Nora Lee Alexsandra, gadis cantik berkulit putih serta hidung mancung itu adalah seorang wakil CEO Arsa Group.
Nora merupakan anak perempuan pasangan Kenia dan Shaka yang memiliki saudara kembar bernama Zain.
Gadis berusia 24 tahun itu memilih kabur dari rumah dan tinggal di sebuah apartemen hanya demi menghindari perjodohan orang tuanya.
Shaka dan Kenia ingin sekali menjodohkan Nora dengan anak dari keluarga Carley, sebenarnya Shaka dan Kenia tak ingin memaksa namun perusahaannya kini membutuhkan bantuan keluarga Carley dan mengharuskan Alan menikah dengan putrinya.
"Nora nggak mau menikah dengan Alan, Ma! Sudah berapa kali Nora bilang, Nora nggak mencintai Alan!" tegasnya dengan raut wajah datar, sangat beda jauh dengan sifat Kenia yang dulu pasrah begitu saja ketika dijodohkan orang tuanya.
"Sayang, dengerin Mama, Nak! Cinta itu bisa tumbuh kapan saja seiring berjalannya waktu, mama dulu juga sama sepertimu, tapi perlahan Mama bisa mencintai Papa, Nora!" jelas Kenia panjang lebar.
Namun, bukan pengertian yang ia dapat.
Nora tetaplah Nora, gadis itu memiringkan senyum, sembari menatap mamanya, " masalahnya, Nora bukan Mama!" tegas gadis itu kemudian membenahi pakaiannya dan beranjak.
"Kamu mau kemana, nak?"
Nora berbalik, lagi gadis itu memasang wajah datar. Sebenarnya Nora tidak mau bersikap kurang ajar terhadap mamanya. Namun, sampai kapanpun ia tak bisa dipaksa, terlebih perihal menikah.
Tanpa kata, Nora pergi meninggalkan sang mama yang sudah berwajah sendu.
Kenia bahkan tak mengejarnya, Kenia memilih membiarkan Nora menyendiri bersama waktu, ia tau gadisnya bukan tipe orang yang bisa dipaksa.
Nora masuk ke dalam mobil sportnya, lalu menutup kasar, berulang kali menghela nafas, meraup oksigen sebanyak-banyaknya agar sesak di dalam dadanya sedikit berkurang.
Maafin Nora, Ma! masalahnya ini bukan tentang keinginan yang mudah terkabulkan.
Nora bukan Mama, yang bisa menerima perjodohan dan menikah begitu saja, Nora hanya akan menikah dengan laki-laki yang Nora cintai.
Monolog Nora,
***
Nora memilih pergi ke sebuah taman, jika sedang sedih, gadis itu enggan pulang.
Di salah satu kursi di sudut taman, Nora termenung memikirkan perkataan mamanya.
Namun, sejurus kemudian ia menggeleng keras, pertanda sebuah perasaan itu tidak bisa dipaksa.
Seorang laki-laki berwajah tampan dengan seragam putih abu-abu memandangi Nora dari kejauhan, dia adalah Devano Aldeva.
"Tante ngapain sedirian disini?" tanya Devano dengan wajah sok polosnya.
Nora berdecih seraya menatap Devano tajam. "Ck! apa kamu pikir aku setua itu, Dev!"
Nora memalingkan wajah sembari melipat tangannya dada, ia kesal dengan bocah SMA di depannya.
Tanpa diminta, Devano memilih duduk di sisi Nora, lalu menyunggingkan senyum.
"Tante, mau es krim nggak? Aku yang traktir!" Seru bocah SMA itu. Namun, bukan jawaban yang didapat, Nora justru menjitak kepala Devano, hingga bocah tampan itu meringis.
"Tan, kenapa dijitak, katanya sayang!" omel Devano sembari memegangi dahinya yang sakit.
"Utututuy, sakit ya? mana yang sakit, Hm?"
Devano dengan cengir khasnya menunjuk bagian dada, iya dada Devano sakit.
"Sini, Tan! yang sakit."
Seketika Nora menjewer telinga Devano kuat-kuat.
"Ampun tante sayang!"
"Dev, aku nggak setua itu ya? jangan panggil tante kenapa, hm? kita cuma selisih 5 tahun," Gerutu Nora dengan bibir mengerucut.
Sebenarnya wajah Nora masih terlihat imut dan cantik, bahkan gadis itu sama sekali tak terlihat tua. Nora terlihat seperti gadis seumuran Devano, hanya saja bedanya Nora lahir lebih dulu.
"Ck! Aku panggil Tante bukan karena Tante tua, hm. Tapi karena Tante itu, panggilan sayangku!"
Astaga, bukankah sikap Devano sangat menyebalkan, bagaimana bisa ia menyukai wanita berumur matang seperti Nora.
Devano Aldeva, bocah berusia 19 tahun itu sangat menyukai Nora, selain sikap Nora yang sedingin kutub utara, membuat setengah mati Devano penasaran, juga galaknya Nora kenyataannya membuat bocah kelas tiga SMA itu senang menggodanya.
Devano bangkit, meninggalkan Nora yang kesal tanpa kata.
Kembali gadis itu murung, padahal tadi ia bahagia dengan kehadiran Devano yang mampu membuatnya tersenyum meski senyum itu tertutup oleh wajah datar dan gengsinya.
Nora hendak bangkit, akan tetapi urung kala melihat Devano datang lagi menghampirinya dengan membawa dua cup es crim.
"Akunggak tau Tante suka rasa apa? makanya aku belikan dua rasa, Vanilla sama coklat."
Lalu Devano menyodorkan satu cup es crim kepada Nora, gadis itu menerimanya dengan hati berbinar bahagia.
"Thanks, Dev! buat es crimnya, btw kenapa enggak langsung pulang, nanti kalo dicariin Mamamu gimana?" Tanya Nora menatap lekat Devano.
"Mama malah seneng kalo aku ngabisin uangnya," Devano terkekeh lalu menatap lurus kedepan tanpa berkedip.
"Mama kerja juga buat Devano katanya, Mama selalu beralasan begitu kan kalo aku ajak pergi, makanya aku habisin uangnya, biar bermanfaat yang kerja..." Devano menjeda ucapannya sejenak, lalu menghela nafas kasar.
Sorot matanya berubah sendu, "Bagi Mama sama Papa, itu yang penting uang. Mereka selalu bolak-balik luar negeri dengan alasan bisnis!" Ucap laki-laki itu kini dengan wajah menunduk. Hya! Devano memang lahir dari keluarga kaya, namun ia dibesarkan kurang kasih sayang orang tuanya, orang tuanya selalu sibuk kerja, hingga Devano selalu merasa kesepian.
Susah payah Nora menelan es krim pemberian Devano. Bukan tidak suka tapi gadis itu mendadak kehilangan nafsu mendengar kisah Devano.
Bukankah seharusnya sekarang Nora merasa bersyukur, memiliki keluarga yang selalu sayang dan perduli bahkan terlalu perhatian padanya?
"Dev, aku tahu ini berat buat kamu, tapi kamu nggak sendiri!" seru Nora sembari mengusap bahu Devano lembut. Bocah itu mendongkak, menatap iris mata Nora hingga keduanya sejenak saling menatap dalam.
Setelah dirasa tenang, Nora bangkit mengingat mentari senja sudah mulai tenggelam, langit mungkin sebentar lagi berubah gelap.
"Pulang, Dev! Aku mau pulang," Seru Nora kemudian hendak melangkah pergi.
Devano menurut, ia berjalan di belakang Nora menuju parkiran.
"Kamu bawa mobil kan?" tanya Nora.
"Iya, Tan. Emangnya kalo nggak bawa mobil, tante mau nganterin aku pulang?" tanya Devano.
Nora menggelengkan kepalanya, "cari taxy lah, masa aku suruh nganter, ogah!"
"Tan," panggil Devano, Nora seketika menoleh.
"Apa, hm?"
"Jangan dingin-dingin, nanti aku masuk angin!" Seru Devano kemudian berjalan menyamai Nora.
"Dev, kamu masih bocah! Belajar yang bener, sekolah sampe lulus, gombal melulu!" omel Nora kesal.
Devano nyengir kuda, "kalo udah lulus, Tante mau nikah sama aku?" tanya Devano.
Namun, siapa yang tau pertanyaan konyol itu justru tulus dari dasar hatinya.
Deg!
Nora tertegun dengan ucapan Devano, ia syok.
Bagaimana mungkin bocah kelas 3 SMA mengajaknya menikah setelah lulus sekolah.
"Cih, masih kecil ngomongin nikah? emang bisa berdiri!" cibir Nora.
"Lah, ini Dev lagi berdiri, Tan!" Seru bocah itu dengan tatapan mata penuh harap.
Mobil sport milik Nora terparkir cantik di sebuah gedung apartemen menjulang tinggi dimana apartemennya berada. Selepas menenangkan dirinya di taman, Nora pulang ke apartemen. Bersikap egois, dan mengabaikan kekhawatiran mamanya.
Nora berjalan terburu-buru memasuki lobi apartemen, kemudian langsung masuk ke dalam lift dan menekan angka sepuluh, dimana lantai apartemennya berada.
Beruntung suasana sepi, berulang kali Nora mendesah, menghela nafas kasar di dalam lift, ia merasakan dadanya sesak luar biasa.
Ting!
Pintu lift terbuka, Nora berjalan cepat menuju unitnya.
Namun, dahinya mengkerut seketika, tampak seseorang dengan setelan jass serta tangan yang dimasukkan ke saku celana, Nora hafal betul jika itu Zain, saudara kembar laki-lakinya.
"Za-Zain," panggil Nora, jika dengan mamanya Nora berani menunjukkan sikap datarnya, berbeda jika dengan Zain saudara laki-lakinya.
"Apa kau tidak merindukanku, anak pembangkang!" Seru Zain kemudian merentangkan tangannya, meminta Nora segera memeluk.
Nora menghambur memeluk Zain, sejenak mematung dalam pelukan saudara kembarnya.
"Kapan pulang ke Indonesia?" tanya Nora kemudian membawa Zain masuk ke dalam apartemennya.
"Begitu Mama dan Papa memberitahu kalau kamu sekarang tinggal di apartemen, sebenarnya aku sudah tidak sabar ingin terbang kesini!" Zain mendaratkan bokongnya di kursi, lalu menatap Nora heran, sejenak menghela napas kasar lalu melanjutkan ucapannya.
"Kenapa pergi dari rumah, hm?"
Nora meletakkan orange jus dan camilan ke atas meja, lalu ikut duduk di sofa, berseberangan dengan Zain.
"Kamu nggak akan tahu, Mama dan Papa maksa banget jodohin aku sama Alan!" Nora mendengus kesal, lalu melipat tangannya di dada.
"Kamu dijodohkan dengan Alan, apa itu Alan Carley?" tanya Zain mengintimidasi.
Nora mengangguk, "aku nggak mau, aku nggak suka dipaksa apalagi itu soal menikah, menikah itu sekali seumur hidup dan aku tak mau menjalaninya dengan terpaksa!" seru Nora.
"Aku bingung harus membela siapa, di satu sisi aku setuju dengan pemikiran kamu, tapi Mama dan Papa....." Zain menggantung ucapannya.
Nora paham, Zain bukan orang pembangkang seperti dirinya. Zain memiliki hati yang lembut dan penyayang, berbeda dengan Nora yang terkesan tegas dan dingin.
Nora sedang memasak di dapur, ia ingin memasak makanan untuk Zain, hari ini ia meminta agar Zain lebih lama tinggal di apartemennya.
Nora meletakkan masakannya di meja makan, meski apartemen milik Nora terkesan minimalis tapi cukup luas dan lengkap, bahkan gadis itu juga memiliki ruang baca di apartemennya.
"Hmm, baunya lezat sepertinya, sejak kapan gadis kecilku ini pintar masak?" tanya Zain, tanpa menunggu lebih lama, ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk masakan Nora.
"Sudah lama, hanya saja aku malas memasak di rumah, bukankah aku ini anak pembangkang." Nora pun melakukan hal yang sama.
"Jika aku tidak menikah dengan Alan, aku akan memanjakan lidah suamiku dengan masakanku!" Sambung Nora lagi, kemudian dua orang kembar itu mulai menyuapkan makanan ke mulut.
"Jika sudah selesai, pulanglah! kasian Mama sama Papa," Seru Nora sembari mengambil tisu dan mengusap mulutnya.
"Apa kamu benar-benar tidak tertarik dengan Alan, hm? Dia tampan, berotot mempesona, semua wanita mengaguminya," ucap Zain.
Namun, Nora tetap bersikukuh, tak mau mencoba menerima perjodohannya dengan Alan. Nora lantas memalingkan wajah.
Drrt...
Bunyi ponsel Nora memekakkan telinga, menampilkan dering lagu milik adam levine yang berjudul - Locked away. Nora sangat menyukai lagu itu, hingga menjadikannya nada dering ponsel, bahkan Nora juga sering memutarnya berulang-ulang.
"Siapa yang menelpon, kenapa tidak diangkat?" belum sempat Nora mengambil benda pipih itu, Zain sudah lebih dulu mengambilnya dan melihat nama siapa yang tertera disana.
Dahi Zain seketika mengernyit heran, Devano? hya yang menelpon Nora adalah Devano. Namun, saat tak mendapat respon panggilan itu mati.
Iseng Zain mengecek log panggilan di ponsel Nora, betapa terkejutnya kala ia melihat hampir tiap malam di jam yang sama, laki-laki bernama Devano itu menghubungi saudara kembarnya.
"Ra," panggil Zain.
"Hmm, iya!" respon Nora, biasa saja.
"Siapa Devano?" tanya Zain dengan sorot mata tajam.
Sejenak Nora menghela napas kasar, lalu membalas tatapan Zain.
"Tidak penting, sekarang pulanglah Zain. Mama dan papa sudah menunggu!" titah Nora dengan sikap dingin.
Zain menghembuskan napas kasar, memicingkan kemeja dan melihat jam yang melingkar di tangannya, benar saja malam sudah hampir larut.
Zain memakai kembali jasnya, lalu bangkit berdiri.
Menatap Nora penuh tanda tanya, kenyataannya tidak ada yang bisa menebak saudara kembarnya itu.
"Aku akan pulang, kamu berhutang penjelasan padaku!" tegas Zain kemudian melangkah pergi meninggalkan apartemen Nora.
Nora meraih botol mineral di dalam kulkas, dan meneguknya hingga menyisakan setengah air dingin itu, lalu kembali ke meja makan dan mengambil benda pipihnya yang tertinggal.
***
Sampai di kamar, Nora langsung merebahkan diri sembari melihat ponsel, kemudian mengembuskan napas kasar.
"Bocah, kenapa tiap malam selalu menggangguku, hah!" Nora kemudian membuka aplikasi chat-nya, terlihat nama Devano disana mengirimnya pesan.
"Tante kesayangan, lagi apa?" Devano.
"Ck! berhenti memanggilku dengan sebutan tante!" balas Nora.
Namun, bukan kesal Nora senyum-senyum sendiri membaca pesan dari bocah seperti Devano, baginya Devano itu sangat polos dan menggemaskan.
"Lalu apa? Sayang bagaimana?" Devano.
"Jangan berulah, sekolah dulu baru sayang-sayangan." Nora.
"Siap Tante sayang, tante lagi apa? aku kangen *emot peluk*.
Nora gedek-gedek membaca pesan dari Devano, kenapa juga bocah seperti Devano selalu menggodanya?
"Dasar, calon buaya! belajar yang bener." Nora.
"Siap, Tan! Gapapa kan ngebuayain calon istri sendiri." balas Devano.
Nora lama-lama ingin membanting ponselnya karena gemas, bisa-bisanya bocah kelas tiga SMA itu hobi sekali menggodanya.
Tak ingin sakit perut karena mentertawakan gombalan Devano, Nora memilih menaruh ponselnya di atas nakas, kemudian menarik selimut dan tidur.
Sementara itu, Devano menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ia sangat merindukan Nora, Devano juga tak mengerti kenapa ia selalu merasa bahagia saat bersama Nora, mungkin bagi orang lain perasaannya hanyalah cinta monyet belaka, tapi tidak bagi Devano.
Sejak pertama kali ia bertemu Nora lima tahun yang lalu, Devano sudah menyukai gadis itu.
Devano tahu, Nora lebih tua darinya. Tapi bukankah usia seharusnya tidak jadi masalah dan tolak ukur seseorang dalam jatuh cinta.
Devano kecil sangat menyukai Nora, Nora yang cantik dan sangat mengemaskan waktu itu kini telah berubah menjadi wanita dewasa kesayangannya.
Lama tak ada balasan, Devano memilih mengirim pesan lagi.
"Selamat tidur, Tante kesayanganku! jangan lupa mimpiin Devano."
Dev tersenyum memandangi ponselnya, ia sudah benar-benar bucin akut, padahal di sekolahnya banyak sekali wanita cantik yang bahkan menaruh hati padanya.
Mak sajen mak, biar semangat up!
Devano Aldeva, cowok tampan berkharisma yang memiliki tubuh nyaris sempurna, bocah kelas tiga SMA yang selalu merasa kesepian, karena mama dan papanya yang selalu sibuk di urusan bisnis ke luar negeri.
Devano selalu bersikap dingin dan acuh ketika di sekolah, baginya yang terpenting belajar dan mengabaikan para wanita yang mengantre dan selalu tebar pesona padanya.
Devano, ia memilih menutupi jati dirinya.
Ia enggan mempublikasikan bahwa ia putra dari pasangan Nara dan Bayu Aldeva. Begitu juga dengan Nara dan Bayu, apapun yang mereka lakukan demi kebaikan dan melidungi Devano dari saingan bisnisnya.
Aldeva group adalah, perusahaan nomor tujuh di Asia tenggara memiliki cabang perusahaan dimana-mana, hingga membuat sosok Bayu Aldeva, disegani pembisnis di hampir seluruh Indonesia.
Pagi-pagi sekali, Devano bangun. Hari ini ia harus berangkat sekolah lebih awal.
"Pagi, Bi?" sapa Devano kala menuruni anak tangga.
"Pagi, Den." balas bibi tersenyum.
Namun dahi Devano mengkerut, kala sang bibi menyiapkan tiga piring sanwich.
"Pagi, Dev!" suara bariton terdengar tegas, jelas Devano hafal itu suara siapa.
"Pagi, Pa." Devano langsung menghampiri sang papa, mencium tangan dan memeluknya.
Sosok yang jarang sekali bisa Devano rasakan kehadirannya.
"Mama mana, Pa!" Dev celingak-celinguk, berharap sang mama juga ada.
"Mama masih tidur, Nak. Kami baru sampai dini hari tadi, tapi pagi-pagi sekali Papa bangun karena rindu sama putra kesayangan Papa!" ucap Bayu, kemudian mengajak Devano sarapan bersama.
Sungguh Devano merasa senang kali ini, mendengar kata rindu yang terlontar dari sang papa membuatnya sangat bersemangat, sesederhana itu Devano.
"Gimana sekolah kamu?" tanya sang papa ketika mereka sudah hampir selesai sarapan.
"Baik, Pa!" sahut Devano.
Kemudian muncul sosok Nara dengan wajah yang sudah segar.
"Kenapa nggak bangunin Mama, Pa? Kan mama juga kangen sama anak Mama," omel Nara dengan nada heboh.
Bayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedangkan Devano terpaku.
Selama ini ia mengira orang tuanya selalu mementingkan pekerjaan dan melupakan dirinya. Kenyataannya, mereka hanya kurang mengekpresikan perasaan satu sama lain.
"Dev, sini peluk Mama." titah Nara, merentangkan tangan agar Devano menyambutnya.
Devano berdiri sebentar lalu memeluk sang mama, hilang sudah kesedihan dan kerinduan yang ia pendam.
"Dev, nanti malam, papa mau bicara sesuatu sama kamu, tapi nanti malam saja." ucap sang papa sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
"Apa kamu tidak terlambat, Dev?" tanya sang papa.
Devano langsung menepuk jidat, karena saking asyiknya sampai lupa ia akan ke sekolah.
"Dev berangkat sekolah dulu ya, Ma, Pa?" pamit Devano kemudian mencium tangan Nara dan Bayu bergantian.
Devano melesat menggunakan motor ninja nya, hari ini ia sangat malas menggunakan mobil.
**
Nara memandang suaminya lekat, "Kamu yakin, sayang akan segera mengumumkan pewaris kita dan mempublikasikan Devano?" tanya Nara.
Bayu mengangguk mantap, kini mereka sedang bersantai ria di ruang keluarga.
"Tapi Pa, Mama belum yakin?"
"Kenapa Ma, bukannya bagus ya?" Bayu nampak heran dengan istrinya yang tak yakin.
Rencananya, Bayu akan berniat mengumumkan jika putra yang selama ini masih di rahasiakan kepada publik adalah Devano Aldeva.
"Tunggu sampai ada wanita tulus yang mencintai Devano, Pa! Mama nggak mau, Devano salah pilih, akan banyak wanita mendekatinya setelah mereka tau Devano dari publik, alangkah baiknya kita menunggu Devano memiliki calon istri, atau kita jadikan menikah menjadi syarat untuk Devano!" usul Nara.
Bukankah ide Nara sangat brilian? Bayu cukup terkejut dengan ide konyol Nara, tapi ia juga sangat-sangat setuju, jika Devano menikah lebih dulu, baru menjadi penerus Aldeva group.
**
Sementara itu di SMA Tunas Bangsa, Devano menggeram kesal, ia memasang wajah dingin ketika para wanita mengerubunginya, ia heran kenapa mereka tidak ada kapoknya mendekati dirinya yang cuek dan dingin.
"Dev, makan di kantin sama aku, yuk?" ajak Karin dengan tangan bergelayut manja.
"Lepas, jaga batasanmu Karin!" bentak Devano, ia paling risih jika ada perempuan yang bergelayut di lengannya, ia tak suka. Kecuali kalo perempuan itu adalah Nora Lee, tante kesayangannya.
Sayang, Devano hanya bisa berandai.
"Dev, sayang tuh si Karin, cantik-cantik lo sisihin." omel Abiyan sahabat Devano.
"Ck! kalo lo mau ambil aja." Seru Devano dengan sorot mata tajam, Alfin hanya menggelengkan kepala melihat perdebatan dua sahabatnya itu.
"Lo, masih suka perempuan kan Dev!" tanya Alfin, ia juga penasaran.
Devano menghembuskan nafas kasar, lalu menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Gue masih normal kali!" Seru Devano, kemudian memilih bangkit berdiri.
"Kemana Woy?" tanya Abiyan yang ikut berdiri, Dev menoleh, " Gue laper, mau ke kantin!"
Dev melangkah keluar ruangan kelas, seperti biasa dua sahabatnya, Alfin dan Abiyan ikut membuntuti kemana Devano pergi.
Mereka bertiga melangkah ke kantin, melewati koridor kelas dimana banyak cewek-cewek cantik berusaha menggoda tiga cowok tampan itu.
Karin kesal, saat mendapati Devano dan teman-temannya memasuki kantin, harusnya Devano menerima ajakannya ke kantin tadi, tapi ini. Dev malah memilih ke kantin bersama sahabat-sahabatnya.
"Dev, awas ya! aku akan buat kamu bertekuk lutut sama aku," batin Karin, ia terus memandang ke arah Devano.
Tiga cowok tampan itu kini sedang menikmati bakso di kantin sekolah, karena jam masih menunjukkan waktu istirahat.
"Sebenernya, lo ada niat gak sih punya cewek?" Tanya Abiyan, ia masih belum mengerti, diantara banyak cewek di sekolah yang mengejar sahabatnya, kenapa tak ada satupun yang Devano lirik.
"Ck! lo nanya melulu, ntar juga ada Dev pacaran, mungkin ia sukanya Tante-tante kali." celetuk Alfin, Ngasal.
"Emang, gue suka Tante-tante! lebih menantang." bukan marah, Devano justru terkekeh, lalu ingatannya kembali kala ia dan Nora bertukar pesan.
"Gue mesti rajin belajar, biar Tante kesayangan gue itu mau gue nikahin!" seru Devano dengan bibir melengkung ke atas.
Sontak Abiyan dan Alfin saling berpandangan, tadinya Alfin hanya bicara asal, tak taunya justru membuat Devano sedikit membuka rahasianya.
**
Sementara itu, di Arsa group, Nora sangat kesal lantaran Alan Carley datang ke kantor.
Shaka sengaja membuat Alan berada di ruangannya, yang kini membuat darah dalam tubuh Nora mendidih karena kesal, kesal tanpa alasan.
"Ra, tipe cowok kamu kaya apa sih?" tanya Alan, sedari tadi laki-laki itu berusaha mengajak Nora mengobrol, padahal Nora sudah berusaha pura-pura sibuk dengan dokumennya.
Nora berfikir sejenak, lalu meneliti wajah Alan dari jauh. Alan yang berada di sofa pun tak merasa jika Nora sedang meneliti wajahnya.
"Mau tau, hm? oke jika kamu maksa!" ucap Nora dengan bibir tersenyum sinis.
"Aku suka berondong, bagiku cowok berondong lebih menggemaskan dan lucu." sahut Nora.
Alan mengusap wajahnya kasar, "Kamu yakin?"
"Tentu, bahkan aku sedang berpacaran dengannya, dia Kelas 3 SMA, sangat menggemaskan!" tiba-tiba Nora teringat pesan-pesan gaje Devano, tanpa sadar kembali menyunggingkan senyum.
Nora tak tahu jika Alan cukup kesal mendengarnya, hingga mengepalkan kedua tangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!