Seorang gadis berambut hitam tampak terburu-buru memasuki kantor polisi yang terlihat ramai malam itu. Wajahnya tampak cemas, matanya mencari-cari ke seluruh penjuru kantor polisi yang diisi hiruk pikuk serta teriakan dari beberapa orang yang sepertinya anggota dua geng yang bertikai, para polisi tampak sedikit kesulitan melerai mereka semua.
"Apa yang kau lakukan di sini, Em?"
Gadis itu berbalik dan mendapatkan sosok tampan, dengan mata biru yang tajam dan rambut coklat yang tampak berantakan tengah menatapnya dengan sorot mata terkejut karena melihat gadis itu di kantor polisi, di tengah para geng yang bertikai dan pada pukul 11 malam.
"Oh, Alex aku senang melihatmu!" Tak menghiraukan tatapan terkejut dari Alex, gadis itu memeluknya dengan terburu-buru.
"Apa kau tahu dimana Theo dan Dylan berada?" Lanjutnya dengan suara cemas.
"Maksudmu kedua orang itu ada di sini? Dan apa yang mereka berdua lakukan di sini?" Tanya Alex dengan nada bingung, sebelah alisnya terangkat menegaskan kalau dia masih belum memahami apa yang sedang terjadi.
"Oh, sial Alex, kau adalah detektif seharusnya kau tahu apa yang terjadi terhadap mereka berdua!"
"Sweety, aku memang detektif tapi sayangnya membaca pikiran tidak ada dalam atribut yang aku terima ketika pelantikan sebagai detektif."
Senyum nakal di mata laki-laki itu sukses membuat gadis itu tersenyum dan menyadari kebodohannya sendiri.
"Ok, Em, sekarang bisa kau jelaskan apa yang telah terjadi dengan kedua orang itu?"
Alex mengajak Emily untuk duduk di kursi depan mejanya dan menjelaskan apa yang membuat gadis itu berada di kantor polisi tengah malam seperti ini.
"Aku baru saja membuka pintu apartemen ketika Theo meneleponku, dia mengatakan kalau dia dan Dylan berada di sini dan memerlukan ku sebagai penjamin supaya mereka bisa keluar dari sini."
"Dan kau tahu alasan mengapa mereka ada di sini?" tanya Alex yang dijawab gelengan kepala oleh Emily.
"Baiklah, tunggu di sini sebentar, aku akan mencoba mencari tahu, apa yang telah terjadi dengan mereka berdua." Alex pergi meninggalkan Emily yang masih duduk di kursi meja kerja Alex.
Emily tersenyum ketika matanya melihat meja Alex yang terlihat berantakan, kertas-kertas dan map-map tampak memenuhi meja kerjanya selain satu set komputer bertengger manis di sana, sungguh ciri khas seorang Alex Mackena, seorang detektif yang sangat tampan dan sangat mempesona, dengan tinggi badan 190cm dan bentuk badan yang sangat sempurna. Emily tersenyum menyadari kata 'sangat' di setiap kata yang menggambarkan sahabat kakaknya itu. Yap, detektif yang sangat sempurna itu adalah sahabat dari kecil kakak laki-lakinya Daniel dan telah menganggapnya sebagai adik kecilnya sendiri.
Mungkin inilah salah satu alasan kenapa Emily dan saudari kembarnya Alexa lebih suka berteman dengan kaum pria, dari kecil mereka selalu dikelilingi oleh Daniel, Alex serta Gerard, dan teman-teman perempuannya hanya memanfaatkan mereka berdua untuk bisa lebih dekat dengan ketiga pria tampan tersebut.
"Em!" Teriakan Alex membuyarkan lamunan Emily dan mengembalikannya kedalam kondisi hiruk pikuk kantor polisi kota New York yang tak pernah sepi. Alex memberikan isyarat dengan kepalanya supaya Emily mengikutinya. Mereka berjalan menyusuri lorong kemudian berbelok ke arah kanan dimana terdapat ruang penjara.
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua!" Teriak Emily ketika melihat kedua sahabatnya dalam kondisi kacau balau, kedua pria yang diteriaki Emily hanya bisa meringis mendengar suara cempreng gadis yang telah bersahabat dengan mereka dari jaman sekolah menengah itu.
Alex bersiul setelah melihat kondisi mereka, "Kalian tampak... keren," ucapnya yang langsung mendapatkan tatapan membunuh dari Emily, yang hanya ditanggapi Alex dengan senyum miringnya kemudian pergi meninggalkan ketiga sahabat itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Cecar Emily sambil memerhatikan kondisi mereka yang terlihat memar-memar di beberapa tempat.
Dylan mungkin tidak separah Theo, dia hanya mengalami memar di sudut bibir kanannya dan sedikit noda darah yang telah mengering di atas dagunya, sedangkan Theo, well sebut saja dia seperti baru diterbangkan angin tornado dan dihempaskan ke atas semak-semak berduri. Terdapat memar biru di atas mata kirinya, benjolan sebesar telur dijidatnya dan bibir atasnya sobek, jangan lupakan rambut pirangnya yang berantakan serta pakaiannya yang sobek di beberapa bagian.
"Bisakah kita keluar dulu dari sini? Setelah itu kita akan mendengarkan Romeo yang satu ini untuk menjelaskan apa yang telah terjadi," ucap Dylan sambil melirik Theo.
"Kalian bisa pergi dari sini, aku telah mengurus semuanya."
Alex datang dengan seorang polisi yang langsung membuka pintu penjara tempat Theo dan Dylan berada. Emily langsung memeluk mereka berdua setelah mereka keluar dari penjara melupakan kondisi sahabatnya yang penuh dengan luka itu.
"Ya ampun, Em, kau akan membunuhku kalau kau tidak melepaskan pelukanmu." Emily melepaskan pelukannya dan meringis setelah melihat kondisi mereka dari jarak dekat.
"Baiklah, sebaiknya kita segera pulang, luka-luka kalian harus segera diobati, aku akan mengobati kalian berdua."
Emily tidak menyadari kalau ucapannya sukses membuat ketiga pria itu berhenti dan menatapnya dengan pandangan ngeri.
"Apa yang kalian tunggu, ayo cepat!" Lanjutnya dengan tidak sabar karena melihat sahabatnya hanya berdiri mematung di depan kantor polisi.
Alex menatap Theo dan Dylan dengan pandangan simpati dan berbisik, "Aku turut menyesal untuk kalian berdua." Tidak lupa dia menepuk bahu keduanya sebagai bentuk simpati sebelum akhirnya berbalik masuk kembali ke dalam gedung sambil tertawa terbahak-bahak. Ingin rasanya mereka berdua ikut menyusul Alex kedalam dan tidur di dalam penjara.
"Hmmm, Em... sebaiknya kita ke RS saja, Theo memiliki cedera yang cukup parah biar dokter yang memeriksanya."
Dylan memberikan alasan yang di dukung dengan anggukan semangat dari Theo.
Emily memperhatikan Theo untuk sesaat, "Aku rasa tidak perlu, aku masih bisa menangani lukanya," jawab Emily dengan mantap dan sukses membuat kedua pria itu meringis.
"Ayolah Em, sebaiknya kita ke RS saja."
Suara Theo terdengar memohon, Emily mempertimbangkan untuk kedua kalinya dia berpikir mungkin kedua sahabatnya itu terluka lebih parah dari pada yang terlihat, dan akhirnya dia setuju untuk membawa mereka ke Rumah Sakit yang di sambut oleh hempasan nafas lega dan senyuman bahagia kedua pria itu.
"Apakah sesakit itu ya, sampai kalian sangat senang aku akan membawa kalian ke RS?" Tanya Emily yang di jawab anggukan semangat dari keduanya, Emily merasa kasian melihat kondisi kedua sahabatnya itu, "Tunggu di sini, aku akan membawa mobil," perintah Emily dan diapun berlari menuju tempat mobilnya di parkir.
"Apa kita tidak keterlaluan kepadanya?" Bisik Dylan setelah melihat gadis itu pergi.
"Ayolah, Man, apa kau lupa kalau dia tidak bisa membedakan obat batuk dan obat pencahar hanya karena keduanya berbentuk sirup?"
Perkataan Theo mengingatkan Dylan kembali kepada Daniel kakak Emily yang harus bulak balik ke toilet gara-gara Emily memberikannya obat pencahar di saat dia batuk.
"Dan apa kau lupa, ketika kau sakit kepala dan Emily memberikanmu obat diare hanya karena bentuknya sama-sama tablet?"
Dylan meringis mengingat hal itu, dia harus tersiksa beberapa hari karena tidak bisa buang air besar.
"Dan aku tak yakin kalau kali ini dia bisa membedakan obat luka dengan obat sariawan," pernyataan Theo tersebut sukses membuat keduanya meringis membayangkannya.
*****
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?"
Emily duduk di bangku penumpang sebelah Dylan yang tengah menyetir mobil, sedangkan Theo terlihat tiduran di bangku belakang, syukurlah tidak ada yang parah dengan luka kedua orang itu, dan dokter hanya memberikan perawatan luka biasa terhadap keduanya.
"Kami sedang dalam perjalanan menuju The Rock untuk minum seperti biasanya, ketika tiba-tiba Theo melihatnya memasuki salah satu club malam."
Dylan berhenti bercerita untuk melihat kearah Theo yang tengah memejamkan matanya.
"Melihatnya?" Emily menatap Dylan dengan pandangan bingung.
"Dona, kau tahu gadis yang dikencani Theo akhir-akhir ini."
Emily terkejut mendengarnya, tentu saja dia ingat Dona, gadis pirang yang pernah Theo kenalkan kepadanya beberapa waktu lalu.
"Jadi kalian melihat Dona memasuki club.. bersama pria lain?"
Dylan memutar bola matanya mendengar pertanyaan sahabatnya itu, Emily langsung menutup mulutnya dengan tangan dan melirik Theo yang masih memejamkan matanya. Emily merasa bodoh, tentu saja perempuan itu dengan pria lain kalau dengan teman wanitanya mungkin hal ini tidak akan terjadi, iyakan?
"Jadi kami sepakat untuk mengikuti mereka masuk ke dalam club itu, dan setibanya di dalam kami melihat mereka di salah satu sudut klub itu sedang..." Theo menarik napas panjang seolah enggan bercerita tentang kejadian malam tadi.
"Ya ampun, Theo! Mereka sedang apa?" Tanya Emily dengan tidak sabar.
"Bercumbu."
Mata Emily membulat dengan mulut menganga, walau hal tersebut sempat terbesit dalam pikirannya, tapi mendengarnya langsung dari Theo membuatnya benar-benar terkejut.
"Maksudmu, Dona bercumbu dengan pria itu dan Theo melihatnya?"
"Ya ampun, Em, haruskah kau mengucapkannya dengan sejelas itu kalau aku telah dihianati?"
Theo berusaha duduk di kursi belakang dan dia merasakan pusing ketika melakukan gerakan itu.
"Maafkan aku, Theo, tapi aku tidak percaya kalau ada perempuan yang menghianatimu," Emily duduk miring menghadap belakang untuk menatap Theo, "Maksudku, lihat saja... kau sangat tampan, walaupun malam ini kau kelihatan sangat kacau," lanjut Emily dengan suara meringis setelah melihat keadaan sahabatnya itu. Theo berusaha tersenyum mendengar pembelaan sahabatnya itu.
"Yeah dia memang tampan, Em, tapi sayang dia tidak membawa mobil Ferari," ucapan Dylan sukses membuat kaget Emily dan langsung menatap Theo yang balas menatap Emily.
"Apa?!" Tanya Theo setelah melihat wajah kaget Emily.
"Jadi kau tidak memberi tahunya siapa kau sebenarnya?"
Emily tampak tak percaya dengan apa yang dia dengar, Theo hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Setelah beberapa menit mencerna apa yang terjadi, Emily tiba-tiba tertawa mengagetkan kedua pria itu.
"Sial, Em, berhenti tertawa seperti itu, kau mengagetkanku!"
Theo cemberut sambil menatap keluar jendela mobil yang menyuguhkan pemandangan malam kota New York yang gemerlap, sedangkan Dylan hanya tersenyum sambil tetap memfokuskan pandangannya ke jalanan.
"Perempuan itu berselingkuh darimu hanya gara-gara Ferari? Ya ampun, dia akan terkena stroke setelah tahu apa yang dia lewatkan."
Emily kembali tertawa membayangkan kebodohan perempuan itu karena menganggap Theodore Edward Regan adalah pria biasa. Theo memang bukan pria biasa dia adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis Regan, yang menurut majalah Time masuk dalam jajaran The Big Ten dan salah satu yang berpengaruh di Inggris.
Walaupun seperti itu Theo lebih suka hidup sederhana, meskipun di dalam garasi mobilnya berbaris mobil-mobil canggih keluaran terbaru, dia lebih suka mengendarai mobil Cevrolate tuanya, jadi wajar kalau Dona tidak mengetahui kalau Ferari bahkan sudah jadi mainan Theo dari masih kecil.
"Tunggu, kau bahkan belum pernah mengajaknya ke rumahmu?" Yang di jawab gelengan kepala oleh Theo.
"Bagaimana dengan apartemen, kau pasti sudah pernah mengajaknya kesanakan?" Dan hanya orang buta yang bakal menganggap apartemen pria itu sederhana.
"Dia menganggap apartemen itu milik bosku."
Emily terdiam beberapa saat dan kembali tertawa terbahak-bahak, bahkan Dylan sekarang tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya.
"Tapi bagaimana bisa kalian sekacau ini menghadapi pria itu?" Emily melanjutkan pertanyaannya setelah bisa mengendalikan diri dan berhenti tertawa.
"Yeah, ternyata dia pergi kesana dengan beberapa temannya, dan kau tahu, Em? Teman-temannya itu benar-benar seperti sekumpulan steroid yang berjalan."
Dylan kembali menjelaskan, Emily percaya kedua sahabatnya itu pasti bisa menjaga diri mereka sendiri dan penjelasan Dylan itu meyakinkannya tentang kondisi mereka yang babak belur.
"Ngomong-ngomong apa kau tahu siapa pria-pria yang membantu kita tadi?"
Theo menantap Dylan yang juga terlihat tengah berpikir tentang beberapa pria dengan stelan hitam yang membantu mereka, sebelum para polisi datang dan menangkap mereka semua.
"Entahlah, mereka langsung pergi setelah para polisi itu datang dan menangkap kita," jawab Dylan, terlihat alis matanya berkerut menandakan kalau pria itu sedang berpikir.
"Jadi ada yang menolong kalian?" Pertanyaan Emily itu hanya mendapat anggukan sebagai jawaban.
"Mereka terlihat seperti pengawal profesional dengan pakaian hitam-hitam dan kemampuan bela diri yang tinggi," lanjut Dylan dengan tatapan masih fokus ke depan.
Theo tampak setuju dengan pernyataan Dylan itu, suasana tampak hening untuk beberapa saat semua orang larut dalam pikiran tentang pria-pria yang membantu mereka malam tadi.
"Apa mungkin mereka pengawal yang ditugaskan oleh ayahmu, untuk menjaga kalian berdua secara diam-diam?"
Pertanyaan Emily itu sukses membuat keduanya menatap gadis itu, dan seolah baru disadarkan kalau tidak mungkin pewaris Regan dibiarkan begitu saja tanpa pengawalan.
"Sial! Seharus aku sudah mengetahui ini," umpat Theo setelah mengetahui kemungkinan akan hal itu.
"Dylan, antarkan aku ke rumah, aku harus berbicara dengan pria tua itu," ucap Theo, "Em, kau tidak keberatankan kalau Dylan mengantarkanku duluan?" Emily mengangguk sebagai jawaban.
"Apa orangtuamu sekarang berada di sini?" Emily bertanya sambil mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
"Mereka baru datang tadi pagi, katanya ada urusan penting yang harus mereka kerjakan di sini." Theo masih menatap keluar.
Pemandangan sudah mulai berubah bukan lagi gedung-gedung pencakar langit tapi mulai berubah menjadi pemukiman penduduk, Dylan membelokkan mobilnya ke arah kawasan elit yang terletak di daerah West Village.
"Em, apa yang sebenarnya kau cari?" Dylan merasa penasaran karena dari tadi gadis itu tampak sibuk membongkar isi tasnya.
"Telepon genggam, ah ini dia!" Emily tampak bersemangat mengangkat smart phone warna putihnya.
"Siapa yang akan kau hubungi malam-malam begini?"
Dylan dan Theo merasa penasaran dengan orang yang akan gadis itu hubungi pukul 2 pagi.
"Oh tidak, Em jangan berani-berani memberitahunya!"
Theo berteriak dari belakang dan berusaha merebut telepon genggam Emily, setelah menyadari siapa yang akan gadis itu hubungi.
"Sial, Em simpan lagi teleponmu!" Dylan ikutan berteriak setelah menyadari siapa orang itu.
Emily tersenyum penuh kemenangan setalah di layar kaca teleponnya muncul gambar gadis yang sama persis dengan dirinya, yang membedakan adalah warna rambutnya yang coklat dan matanya yang berwarna amber terlihat sangat lelah.
"Hi, Sist, aku harap ada yang penting yang membuatku harus merelakan waktu tidurku untuk menjawab teleponmu tengah malam seperti ini."
"Alexa, kau akan rugi kalau melewatkan berita ini."
Emily tersenyum dan dia mendekatkan teleponnya ke arah muka Theo yang memberengut, dan langsung membuat gadis di seberang telepon itu berteriak.
"Apa yang terjadi denganmu?!" Alexa sangat terkejut melihat kondisi Theo.
"Oh itu belum semuanya." Emily kembali tersenyum dan sekarang teleponnya dia dekatkan kearah muka Dylan.
"Hi, Lex!" Dylan menyapa Alexa dan gadis itu kembali terkesiap melihat Dylan dengan memar-memarnya.
"Ok, jelaskan padaku apa yang terjadi?"
Dan cerita itu kembali berlangsung, Emily menceritakan semuanya tanpa dikurangi sedikitpun dan sukses membuat dia dan kembarannya tertawa terbahak-bahak karena menghadapi kenyataan kalau sahabat mereka dihianati hanya karena sebuah Ferari.
Kedua pria itu hanya bisa pasrah menjadikan diri mereka sebagai objek pembicaraan saudara kembar itu, hal itu sudah sering terjadi dan mereka sudah terbiasa dengan kebiasan kedua gadis itu, mereka tanpa segan-segan akan memarahi kedua pria itu apabila mereka melakukan hal bodoh yang akan mencelakai diri sendiri, mereka akan menangis kalau melihat salah satu dari kedua pria itu sakit, bahkan mereka akan menemani mereka berdua minum-minum sampai mabuk ketika mereka putus cinta, walaupun kedua gadis itu tidak pernah minum yang mengandung alkohol.
Karena itulah Theo dan Dylan sangat menyayangi mereka berdua dan akan melindungi kedua gadis itu dari apapun, bahkan para lelaki yang mendekati mereka harus dapat ijin dari mereka berdua, tentu saja selain ijin dari Daniel kakak mereka hanya untuk pergi makan malam dengan mereka berdua.
Mereka sudah saling menyayangi seperti saudara sendiri. Tidak, tidak semuanya menganggap kedua gadis itu seperti saudaranya sendiri, diam-diam pria itu telah jatuh cinta kepada gadis itu dan terasa menyesakkan untuk memendam semuanya. Pria itu tersenyum melihat tawa gadis yang diam-diam dia cintai, entah sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh, yang pasti dia akan melakukan apa saja untuk membuat tawa itu selalu menghiasi wajah cantiknya setiap hari.
*****
Dylan turun dari mobil Land Rover merah miliknya, dengan mengenakan celana jeans biru muda dan kaos oblong putih yang terlihat sangat pas dibadannya yang terbentuk dengan sempurna, sambil berjalan santai dia membuka kaca mata hitam yang sedari tadi dipakainya untuk menutupi memar yang mulai terlihat membiru di bawah mata hijaunya yang sangat tajam.
Di halaman rumah megah itu terdapat beberapa orang pengawal yang mengangguk hormat padanya ketika dia melintasi halaman menuju pintu rumah itu yang langsung terbuka tanpa harus mengetuk terlebih dahulu. Kondisi seperti ini hanya terjadi kalau orangtua Theo sedang berada di sana, bukan tanpa sebab orangtua itu selalu membawa beberapa pengawal ketika bepergian, sebagai salah satu orang yang berpengaruh di Inggris, sudah sering mereka menerima ancaman-ancaman yang membahayakan hidup keluarga Regan.
Theo sendiri lebih suka hidup sederhana tanpa mengungkapkan identitas dia sebenarnya sebagai pewaris tunggal keluarga Regan, dia lebih suka tinggal di apartemen yang well, sebenarnya apartemen itu tidak bisa dikategorikan sederhana karena terletak di Regan Tower yang berada di kawasan elit Fifth Avenue, tapi dia terpaksa tinggal di sana atas perintah ibunya dengan mempertimbangkan faktor keamanan untuk anaknya.
Dylan sendiri sebenarnya sudah menjadi bagian dari keluarga Regan sejak dia berusia tujuh tahun, ketika ibunya meninggal dunia karena kecelakaan Dylan kecil sempat tinggal di salah satu panti asuhan di Inggris, sebelum akhirnya keluarga Regan menjemputnya untuk tinggal bersama mereka.
Seperti halnya Theo yang mendapat semua fasilitas unggulan, begitu juga dengan Dylan, apa yang Theo dapatkan maka Dylan-pun mendapatkannya. Dari mulai pendidikan, kendaran, tempat tinggal dan sebagainya, keluarga Regan tidak pernah membedakan keduanya. Itulah sebabnya Dylan menyayangi orangtua Theo seperti orangtuanya sendiri, dan Theo yang hanya berselisih umur dua bulan darinya sudah dia anggap lebih dari saudara.
Sampai ketika mereka berdua mau memasuki sekolah menengah, mereka berdua memutuskan untuk sekolah di Amerika dan hidup secara mandiri dan sederhana terlepas dari semua fasilitas unggulan sebagai keluarga Regan. Dan di sekolah itulah mereka mengenal sikembar Winchester dan mulai bersahabat dengan mereka berdua beserta keluarga Winchester yang lain.
"Dylan sayang, apa kau baik-baik saja?"
Suara lembut perempuan dengan aksen kental Inggris membuyarkan lamunan Dylan, dia tersenyum ketika melihat sosok cantik wanita paruh baya yang selalu tampak anggun itu merentangkan tangannya untuk menyambut dirinya dalam pelukan hangat khas seorang ibu.
"Aku baik-baik saja, Mom." Dylan tersenyum sambil memeluk perempuan itu.
"Oh sayang, liat apa yang telah mereka lakukan dengan matamu yang indah ini!"
Perempuan itu tampak sedih melihat memar di bawah mata Dylan, di balik bahunya Dylan dapat melihat Theo tengah memutar bola matanya dan mengangkat kedua tangannya ketika mendengar itu.
"Mom, ini bukan apa-apa dibanding apa yang telah mereka lakukan pada Theo," ucapnya dengan memperlihatkan muka memelas, yang sukses mendapatkan pelototan dari Theo.
"Aku tahu, anak yang malang, bagaimana mungkin mereka membuat Tedy bear-ku seperti itu." Dylan hampir tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar panggilan ibunya kepada Theo waktu kecil.
"Mom, aku sudah dewasa!" Teriak Theo setelah mendengar panggilan ibunya, dan Dylan tidak bisa lagi menahan tawanya yang seketika mengisi ruang belakang rumah mewah itu dan langsung mendapatkan lemparan bantal kursi dari Theo.
"Aku tidak mau tahu! kalian harus mulai membawa pengawal, aku akan berbicara dengan Ayah kalian dan aku tidak mau kejadian seperti ini terulang lagi!"
Theo dan Dylan langsung protes secara bersamaan yang tentu saja hal itu tidak di dengar oleh ibu mereka.
"Apa kau sudah bertanya kepada Ayahmu tentang para pengawal yang tadi malam?" Dylan bertanya ketika mereka tengah duduk berdua di depan kolam renang halaman belakang, Theo mengangguk sebagai jawaban, ia meminum jus jeruk yang tersedia di meja bersama beberapa cemilan.
"Dia bilang tidak mengirimkan mereka." Dylan tampak berpikir setelah mendengar jawaban Theo.
"Mungkin mereka hanya pengunjung klub biasa dan merasa kasian kepada kita yang harus melawan para gerombolan steroid itu." Theo bersandar di atas kursi malas dan memejamkan mata.
Dari cara mereka melindungi dirinya dan Theo dari lawan-lawan mereka tadi malam, Dylan merasakan kalau mereka bukan cuma pengunjung biasa yang merasa kasihan kepada mereka, tapi ada sesuatu yang menggerakan mereka seolah-olah sudah menjadi kewajiban mereka melindingi dirinya dan Theo. Dylan memakai kembali kaca mata hitamnya lalu mengikuti gaya Theo dan mulai memejamkan mata, mencoba melupakan soal pengawal bayangannya untuk saat ini.
*****
Emily baru keluar dari kantornya ketika dia melihat Dylan sedang bersandar dengan santainya di mobil Land Rover merah kesayangannya. Tangannya dilipat di atas dada, kakinya disilang, dan kaca mata hitam menyempurnakan penampilannya sore itu, melihat Dylan seperti itu mengingatkan Emily kepada para model pria di majalah wanita, dan itu membuat Emily sangat kesal karena harus melihat para wanita yang melirik dan menggoda Dylan secara terang-terangan, ingin rasanya Emily menjambak rambut para wanita itu.
"Hi, Em," Dylan menyapanya dengan senyuman khas.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Balas Emily dengan tatapan tajam.
"Tentu saja untuk menjemputmu," lanjut Dylan dengan santai.
"Sepertinya kau lupa kalau aku membawa mobil sendiri."
"Aku telah menyuruh seseorang untuk membawa mobilmu pulang." Dylan mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum penuh kemenangan, dan mau tak mau membuat Emily tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Sekarang aku tahu kenapa para wanita itu tidak bisa menolak kalian berdua." Emily berjalan mendekati Dylan yang mulai berdiri di samping pintu penumpang.
"Emily!" Seorang pria memanggil gadis itu dan sukses membuat kedunya membalikkan badan untuk melihat sosok pria yang tengah berlari menuju arah mereka.
"Hmm maafkan aku Emily, tapi mengenai ajakanku tadi.. tentang makan malam.. bagaimana kalau besok aku menjemputmu pukul tujuh?" pria yang berpakaian rapi itu tampak berbinar ketika menatap Emily.
"Maafkan aku teman, tapi besok dia ada kencan denganku." Dylan berkata dengan santainya sambil merangkul bahu Emily dan seketika binar di mata pria itu meredup.
Emily hanya bisa memutar bola matanya, dan mengutuk sahabatnya itu dalam hati, "Maafkan aku, bagaimana kalau lain waktu? Aku akan menghubungimu." Emily merasa kasihan kepada pria itu, dia terlihat sangat ketakutan di bawah tatapan Dylan yang mengintimidasi.
"Ya, tentu saja.. lain waktu," jawab pria itu dengan tergagap sambil perlahan mundur dan dengan cepat berlalu dari hadapan mereka berdua.
"Sial, Em, kau menyakitiku!" Emily menyikut pinggang Dylan dengan sengaja, sebelum masuk ke dalam mobil pria itu. Dylan dengan santainya masuk ke balik kemudi dan tersenyum melihat Emily yang cemberut.
"Kau tahu, aku rasa aku dan Alexa akan menjadi perawan tua!" Umpat Emily masih cemberut, yang ditanggapi Dylan dengan senyuman, "Oh tunggu, minimal Alexa beruntung dia bisa berkencan sekarang karena tidak ada seseorang yang akan memakan hidup-hidup pria yang mendekatinya sekarang."
"Tunggu, maksudmu Alexa sekarang berkencan? Siapa nama pria itu?" Emily menatap Dylan dengan tatapan serius.
"Lupakan, Dylan.. ayolah! umurku sekarang 25 tahun dan aku belum pernah berkencan!" Ucap Emily berapi-api dan sialnya Dylan hanya menanggapinya dengan mengangkat bahu saja.
"Jangan berlebihan Em, kau pernah berkencan sebelumnya, kau ingat?"
"Yeah, sebelum dia memutuskanku karena kalian berdua mengancamnya dengan cara menceburkannya ke dalam sungai."
"Hei, dia berselingkuh dengan pelayan itu, Em!" Emily mengakui itu dalam hati, lelaki itu memang pantas diceburkan ke sungai Manhattan dalam cuaca dingin, tapi untuk saat ini dia tidak akan mengakuinya. Titik!
"Kalian bahkan mengikutiku dan Alexa setiap kami berkencan!"
Mereka memang sangat keterlaluan dalam menjaga sahabatnya itu dan Daniel akan dengan senang hati mendukung aksi Dylan dan Theo dalam menggagalkan kencan kedua adik kembarnya itu.
Dylan tersenyum bangga ketika dia mengingat hal itu, dan tentu saja kelakuan Dylan itu membuat Emily menggeram marah hingga mengangkat kedua tangannya dengan putus asa.
"Tenang saja, Em, kau tidak akan jadi perawan tua. Aku akan menikahimu," ucapan Dylan dengan santai itu sukses membuat Emily menganga, jantungnya tiba-tiba serasa berhenti berdetak dan ada perasaan aneh yang membuat Emily harus mengatur napasnya.
"Yeah, dan saat itu terjadi Cupid akan kehabisan semua anak panahnya." Emily berusaha membuat suaranya terdengar senormal mungkin.
Dylan tersenyum mendengar hal itu, "Kita lihat saja nanti, Em!" Bisiknya dan itu adalah janji yang dia ucapkan dengan sepenuh hati.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!