Axel mengantar Aluna ke kampus menggunakan sepeda motor miliknya.
Aluna yang hidup sebagai gadis kaya raya,sama sekali tidak pernah malu memiliki Kekasih seperti dirinya.
Walaupun ia hanya seorang Pelayan Restoran, Aluna tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan gadis itu selalu memberikan dukungan dan dorongan agar ia semangat bekerja.
Aluna, gadis yang sangat dicintainya.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan kampus Aluna.
Axel berdiri membantu Aluna membuka helm yang bertengger di kepalanya.
"Makasih Kak."
Axel tersenyum mendengar panggilan "Kakak" yang digunakan gadis itu selama 5 tahun bersamanya.
Sebenarnya, mereka seumuran. Hanya saja mereka memiliki jarak 11 Bulan.
Axel lahir di bulan Januari, sementara Aluna lahir di bulan Desember.
Itulah salah satu alasan Aluna memanggilnya dengan panggilan "Kak".
Dan alasan utama gadis itu adalah karena menurutnya lebih romantis jika memanggilnya dengan panggilan "Kakak" dibandingkan menggunakan nama.
Axel mengelus kepala Aluna dengan lembut.
"Sama-sama sayang."
"Apa malam ini Kakak akan bekerja?"
Axel menganggukkan kepalanya.
Sontak hal itu membuat Aluna begitu bahagia. Itu artinya setelah pulang kuliah, ia bisa menemani Axel bekerja.
Baginya, menemani Axel bekerja adalah salah satu momen yang menyenangkan.
Ia bisa melihat bagaimana manisnya Pria itu melayani orang lain.
Bahkan ia sering menjahili Axel dengan meminta Axel yang mengantar pesanannya.
Ia tidak akan mau menerima pesanan, jika bukan Pria itu yang mengantar.
Dari senyuman Aluna, Axel bisa mengetahui niat gadis itu.
"Jangan bilang, kalau malam ini kamu akan datang lagi Luna."
"Kakak begitu mengenalku rupanya. Tentu saja aku akan datang Kak."
"Baiklah, baiklah sayang."
Axel menarik Aluna ke dalam pelukannya.
"Kamu harus rajin belajar, hem?"
"Tentu saja Kak. Aku juga belajar demi Kakak"
Axel tersenyum dan kemudian melepaskan pelukannya.
"Pergilah Luna. Sebentar lagi mata kuliah akan dimulai.
Kakak akan menjemputmu nanti.
"Baiklah Kak. Hati-hati di jalan Kak."
"Hem.."
Axel melambaikan tanganya pada Aluna.
Aluna membalikkan tubuhnya dan perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan Axel.
Aluna tersenyum dan kemudian menghentikan langkahnya.
Ia berbalik dan menghampiri Axel yang masih berada di tempatnya.
Axel bingung melihat Aluna yang kembali.
Apa ada barang yang ketinggalan, pikirnya di dalam hati.
Saat ia melihat ke arah motornya, sebuah ciuman mendarat di pipinya.
Aluna mencium pipinya.
Belum sempat ia melihat ke arah Aluna, Gadis itu sudah berlari meninggalkannya.
"Aku mencintaimu Kak." ucap Aluna yang berdiri jauh darinya.
Aluna kemudian meninggalkannya.
Axel terkekeh melihat tingkah lucu gadis yang sangat dicintainya itu.
Axel kemudian merabah pipinya yang dicium oleh Aluna tadi.
Ia tersenyum tipis.
gadis itu selalu berhasil membuat jantungnya berdetak dengan kencang.
Axel kemudian kembali menaiki motornya dan pulang ke kontrakan kecilnya.
--
Aluna tengah tersenyum memandang Axel yang sedang sibuk membersihkan meja-meja restoran.
Tiba-tiba seorang Pria menghampiri Axel dan menepuk pundaknya.
"Kau beruntung memiliki Kekasih sepertinya Axe."
Axel tersenyum dan kemudian melihat ke arah Aluna yang tersenyum kepadanya.
"Hem..."
"Apa Ibunya yang jahat itu tidak marah jika melihat Aluna pulang larut malam?"
Perkataan James membuatnya tersadar.
Bukan karena kalimat 'pulang larut malam'. Namun karena Axel teringat dengan Ibu Launa.
Selama ini Ibu Aluna tidak pernah menyukai hubungan mereka. Bahkan Ibu Aluna sangat membencinya.
Faktor materi menjadi alasan utama.
Kehidupan keluarga Aluna sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya.
Bahkan ia merupakan seorang yatim piatu yang hidup bersama Neneknya.
Ya, Axel hanya memiliki Neneknya sebagai Keluarga.
Orang tuanya sudah meninggal.
Ibunya meninggal saat melahirkannya, sedangkan Ayahnya meninggal akibat kecelakaan saat ia masih berumur 5 tahun.
Kasih sayang Neneknyalah yang membuat Axel bertahan dalam menjalani kehidupan.
Walaupun serba kekurangan, namun Axel kecil tidak pernah mengeluh pada Neneknya.
Dari kecil ia sudah terlatih menjadi sosok yang bersyukur karena masih memiliki Nenek yang begitu menyayanginya.
Hingga sekarang, Axel bekerja keras juga untuk membiayai pengobatan Neneknya.
Neneknya menjadi alasan ia bertahan.
Dan semenjak 5 tahun lalu, alasannya untuk bertahan kian bertambah.
Gadis itu, gadis cantik yang sedang tersenyum padanya.
Bersambung...
Axel mengantar Aluna sampai ke depan gerbang rumah.
"Masuklah Luna. Ini sudah larut malam, di luar juga sangat dingin.
Tolong sampaikan permintaan maaf Kakak pada Bibi."
"Baik Kak. Kakak hati-hati di jalan ya."
Axel menganggukkan kepalanya.
Ia kemudian maju satu langkah, mencium kening Aluna.
"Selamat tidur sayang."
Aluna tersenyum.
"Selamat tidur Kak."
Tidak disadari, sepasang mata telah melihat mereka dari kejauhan.
Wanita itu memandang keduanya dengan tatapan marah.
Aluna kemudian membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah.
Setelah memastikan Aluna masuk ke dalam rumah, Axel melajukan motornya.
Aluna melangkahkan kakinya.
Namun langkahnya terhenti saat Ibunya berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh amarah.
"Harus berapa kali lagi Mami memperingatkanmu untuk tidak berhubungan lagi dengan Pria miskin itu?"
Aluna tidak menghiraukan perkataan Alda.
Ia kemudian melanjutkan langkahnya.
"Sepertinya Mami harus melakukan langkah besar kali ini."
Alunamenghentikan langkahnya dan kemudian berbalik.
"Apa maksud Mami?" Aluna menatap Ibunya dengan raut wajah penuh khawatir.
"Menghajarnya mungkin?"
ucap Alda dengan seringai licik.
"Aluna tidak akan memaafkan Mami kalau Mami melakukan itu pada Kak Axel.
Dari kecil Aluna selalu memenuhi permintaan Mami. Apa salahnya kalau kali ini Mami yang mengalah pada keinginan Aluna?"
"Mengalah? Itu tidak akan akan pernah terjadi.Kekayaan yang telah dipertahankan oleh Papimu jauh lebih penting dari cinta bodohmu itu.
Apa yang sebenarnya kamu harapkan dari pria miskin itu Aluna? Dia bisa menghancurkan kehidupan kita."
"Cinta Mi. Aluna mencintai Kak Axel."
"Cinta?"
Alda tertawa mendengar jawaban Aluna.
"Dengan cinta kamu tidak bisa membeli apapun. Kehidupan yang kamu miliki sekarang tidak dibeli dengan uang Aluna."
Alda mendekat pada Aluna dan menatap Aluna dengan tatapan garang.
"Uanglah yang membelinya.
Tinggalkan dia. Jangan sampai Mami berbuat lebih jauh lagi."
"Aluna tidak akan mendengarkan Mami. Aluna akan tetap berhubungan dengan Kak Axel.
Mami tidak akan pernah bisa memisahkan kami."
Aluna langsung pergi meninggalkan Alda yang menatapnya dengan penuh kesal.
"Aluna.." panggil Alda dengan nada keras.
"Aluna, Mami belum selesai bicara..."
Alda melipat kedua tangannya.
"Lihat saja. Aku tidak akan membiarkan mereka bersama selamanya."
Aluna menangis di dalam kamarnya.
Mengapa ini selalu terjadi mereka?
Mengapa Maminya tidak pernah menyetujui hubungan mereka?
Uang?
Bahkan Aluna menganggap uang bukanlah segalanya.
Menurutnya, kebahagiaan tidak bisa dibeli oleh uang walaupun kebanyakan orang berpikir seperti itu.
Termasuk Maminya.
Sebenarnya Aluna begitu menyayangi Alda mengingat bahwa ia hanya memiliki Alda seorang.
Papinya meninggal saat dirinya ia berumur 10 Tahun.
Papinya adalah salah satu Pengusaha Indonesia yang begitu sukses.
Semenjak Papinya meninggal, Alda lah yang memegang penuh perusahaan.
Alda merupakan sosok yang perfeksionis baik di dalam perusahaan maupun di dalam keluarga. Jadi tidak heran, jika ia selalu memaksakan kehendaknya pada Aluna.
Aluna memang selalu mengikuti apa yang ia katakan.
Namun tidak untuk sekarang.
Kali ini ia tidak akan mengikuti kehendak Alda.
Di satu sisi, iadak ingin membantah Alda, namun ia juga tidak bisa menyerah pada cintanya.
Axel adalah sosok yang sangat berarti untuknya, sama seperti Alda.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika nanti ia kehilangan pria itu.
Itu tidak akan pernah terjadi, tidak akan.
Aluna mendengar suara dering handphonenya.
Ia menghapus air matanya saat melihat nama Axel tertera di layar Handphonenya.
"Halo Kak..."
Aluna berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya dari Axel dengan mengatur suaranya.
Namun sekeras apapun Aluna berusaha untuk menyembunyikannya, Axel tetap mengetahui ada sesuatu yang terjadi dengannya.
"Apa yang terjadi denganmu Luna? Kamu tidak harus menyembunyikannya dari Kakak."
Aluna sedikit terkejut.
Ia pikir, kali ini ia berhasil. Namun sebaliknya, ia ketahuan oleh Axel.
"Hem, aku..."
Kalimat Aluna terputus. Ia tidak sanggup untuk mengatakannya pada Axel.
"Bibi memarahimu lagi Luna?"
"Iya, Kak. Mami tadi memarahiku karena pulang larut malam", bohong Aluna.
Lagi-lagi, Axel mengetahui bahwa saat ini Aluna sedang berbohong.
"Maafkan Kakak Aluna. Ini kesalahan Kakak yang membiarkanmu menemani Kakak bekerja."
"Tidak Kak. Aku yang bersalah.
Tapi walaupun begitu, akan tetap melakukannya."
"Aluna.."
"Aku mencintaimu Kak. Sampai kapanpun Mami tidak akan pernah bisa memisahkan kita."
Akhirnya Aluna mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
Aluna kembali menangis.
Axel mengeratkan tangannya.
Ia sama sekali tidak bisa melihat ataupun mendengar Aluna menangis.
"Tenanglah sayang. Kamu dan Aku akan selalu bersama. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita.
Sesulit apapun nanti, aku berjanji akan melakukan segala cara agar Bibi menyetujui hubungan kita.
Kakak akan bekerja lebih keras lagi untuk menjadi pria yang diingankan oleh Bibi."
"Sekarang hapus air matamu. Naik ke tempat tidur, dan pakai selimutmu. Kakak akan menyanyikan lagu untukmu. Bukankah kamu begitu menyukai suara Kakak?"
Aluna perlahan menganggukkan kepalanya. Ia kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Axel.
Aluna tersenyum mendengar suara indah itu.
Suara yang selalu ia dengarkan saat ia sedih.
Axel selalu berhasil menghiburnya.
Mata Aluna semakin berat, dan perlahan tertutup.
Aluna melepaskan handphonenya dari tangannya.
Ia kemudian masuk ke alam mimpinya.
Axel berhenti bernyanyi.
Ia tersenyum saat menyadari Aluna sudah tidur.
Axel kemudian memutuskan panggilannya.
Axel mengembuskan napas panjang.
Ia melihat ke arah langit yang saat ini dipenuhi bintang-bintang.
Seandainya ia memiliki kehidupan yang baik, hubungannya dengan Aluna pasti tidak akan seperti ini.
Mami Aluna juga akan menyetujui hubungan mereka.
Tapi apa boleh buat? Takdir berkata seperti ini. Ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
Bersambung...
Keesokan harinya,
Axel keluar dari kamarnya dan kemudian masuk ke dalam dapur.
Ia begitu terkejut melihat Neneknya yang sedang memasak sesuatu.
"Nenek.." panggilnya.
Riana tersenyum melihat ke arahnya.
"Nek, apa yang sedang nenek lakukan?"
"Nenek ingin memasak sarapan untukmu Axe"
"Nek, sebaiknya Nenek kembali beristirahat di kamar. Axel bisa memasak sarapan sendiri Nek."
Riana sejenak menatap wajah tampan Cucunya itu. Ia kemudian memegang pipi Axel dengan lembut.
"Sejak sakit, Nenek tidak pernah lagi memasakkkan sesuatu untukmu Axe. Maafkan Nenek Nak."
Axel tersenyum dan kemudian memegang tangan Riana.
"Tidak apa-apa Nek. Yang penting, Nenek harus cepat sembuh agar bisa memasak lagi untuk Axe, hem?"
Riana menganggukkan kepalanya.
"Apa hari ini kamu akan bertemu dengan Luna Axe?"
"Iya Nek. Rencananya Axe akan bertemu dengan Luna dulu, baru pergi bekerja."
"Kamu sangat mencintainya kan Axe?"
Axel menganggukkan kepalanya.
"Dia gadis yang sangat baik. Nenek berharap kamu dan Luna bersama selamanya."
"Terima kasih Nek."
"Sampaikan salam Nenek padanya. Sudah lama juga Nenek tidak bertemu dengan Luna."
"Baik Nek, nanti Axe sampaikan."
"Sekarang istirahatlah Nek."
"Baik Nak."
Riana kemudian kembali ke dalam kamarnya.
Di dalam kamarnya, Riana memikirkan betapa malangnya nasib Cucunya.
Axel tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Kasih sayangnyalah yang hanya dimiliki Axel mulai sejak kecil.
Walaupun hidup susah, Axel tidak pernah sekalipun mengeluh ataupun bersungut-sungut padanya.
Axel tumbuh menjadi Pria yang kuat dan pekerja keras. Hingga ia dewasa, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja saja.
Sebenarnya ia tahu bahwa cucunya itu sangat ingin kuliah seperti orang lain.
Hanya saja karena keterbatasan biaya dan juga karena ia sendiri yang sakit-sakitan membuat Axel mengorbankan dirinya untuk membiayai pengobatannya.
Riana menangis di dalam kamarnya.
Apa yang harus ia lakukan agar cucunya itu mendapatkan kebahagiaan yang dimiliki orang lain?
Ia tidak bisa membayangkan jika selamanya Axel harus bekerja keras demi kehidupan mereka.
--
Axel dan Luna akan bertemu di taman yang merupakan tempat favorit mereka.
Axel melihat jam tangannya, namun Luna belum datang juga.
Perlahan perasaan khawatir mulai melingkupinya.
Ia takut, terjadi apa-apa pada Luna akibat perbuatannya di malam itu.
Ibu Aluna memang terkesan keras pada Luna.
Sifatnya yang perfeksionis itu membuat Luna harus mengikuti setiap kehendaknya.
Axel menjadi sangat gelisah di tempatnya.
Tiba-tiba, ada sepasang tangan memeluknya dari belakang.
Ia yakin bahwa yang memeluknya saat ini adalah Aluna.
"Luna..."
Axel membalikkan badannya dan berhadapan dengan Aluna.
"Apa Kakak sudah menunggu lama?"
"Tidak juga."
"Syukurlah Kak."
Aluna kemudian duduk di kursi taman yang berada di dekat mereka.
Axel kemudian mendekat padanya.
"Apa kamu baik-baik saja Luna? Matamu terlihat sangat bengkak."
"Aku baik-baik saja Kak. Ini pasti karena kemarin aku menangis semalaman."
"Maafkan aku Luna. Harusnya saat itu aku tidak membiarkanmu menemaniku bekerja."
"Hei hei Kak.
Tidak apa-apa. Bukankah ini sering terjadi? Mami memang seperti itu dari dulu."
"Tapi ini serius Aluna. Tante akan semakin tidak menyetujui hubungan kita jika kamu selalu membantah ucapannya. Lagian tidak baik seorang gadis pulang malam.
Lain kali kamu tidak perlu datang lagi ke restoran, hem?"
"Tapi Kak..."
"Baiklah Kak." ucap Aluna dengan wajah murung.
Axel tersenyum geli dan kemudian mengelus kepala Aluna dengan lembut.
"Gadis baik, apa kamu ingin aku belikan es krim kesukaanmu?"
Wajah Aluna seketika berubah menjadi ceria.
"Aku mau Kak. Pokoknya kali ini Kakak harus membelikanku es krim kesukaanku yang banyak. Kakak berjanji?"
Aluna menyodorkan janji kelingkingnya pada Axel. Hal yang sering mereka lakukan saat menjanjikan sesuatu.
"Aku berjanji Luna. Kalau begitu, ayo kita beli es krim kesukaanmu itu."
Aluna tersenyum puas.
"Ayo Kak.."
Aluna langsung menggandeng tangan Axel dengan erat.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang berada di dalam mobil tengah menatap tajam ke arah mereka.
"Anak miskin itu begitu tidak tahu malu rupanya."
Axel sama sekali tidak menghiraukan ucapannya tempo hari. Ancaman yang ia lontarkan juga tidak membuat Axel takut dan kemudian menyerah pada hubungan mereka.
"Lihat saja anak miskin. Kau akan menyesali perbuatanmu itu. Aku sudah memberikan kesempatan terakhir untukmu dan kau malah menyia-nyiakannya."
Mobil itu kemudian pergi dari sana.
Axel begitu geli melihat Aluna yang tampak begitu lahap memakan es krim di tangannya. Bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus.
Dasar anak kecil...
"Pelan-pelan sayang.."
"Tidak Kak. Aku tidak bisa pelan-pelan sekarang. Ini jarang terjadi, biasanya Kakak akan melarangku makan es krim."
"Baiklah, baiklah. Kamu bisa melanjutkannya sayang."
--
Setelah memakan semua es krim itu, Aluna bersender di bahu Axel sambil memeluk erat lengannya.
"Kak, bukankah minggu depan adalah hari anniversary kita?"
"Benarkah?"
Axel bermaksud untuk menggoda Aluna.
Aluna kemudian menatap Axel dengam tatapan terluka.
"Kakak lupa?"
Melihat tatapan itu, rasanya tidak tega untuk.menggoda Aluna lebih lama lagi.
"Aku hanya bercanda sayang. Tentu saja aku ingat. Tiap bulan kamu selalu mengingatkanku akan tanggal itu. Bagaimana aku bisa lupa?"
Aluna akhirnya dapat tersenyum kembali.
"Bagaimana kalau kita jalan jalan ke suatu tempat Kak?"
"Suatu tempat?"
"Hem...
Seperti ke pantai misalnya.
Setelah itu kita akan pergi ke bioskop, makan di tempat favorit kita. Dan makan es krim sepuasnya. Bagaimana Kak?"
Axel hanya diam tidak menanggapi pertanyaannya.
"Aku juga ingin di hari itu, kita berpegangan tangan seharian. Bukankah itu sangat romantis?"
"Hem, ide yang cukup bagus. Tapi tidak dengan makan es krim."
"Kak, aku mohon. Aku ingin merasakan apa yang aku rasakan hari ini saat makan es krim sepuasnya."
"Aku janji tidak akan meminta yang lain lagi."
"Hem, baiklah.."
"Yeayy..
Aku sangat mencintaimu Kak."
Aluna kembali memeluk lengan Axel dengan erat.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!