong," ucapnya.

Aku menarik napas panjang dan menatapnya tajam, "Kamu fikir aku mau satu motor sama-"

"Duluan yaaa..." ucapnya santai lalu pergi dengan motor ninjanya itu.

Aku membelalakan mataku, menyebalkan sekali dia. Untuk apa dia menolak tawaran angkot untukku jika akhirnya dia tidak terus membujukku untuk pulang bersamanya? Akhhh! Kesal!

---------

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!