Sinopsis:
Aqni terpaksa setuju untuk menjadi penanggung jawab kelas khusus untuk menjaga beasiswanya, setelah tanpa sengaja Pak Hamdan, guru BK, memergokinya bekerja di sebuah Kafe (di SMA Harapan ada peraturan siswanya tidak boleh bekerja part time). Demi mempertahankan beasiswa penuh yang selama ini didapatnya, Aqni harus mengganti rutinitas sorenya. Aqni harus merelakan waktunya untuk mengawasi siswa-siswa yang nilainya di bawah rata-rata dan membantu mereka belajar. Sebenarnya, pekerjaan itu tak terlalu melelahkan, Aqni hanya harus merelakan waktu selama tiga jam lebih lama di sekolah untuk mengawasi siswa kelas S belajar, dan membantu mereka jika ada yang kesulitan. Selama mengawas, ia bisa sekalian belajar bahkan setiap bulan ia mendapat uang saku. Yap, bukan pekerjaan yang buruk kalau saja tidak ada lima siswa bermasalah di kelas itu.
Mehran, yang selalu menolak belajar dan lebih memilih untuk makan di kelas. Setiap lima belas menit Mehran selalu bertanya kapan kelas berakhir, tanpa sedikit pun membaca buku maupun mengerjakan soal-soal yang diberikan.
Mikail lain lagi, yang satu ini tak henti tebar pesona. Awalnya dia menggoda Aqni, tapi karena Aqni tak menanggapi, dia beralih pada siswi lain. Alhasil, bukan hanya dirinya yang tidak belajar siswi lain pun ada yang ikut tidak belajar. Bahkan ada satu kejadian yang membuat Mikail dihajar karena menggoda cewek yang salah.
Kanita memiliki masalah lain. Kanita selalu merasa dirinya lebih pintar, dan pernah menegur Aqni karena menyalahkan dua jawabannya, karena menurutnya jawabannya benar. Setelah itu, dia tidak mau belajar, hanya duduk di kelas entah melakukan manikur, berdandan, atau sibuk dengan gadget.
Beda lagi dengan Yuan. Pemuda keturunan cina ini selalu memilih jawaban yang salah padahal dia tahu mana jawaban yang benar. Uring-uringan serta bermalas-malasan, hanya itu yang dilakukannya setiap kali masuk kelas tambahan. Yuan seringkali menghabiskan waktunya dengan menggambar di buku gambar A3-nya.
Dan Laylah. Menurut Aqni, Laylah yang paling sulit ditangani, mungkin karena Aqni malas mendekati gadis itu. Laylah gadis bertempramen seperti api, meledak-ledak, gampang marah mengenai hal kecil. Aqni paling tidak suka berurusan dengan anak nakal, dan Laylah adalah anak nakal. Si badung yang melanggar hampir semua peraturan sekolah. Andai ayahnya bukan salah satu anggota dewan pembina yayasan mungkin sudah lama Laylah dikeluarkan.
Pengenalan Tokoh:
- Aqni Nurmaulina: Siswi terpandai di SMA Harapan Bangsa. Selalu meraih nilai tertinggi tiga semester berturut-turut sejak dia di SMA. Gadis yang pendiam, terkesan dingin juga sombong, padahal sebenarnya dia gadis yang ceria dan suka mengobrol, tapi hanya di depan orang-orang yang ia kenal baik.
- Mehran Leander Addison: Prestasinya di bidang olahraga tidak perlu dipertanyakan, sayang prestasi akademiknya tidak beriringan dengan itu. Nilai Mehran selalu di bawah rata-rata karena dia tidak suka belajar.
- Mikail Azraq: Playboy di sekolah, selalu tebar pesona pada setiap gadis. Entah sudah berapa banyak hati yang sudah dia patahkan. Masuk kelas khusus karena dia jarang masuk kelas, yang membuat nilainya buruk.
- Kanita Shakila: Princess SMA Harapan Bangsa. Gadis angkuh dan memiliki kesulitan bersosialisasi. Masuk kelas khusus karena dia sering tidak masuk sekolah (karena pekerjaan sebagai model).
- Yuan Mufallah: Jago gambar yang bercita-cita menjadi arsitek, tapi orangtuanya ingin dia meneruskan usaha keluarga karena dia anak pertama. Sebagai bentuk pemberontakan Yuan malas belajar, makanya nilainya selalu di bawah rata-rata.
- Laylah Afeefa: Selalu memakai make up tebal sehingga menyembunyikan kecantikan alaminya. Sikapnya serampangan dan pemarah. Suka membolos untuk menemui pacarnya di sekolah lain. Masuk kelas khusus karena kedapatan ikut tawuran.
“Pesanan meja tiga.”
Aqni mengangkat nampan berisi dua gelas jus alpukat dan melangkah ke meja nomor tiga di dekat pintu masuk kafe. Sesampainya di tujuan, gadis berkuncir kuda itu meletakkan kedua gelas dengan hati-hati di masing-masing pengunjung kafe yang duduk berhadapan.
“Selamat menikmati,” ucapnya sebelum beranjak.
Belum sampai ke meja bar yang berada di bagian belakang kafe, Aqni terpaksa berbelok karena melihat salah satu tamu melambaikan tangan.
Sesampainnya di meja sepuluh Aqni mengeluarkan notes pesanan dan bertanya, “Ada yang bisa saya bantu?”
“Satu cola dan sandwich tuna.”
“Ada lagi?”
Si tamu menggeleng dan Aqni segera melangkah ke bagian belakang kafe untuk menyerahkan catatan pesanan dan langsung membawa satu nampan berisi seporsi nasi goreng dan jus jeruk ke meja bernomor delapan.
“Terima kasih sudah menunggu. Ini pesanan Anda─” Kata-kata Aqni menggantung di udara. Matanya membelalak ngeri dan jantungnya berpacu dalam entakan yang menyakitkan. “Pa-pak Hamdan?” Ia menelan ludah dengan susah payah ketika mengenali tamu di meja delapan.
“Iya. Ini saya,” jawab pria bertubuh besar itu. Matanya tepat mengarah pada Aqni. “Anak-anak sekarang memang suka seenaknya, ya. Padahal di peraturan sekolah jelas ada aturan tidak boleh kerja sambilan, tapi masih melanggar juga.”
Wajah Aqni memucat. “I-itu ... a-anu ....”
“Besok temui Bapak di ruang BK.” Setelah mengatakan itu Pak Hamdan berlalu, meninggalkan Aqni yang terduduk lemas di kursinya. Bahkan saat ada anak yang meminta jumlah pembayaran ia tak menghiraukan. Aqni sibuk memikirkan apa yang akan terjadi padanya besok.
***
Aqni melangkah dengan gugup di koridor sekolah yang ramai. Tangannya terasa lembab sehingga berkali-kali ia menyapukannya ke rok motif kota-kotak hitam selutut yang menjadi bagian seragamnya bersama kemeja putih dan dasi berbentuk pita. Sementara siswa lain bergegas menuju kantin untuk mengisi perut yang keroncongan karena sudah tengah hari, Aqni mengambil arah berlawanan, menuju ruang Bimbingan Konseling. Di waktu istirahat pertama tadi, ia sudah pergi ke sana, tapi Pak Hamdan menyuruhnya kembali saat istirahat makan siang. Entah guru BK itu memang sibuk, atau sengaja membuat Aqni gugup dengan menyuruhnya menunggu. Aqni lebih memilih kemungkinan pertama, karena kemungkinan kedua membuat Pak Hamdan terlihat jahat di matanya.
Ia baru saja hendak mengetuk pintu ruang BK, ketika pintu kayu bercat cokelat itu terbuka. Seorang gadis berkulit sawo matang berdiri di ambang pintu. Gadis itu tak berkata apa-apa, tapi tatapan matanya cukup untuk membuat Aqni beringsut ke pinggir dan memberi jalan.
“Laylah!”
Gadis di ambang pintu itu menoleh ke dalam ruangan.
“Ingat, besok pakailah seragam yang benar.” Terdengar suara Pak Hamdan dari dalam ruangan.
Gadis bernama Laylah itu tersenyum. “Bagi saya, seragam ini sudah benar kok, Pak,” sahutnya. Laylah memandang Aqni dari atas hingga bawah, kemudian mencibir melihat penampilan Aqni yang 180 derajat berbeda dengannya. “Sepertinya, ini hari yang sibuk buat Pak Hamdan. Bukan hanya anak bermasalah, anak rajin juga disuruh datang ke BK. Kamu bikin salah apa? Pacaran di kelas, ya?”
Andai tidak terlalu gugup Aqni pasti sudah membalas Laylah. Namun, ia tak sempat memikirkan balasan, karena Pak Hamdan muncul. Guru BK itu menyuruh Laylah pergi, dan meminta Aqni masuk ke ruang BK.
Insiden dengan Laylah terlupakan dengan cepat, kini Aqni sibuk mengatur ritme jantungnya agar lebih tenang. Berhadapan dengan guru BK dalam keadaan yang tak menguntungkan seperti ini memerlukan segenap ketenangan dan kepercayaan diri. Jujur saja, Aqni jarang sekali harus berhadapan dengan guru dalam keadaan seperti ini. Biasanya ia selalu mendapat pujian, menjadi kebanggaan sekolah, bukannya anak yang melanggar aturan. Namun, Aqni tak mampu berbuat apa-apa tentang hal itu. Masalahnya, ia memerlukan uang.
Tiga bulan yang lalu ayahnya dipecat dan sampai sekarang masih pengangguran. Ibunya, yang tak tahan hidup susah, memutuskan meninggalkan suami dan anaknya dengan semua tabungan dan uang keluarga. Aqni beruntung masih bisa sekolah di SMA Harapan, sebuah SMA Swasta yang iuran bulanannya mencapai tujuh digit, dengan beasiswa penuh dari yayasan. Aqni memang siswa pandai dan berprestasi, makanya ia diberi beasiswa penuh. Walau tidak harus pusing untuk masalah uang sekolah, Aqni tetap dibuat kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebulan lalu, ayahnya pergi ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan karet dengan meninggalkan sedikit uang yang hanya cukup untuk biaya hidup seminggu. Ayahnya tak bisa dihubungi, karena itu mau tak mau Aqni harus mencari cara agar bisa bertahan, dan satu-satunya cara adalah dengan bekerja, walau harus melanggar aturan sekolah.
Dan kini, ia harus berhadapan dengan konsekuensi pelanggaran itu. Jika ia tak bisa menangani situasi dengan baik, besar kemungkinan beasiswanya akan dicabut dan Aqni terpaksa berhenti sekolah.
“Kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita bicarakan,” Pak Hamdan membuka pembicaraan.
Aqni mengangguk. “Iya, Pak.”
“Kamu tahu di mana kesalahanmu?” tanya Pak Hamdan.
“Tahu, Pak.”
“Dan tahu konsekuensinya?”
Aqni menggigit bibir.
Pak Hamdan menghela napas. “Kamu anak yang baik, Aqni. Rajin, pandai, berprestasi. Tidak seharusnya kamu melakukan ini,” ujarnya.
“Saya tak punya pilihan, Pak,” Aqni membela diri, “Saya perlu uang untuk biaya hidup.”
Sebelah alis Pak Hamdan terangkat. “Di mana orangtuamu?”
“Ibu pergi entah ke mana, dan Ayah mungkin ada di Kalimantan,” jawab Aqni.
“Mungkin?”
Aqni mengangkat bahu. “Saya belum mendengar kabar dari Ayah. Terakhir kali kami bicara sebelum Ayah berangkat, waktu itu Ayah bilang akan ke Kalimantan untuk kerja di perkebunan karet atau sawit.”
“Jadi, sekarang kamu sendirian?”
Aqni mengangguk. “Saya tahu, bekerja sambilan melanggar aturan sekolah. Tapi saya tak punya pilihan. Jika ingin bertahan, saya harus bekerja, tapi saya juga ingin tetap sekolah.”
Pak Hamdan kembali menghela napas. “Biarkan Bapak berpikir sebentar,” ujarnya.
Menurut, Aqni mengunci mulut dan membiarkan Pak Hamdan berpikir dalam ketenangan.
“Saya punya solusi,” kata Pak Hamdan beberapa saat kemudian. “Ini bukan hanya akan menyelesaikan masalahmu, tapi juga masalah Bapak dan siswa-siswa lainnya. Anggap saja, bantuan untuk sekolah.”
“Apa solusi yang Bapak punya?” tanya Aqni.
Pak Hamdan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah map biru. “Bapak berencana membuat kelas belajar khusus bagi anak-anak yang nilainya tidak mencapai KKM. Di kelas ini mereka akan belajar intensif agar bisa menaikkan nilai mereka dan tak mendapat hambatan untuk bisa naik ke kelas 12.”
Aqni menyimak dengan saksama semua yang dikatakan Pak Hamdan.
“Kelas ini sudah memiliki guru pengampu, tapi Bapak juga ingin ada yang bertanggung jawab untuk mengawasi kelas ini. Anak-anak ini,” Pak Hamdan menunjuk map biru, yang di dalamnya terdapat daftar nama siswa yang harus mengikuti kelas tambahan. “perlu diawasi, dijaga, juga dibantu. Kamu bisa memegang tanggung jawab itu?”
Mata Aqni melebar tak percaya. Ia akan diberi tanggung jawab mengawas kelas khusus. Itu sama sekali tak pernah terpikir olehnya.
“Jika kamu mau melakukan tugas ini, Bapak akan tutup mulut soal kerja sambilanmu.”
“Jadi, saya tetap bisa kerja, Pak?” tanya Aqni penuh harap.
“Tidak,” jawab Pak Hamdan tegas. “Kamu harus segera berhenti. Lagi pula jika mengawas kelas tambahan kamu tidak akan punya waktu untuk kerja sambilan. Kelas tambahan dimulai pukul 3 dan berakhir pukul 6 sore.”
“Tapi, Pak ... saya ....” Aqni tak mampu meneruskan kata-katanya.
“Saya mengerti, kamu perlu uang untuk biaya hidup, kan?”
Aqni meringis menahan malu. Mengungkap betapa tak berdayanya ia dalam masalah uang sungguh amat sangat memalukan, sebab sebelum ini ia hidup dengan nyaman tanpa perlu pusing memikirkan berapa uang yang ia habiskan untuk belanja dan jajan.
“Bapak akan mengatur itu,” kata Pak Hamdan. “Kamu akan mendapat uang lelah dari mengawas kelas tambahan.”
Aqni ingin bersorak saking senangnya, tapi karena masih berada di ruang BK, ia menahan diri. Walau senyum lembar di wajahnya tetap tak bisa ia tahan.
“Bapak serius?” tanyanya tak percaya.
“Ya, Bapak serius,” jawab Pak Hamdan meyakinkan. “Apa kamu bisa memegang amanah mengawas kelas khusus?”
Mengangguk mantap, Aqni menjawab dengan penuh keyakinan. “Saya sanggup, Pak.”
“Bagus. Nanti sepulang sekolah kamu kembali ke sini, kita akan membicarakan tentang kelas khusus ini bersama Pak Syamsul dan Bu Riska.”
Aqni semakin senang ketika Pak Hamdan menyebut nama dua guru favoritnya. Pak Syamsul dan Bu Riska adalah dua guru yang sangat baik terhadap Aqni.
“Sekarang kamu boleh pergi.”
“Terima kasih, Pak.”
Aqni sudah setengah jalan ke pintu, ketika Pak Hamdan memanggilnya. “Bapak harap soal kerja sambilan dan uang lelah itu tidak kamu katakan kepada orang lain, karena itu adalah kebijakan pribadi Bapak. Bukan hanya kamu, tapi Bapak juga akan kena masalah kalau hal itu sampai ketahuan. Mengerti?”
“Saya mengerti, Pak.” Setelahnya, Aqni melangkah keluar dari ruang BK dengan perasaan riang. Bahkan saat sebuah bola basket hampir mengenai kepalanya ia tidak protes, ia bahkan memungut bola itu dan mengembalikannya pada siswa yang tengah bermain di lapangan.
“Lain kali hati-hati mainnya,” ujar Aqni.
“Yep. Makasih, Aqni.”
Aqni menelengkan kepala. Bingung dari mana pemuda tinggi itu tahu namanya. Namun, ia tak punya waktu lama-lama memikirkan pemuda itu karena bel masuk sudah menggema di seantero sekolah. Ia bergegas menuju kelasnya yang jaraknya masih jauh.
Kertas di tangan Aqni berisi dua puluh nama siswa yang akan mengikuti kelas tambahan. Hari ini kelas dimulai, rencananya Bu Riska yang akan menjadi pembuka kelas, lalu Aqni akan mengawasi para siswa selama mereka diberi soal-soal tes. Kelas memang sengaja diawali dengan memberikan tes agar guru-guru pengampu bisa menilai kemampuan siswa di kelas khusus, mengetahui di mana kekurangan dan kelebihan mereka sehingga bisa memberikan bimbingan secara optimal.
Aqni sudah melihat sekilas soal-soal yang ada di lembar tes, jumlahnya ada tiga puluh soal dan harus dikerjakan dalam waktu satu jam, menurutnya soal-soal itu jawabannya sangat mudah, bahkan ia berani bertaruh bisa menyelesaikan soal-soal itu dalam waktu setengah jam, bisa jadi kurang dari itu. Ia optimis bahwa siswa di kelas tambahan akan bisa menjawab soal-soal itu dan tidak akan ada yang mendapat nilai di bawah 50. Itu akan menjadi permulaan yang bagus, dan artinya tidak akan sulit untuk menaikkan prestasi anak-anak kelas tambahan.
Dengan optimis menyiapkan kelas hari itu, menunggu dengan sabar kedatangan siswa kelas tambahan. Pukul dua lewat tiga puluh, belum seorang pun terlihat. Wajar, karena kelas masih akan dimulai tiga puluh menit lagi. Pukul dua lewat empat lima, masih belum ada yang datang. Mungkin mereka sedang menuju ke sini, pikir Aqni. Pukul dua lewat lima puluh lima, Aqni memutuskan untuk menunggu di luar kelas. Pukul tiga teng. Dua siswa terlihat mengarah ke ruang kelas tambahan.
“Kelas tambahan?” Salah satu dari siswa itu bertanya.
Aqni mengangguk. “Masuk saja, dan pilih tempat duduk kalian.”
Kedua siswa itu masuk dan memilih kursi paling belakang. Kebahagiaan Aqni karena akhirnya ada yang datang tersapu melihat ketiadaan semangat yang ditunjukkan kedua siswa itu. Bagaimana bisa meningkatkan nilai, kalau milih duduk di belakang? pikir Aqni sebal. Tapi dengan cepat pikiran itu berlalu karena semakin banyak siswa yang datang.
Kelas mulai terisi, hanya beberapa bangku yang masih kosong, dan semua bangku itu ada di bagian depan. Aqni hanya bisa menghela napas, melihat tak ada seorang pun yang mau duduk di bagian depan. Memangnya apa sih yang salah dengan bangku bagian depan? pikirnya bingung.
Sudah sepuluh menit lewat dari jam dua, Aqni memutuskan untuk memanggil Bu Riska dan memulai kelas. Untuk yang datang telat atau memilih tidak datang akan diurus nanti, ujar Aqni dalam hati sambil membagikan lembar absen yang harus diisi para siswa bergantian sementara menunggu Bu Riska datang.
Ketika Aqni hendak menutup pintu kelas, seseorang menahan daun pintu dan berkata, “Jangan ditutup dulu, Cantik, aku kan belum masuk.”
Hanya butuh beberapa detik bagi Aqni untuk mengenali siapa yang berdiri di depannya. Bahkan cewek kuper yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku sepertinya tahu tentang Mikail Azraq. Cowok paling terkenal di SMA Harapan, si playboy yang sudah membuat entah berapa banyak cewek patah hati. Mikail memang doyan tebar pesona, bahkan Aqni pernah mendengar gosip yang mengatakan bahwa Mikail pernah menggoda seorang guru magang, dan akhirnya membuat guru itu keluar sebelum waktu magangnya selesai. Kalaupun gosip itu tidak benar, Aqni tetap harus menjaga jarak dengan Mikail, karena jatuh dalam pesona cowok ganteng itu jelas tak akan membuat kehidupannya lebih baik.
“Lain kali datang lebih cepat,” sahut Aqni seraya memberi jalan agar Mikail bisa masuk.
“Oke, besok aku bakal datang lebih cepat, supaya kita bisa beduaan dulu sebelum kelas dimulai.”
Aqni mengirim tatapan tajam ke arah Mikail, siap mengeluarkan balasan yang pedas. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, badan Mikail terdorong ke depan, hampir terjerembab ke lantai.
“Jangan pacaran di depan pintu, ngalangin jalan,” ujar si pelaku, yang ternyata gadis cantik berambut hitam panjang. Aqni juga langsung mengenali gadis itu. Kanita Shaqila, Princess adalah julukan gadis itu. Karena dianggap sebagai gadis paling cantik di seantero SMA Harapan. Yah, julukan itu memang tidak salah, sebab Kanita memang sangat cantik, tinggi semampai, langsing, berkulit putih dan memiliki rambut yang indah. Namun, menurut Aqni yang paling membuat Kanita terlihat seperti putri adalah keangkuhan yang dimiliki gadis itu. Di mata Aqni, Kanita terlihat seperti putri angkuh yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.
“Ah, Kanita sayang~”
Suara Mikail menarik Aqni kembali ke dunia nyata sebelum ia memakaikan gaun era Victorian pada Kanita di dalam pikirannya.
“Jangan panggil sayang-sayang, bikin jijik tahu.” Kanita melengos dan berlalu begitu saja. Kanita memilih salah satu bangku di bagian depan, dan Mikail langsung menempati bangku di belakang Kanita tanpa ingat bahwa sebelumnya baru saja merayu Aqni.
“Dasar cowok,” gerutu Aqni.
“Yah, cowok-cowok seringnya emang nyebelin, tapi kita nggak bisa hidup tanpa mereka.”
Aqni berputar ke arah suara. Laylah, gadis yang pernah Aqni temui di depan ruang BK, berdiri di ambang pintu dengan santai. Aqni memerhatikan bahwa gadis itu masih belum mengikuti aturan berpakaian sekolah dengan benar. Rambut pirang Laylah tampak kontras dengan kulitnya yang sawo matang, make up-nya terlalu tebal, lalu anting-anting yang lebih dari satu di setiap telinga, rok sekolah yang terlalu pendek, baju seragam yang membentuk bodi─Aqni tak bisa tak mengakui kalau Laylah punya bodi yang benar-benar oke, aksesoris yang berlebihan di leher serta tangan. Laylah tampak seperti ... Aqni tak tahu harus menyebut Laylah apa. Ia hanya bengong, sementara Laylah berjalan melewatinya dan duduk di bangku di sebelah Kanita.
“Mulutnya jangan dibuka lebar-lebar nanti masuk lalat.”
Suara lain lagi menyadarkan Aqni. Ia berbalik ke pintu. Seorang pemuda keturunan cina masuk, melewati Aqni dengan santai, kemudian duduk di sebelah Laylah.
“Fix! Orang-orang menyebalkan duduk di bagian depan,” Aqni mendumel sambil hendak menutup pintu lagi, dan lagi-lagi kali ini ia tak bisa menutup pintu karena seseorang muncul.
“Kalau pintunya ditutup, Ibu nggak bisa masuk dong,” canda Bu Riska. Seisi kelas tertawa, kecuali Aqni yang malu bukan kepalang.
“Maaf. Silakan masuk, Bu.” Aqni mempersilakan Bu Riska masuk, kemudian duduk di bangku yang ditempatkan de dekat pintu, di depan deretan bangku untuk siswa kelas tambahan, yang sengaja di hadapkan ke dalam kelas sehingga dapat melihat ke meja guru juga meja para siswa dengan leluasa.
Kemudian Bu Riska memulai kelas. Memperkenalkan diri walau semua siswa di kelas itu pasti sudah mengenal guru matematika itu. Bu Riska juga memperkenalkan Aqni, yang mendapat tatapan spekulatif dari para siswa karena tugasnya sebagai asisten pengajar. Sementara Bu Riska berbicara di depan kelas, Aqni membaca kertas absen yang sudah kembali ke tangannya. Hanya ada satu nama yang belum menandatangani absen kehadiran. Pemilik satu-satunya bangku yang masih kosong di kelas itu. Mehran Leander Addison. Nama siswa itu membuat Aqni mengernyit, sepertinya ia pernah mendengar nama ini, tapi tak ingat di mana.
“Aqni, bagikan soal tesnya.” Perintah Bu Riska membuat Aqni berhenti memikirkan tentang Mehran. Ia pun segera membagikan kertas soal dan lembar jawaban ke semua siswa.
“Baru juga masuk sudah dikasih tes,” keluh seorang siswa.
“Mana soalnya banyak lagi,” timpal yang lain.
“Niat banget, nih, bikin kita pinter pake soal yang bejibun.” Seorang lagi buka suara.
Aqni sengaja mengabaikan komentar-komentar sinis itu. Lagi pula, Bu Riska sudah menjelaskan fungsi tes hari ini. Seharusnya, tidak ada keluhan.
Bu Riska sudah meninggalkan ruangan. Sekarang Aqni yang bertanggung jawab mengawasi kelas. Ia sedikit gugup karena harus mengawasi sembilan belas teman seangkatannya. Sembari berdoa tidak akan mendapat masalah di hari pertamanya, Aqni membuka buku dan belajar sendiri. Namun, masih mengawasi kelas dengan saksama.
Pintu terbuka dengan suara nyaring. Aqni dan seisi kelas mengarahkan pandangan ke ambang pintu. Melihat pemuda jangkung itu membuka memori Aqni. Ia ingat sekarang di mana pernah mendengar nama Mehran. Nama itu milik seorang siswa baru di kelasnya, pemuda tinggi besar yang langsung bergabung di klub basket di hari pertamanya menjadi siswa di SMA Harapan, dalam waktu singkat menjadi tim inti, dan sudah berhasil membawa tim basket SMA Harapan, yang sebelumnya tak terlalu bersinar, menjadi jawara di kejuaraan basket antar SMA. Pemuda itu juga yang ia temui di dekat lapangan beberapa hari lalu.
“Lu telat, Bro.” Pemuda bermata sipit, yang ternyata bernama Yuan, menyapa Mehran.
“Apa boleh buat, tadi ada latihan,” jawab Mehran santai seraya menempati satu-satunya bangku yang masih kosong, yang letaknya paling dekat dengan bangku Aqni. “Jadi, kita ngapain di sini?” tanyanya entah kepada siapa sambil meletakkan sebuah plastik di meja. Mehran membuka plastik itu, seketika tercium aroma fried chiken yang menggoda iman.
“Dilarang makan di kelas,” kata Aqni seraya mengambil plastik berisi ayam goreng tepung tersebut.
“Dilarang merebut makanan punya orang,” sahut Mehran.
“Aku tidak merebutnya, hanya membantumu menyimpan makananmu sampai kamu selesai mengerjakan soal-soal ini.” Aqni menggantikan ayam goreng tepung dengan lembar soal dan jawaban.
“Tapi kalau lapar aku nggak bisa mikir,” ujar Mehran dengan nada memohon.
“Kamu bisa makan nanti,” kata Aqni seraya kembali ke mejanya.
“Tapi itu punyaku,” keluh Mehran.
“Memang. Kamu bisa mengambilnya nanti.”
“Aku maunya sekarang!” Mehran bersikap seperti bocah lima tahun yang merajuk karena makanannya direbut.
“Nanti!” tegas Aqni.
“Aku nggak tahu ternyata di Indonesia, anak perempuan suka merebut makanan anak laki-laki,” sindir Mehran.
Aqni memutar bola mata. Kalau Mehran ngajak ribut, akan kuladeni, pikirnya.
“Aku juga baru tahu kalau anak Amerika itu cengeng, suka ngeluh cuma karena nggak bisa makan. Lagian, makan kok di kelas, sih?”
“Aku kan lapar habis latihan,” Mehran membela diri.
“Udah tahu ada kelas tambahan malah ikut latihan, salah siapa?” sahut Aqni.
“Salah yang bikin kelas tambahanlah. Udah tahu aku sibuk, malah disuruh ikut kelas tambahan,” gerutu Mehran.
Aqni membalas lagi, dan Mehran tetap tak mau kalah. Mereka terus perang mulut, membuat anak-anak di kelas berhenti mengerjakan soal dan menonton mereka. Akhirnya, Aqni tersadar dan menyudahi perang tersebut dengan ancaman, ia akan membuang makanan Mehran sampai pemuda itu menjawab semua soal. Dengan cemberut Mehran mengambil lembar soal. Baru melihat jumlah soal yang tercetak di lembar soal, Mehran berdecak. “Kamu pengen bunuh aku, ya?!”
“Tiga puluh soal nggak akan membunuh siapa pun,” sahut Aqni.
“Tapi─”
“Diam dan kerjakan soal-soal itu!”
***
Kelas hari itu berakhir pukul lima, setelah siswa terakhir mengumpulkan lembar jawaban dan soal, mereka dipersilakan pulang. Aqni mengembalikan kantong plastik Mehran, yang diterima pemuda itu sambil mendumel. Kemudian setelah semua orang pergi, ia kembali duduk di mejanya dan memeriksa hasil tes. Sebagai asisten pengajar sudah menjadi tugas Aqni untuk memeriksa hasil tes awal, kemudian menuliskan hasilnya di laporan yang akan diberikan kepada Bu Riska.
Mata Aqni melebar dan ia berdecak tak percaya melihat hasil tes hari ini. Kecuali satu orang yang mendapat nilai 80, sisanya mendapat angka di bawah 50. Aqni menelungkup di meja, apa yang sebelumnya ia kira akan menjadi pekerjaan mudah malah menjadi pekerjaan yang sangat sulit baginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!