~Terkadang apa yang kita anggap benar, belum tentu benar di mata yang lain. Namun kita juga harus memiliki pendirian dan tidak terpaku pada ucapan orang lain~
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Namaku Sakha, aku seorang fotografer freelance. Umurku hampir menginjak kepala tiga, saat pria seusiaku sudah menemukan pendamping, aku malah mengubah statusku menjadi lajang.
Menjadi seorang fotografer handal adalah cita-citaku, selain itu aku juga menyukai istilah untuk pekerjaanku ini, yaitu hobi yang dibayar.
"Ada yang baru saja menjomblo nih," goda Bima, sahabat Sakha.
Mereka bersahabat semenjak duduk di bangku perkuliahan, dan bertahan hingga saat ini.
"Apa sih, Bim." Sakha mendengus kesal.
"Lagian, kenapa juga kau malah meninggalkan Airin?" tanya Bima penasaran.
Sejenak Sakha menghirup nafas dalam-dalam, "Airin, dia memintaku untuk menikahinya," sahut Sakha.
"Hanya karena itu, kau meninggalkan Airin yang sudah menemanimu selama tiga tahun ini?" Bima seakan tak percaya dengan apa yang di putuskan oleh Sakha, ia tahu betul bahwa sahabatnya selalu memegang teguh pendiriannya. Namun kali ini, Bima benar-benar tidak mengerti dengan apa yang di lakukan Sakha.
"Aku punya alasan, Bim!" Sakha menegaskan kata-katanya.
"Apa alasannya?" seru Bima.
"Sudahlah, jangan dibahas lagi!" Sakha berjalan meninggalkan Bima.
"Kha, tunggu!" teriak Bima, ia mengejar Sakha yang bayangnya tak lagi terlihat.
***
Sakha tengah bersiap-siap memasukkan bajunya kedalam koper, ia berniat untuk menenangkan pikirannya dengan pergi berlibur.
"Kau yakin akan pergi berlibur sendiri? Tidak mau mengajakku?" tanya Bima.
"Tidak, kau pasti nanti hanya akan mengganggu liburanku!" jawab Sakha dingin.
Bima mendengus kesal. "Hah. ya sudahlah, terserah kau saja! Kenapa kau memilih Bandung untuk berlibur?" tanya Bima.
"Karena, disana banyak tempat bagus. Aku juga lumayan lancar berbicara bahasa daerah disana."
Sakha tetap fokus membereskan barang-barangnya agar tidak ada yang tertinggal, ia juga tak pernah melewatkan kameranya yang selalu dibawanya kemanapun.
Bima mengangguk paham, Sakha memang sangat menyukai kota Bandung. Makanan disana sangatlah lezat, kota itu di juluki sebagai kota Kembang, mungkin karena banyak mojang priangan disana.
"Kha, memangnya kau mau berapa hari disana?" tanya Bima, sembari memperhatikan Sakha yang masih menyiapkan barang-barangnya.
Sakha sejenak menghentikan kegiatannya, ia mencerna pertanyaan sahabatnya.
"Umm, mungkin sekitar seminggu."
"Seminggu? Kau akan pergi kemana saja?" tanya Bima.
"Mungkin, aku akan mengunjungi beberapa tempat wisata disana." Sakha mendudukan tubuhnya, saat dirasa keperluan untuk berlibur sudah selesai.
"Baiklah, kalau begitu. Aku pulang dulu," Bima beranjak dari tempatnya.
"Yasudah, pulanglah!" sahut Sakha acuh.
Sakha mulai merebahkan tubuhnya, ia berniat untuk tidur lebih awal. Matanya kini terpejam, dan tak butuh lama Sakha sudah masuk kedalam mimpinya.
***
Di tempat lain.
"Ra, kamu berapa hari disana?" tanya Merry pada shara.
"Hanya seminggu, Umi." jawab Shara.
"Apa tidak sebaiknya kamu di temani Adam saja, biar ada yang menjagamu disana?" usul Merry, Umi dari Shara.
"Umi... Kalau Adam ikut, dia bukannya menjagaku, tapi malah akan melarangku melakukan ini, dan itu." Shara menutup risleting kopernya.
Shara berjalan mendekati Ibunya. "Umi, aku bisa menjaga diriku selama mengisi seminar disana, Umi tidak usah terlalu khawatir," Shara mencoba meyakinkan Uminya yang memang terlalu mengkhawatirkannya.
"Yasudah, kabari Umi terus selama kau ada disana!" pinta Merry dengan lembut pada anakknya.
"Baik, Mi." Shara memeluk hangat Uminya.
Qaishara Kirana, orang terdekat biasa memanggilnya Shara. Seorang motivator muda, yang sedang menjadi buah bibir di kalangan para remaja. Wanita yang menjaga dirinya dengan menutup auratnya, dan prilakunya yang terpuji. Shara juga dikenal dengan kepiyawayannya dalam memberi motivasi dikalangan lintas usia.
Setiap ucapannya bagaikan magnet yang mampu menarik setiap telinga yang mendengar kalimat-kalimat positifnya.
Tidak sedikit para remaja putra maupun putri yang menyukai Shara karena wajahnya yang meneduhkan mata. Wajah yang bersinar secerah pagi, putih mulus bagai salju. Dingin dan tenang.
Banyak pria yang mencoba menarik perhatiannya, tetapi niat mereka sering terhalang karena adanya Adam.
Adam adalah pria yang di percaya oleh orang tua Shara untuk menjaganya, tetapi karena alasan itu, Adam malah bersikap posesif kepada Shara.
Adam selalu mencegah pria manapun yang berniat mendekati Shara, bahkan kemanapun wanita itu pergi, ia usahakan untuk selalu menemaninya.
Kali ini, Shara harus mengisi acara seminar di kota Bandung selama satu minggu. Shara meminta kepada orang tuanya untuk tidak memberitahu Adam tentang rencananya, ia ingin sesekali pergi tanpa harus ditemani oleh Adam.
Setelah berbincang ringan dengan Uminya, Shara segera berniat untuk tidur agar bisa bangun lebih pagi esok.
"Ya Allah, jadikan aku pribadi yang lebih baik setiap harinya. Teguhkan imanku, jauhkan aku dari segala hal yang membuat Engkau murka. Jaga aku dalam tidurku, dan bangunkan aku kembali dengan jiwa yang damai akan perintahmu."
Begitulah kira-kira do'a Shara di setiap ujung harinya.
Hari ini Shara akan berangkat ke Bandung, ia memilih menaiki kereta api untuk perjalanannya. Selain bebas macet, alasan memilih kereta api juga karena harganya yang murah.
Shara memesan tiket untuk kelas ekonomi, sebenarnya ia bisa saja memesan tiket VIP. Shara termasuk wanita yang terbilang tidak banyak tingkah, apalagi manja. Ia tak masalah jika harus berbagi tempat duduk dengan orang lain, atau bahkan berdiri saat kondisi lorong kereta penuh.
Beruntung, kali ini Shara mendapatkan tempat duduk. Kursi yang cukup untuk dua orang. Ia mendaratkan tubuhnya disana, dan mulai menikmati perjalanannya menuju kota Kembang.
***
Sakha harus merelakan kursinya untuk seorang Ibu hamil yang berdiri tepat di sampingnya, sangat kejam jika ia acuh dan tetap berada di tempatnya.
Sakha berjalan menyusuri lorong kereta, matanya sesekali melirik kearah kursi penumpang. Berharap ada satu kursi kosong tersisa untuknya.
Matanya tertuju pada salah satu sisi kiri lorong, dimana terdapat satu tempat duduk yang baru berisi satu orang.
"Nah, rezeki anak sholeh." Sakha berjalan mendekati kursi itu, dan tanpa ba-bi-bu ia segera mendaratkan tubuhnya, di samping wanita berjilbab yang juga duduk bersebelahan dengannya.
Shara menggeser duduknya untuk lebih merapat pada jendela kereta, saat menyadari seorang pria duduk di sebelahnya.
"Mbak, saya gak gigit kok."
ucapan keluar dari mulut Sakha yang melihat wanita di sampingnya duduk menjauh darinya.
"Maaf," Shara melirik kilas pada pria yang kini masih menatapnya.
Pandangan mereka bertemu, meski hanya persekian detik. Namun mampu membuat jantung Sakha berdebar cepat.
"Cantik." ucap Sakha dalam batinnya.
Sakha mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah membuat jantungnya berdebar hebat tiba-tiba, ia meraih kameranya dan mulai mengabadikan moment di dalam lorong kereta.
Sakha memotret apa saja yang menurutnya unik, bahkan ia juga memotret wanita di sebelahnya secara diam-diam.
"Sempurna." Sakha memandangi hasil jepretannya, decakan kagum tersirat dari raut wajahnya.
***
Kereta kini telah sampai di Stasiun Hall Bandung, para penumpang kereta berhamburan. Shara menyampirkan tas nya hendak bangkit dari tempat duduknya, langkahnya terhenti saat melihat kaki Sakha yang menghalangi jalan keluarnya.
"Permisi, Mas. Maaf saya ingin keluar."
Shara mencoba membangunkan Sakha yang tengah tertidur, nadanya sedikit di tinggikan berharap pria yang ada didepannya terbangun karena suaranya.
Perlahan tubuh Shaka menggeliat, tetapi ia malah melanjutkan lagi tidurnya.
Shara merasa kesal melihat tingkahnya, ia mencari cara lain untuk bisa membangunkan Sakha.
Shara melirik buku tebal yang di pegangnya, ia sedikit mendapatkan ide jahil untuk membangunkan pria yang tengah asik dengan mimpinya.
Bhuukk.
"Bangun!" teriak Shara sembari memukul bahu Sakha menggunakan buku tebalnya.
Sakha yang terkejut, sontak langsung membuka matanya paksa.
Ia mendengus kesal saat seseorang membangunkannya dengan kasar.
"Mbak, pelankan suaramu, aku kan terkejut." Sakha menatap tajam ke arah Shara, tetapi tatapan tajamnya melemah saat memandangi wajah teduh Shara.
"Kan bisa dibangunkan pelan-pelan, Mbak. Di tepuk kek, atau apa. Biar saya tidak jantungan. Cantik-cantik kok teriak-teriak."
Suara Sakha tiba-tiba berubah pelan, bahkan terdengar sedikit mendayu.
Shara mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Sakha, ia tak berniat menggubris sama sekali.
Sakha segera bangkit dari duduknya, dan berjalan turun dari kereta.
"Hah, sampai juga." ucap Sakha sembari menghirup udara sekitar stasiun.
Cuaca yang cerah hari ini membuat Sakha semakin bersemangat untuk berlibur. Ia berniat untuk menginap di sebuah hotel sekitar Alun-alun kota Bandung.
Sebelum menuju hotel, ia berniat untuk berkeliling terlebih dahulu. Sangat di sayangkan jika ia tak mengabadikan setiap tempat yang ia kunjungi di Alun-alun kota.
***
Aston Braga Hotel & Residance menjadi pilihan Sakha untuk menginap selama berlibur di kota Kembang, ia memilih hotel itu karena jaraknya yang dekat dengan Mesjid Raya Bandung. Bagi Sakha bisa menunaikan ibadah shalat berjamaah di mesjid, adalah suatu kenikmatan tersendiri.
Sebelum masuk waktu dzuhur, Sakha merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia melemaskan otot punggungnya yang sedikit menegang.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir”. – Hadis
***
Takdir seolah sedang mempermainkan mereka, istilah dunia tak selebar daun kelor itu nyatanya benar.
Sakha mengalaminya sendiri, kota Bandung itu luas bahkan yang berkunjung ke taman
Alun-Alun kota juga ramai.
Selepas menunaikan ibadah shalat dzuhur, Sakha terduduk di rumput sintetis yang terdapat tepat di halaman mesjid.
Kembali ia mengambil gambar sekitar taman, dan lensa kameranya kini tertuju pada seorang wanita.
"Dia lagi?" guman Sakha, matanya mencuri pandang pada Shara yang tengah membaca sebuah novel di sudut taman.
"Kalau Sekali lagi kita bertemu, mungkin kau adalah jodohku."
Sakha terkekeh geli dalam batinnya, ia tak percaya kalimat itu akan terlintas di benaknya.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
**Assalamuallaikum temen-temen 😍
Kita ketemu lagi 😁
Novel kedua ini semoga bukan hanya bisa memuaskan pembaca, tapi juga bisa sedikit memberikan manfaat untuk kita semua 🤗
Ambil hal positif yang ada didalam cerita, dan buang hal yang sekiranya tak layak untuk ditiru 😅😅
Happy reading, semoga kalian suka 😍😍😍😍😍**
Selepas shalat isya, Shara kembali ke tempat dimana ia menginap. Dengan anggun ia berjalan menuju pintu kamarnya, saat hendak membuka pintu ia di kejutkan oleh seorang lelaki yang menahannya untuk masuk ke dalam kamar
"Mbak, mau apa?" tanya lelaki itu.
"Saya mau masuk," jawab Shara sembari menunjukan jarinya ke arah pintu.
"Lah, kita kan belum berkenalan, kenapa Mbak sudah mau masuk saja?" sahut lelaki itu dengan enteng.
Shara mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh lelaki itu.
"Mas, bukannya yang waktu itu satu kursi dengan saya, di kereta?" Shara merasa tak asing dengan wajah lelaki yang ada di depannya kini.
"Iya, Mbak masih ingat aja sama saya." Sakha menyengir kuda.
Shara tak memperdulikan tingkah konyol lelaki yang tak dikenalnya itu, ia kembali pada niat awalnya untuk segera masuk kedalam kamarnya.
"Eh, kok malah masuk." Sakha kembali menahan gerakan Shara.
"Mas-nya ini kenapa sih? Kenapa melarang saya masuk?" Shara mulai merasa kesal pada Sakha, ia bertanya dengan nada sedikit menekan.
"Ini kamar saya, Mbak!" Sakha menunjuk angka yang tertempel di pintu.
Shara melihat arah telunjuk Sakha, ia merasa heran kenapa nomor kamarnya berubah.
Shara melihat pintu disebelahnya, ia baru sadar, kenapa lelaki itu menahannya masuk kedalam kamar.
"Mas, sepertinya ada kesalahpahaman disini." Shara berbicara sembari menunjukan telunjuknya ke arah pintu di sebelah kirinya.
Sakha spontan mengikuti arahan telunjuk Shara, ia mengernyitkan keningnya saat melihat suatu keanehan
"Delapan, sem... Enam?" gumam Sakha, matanya terbelalak saat melihat angka yang tertera di pintu kamar Shara.
"Setelah delapan harusnya sembilan, kenapa jadi enam?" ucap Sakha tanpa sadar.
"Karena angkanya terbalik, kamar Mas, sebelah sana." seru Shara dengan nada datar.
Sakha mengalihkan pandangannya pada sebuah pintu yang bernomorkan angka enam, ia kembali menyeringai kuda pada Shara.
"Maaf, Mbak. Saya kira ini tadi kamar saya," ujar Sakha, tingkahnya menjadi berubah tidak karuan. Kenapa bisa-bisanya memberi kesan memalukan, saat bertemu kembali dengan Shara.
"Saya masuk dulu, permisi."
Shara langsung masuk kedalam kamar, tanpa memperdulikan Sakha yang masih mematung di tempatnya.
Sakha merutuki kebodohannya, ia merasa tidak memiliki wajah lagi untuk bertemu dengan Shara.
Ia segera berjalan menuju kamarnya, di barengi perasaan tidak enak pada Shara.
***
Di dalam kamar Shara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, ia mengistirahatkan ototnya sebelum mempersiapkan keperluan seminar besok pagi.
Drrt
Drrt
Drrt
Ponsel Shara bergetar cukup keras, membuat matanya yang telah tertutup kembali terbuka. Shara melihat layar ponsel miliknya, "Umi," ucapnya pelan.
"Assalamuallaikum, Umi."
"Wa'allaikumussalam, Ra. Lagi apa kamu, Nak?" tanya Umi di sebrang sana.
"Sedang tiduran, Umi lagi apa?" Shara balik bertanya.
"Umi lagi mau makan sama Abi, kamu sudah makan?" tanya Umi lagi.
"Sudah, Umi. Yasudah makan saja dulu, Mi." usul Shara.
"Iya sebentar lagi. Ra, kamu jaga diri selama disana yah, kalau bisa selesai seminar, kamu langsung pulang saja ke rumah." pinta Umi.
"Umi... Shara kan ingin berlibur dulu, hanya seminggu Umi." ujar Shara dengan lembut, ia paham yang di maksud oleh Uminya.
"Shara bisa jaga diri baik-baik, kok."
"Hemm, yasudah kalau begitu. Kabari Umi terus yah!" pinta Umi.
"Pasti, Umi. Yasudah, salam sama Abi. Shara tutup telponnya, yah. Assalamuallaikum." pamit Shara, ia menunggu jawaban salam dari Uminya, sebelum benar-benar mengakhiri panggilannya.
"Wa'allaikumussalam."
Tutututut.
***
Sakha yang baru saja selesai mandi, ia segera berbaring di atas tempat tidurnya. Ia mulai memejamkan matanya, tetapi bayangan seseorang terlintas secara tiba-tiba di benaknya.
"Astagfirulloh, kenapa wajah si Mbak-nya mampir ke pikiranku, sih." Sakha mengusap wajahnya kasar, ia mencoba menghapus bayangan wajah teduh Shara dalam benaknya.
"Sebaiknya aku harus segera tidur, sebelum wajah teduh itu muncul lagi."
Sakha segera membaluti tubuhnya menggunakan selimut, ia berniat untuk segera tidur.
Dering ponsel Sakha berbunyi nyaring, satu panggilan masuk tertera pada layar ponselnya.
Sakha segera mengangkat panggilan telpon, tanpa melihat nama pemanggil terlebih dulu.
"Iya, hallo.."
"Wa'allaikumussalam." suara seorang wanita membuat mata Sakha terbuka seketika.
Ia sekilas melirik layar ponselnya, "Assalamuallaikum, Bu. Maaf tadi akha ga lihat dulu siapa yang telpon." ujar Sakha pada Salma Ibunya.
"Makannya lihat dulu, kebisaan jelek itu namanya." seru Ibu Salma .
"Iya, maaf, Bu. Oh iya, ada apa Ibu menelpon Akha malam-malam?" tanya Sakha dengan sopan.
"Ibu dan Bapak ada di rumah kamu sekarang, kamu dimana?" ujar Ibu Salma.
"Ibu, sama Bapak sekarang ada di rumah? Kenapa tidak bilang dulu kalo Ibu mau berkunjung?" Sakha mendudukan tubuhnya, ia terkejut saat mendengar orang tuanya sudah ada di rumahnya.
Yang di maksud rumahnya ialah rumah yang Sakha sewa semasa ia kuliah dan bekerja di Bogor. Sebenarnya Sakha asli Jakarta, tetapi ia mengenyam pendidikan di salah satu Universitas di kota Bogor.
"Tadinya mau memberi kejutan, tapi kamunya malah tidak ada di rumah. Kamu dimana sekarang?" tanya Ibunya lagi.
"Sakha, sedang ada di Bandung, Bu." jawab Sakha.
"Bandung? Sedang apa kamu disana?" suara Ibu Salma terdengar sedikit naik.
"Berlibur, hehehe," jawab Sakha terkekeh.
"Sakha, kau masih saja seperti ini. Kapan kau akan mencari calon istri? Kau asik dengan dirimu sendiri," tutur Salma pada anaknya.
"Iya, nanti Sakha pasti carikan menantu yang baik buat Ibu," jawab Sakha seadanya.
"Selalu seperti itu jawabanmu, cari perempuan yang akan kamu ajak ke KUA, bukan cuma buat nemenin kamu kondangan!" seru Salma pada anak tunggalnya itu.
"Bu, kalau Allah belum mempertemukan Akha sama jodoh Akha, ya mau bagaimana lagi?" ujar Sakha, ia sebenarnya bosan mendengar ucapan Ibunya yang selalu saja menuntutnya agar cepat mencari pendamping. Namun ia berusaha untuk menahan kekesalannya, karena ia tidak ingin menyinggung perasaan Ibunya.
"Usaha! Minta pakai doa, jemput pakai usaha!" jawab Salma dengan tegas.
Sakha menghela nafasnya pelan, ia mencoba bersabar menghadapi celotehan Ibu tercintanya.
"Iya bu, Akha usahain. Yasudah, Akha mau istirahat dulu. Ibu dan Bapak juga istirahat. Assalamuallaikum."
Sakha menghempaskan tubuhnya, ia berkali-kali menarik nafasnya dalam.
"Bagaimana mau segera menikah, di ajak menikah saja aku malah kabur."
gumam Sakha dalam batinnya.
***
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!