Gadis muda dengan wajah teduh menghalau terik dengan jemari mungil, senyum tipis membias tak kala wajah wajah yg ia kenal menyapanya dengan ramah.
"Dek Lian kok tumben dirumah, gak ikut bapak ibuk ke warteg?"
"Aahh gak kang, disuruh jaga rumah sama bapak..."
"Oh gitu to... pantes kok tumben kelihatan duduk di teras rumah, kalau gitu kang Badi lanjut ya"
"Mau mangkal di gang sebelah kang?"
"Ahh gang depan sini aja, orang rumah mau nyusul katanya nanti kecapean jalan kalau jauh jauh mangkalnya"
"laris manis ya Kang Es Tebunya." ucap Liat sembari mengangguk.
"Amiin, pasti laris ini mah udah di doain sama Dek Lian"
"Bisa aja kang Badi..."
"Semua senang kalau di doain Dek Lian, Warteg Pak Har aja selalu laris manis kalau ada Dek Lian, kalau gitu Kang Badi lanjut dulu ya"
"Ooh iyaa silahkan kang..."
Percakapan singkat antara Lian dan tetangganya yg dirasa sudah sangat jarang terjadi karna tidak ada kesempatan bagi Lian tuk bersantai dirumah, dari pagi ia membantu bapak ibunya berjualan di warteg pulang sudah hampir larut malam.
Berlian Naura Harianto, gadis berusia 23 tahun anak pertama (anak angkat) dari Purwo Harianto. Tidak meneruskan sekolahnya sehabis tamat dari Sekolah Menengah Atas, demi membiayai Kuliah adiknya di Ibukota.
sehari hari hanya membantu usaha kecil orang tuanya di warung nasi milik mereka.
Lian gadis sederhana yang bahkan tak pernah merasakan indahnya bermain atau bersenang senang di usianya semasa remaja maupun menjelang dewasa, hingga saat ini masih setia membantu usaha kedua orang tuanya.
Berbeda dengan adiknya Permata dwita Harianto, Tata panggilannya yg selalu dituruti maunya. Perlakuan berbeda sebenarnya sudah sangat terlihat, dan sudah jadi rahasia umum di kampung itu. Tapi Lian yg selalu terlihat bahagia dimata orang-orang bisa menutupi dan membuat semua orang semakin menghormatinya.
****
"Lian... sini Bapak mau bicara penting."
Lian pun langsung datang menemui orang tua yg sangat di hormatinya itu. Langsung duduk bersimpuh di kaki Pak Har dan langsung memijit mijit kaki dari pria paruh baya itu.
"Lian, nduk.. "
"Ya pak.."
"Lian bapak sebulan ini banyak pikiran..."
Lian dengan khusuk mendengarkan.
"Anu.. Adek mu Tata, " Wajah Pak Har tanpak sedikit gugup.
"Ada apa pak sama Tata?"
"Tata masih Kuliah... Katanya dia juga keterima kerja yg lumayan di sana,"
Sejenak Pria paruh baya itu menghentikan ucapannya dengan seraut wajah sedih yg amat sangat, membuat Lian pun bertanya-tanya.
"Ada apa pak, Tata gak kenapa-kenapa kan?"
"Itu... Tata... Kamu sayang Tata kan dia adik mu satu-satunya." Pak Har pun semakin sulit menjelaskan maksudnya.
"Ya sayang pak, Lian sangat sayang sama Tata, Tata kan adik Lian pak..."
"Kalau kamu sayang Bapak minta tolong, mungkin ini berat tapi bapak gak tau harus gimana..."
Wajah Pak Har kian Sendu, ia pun tak sadar meletakan tangan kirinya di dahi seakan beban paling berat sedang menimpa pundaknya.
"Ada apa sebenarnya pak, jangan buat pikiran Lian takut.."
Terdengar langkah kaki keluar dari pintu kamar, dan terhenti duduk di samping Lian.
"A..adek mu Tata nduk, Ha..hamil... sa..sama pacarnya udah 6 bulan.. pacarnya kabur.."
Suara Ibunya yg tiba-tiba terdengar setengah terisak seperti batu memecahkan kaca, sontak mata Lian terbelalak.
****
"Ma..maksud ibuk apa buk..?" lehernya terasa tercekat,Lian tak percaya.
"Bapak sudah sembunyikan adek mu di rumah bude Lilik di bandung nduk, sampai nanti dia lahiran. Tata mau bunuh diri, Bapak sampai mau putus asa rasanya.."
"Jadi mau gimana pak, Bapak mau minta tolong gimana sama Lian?"
"Tolong..Tolong gantikan Tata nduk..!"
Pak Har memengang tangan putri yg ia adopsi itu dengan erat, berharap maksudnya tersampaikan dengan baik.
"Maksudnya pak??"
"Bapak sama Ibu sudah berfikir keras berhari hari nduk, kemarin sampai tidak buka warung seharian."
Tentu saja, Lian mengingat tak biasa-biasanya kemarin Bapak dan Ibuk tak mengajaknya ke Warteg.
"Kamu kan tidak seperti adik mu nduk, Tata punya masa depan dia kuliah nilainya bagus, diterima kerja di tempat yg bagus juga. Sayang kalau semua itu pupus kalau dia harus punya anak di saat masa depannya di depan mata..."
"Maksud bapak.....tolong jelasin ke Lian Pak??????!!!"
Lian menolak mengerti maksud kedua orang tuanya, walau seperti air di sungai mengalir yg ia sudah pasti tau kemana arah muaranya.
"Kamu gantikan Tata yg menanggung beban ini nak, tolong bapak sekali ini saja anggap ini jasa Bapak sudah membesarkan kamu...
kalau digugurkan sudah tidak mungkin, harus di lahirkan jadi Bapak mohon kamu akui anak itu anak kamu, hasil perbuatan mu Lian...!"
Deg!!!
Jantung Lian serasa berhenti, badannya goyah seakan tangan dari orang yg ia muliakan terasa berduri, orang yg paling ia Hormati memintanya melakukan hal yg benar-benar di luar apa yg di fikirkannya.
Tangannya melepas dengan sendirinya merasa tangan yg menggenggamnya itu bukan tangan dari Orang tuanya lagi.
Lian terdiam dalam duduknya, tak bergeming menggengam kedua tangannya dengan erat tampak diamnya penuh nanar.
"Kali ini saja Lian, Tata anak Bapak satu satunya..."
Deg!!!
Kedua kalinya dalam ucapan Pak Har hatinya mati rasa.
"Lian tau pak, Lian bukan anak Bapak..."
Bulir-bulir bening mengalir perlahan di pipinya.
"Bukan, bukan begitu maksud Bapak nduk... kamu taukan kalau setelah sekian lama akhirnya kami punya anak dari rahim ibu mu, Tata akhirnya lahir setelah setahun mengadopsi mu Lian, harapan Bapak yang begitu pesimis akhirnya tercapai. Lian pasti tau maksud Bapak."
Lian mengangguk, kedua paruh baya itu tak tau seberapa patahnya hati dari seorang anak mereka ambil dari panti saat Ibu Sum hamil, pasutri yg telah 10 tahun menikah itu tak percaya akhirnya di beri kepercayaan.
Pasutri itu berbahagia dan menyanjung anak yg mereka adopsi, Lian sangat di sayang karna dianggap membawa keberuntungan. Ya, hanya sampai Tata lahir saja kasih sayang itu pun perlahan memudar dan kemudian perlahan hilang. Lian akhirnya hanya tak lebih jimat pembawa keberuntungan.
Lian terbiasa mendahulukan Tata dalam segala hal bahkan kepentingan dan keinginannya sendiri. Ia melepas keinginnya ke jenjang perkuliahan hanya karna kbutuhan hidup dan sekolah Tata di Ibu kota.
"Bapak gak sanggup kuliahkan kamu nduk, tahun depan adik mu mau kuliah di Ibukota. Bapak lagi nabung karna butuh biaya besar pastinya. Lagian kamu gak usah kuliah lah bantu Bapak ibuk aja di warung, nanti Ibuk mu kecapean kalau masak gak ada yg batuin.."
Dan lagi-lagi Lian hanya bisa diam menerima kesadarannya yg hanya anak angkat membuatnya tak bisa mengajukan apa yg ada dalam pikirannya.
***
Lian menangis melintasi gang, pikirannya meluap menjadi kucuran air mata. Sayangnya tulus tuk Tata adiknya, cintanya tak berkurang tuk Pak Har dan Buk Sum orang tua angkatnya. Tapi mengapa selalu ia yg harus menerima ketidak adilan.
setelah pembicaraan yg rasanya masih tidak bisa di cerna itu, Lian mengambil langkah dan berlalu meninggalkan kedua paruh baya itu.
"Lian butuh waktu pak buk, Lian pamit mau nenangin pikiran dulu."
Entah kemana langkahnya berjalan, ia hanya berusaha memahami luka yg sulit ia terima.
"Aku terhutang bakti yg tak akan pernah bisa aku lunasi... walau sampai aku mati..."
Tangisnya makin dalam dan tak terbendung.
Lian berjalan sendiri menyusuri trotoar langkahnya terhenti dan tertuju pada kursi yg biasanya di pakai para kaki lima, malam ini daerah itu sepi tak ada satu pun yg berjualan.
"Ngapain neng disini sendirian, yg jualan pada mangkal di pasar malem kampung sebelah.."
Suara bapak paruh baya mengagetkannya,
"Anak Pak Har warteg kan..?"
" I..iya pak..." Lian menjawab dengan kikuk.
"Mo beli cilok, ni tempat kan biasanya di pake jualan cilok... jauh bener sampe kemari..?"
"Eh.. iya pak..." Jawab Lian serba salah.
Entah tak sadar langkah kakinya berjalan semakin tak tau arah membawanya sampai ke tempat yg tak pernah ia datangi, ya Lian memang anak rumahan.
"Balik aja lagi dah malem nanti ada apa apa gimana, anak prempuan gak baik keluar sendiri malem malem...!"
"Eh.. iya pak,sebentar lagi pulang.. kakinya pegel mau duduk sebentar."
"ooh gitu bapak duluan ya.."
"Iya pak.."
Lian menarik nafas kalau kalau Bapak tadi menanyakan banyak hal dan ia tak tau harus menjawab apa.
Dilihatnya sekeliling yg memang lumayan sepi, hanya beberapa sepeda motor yg terlihat berlalu lalang. Ada perasaan takut bercampur lega, takut kalau ada orang yg tidak ia kenal menyapanya dan berbuat yg tidak tidak.
Lega karna udara yg segar bisa membuat hatinya yg kacau sedikit merasa tenang.
Perkataan Pak har terngiang di telinganya, ia mempertanyakan lagi dalam hati 'mengapa harus aku?'. Banyak hal yg ia pertanyakan tapi pertanyaan itu hanya semakin membuatnya sesak.
Sedari kecil sudah terbiasa mengalah untuk banyak hal, mengerti walau sulit menerima.
Bulir bulir air mata membasahi lagi pipinya yg berwarna kemerahan, samar isakan kecil mulai terdengar dari mulut mungilnya.
"Aku harus gimana ya Tuhan, aku gak bisa nolak... Tapi aku juga gak mau." Rintihnya.
"Nih..!"
Lian terkejut, sosok pria berhoodie hitam tiba tiba muncul melempar scarf kecil kearahnya.
sontak membuatnya berdiri dan melangkah mundur.
"Saya gak punya tisu adanya itu, gak capek apa nangis terus dari tadi. Ngapain berdiri? kamu takut sama saya? saya bukan orang aneh, dan gak maksud ganggu kamu tapi sumpah, kamu berisik banget dari tadi...!"
"Sa..sa...saya... cum..cuma..."
"Kalau ada masalah di hadapi jangan ditangisi..."
Lian terdiam, matanya yg sembab mengunci pandangan pada pria tiba-tiba membuyarkan tangisannya itu.
"I..iya..."
Lian mengangguk, tapi tak mengerti mengapa iya seakan patuh.
"Lagian pake baju putih, rambut gak di ikat gini trus nangis sendirian malem-malem. Kalau orang gak tau kamu bisa dikira hantu...!"
"Ha...hantu...?" Lian mengarahkan telunjuknya sendiri ke wajahnya.
Pria itu terlihat tersenyum tipis.
"Kamu anak mana? kayaknya saya baru liat..?"
"Sa..saya...?"
"Iyalah emang masih ada orang lain disini selain kita?"
"Saya anak kampung sini." jawab Lian dengan suara seraknya.
"Gang mana kayaknya cewek disini saya kenal semua...?"
"I..itu gang melati Rt 12..."
"Jauh bener kesini sampai Rt 3 .."
"Iya..."
"Sukur ketemunya sama saya kalau ketemu sama preman sini gimana kamu?"
"Di..disini ada preman?" Wajah lian pun terlihat cemas.
Pria itu pun kembali tersenyum.
"Saya kepala preman disini..."
"Haahh?" Liat tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
"Hahahahh..." Pria itu terkekeh melihat reaksi Lian.
"Polosnya... ni ambil terus pulang, selesaikan masalah mu dan jangan ulangi duduk disini lagi malam hari, seperti ini."
Pria itu mengeluarkan mineral botol dari kantong plastik yg sedari tadi di tentengnya, memberikannya pada gadis yg baru pertama di lihatnya.
Lian pun memberanikan diri menerimanya, dan berlalu tuk kembali pulang.
sementara pria itu menyalakan rokok dan memandangi Lian yg semakin samar menjauh hilang dalam kegelapan. Dalam hatinya bertanya tanya dan ada rasa sedikit penasaran dengan gadis yg baru pertama ia jumpai di desa tempat tinggalnya itu.
****
Lian mengetuk pintu samar-samar terdengar suara langkah kaki dan terhenti hingga pintu terbuka.
"Lian?? dari mana kamu nduk? Bapak ibu sampai panik kamu gak pulang-pulang."
Lian berlalu meninggalkan Ibuk Sum menuju kamarnya.
"Lian..!!?"
"Lian capek buk,bolehkan besok aja kita lanjutin lagi ngobrolnya..."
Ibuk Sum hanya bisa mengangguk, tak bisa memaksa Lian tuk cepat memberi jawaban.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!