Mentari masih malu-malu menerpa atap SMA Marga. Anggita sudah berdiri di depan kelas X B sambil terus memandang layar ponselnya dengan kaki dientak-entakkan. Gadis dengan rambut panjang terurai sepinggang itu sesekali menggigit jarinya gemas dengan helaan nafas panjang. Sebuah teriakan memanggil namanya terdengar dari arah lapangan basket. Gadis berkerudung blouse putih setengah berlari menghampirinya sambil melambaikan tangan. Anggita menyunggingkan senyuman dan memilih ikut berlari menghampirinya. Ditariknya lengan gadis itu ketika keduanya sudah berdekatan. Ringisan gadis itu, Gladis, diabaikan Anggita yang lebih memilih memboyongnya cepat-cepat masuk kelas.
Anggita memonyongkan bibir saat melihat Gladis lebih memilih duduk di bangku belakangnya, "kok duduk di sana sih?" protesnya sambil mengambil tas Gladis yang sudah ada di atas meja.
Gladis yang tak terima buru-buru menahan tasnya, "aku gak mau dipermalukan si Gilar lagi!" selanya sambil menarik paksa tas miliknya yang kemudian ia dekap erat. Duduk manis di kursi pilihannya sambil menyeringai.
"Apaan sih? Pindah sini!" paksa Anggita sambil menunjuk ke arah kursi di sampingnya.
Gladis menggeleng.
Anggita menghela nafas panjang sambil memutuskan duduk di kursi yang sejajar dengan Gladis, mengarahkan kepalanya berhadapan dengan gadis itu.
"Aku dapet pesan aneh semalem!" Anggita membuka lagi suaranya.
Kali ini Gladis menyudahi aksi memeluk tasnya dan menaruhnya di atas bangku, mencondongkan tubuhnya seolah ingin mendengar lanjutan cerita Anggita.
"Dari si Rangga lagi?" terka Gladis.
Anggita menggeleng dengan mantap, "bukan! Dia ngakunya Dango. Kamu tahu siapa Dango?"
Gladis mengernyitkan dahi. Bola matanya berputar ke sana-kemari yang diakhiri dengan menggelengkan kepala. Mendapatkan jawaban yang tak sesuai, Anggita hanya menghela nafas panjang.
"Kok perasaan aku gak enak yah, Dis?" aku Anggita.
"Gak enak kenapa? Orang iseng kali, Ta."
"Kayaknya bukan orang iseng deh. Aku sempet bales dan nanya dia siapa sebelum awalnya dia ngirim pesan kosong. Ya itu, di jawabnya Dango! Tapi, Dango siapa? Dasar Dongo?"
Sontak Gladis tertawa, "kepikiran yah singkatan itu. Tega kamu, Ta. Kok Dongo sih! Hahaha…."
Anggita ikut-ikutan tertawa, "habisnya di tanyain nama kok jawabnya Dango. Di kelas kita gak ada yang namanya Dango, kan?"
Lagi-lagi keduanya tertawa terbahak. Namun, tawa itu tak berlangsung lama ketika seorang lelaki bertubuh gembul mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Keduanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Lelaki gembul itu berjalan ke arah keduanya dan duduk di samping Gladis. Menaruh tas landaknya yang membuat meja bergetar sebentar.
"Pagi-lagi dah ketawa aja. Ada lawak apa lagi nih hari ini?" tanya lelaki itu; Fajar.
"Ini loh, Faj. Si Anggita katanya dapet pesan aneh semalem," cerita Gladis.
"Aneh gimana? Si Rangga lagi, Ta?" terka Fajar.
"Bukan, Faj. Dia ngakunya Dango. Aku kan gak tahu Dango siapa. Di kelas kita gak ada yang namanya Dango. Kalau emang itu si Rangga, aku tahu tipe kalimat sama kata-katanya kalau ngirim pesan tuh kayak apa. Udah mendarah daging dan kesimpen di alam bawah sadar! Jadi pasti tahulah kalau emang itu si Rangga," celoteh Anggita panjang lebar.
"Danbo? Beneran Dango?" Fajar meminta kejelasan.
Melihat raut wajah Fajar yang berubah serius, Anggita dan Gladis memandang ke arahnya intens sambil menganggukkan kepala secara bersamaan.
"Coba mana lihat pesannya!" pinta Fajar.
Anggita mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan isi pesan yang mereka bahas sejak tadi. Fajar memandang Anggita lekat membuat gadis itu merasa tak nyaman.
"Kenapa sih kok jadi ngeliatin gitu? Aku tahu itu bukan si Rangga, Faj. Yakin! 100%!" ujar Anggita meyakinkan diri bahwa terkaannya tak mungkin salah.
"Emang bukan si Rangga, Ta. Tapi…," kedua gadis itu semakin memandangnya lekat, "Dango itu panggilan buat si Gilar selaku Ketua Geng Motor XXX."
Mulut Anggita menganga lebar, sedang Gladis menggelengkan kepala berulang kali. Anggita meraih ponselnya dengan enggan. Memandangi percakapan singkatnya dengan orang yang bernama Danho, membuat malam harinya kehilangan waktu tidur nyenyak akibat meyakinkan diri bahwa Dango bukanlah Rangga. Meski pagi harinya keyakinan itu sudah bernilai mutlak, namun ada secuil perasaan tak nyaman seiring nama Dango terus terngiang di pikirannya. Mendapatkan jawaban tak terduga saat itu membuat Anggita kehilangan kata-kata. Ia berharap Fajar hanya sedang beromong kosong. Namun, ketika Fajar menunjukkan nomor Gilar yang sudah dinamai dengan jelas. Anggita menyamakan dengan teliti nomor yang mengaku bernama Dango yang ada di ponselnya dengan nomor bernama Gilar yang ada di ponsel Fajar. Hasilnya sama!
Anggita tertunduk lesu.
"Yang sabar yah, Tuan Putri. Insya Allah badai pasti berlalu," canda Gladis sembari menepuk pundak Anggita lembut.
Gladis dan Fajar saling membalas senyum.
"Apa aku pindah sekolah aja yah, guys?" keluh Anggita.
Ia menopangkan dagunya di satu tangan. Membiarkan matanya menerawang ke arah jendela yang sudah disinari mentari yang tak lagi malu-malu menyapa bumi.
"Gak usah repot-repot, Ta. Rangga bisa nyusul kemanapun kamu pergi! Hadapi aja, yah. Namanya juga nasib sial!" sela Fajar diakhiri tawanya bersama Gladis.
Anggita mendelik sebal ke arah keduanya.
"Temen macam apa kalian yang ketawa pas temennya kesusahan? Huh!" protes Anggita kesal.
"Udahlah, Ta. Abaikan aja mereka. Masih ada kita kok di kelas ini! Anggap aja mereka berdua itu batu!" sela Gladis.
"Yang satu batu posesif dan bossy. Yang satu batu…," mendadak kalimatnya terhenti.
"Batu apa hayo? Batu malaikat gitu. Ngaku aja!" sela Gladis lagi menggoda.
"Kok malaikat sih? Dia ketua geng motor tahu!" protes Fajar.
"Ih. Kudet! Buat Anggita, Gilar itu Batu malaikat tanpa sayap."
"Kok bisa?"
"Tanya sama orangnya yang lagi bengong tuh!"
Di dapati Fajar dan Gladis, Anggita tengah berdiri di antara jendela yang terbuka sejengkal. Ia hirup lamat-lamat udara pagi itu. Meski ada sisa debu yang menyesakkan hidungnya, namun masih kalah banyak dengan udara segar yang masuk ke dalam paru-parunya. Meski keberadaan Rangga tak ubahnya bagai batu besar yang menindihnya hingga kesulitan bernafas, namun keberadaan Gilar membuatnya bisa hidup kembali setelah mengalami sakratulmaut berulang kali.
Ia hanya ingin sekolah dengan nyaman. Masuk kelas tepat waktu, mengerjakan tugas sekolah dengan nilai sempurna, mendapatkan nilai ujian yang terbaik, dan mempertahankan beasiswanya dengan selalu menduduki peringkat tiga teratas. Namun, semua itu hanya menjadi khayalannya semata semenjak ia menginjakkan kaki di SMA Marga.
Ia masih ingat betul pernyataan cinta Rangga 1 bulan setelah ia resmi menyandang siswa SMA Marga.
Saat itu sedang jam istirahat. Anggita dan Gladis tengah duduk di salah satu kursi kantin sambil menyantap bakso pesanannya. Tiba-tiba Rangga muncul dan langsung duduk di samping Anggita, disusul satu temannya, Erik, duduk di samping Gladis yang berada di depannya. Kedua gadis itu sejenak saling melempar pandang.
"Ada apa, Rang?" tanya Anggita membuka percakapan.
"Beresin aja dulu makanannya, Ta. Nyantai aja!"
Anggita mengangguk ragu. Ia menyendok baksonya dengan canggung, melirik ke sana kemari menyaksikan tatapan semua orang yang berada di kantin tengah tertuju padanya. Bibir bawahnya ia gigit perlahan. Memilih menyudahi menyantap bakso ketimbang membuat Rangga menunggu dan dipelototi orang sekantin.
"Bilang dulu aja deh, Rang. Ada perlu apa yah?" sambung Anggita kembali.
Gladis yang ada di hadapannya tampak acuh tak acuh akan keberadaan Rangga dan Erik. Santai menikmati bakso tanpa melirik ke arahnya sedikit pun. Sengaja Anggita menendang kaki Gladis agar membantu kecanggungannya.
Gladis memandang Anggita dengan senyuman dipaksakan, beralih memandang Rangga yang ternyata tengah memandangi Anggita dengan lekat.
"Udah de, Rang. Gak usah basa-basi! Cepetan mau bilang apa? Anggita butuh makan! Gak enak kalau diliatin kayak gitu!" protes Gladis.
Rangga mendelik ke arah Gladis sebal yang dibalas gadis itu dengan menjulurkan lidahnya keluar.
"Sama kakak sepupu tuh yang sopan dong, Dis!" protes Rangga.
"Masa bodo!" lagi-lagi Gladis menjulurkan lidahnya mengejek Rangga, "buruan dong ngomongnya! Kasihan Anggita kelaperan! Dia pingsan, kamu yang tanggung jawab, yah?" ancam Gladis.
Tiba-tiba Rangga mengeluarkan sebuah kotak kecil merah dengan ikat pita pink melingkarinya ke hadapan Anggita setelah menggeser mangkok bakso miliknya yang masih tersisa setengahnya. Anggita memandang kotak dan Rangga bergantian dengan bingung. Enggan menyentuhnya sama sekali. Sementara Gladis malah menggelengkan kepala dan kembali menyantap bakso yang tinggal kuahnya.
"Gita, kamu jadi pacarku, yah?"
Anggita diam sejenak. Erik ikut-ikutan memandangi Anggita seperti Rangga, namun dahinya mengkerut saat menoleh ke arah Gladis dan mendapati gadis yang malah memandang ke arah Rangga dengan pipi mengembung.
"Sorry, Rang. Aku gak bisa!" jawab Anggita yang langsung membuat Rangga tiba-tiba menggenggam erat tangan gadis itu.
Anggita yang terkejut mencoba melepaskan diri, namun Rangga terlalu kuat menggenggam tangannya yang membuatnya tak punya pilihan selain patuh.
"Lepasin, Rang!" Anggita memandangi sekeliling yang tengah mengarahkan ponsel mereka ke arahnya, "semua orang liatin kita!" sambung Anggita sembari terus mencoba melepaskan diri.
"Kamu harus jadi pacarku, Ta! Harus!"
Beberapa siswa mulai berkerumun, saling berbisik, dan memandangnya dengan tatapan menohok. Anggita yang merasa tak nyaman sekuat tenaga melepaskan tangannya, namun Rangga tak membiarkannya. Sebuah pukulan mendarat di pundak lelaki itu berulang kali. Rangga meringis namun masih enggan melepaskan tangan Anggita. Ditolehnya orang yang masih memukuli bahunya ternyata Gladis, gadis itu sudah berdiri di samping Rangga dengan muka masam.
"Lepasin, ****! Gak usah bikin ulah deh!" protes Gladis yang hanya di tanggapi tak acuh oleh lelaki itu.
"Dia udah bilang gak mau, Rangga!" protes Gladis lagi, "lepasin! Kasihan! Malu diliatin banyak orang!" sentaknya kemudian.
Saat Rangga memandang sekeliling dan mendapati orang-orang tengah melihat ke arahnya, Anggita tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Segera ia buru-buru lari dari kantin di susul Gladis yang sebelumnya memandang sebal Rangga. Sementara Rangga hanya memandang tajam langkah kepergian Anggita yang semakin menghilang dari pandangannya. Ketika mendapati kotak pemberiannya masih ada di atas meja, ia mengambilnya dan melemparkannya ke sebarang arah.
"Sial!" teriaknya kesal.
Erik menghampirinya dan hanya menepuk pundak lelaki itu, kemudian meminta siswa lain untuk bubar.
Namun, setelah pernyataan cinta itu Rangga malah selalu mengekori keberadaan Anggita. Mengusir paksa keberadaan Gladis yang menjadi teman sebangkunya untuk berpindah hingga ia bisa duduk di samping Anggita. Awalnya Anggita tak terlalu terganggu, namun ketika Rangga selalu memaksa menyontek hasil tugasnya, mengambil paksa kertas jawaban setiap ujiannya, bahkan dengan sengaja duduk di samping Anggita ketika berada di kantin yang berhasil membuat gadis itu memilih melewatkan santapan istirahatnya hampir setiap hari, membuat Anggita memilih untuk menghindari lelaki itu.
"Lihat dong tugas yang Bu Risma kasih kemarin!" pinta Rangga suatu hari yang tiba-tiba duduk di sampingnya ketika Gladis tengah berdiri di depan kelas mengerjakan soal di papan tulis.
Anggita memilih diam mematung. Menjatuhkan pandangannya hanya ke arah Gladis yang masih mengerjakan tugasnya. Rangga mengambil paksa buku yang ada di hadapan Anggita, namun gadis itu memilih hanya diam sembari meremas erat tangannya sendiri di bawah bangku. Ketika Gladis selesai mengerjakan tugas di depan, ia menarik paksa Rangga agar menjauh dari bangku miliknya. Namun Rangga enggan pergi. Pandangan teman-teman sekelas sudah tertuju pada mereka yang membuat Gladis mengalah dan duduk di bangku belakang, di samping Fajar yang selalu duduk sendirian bersama tas landaknya.
Pernah juga suatu ketika Rangga datang bertamu malam hari ke rumah Anggita dengan dalih hendak mengerjakan tugas bersama. Lala yang merupakan ibu Anggita tanpa menaruh curiga mempersilakan Rangga masuk ke dalam rumah dan memanggil Anggita. Mendapati keberadaan lelaki itu, Anggita dibuat geram sekaligus bingung karena tak mungkin mengusir lelaki itu hingga membuat Ibunya curiga bahwa ia tengah diusik di sekolah. Akhirnya malam itu Anggita membiarkan Rangga menyalin semua tugas sekolahnya dan menunggunya dengan enggan.
"Kamu harusnya jadi pacar aku, Ta! Gak usah kayak gini jadinya, kan?" tukas Rangga sembari masih menyalin tugasnya.
"Kamu ngancem aku, Rang?"
"Bukan ngancem, tapi nawarin biar kamu jadi pacar aku aja."
"Sorry, Rang. Aku gak ada waktu buat pacaran sama siapapun, termasuk kamu!"
"Serius?"
"Iya!"
"Oke! Aku pegang kata-kata kamu, Ta. Tapi, kalau kamu ketahuan pacaran, kamu bakal tahu akibatnya nanti."
"Kamu ngancem aku lagi?"
"Bukan ngancem, cuma ngasih peringatan aja biar kamu mau jadi pacar aku aja daripada pacaran sama yang lain."
Mentari semakin menanjak naik. Satu persatu teman sekelasnya berdatangan. Anggita duduk sendirian di bangkunya, sesekali menoleh sebal ke arah Gladis yang betah duduk di samping Fajar.
"Nanti Aa Gilar dateng, Ta. Tenang aja!" tukas Fajar menggoda diiringi tawanya dan Gladis yang tengah cekikikan.
"Kalau bolos gimana?" tantang Anggita.
"Ntar aku duduk disana kalau pas Guru udah masuk, si Aa Gilar belum dateng."
Lagi-lagi Fajar dan Gladis hanya tertawa.
"Aa apaan sih? Aa ea maksud kalian?" sela Anggita masih kesal.
Tepat ketika bel berbunyi, sosok Rangga menerobos pintu kelas. Anggita yang kebetulan tengah memandang pintu yang masih terbuka dengan perasaan tak karuan, sejenak saling berpandang dengan Rangga. Buru-buru Anggita berpaling, memilih memandang ke arah jendela meski perasaannya semakin tak menentu. Ia menoleh ke arah Gladis, dengan wajah memelas meminta gadis itu segera duduk di sampingnya.
Namun, ketika Gladis tengah bersiap pindah tempat duduk, ia kembali duduk di kursi samping Fajar sembari menyembulkan senyuman semringah. Anggita mengernyitkan dahi sebal.
"Aa Gilar udah dateng tuh!" bisik Gladis.
Anggita mengalihkan pandangannya, memandang ke arah Gilar yang datang bersamaan dengan Bu Risma selaku pengajar pertama di kelasnya hari itu. Dengan santai Gilar mempersilakan Bu Risma masuk terlebih dahulu, kemudian menutup pintu rapat yang membuat Guru berkerudung lebar itu tersenyum malu.
"Makasih, Gilar," ucap Bu Risma
.
"Sama-sama, Bu!" balas Gilar setengah membungkuk.
Anggita memerhatikan betul tingkah Gilar yang membuatnya tersenyum kecil. Tanpa basa-basi Gilar duduk di sampingnya.
"Pagi, Anggita!" bisik Gilar ramah, "Dango itu aku! Save nomornya baik-baik, yah. Jangan kasih ke sembarang orang. Oke?" Sambungnya kemudian yang membuat pelipis Anggita mengkerut.
"Emang kenapa?" timpal Anggita.
"Nomor aku itu sakral!"
"Tapi si Fajar punya nomor kamu kok!"
"Anak-anak cowok emang pada punya nomor aku semua. Kalau ceweknya cuma kamu!"
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menggelitik hati Anggita. Pipinya mendadak terasa panas padahal mentari di luar sana masih ada di ufuk timur.
"Kenapa cuma aku?"
Gilar menoleh ke arah Anggita sembari memandangnya lekat. Dipandangi demikian malah semakin membuat wajah Anggita terasa kepanasan, namun ia memilih membalas tatapan Gilar meski hatinya semakin terasa digelitik. Tiba-tiba tangan kanan Gilar menyentuh puncak kepalanya, mengelusnya perlahan yang berhasil membuat hati Anggita berjingkrak riang.
"Cewek emang cerewet, yah. Udah! Nurut aja yah, Ta. Sekarang kita belajar! Kalau Bu Risma ngambek nanti aku yang repot. Ok?"
Tangan Gilar terlepas bersamaan dengan suara Bu Risma yang memulai pelajaran. Dari kejauhan, Rangga memandang tajam ke arah keduanya. Tangannya terkepal erat sembari meremas kertas yang ada di hadapannya.
Anggita pura-pura sibuk dengan pensil dan bukunya. Sementara Gilar yang ada di sampingnya terus memandanginya. Gladis yang kini duduk berhadapan dengan keduanya hanya bisa bertukar pandang dengan Fajar yang duduk di sampingnya, kemudian pada Rangga yang duduk di antara ia dan Anggita.
"Nah, semuanya udah dapet kelompok, kan?" tanya Bu Risma yang masih duduk di bangku Guru. Memandang ke sekeliling kelas memastikan para siswanya sudah duduk berkelompok sesuai permintaannya.
"Silakan satu perwakilan kelompoknya maju ke depan! Akan ibu berikan tugas yang harus di kerjakan hari ini!" sambung Bu Risma.
Tanpa di pinta, Fajar menjadi wakil dari kelompok yang terdiri dari 5 orang itu. Meninggalkan kecanggungan yang semakin membuat Gladis mendelik sebal akan keberadaan Rangga yang duduk demgan santai di samping Anggita.
"Ngapain sih pake ke kelompok ini segala, Rang? Bikin gak nyaman tahu!" protes Gladis.
"Gak usah protes! Kelompok kalian orang pinter semua! Rugi kalau gak masuk kelompok ini!" sela Rangga membela diri.
Gladis mencebik. Memandang tajam ke arah Rangga berharap lelaki itu merasa tak nyaman duduk di sana. Anggita yang sedari hanya diam memilih tidak bereaksi apapun
.
Gilar tiba-tiba berdiri dari duduknya, "pindah sini, Ta!" ujarnya sembari menarik tangan Anggita yang dengan patuh duduk di bekas kursi milik Gilar.
Alhasil Gilar dan Rangga duduk berdampingan yang tentu saja membuat Rangga memandang sebal ke arah Gilar.
Fajar yang datang di saat bersamaan langsung di sambut senyuman Anggita, membuat suasana sedikit menghangat.
"Tugasnya banyak, Faj?" tanya Gladis membuka diskusi.
"Cuma satu sih tugasnya. Cuma nanti kalau beres harus dipresentasikan di depan," jelas Fajar.
"Aku aja yang maju ke depan!" ujar Rangga menawarkan diri.
"Kita kerjain dulu aja lah, Faj. Soal nanti siapa ke depan gampang! Yang penting semuanya harus ngerti dulu tugasnya," celoteh Gilar panjang lebar yang membuat Gladis dan Fajar memandangnya aneh.
"Bijak gitu kalimatnya, Gil! Tumben!" sela Gladis mencibir.
"Iya dong! Siapa dulu dong mentornya? Anggita gitu loh!" jawab Gilar sembari menepuk pundak Anggita perlahan.
Anggita mendelik ke arahnya dengan tatapan sebal.
"Cuma ngomongin fakta, Ta! Gak usah marah gitu dong!" protes Gilar merasa terintimidasi, "kan kamu yang ngajarin aku biar banyak memahami isi pelajaran ketimbang rajin ngerjain ke depan kelas tapi gak faham isinya," sambung Gilar.
"Iya deh, iya!" tukas Anggita menanggapi diiringi elusan tangan Gilar di atas puncak kepalanya yang lagi-lagi membuat wajah gadis itu memanas.
Melihat hal itu, Rangga berdehem keras.
"Kapan nih ngerjain tugasnya? Keburu bel nih!" ujar Rangga yang membuat Gilar menyudahi aksi elusannya.
"Dasar sirik!" gerutu Gladis sembari mendelik ke arah Rangga, "ayo, Faj! Aku bagian nyatet aja. Yang pinter-pinter silahkan berpikir!"
Kenyataannya hanya Anghita dan Fajar yang sibuk berdiskusi menyelesaikan soal, dimana Gladis menyibukkan diri dengan menyalinnya. Sementara Gilar dan Rangga hanya duduk terdiam tanpa melakukan apapun, meskipun sesekali Fajar dan Gladis mendapati dua lelaki itu saling berpandang tajam.
Satu persatu perwakilan kelompok maju ke depan kelas. Termasuk kelompok Anggita yang di wakili oleh Gilar.
"Hebat juga si Gilar berani jawab soal tanpa bawa catetan!" puji Gladis setengah berbisik.
"Palingan di hafalin! Aku juga bisa kalau kayak gitu!" sela Rangga menimpali.
Gladis berdecak sebal.
"Siapa dulu dong mentornya! Anggita Putri Wijaya!" seru Fajar ikut menimpali.
Anggita mendelik ke arahnya, "apaan sih, Faj? Kok jadi bawa-bawa aku segala?" protesnya kemudian.
"Yeh! Orang dia yang bilang sendiri tadi. Bener gak, Dis?" sanggah Fajar membela diri.
Gladis mengangguk mantap diamhiri tawa keduanya yang malah membuat Rangga semakin terdiam.
Tiba-tiba Rangga menyentuh lengan Anggita dengan tangannya, membuat gadis itu spontan menoleh cepat. Beringsut menjauhkan diri.
"Apaan sih?" tanyanya sinis.
"Malem aku ke rumah kamu!" ujar Rangga kemudian yang diakhiri perginya lelaki itu ke bangkunya kembali. Membuat Anggita hanya mampu menundukkan kepala di atas ke dua lengannya yang di taruh di atas meja.
"Dasar cowok gak punya malu!" gerutu Gladis sebal sembari menepuk pundak Anggita perlahan.
"Gak usah keluar rumah aja, Ta!" sela Fajar menimpali.
Anggita mendongakkan kepalanya. Wajahnya enggan tersenyum sama sekali.
"Ibu ada di rumah malam ini. Pasti beliau izinin Rangga masuk!" keluh Anggita.
"Gak punya otak emang tuh anak! Kamu nginep di rumah aku aja lah, Ta?" tawar Gladis.
"Sama aja atuh, Neng. Rumah kamu justru lebih rawan! Gimana sih? Rangga bisa maen masuk rumah kamu tanpa harus izin juga!" sela Fajar menimpali.
"Eh, bener juga yah!" Gladis menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "rumah kamu aja kalau gitu, Faj! Gimana?" tambahnya kemudian.
Fajar terbelalak. Sedang Anggita tersenyum kecil. Di saat bersamaan Gilar muncul dan duduk di samping Anggita.
"Ada obrolan apa nih? Kayaknya ada yang lucu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Anggita yang masih tersenyum.
"Ini nih si Gladis! Masa nyuruh Anggita nginep di rumah aku? Ngaco! Gelo maneh mah!" protes Fajar sambil menjitak puncak kepala Gladis keras.
Gadis berkerudung itu meringis.
"Nginep? Buat apa, Ta?" tanya Gilar pada Anggita.
Gladis dan Fajar memilih diam, sedang Anggita beberapa kali menggigit bibirnya enggan berbicara.
"Nginep buat apa, Ta? Rumah kamu kena bencana alam?" tanya Gilar kembali.
Fajar dan Gladis tertawa bersamaan.
"Bukan, Gil. Cuma becandaan mereka aja! Rumah aku baik-baik aja kok!" Anggita enggan berkata jujur.
"Si Rangga katanya mau ke rumah anggita entar malem!" sela Gladis menyerobot.
Anggita melotot kepadanya. Gilar seketika memandangi Anggita dengan tajam.
"Apel malem?" tanya Gilar kemudian.
Anggita menggeleng, "nggak! Bukan! Cuma... apa yah... belajar doang sih!" jawab Anggita ragu.
Gilar mengangguk tanpa mengatakan apapun lagi. Membuat Anggita, Gladis dan Fajar saling berpandangan bingung.
"Kamu gak cemburu, Gil?" tanya Gladis.
"Heh, Dis! Ngapain sih nanyanya aneh terus!" perotes Anggita.
"Cemburu buat apa?" sela Gilar.
"Itu kan si Rangga mau ke rumah si Gita!" balas Gladis.
"Hubungannya sama cemburu?" Gilar menimpali dengan tak acuh.
"Yah, si Gita suka di samperin malem-malem sama si Rangga. Kamu gak cemburu?" Gladis terus memojokkan Gilar.
"Enggak kok. Mungkin si Rangga emang butuh temen belajar! Gita juga kan pinter," jawab Gilar kemudian.
"Jawabannya kok rancu sih!" protes Gladis.
"Lagian buat apa juga aku cemburu. Bukan pacar Gita juga, kan?" timpal Gilar yang sontak membuat Anggita, Gladis dan Fajar langsung terdiam kaku.
Selama waktu istirahat, Anggita memilih menunggu Gladis dan Fajar kembali dari kantin membawa jajanan pesanannya. Ia enggan bertatap muka dengan Rangga yang tadi mengancam hendak ke rumahnya malam ini. Bukan karena takut sebenarnya, Anggita hanya sedang malas berurusan dengan Rangga yang berujung pada kalimat terakhir Gilar pada percakapan tadi selama mata pelajaran Bu Risma. Ada perasaan sakit yang tiba-tiba menggelitik hatinya, namun jelas itu perasaan yang tak berjudul.
Kalimat Gilar terus terngiang dipikirannya. Membuat perasaannya semakin ngilu bercampur bimbang. Ketika Gladis dan Fajar datang, setemgah terpaksa ia sunggingkan senyuman. Ketiganya menyantap jajanan seperti gorengan dan kerupuk yang berhasil di borong Gladis.
"Itu tadi maksud si Gilar apaan yah, Ta?" tiba-tiba mulut Gladis membuka percakapan yang sukses membuat Anggita semakin merasakan bimbang.
"Gak tahu, Dis!" Anggita merengut.
"Eh, gimana sih! Dia udah nembak belum?" Gladis nyerobot.
"Apaan sih? Emang dia atlet tembak menembak apa?" kilah Anggita.
"Ah, gak usah pura-pura **** kayak dia juga dong, Ta. Hubungan kalian udah sejauh apa sebenernya?" Gladis menangkupkan kedua tangannya di atas meja dengan wajah memandang ke arah Anggita lekat. Menunggu gadis itu berbicara lebih banyak.
"Cuma temen sebangku doang kok! Gak lebih!" Anggita mengelak.
"Alah! Gak usah boong, Ta. Seluruh penjuru sekolah udah tahu soal kamu sama si Gilar. Banyak kok yang gosipin kalian jadian!" jelas Gladis yang sontak membuat Anggita terbelalak.
"Jadian? Gosip macam apa itu?" protes Anggita.
"Tapi, ada juga yang bilang kalau kamu selingkuh dari si Rangga," timpal Fajar ikut-ikutan menghibah.
"Nggak! Aku bukan pacar Gilar! Ngapain juga aku selingkuh dari si Rangga, orang dia bukan pacar aku kok!" Anggita ngegas.
"Semua pada berasumsinya kayak gitu, Ta. Apalagi liat kamu sekarang selalu duduk sama si Gilar!" sela Fajar kembali memanas-manasi.
"Dia sendiri yang duduk di kursi ini! Bukan aku yang mau! Lagian si Gladis sih malah betah duduk di samping kamu!" protes Anggita.
Gladis dan Fajar secara bersamaanengangkat bahu.
"Mending si Gilar yang duduk samping kamu atau si Rangga?" tanya Gladis kemudian yang mampu membuat Anggita bungkam.
Anggita tak lagi menimpali, ia memilih menyantap jajanan kantin dengan perasaan berkecamuk. Gosip yang beredar tentang dirinya nyatanya sudah mencemarkan nama baiknya, apalagi jika itu berkaitan dengan Rangga. Ia yakin betul awal mula gosip itu akibat penolakan cintanya terhadap Rangga, padahal ia murni tak ingin berurusan dalam hal percintaan dengan lelaki mana pun. Ia hanya ingin menjadi siswa biasa, hanya belajar dengan baik dan mendapatkan peringkat teratas di sekolahnya. Tapi semenjak insiden penolakan cintanya terhadap Rangga, dirinya semakin terseret dalam permasalahan yang ia tak mengerti.
Ia ingat hari itu, hari yang masih sama seperti biasanya. Gladis saat itu masih menjadi teman sebangkunya, enggan mengangkat pantatnya barang sedikitpun dari kursi. Terus menerus menyelidik akan keberadaan Rangga dan tak membiarkan dirinya kehilangan kesempatan mempertahankan posisi sebagai teman sebangku Anggita. Meski keduanya berstatus saudara sepupu, namun Gladis tak pernah segan melawan sikap bossy Rangga yang selalu semena-mena apalagi terhadap teman sebangkunya, Anggita. Namun tetap saja, Rangga menghampiri kembali bangku Anggita dengan posisi berjongkok memandangi gadis itu yang tengah sibuk mengerjakan tugas selepas Pak Tono, Guru Matematika memberikan tugas latihan dan pergi keluar kelas. Anggita seperti biasa hanya acuh tak acuh seolah tak menyadari keberadaan lelaki itu.
"Pasti udah beres ngerjain, kan? Sini! Mana!" pinta Rangga sembari menyodorkan tangan meminta Anggita menyerahkan tugasnya.
Anggita hanya menoleh sebal sembari memandangnya tajam, berharap Rangga menjauh dari pandangannya.
"Heh, Rangga! Pergi sana! Kerjain sendiri kek! Kayak gak punya otak buat mikir aja!" timpal Gladis berang.
Rangga tak memedulikan. Ia berdiri dan menarik buku yang berada di hadapan Anggita. Mengambilnya paksa. Namun, Anggita segera mengambil bukunya kembali dan menyembunyikannya di bawah bangku.
"Gak usah sok jual mahal deh! Mana sini!" ancam Rangga.
Anggita tak bergeming. Ia mengatupkan mulutnya rapat, meski hatinya terus memaki kasar pada Rangga.
"Pergi sana! Ganggu orang lagi ngerjain tugas aja!" protes Gladis lagi yang masih tak didengarkan Rangga.
Kali ini Rangga lebih nekat. Ia merogohkan tangannya ke bawah bangku dan mengambil kembali buku Anggita. Dengan bangga mengangkatnya tinggi-tinggi ketika Anggita mencoba untuk mengambilnya kembali.
"Balikin, Rang!" teriak Anggita berang.
Rangga tersenyum picik yang membuat Anggita memandangnya tajam.
Berkali-kali Anggita mencoba meraih bukunya, namun Rangga terus menerus menaikkannya tinggi-tinggi hingga membuat gadis itu sesekali menabrakkan tubuhnya ke tubuh Rangga. Merasa puas, Rangga malah terus-terusan mempermainkan Anggita hingga seluruh teman-teman sekelasnya memperhatikan mereka. Bukannya mereka tak ingin membantu Anggita, tapi tak ada yang berani meladeni sikap bossy Rangga yang merupakan anak Kepala Sekolah SMA Marga kecuali Gladis. Tapi perlawanan Gladis pun hanya seperti isapan jempol belaka yang tak pernah di pedulikan, apalagi mereka.
Anggita hampir ingin menangis dan berteriak. Kedua pandangan matanya terasa berair, dadanya sesak hingga membuatnya memilih kembali duduk di bangku. Mematut diri dengan kertas yang lain. Berpura-pura abai tatkala Rangga kembali menggodanya dengan bukunya sendiri. Anggita sudah terbiasa menjadi bahan tontonan teman sekelasnya ketika harus berurusan dengan Rangga semenjak pernyataan cinta lelaki itu ia tolak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Rangga hanya menyukai Anggita dan hanya mengejar gadis itu, hingga tak ada seorang lelaki pun yang berani mendekati Anggita.
Saat Rangga masih mencoba menggodanya, duduk di samping bangku Anggita sembari membolak-balikkan bukunya, tiba-tiba seseorang menendang Rangga hingga lelaki itu tersungkur. Sontak semua terkejut termasuk Anggita. Air mata yang hendak menetes mendadak mengering saat seorang lelaki mengambil paksa bukunya dan mengembalikannya ke hadapan Anggita. Ditatapnya lelaki itu dengan mata terbelalak.
"Berhenti ganggu Anggita!" ujar lelaki berambut ikal itu; Gilar.
Rangga yang tak terima, hendak membalas dengan melayangkan tinjunya namun Gilar berhasil menangkis hingga membuat Rangga sendiri terbentur dinding belakang kelas.
"Gak usah ikut campur!" protes Rangga kemudian.
Sebelum Rangga menghampiri Gilar kembali, Erik datang menahan tubuhnya. Menyeret paksa Rangga sekuat tenaga untuk menjauh dari Gilar meski keduanya saling bertatapan tajam.
Gilar memungut buku Anggita yang tergeletak di lantai, menaruhnya tepat di depan gadis itu yang masih terdiam.
"Dis, kamu bisa pindah ke samping si Fajar, gak?" tanya Gilar kemudian yang membuat Gladis kebingungan.
"Maksudnya, Gil?" Gladis jelas tak mengerti.
"Biar aku yang duduk samping si Gita. Kamu sama si Fajar!" Gilar kembali menjelaskan.
Spontan saja Gladis bangkit dari duduknya dan pindah ke kursi belakang, meski Anggita mendelik ke arahnya sebal karena mau-maunya menuruti keinginan Gilar. Namun, Gilar berdiri tepat di samping kursi bekas Gladis duduk sambil menatap Anggita yang tengah menatapnya bingung.
"Aku duduk disini, boleh?" pinta Gilar kemudian.
Anggita mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Semua teman-temannya memandang ke arahnya. Ia sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi, hingga rasa malunya tiba-tiba mencuat. Pandangannya terhenti tatkala mendapati Rangga yang duduk jauh di ujung kelas tengah menatapnya berang.
"Silakan!"
Meski tak yakin apa yang dilakukannya ini benar atau salah, namun Anggita menyadari satu hal bahwa Rangga hanya bisa di lawan Gilar, sang Ketua Geng Motor yang kerjaannya tidur di dalam kelas. Namun, tiba-tiba terbangun dari tidur tenangnya dan menendang Rangga hingga lelaki itu tak berkutik. Melihat raut wajah Rangga yang penuh amarah namun tak melakukan apapun pada Gilar, membuat Anggita semakin yakin bahwa keberadaan Gilar saat ini, meski untuk sementara waktu saja, mampu melindunginya. Apalagi Gilar menawarkan diri duduk di sampingnya, bukan ia yang meminta.
Namun, Anggita tak pernah menyangka bahwa keputusannya hari itu malah membuat Gilar selalu meminta Gladis terang-terangan memberikan kursinya. Hingga membuat Gladis memutuskan tak lagi duduk di samping Anggita. Sejalan dengan itu, Rangga pun tak pernah mau lama-lama mengganggui Anggita ketika Gilar sendiri yang menyuruh lelaki itu tak mengganggu gadis di sampingnya.
Anggita melahap habis gorengan yang tersisa. Meneguk air mineral yang tersisa sedikit lagi. Gladis dan Fajar yang melihatnya hanya termangu.
"Harusnya aku gak izinin dia duduk di sini waktu itu! Mending aku duduk sendirian!" gerutunya kesal di akhiri bel masuk yang berdentang nyaring.
Mata Anggita tak berhenti menatap pintu kelasnya ketika Gilar memasuki ruangan dengan langkah santai.
"Gilar, sebenernya maumu apa sih?" gerutu Anggita dalam hati.
Gladis dan Fajar membiarkan Anggita berjalan sendirian menikmati tumpukan buku yang terpampang rapi. Gadis itu tampak tak menyadari akan keberadaan dua temannya yang memilih membiarkannya sendirian, tak menoleh atau bahkan tak berbicara sama sekali. Anggita sibuk membolak-balikkan buku, sekilas membaca tulisan di bagian belakang, kemudian menaruhnya kembali dan berjalan lagi.
"Aku sama Anggita nginep di rumah kamu aja, gimana?" tanya Gladis.
"Enak aja! Mamahku nanti mikir apa kalau aku bawa dua cewek nginep di rumah? Belum lagi Emak-emak tetangga nanti bakal ngeghibah! Heuh! Nggk deh!" Fajar mempercepat langkahnya namun berhasil dihentikan Gladis.
"Kasihan Anggita! Dia pasti stres berat! Udah seminggu dia jarang senyum, Faj. Tiap hari di kelas kerjaannya cuma mingkem, belajar dan belajar kayak orang gila. Belum lagi kalau ada si Rangga, aura dia tuh berubah gelap semua!!!"
"Harusnya kamu peringatin si Rangga selaku sepupunya! Kalau saudaranya aja gak bisa ngelawan, gimana kita yang cuma remah rengginang?"
"Ih! Udah dibilangin orangnya keras kepala!"
"Terus aku bisa apa? Yang ada aku kena anceman dia lagi, Dis!"
Fajar membekap mulutnya cepat-cepat.
"Siapa yang ngancem?" Gladis meminta jawaban.
"Udah! Lupain aja!"
Fajar melangkah pergi namun Gladis lagi-lagi berhasil menahannya.
"Jangan bilang kalau si Rangga pernah diancem kamu!"
Mata Fajar menoleh ke segala arah.
"Kapan? Bilang, Faj! Ngaku! Kalau enggak, aku bilangin ke Anggita!"
Fajar terdiam sejenak.
"Pas waktu si Gilar nendang dia di kelas, terus istirahatnya kita bertiga ngabisin waktu di kelas…," tutur Fajar.
"Hubungannya sama dia ngancem kamu?"
Fajar menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengehembuskannya perlahan.
"Dia gak suka aku ngobrol sama kalian. Waktu itu kejadiannya pas aku mau ke kantin. Dia tiba-tiba nyegat di tengah jalan terus ngeret aku ke belakang sekolah!"
"Gila tuh anak! Udah gak waras!"
"Dia ngancem kalau aku berani deketin Anggita, ngobrol sekalipun, dia bakalan ngasih perhitungan ke aku!"
"Tapi, kamu kok tetep mau gaul sama kita? Itu kejadiannya kan udah lama banget, Faj!"
"Waktu udah di labrak si Rangga, aku malah gak takut sama anceman dia. Aku malah makin pengen deket sama kalian, terutama Anggita. Kasihan liat dia! gak ada satu orang pun yang mau deketin dia selain kamu."
"Good job, Faj. Kamu emang yang terbaik! Gak usah turutin anceman si pengecut kayak dia mah!"
"Tapi, nyatanya aku gak bisa bantu apa-apa nyampe sekarang. Anggita tetep aja di gangguin si Rangga. Aku gak seberani Gilar buat nendang si Rangga kayak waktu itu. Asli! Gilar keren banget! Tapi aku juga jadi malu sendiri!"
"Kamu kan bukan Gilar, Faj. Gak usah bandingin diri sama orang lain kayak gitu. Cukup jadi diri sendiri aja!"
Gladis menepuk pundak Fajar pelan. Sebelum lelaki itu tiba-tiba beringsut menjauhkan tangan gadis itu dari tubuhnya.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Anggita yang tiba-tiba berada di belakang Gladis.
Gladis sejenak terdiam, memandang tangannya yang ditepis oleh Fajar.
"Gak apa-apa, Ta. Ini lagi diskusi soal tugas tadi! Katanya ada yang Gladis gak ngerti. Udah ketemu bukunya?" timpal Fajar sembari menghampiri Anggita.
"Kalau udah, kita balik yuk! Udah sore juga nih! Mamahku pasti marah kalau aku pulang malem!" kilah Fajar.
"Dasar anak mami!" sela Gladis sembari menggamit lengan Anggita yang tengah memegang sebuah buku, "balik yuk! Tapi, jajan dulu, yah!"
Gladis menarik lengan Anggita, di susul Fajar yang terdiam sejenak memandangi keduanya yang sudah berjalan menjauh.
"Sorry, Ta. Aku belum bisa bikin si Rangga jauh dari kamu." Gerutunya dalam hati.
***
Gladis dan Anggita berjalan beriringan, sementara Fajar mengekor di belakang keduanya. Cuaca saat itu mendung. Ketiganya berhenti di sebuah halte tak jauh dari toko buku, duduk di kursi halte sambil terus mengobrol ringan. Kadang diselingi tawa yang kini tersungging dari bibir Anggita, kadang juga diselingi raut wajah masam Fajar yang selalu di pojokkan.
"Kadang aku ngerasa beruntung bisa deket sama kalian, tapi juga kadang ngerasa sial juga!" gerutu Fajar sembari memasang wajah muram.
"Gak usah lebay jadi cowok, Faj!" sela Gladis
.
"Kalian orang yang paling dihindari anak-anak lain, tapi aku malah jadi tertantang aja deket sama kalian!" sambung Fajar lagi.
Mendadak Anggita terdiam, begitu juga Gladis. Keduanya memilih memandang lalu lalang mobil yang melintas. Sebelum akhirnya bus yang mereka tunggu tiba. Ketiganya naik berurutan. Anggita dan Gladis duduk bersebelahan, sedangkan Fajar ada di belakangnya duduk sendirian.
Gladis menoleh ke arah Fajar, "sorry, Faj! Mudah-mudahan kamu gak rugi yah temenan sama kita! Kalau aku sama Anggita sih udah maklum dijauhin anak-anak kelas. Kalau kamu emang udah gak nyaman sama kita, gak usah dipaksain. Jauhin aja! Kita baik-baik aja kok. Iya gak, Ta?"
Anggita mendongak. Ia juga ikut-ikutan mengubah posisinya menoleh ke arah Fajar.
"Iya, Faj. Kamu bebas mau temenan sama siapa aja. Gak harus sama kita aja! Deket sama kita mah emang banyak masalahnya. Kamu pasti bakal kena imbasnya!"
Fajar sejenak terdiam. Memandang ke arah dua teman wanitanya yang tiba-tiba berceramah panjang lebar, terutama Anggita. Fakta ia pernah kena labrak Rangga telah ia tutup-tutupi, malah ia menganggap hal itu hanya sekedar mimpi belaka. Meski hal itu tak membuat Rangga berhenti mengganggu Anggita yang sudah terang-terangan menolak pernyataan cintanya.
"Aku nyaman deket sama kalian kok. Tenang aja! Aku gak kena imbas apa-apa, Ta. Aku baik-baik aja kok!" ujar Fajar sembari memandang ke arah keduanya dengan sesungging senyuman.
Mobil terus melaju menjauhi pusat kota tempat biasa mereka menghabiskan waktu selepas pulang sekolah. Tentu saja semuanya demi menghibur Anggita yang selalu murung selama berada di sekolah, apalagi jika terus menerus diganggu oleh Rangga. Meski semenjak keberadaan Gilar yang memutuskan duduk di sampingnya, senyuman Anggita perlahan muncul meski hanya sesekali.
***
Anggita berjalan perlahan di bawah gerimis ketika ia turun dari bis. Kedua temannya melambaikan tangan sebelum bis melaju pergi. Ia menghirup napas lamat-lamat, terus berjalan memasuki area perumahan yang sepi. Hari mulai menggelap, beberapa kali ia menoleh ke kanan dan kiri melihat sekitar. Tak ada siapapun. Namun, tepat ketika ia hendak membuka gerbang pintu rumahnya, sebuah bunyi klakson membuatnya menoleh mencari sumber suara. Anggita mematung dengan tangan memegang gagang gerbang erat. Gerimis masih mengucur hingga membuat rambutnya kebasahan. Seseorang turun dari motor bebek dan berjalan perlahan ke arahnya.
"Baru pulang dari mana, Ta?" tanya lelaki bermantel hitam pekat yang rambutnya juga sudah kebasahan.
"Gilar!" sahutnya kemudian, "ngapain kamu disini?" tanyanya kebingungan.
"Aku nungguin kamu. Tadi kata Ibu kamu, kamu belum pulang. Jadi aku nunggu di sini!" ujar Gilar sembari menunjuk motornya yang terparkir di seberang rumah Anggita.
"Kenapa gak masuk aja? Ibu aku ngusir kamu?" tanya Anggita kemudian.
Gilar tertawa.
"Enggaklah, Ta! Aku aja yang nolak buat masuk ke rumah."
"Kenapa?"
"Canggung! Gak biasa ngobrol sama Ibu-ibu."
"Ih, aneh! Ayo masuk!"
Anggita membuka gerbang rumahnya, berjalan perlahan namun Gilar masih diam di tempatnya.
"Kenapa? Kok malah diem?"
"Aku pulang aja yah, Ta."
"Lah? Katanya nungguin aku?"
"Iya. Emang nungguin kamu. Sekarang udah ketemu. Jadi aku pulang aja, yah?"
"Loh? Cuma gitu aja?"
Gilar melangkahkan kakinya mendekati Anggita. Sebuah elusan kembali mendarat di puncak kepala Anggita.
"Inget baik-baik pesan aku yah, Ta. Jangan keluar rumah malam ini! Apapun yang terjadi!"
"Kenapa?"
"Nurut aja! Gak usah kayak Emak-emak cerewet!"
Sebuah jitakan malah mendarat di keningnya. Anggita meringis sembari mengusap keningnya, sedang Gilar melangkahkan kaki pergi.
"Gilar!" seru Anggita membuat langkah Gilar terhenti seketika.
Lelaki itu menoleh ke arahnya sembari tersenyum, "kenapa lagi, Ta...?"
Anggita terdiam sejenak. Mengatur nafasnya yang tiba-tiba tak teratur.
"Kelas sebelas nanti, kamu mau pilih jurusan apa?" tanya Anggita kemudian yang membuat Gilar tertawa terbahak.
"Kamu maunya apa?"
"Orang nanya malah balik nanya! Udah ah! Aku masuk dulu!"
Anggita menutup pintu gerbang sedang Gilar memilih berjalan dan menaiki motornya. Anggita diam sejenak memperhatikan Gilar pergi dengan motornya, lambaian tangan mengakhiri pertemuan tak disangka itu. Selepas Gilar pergi, setengah berlari Anggita memasuki rumahnya dengan senyum mengembang. Ucapan salam ia haturkan setengah berteriak kencang hingga membuat Ibunya yang tengah melipat pakaian dibuat terkesima.
"Ada apa sih, Ta? Bikin kaget ibu aja! Tadi ada yang nyariin tuh di depan rumah. Disuruh masuk malah nolak!"
Anggita menghampiri Ibunya yang tengah duduk di kursi, masih melipat pakaian yang sudah menumpuk rapi.
"Udah ketemu tadi, Bu. Ganteng gak orangnya?"
Ibunya memandang anak gadisnya lekat.
"Pacar kamu?"
Anggita manyun, "bukan sih. Tapi... Anggita kayaknya suka deh sama dia."
"Kalau anak yang namanya Rangga itu gimana? Yang suka datang ke rumah minta belajar bareng!"
"Oh...," Anggita berpikir keras, "dia cuma temen aja. Temen yang butuh bantuan!"
"Namanya tadi teh siapa?"
"Yang Anggita suka?"
"Iyalah!"
"Gilar Syahputra! Absen 18, teman sebangku Anggita yang rambutnya ikal. Dan anak...," Anggita menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Anak apa?" Ibunya menyelidik.
"Anak baik maksudnya, Bu."
Anggita tersenyum kaku. Hampir saja ia membuat kedok Gilar selaku ketua geng motor XXX. Tak dapat ia bayangkan apa jadinya jika sang Ibu tahu siapakah lelaki yang menunggu anak gadisnya.
***
Suara ketukan membuat Anggita beringaut dari ranjangnya. Saat membuka pintu, Ibunya berdiri sembari memangku baki berisi teh dan biskuit.
"Rangga barusan kesini. Udah ibu suruh pulang!" ujar Ibunya setengah berbisik.
Anggita mencium pipi ibunya, lalu mengambil alih baki dari tangan Ibunya.
"Makasih, Bu. Ibu emang paling ngerti!"
Namun, sebuah suara teriakan tiba-tiba terdengar dari area luar. Keduanya saling berpandang. Suara teriakan lagi menyusul kemudian. Anggita menaruh baki di nakas, kemudian menyusul Ibunya yang sudah berdiri di samping jendela kamarnya sembari membuka gorden sedikit. Mata Anggita terbelalak tatkala mendapati kerumunan lelaki. Ia kenal dua lelaki di antara mereka; Gilar dan Rangga yang tengah berdiri saling berhadapan. Tangan Rangga seolah siap melayangkan tinju di tangannya, namun Gilar hanya bersikap santai.
"Waduh! Itu siapa sih berantem depan rumah kita?" mata Ibunya memicing mencoba mengenali wajah-wajah mereka.
Namun, Anggita buru-buru menutup gorden dan menarik Ibunya duduk di pinggiran ranjang.
"Udahlah, biarin aja! Paling cuma anak-anak preman sini, Bu. Biar Pak Satpam yang urus yah. Kita gak usah keluar!"
Ibunya mengangguk patuh. Beberapa kali mengelus dadanya mencoba menenangkan diri.
"Mending Ibu istirahat aja. Anggita mau belajar lagi buat pelajaran besok. Gimana?"
Ibunya kembali mengangguk dan memilih pergi berlalu. Anggita menutup pintu rapat, menguncinya. Kemudian ia kembali membuka gorden jendelanya dan mendapati Gilar berdiri di sana. Memandang ke arahnya. Sesaat Gilar dan Anggita saling melemparkan pandangan, sebelum akhirnya Gilar pergi berlalu dengan motornya. Buru-buru Anggita meraih ponselnya, mencari nama Gilar di antara semua kontak. Ia menekan tombol icon gagang telepon, mendekatkan ponselnya ke telinga. Terdengar suara klik di akhiri suara yang familiar.
"Assalamu'alaikum, Ta!" sapa Gilar di seberang suara.
"Wa'alaikum salam! Kamu ngapain barusan depan rumah aku?" nada Anggita meninggi.
"Abaikan aja...."
"Kalian ngapain?" Anggita menuntut perjawaban.
"Masalah cowok, Ta. Cewek gak bakalan faham. Udah! Nyantai aja...."
"Nyantai gimana? Kamu sama si Rangga saling pukul! Aku lihat sendiri!"
Gilar tak lagi bersuara meski Anggita menunggu lelaki itu kembali menyanggah perkataannya.
"Gilar! Jawab!" Anggita meradang.
"Ini urusan cowok, Ta. Cewek gak usah ikut campur. Kamu pura-pura gak liat aja."
Anggita menghirup napas panjang kemudian menghembuskannya dengan suara keras.
"Kamu gak takut si Rangga ngelaporin kamu ke Bapaknya?"
"Udahlah, Ta. Kamu pura-pura gak liat aja. Oke?"
"Gak bisa gitu, Gilar!"
Tiba-tiba suara klik membuat suara Gilar menghilang. Anggita menatap kesal ponselnya yang kemudian ia lemparkan ke ranjang. Ia menjatuhkan dirinya, mengusap kepalanya dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Namun, wajahnya mendadak menegang mendapati pesan yang ia terima.
Rangga: Kamu jadian sama si Gilar? Jawab jujur! Kalau enggak, si Gilar bakal aku bikin di DO dari sekolah!
Anggita menggigit bibirnya gemas. Matanya terpejam erat. Ponselnya ia genggam erat. Berkali-kali hembusan nafasnya menggema di ruangan.
Sementara itu, Gilar tengah duduk di atas motornya. Memandang ke jendela rumah Anggita dari bawah pohon lebat. Sesekali memandangi layar ponselnya, percakapan antara ia dan Anggita yang berakhir dengan kata DANGO. Berulang kali ia mencoba mengirimkan pesan, namun berkali-kali juga ia menghapusnya.
Gilar: Selamat tidur, Ta.
Gilar: Sampai ketemu besok, Anggita.
Gilar: Gak usah mikirin kejadian yang tadi, Ta.
Gilar: Jadi kamu mau masuk jurusan apa nanti?
Gilar: Buat aku jurusan apapun gak masalah, Ta.
Gilar: Aku masuk jurusan yang sama kayak kamu aja gimana?
Gilar: dingin banget diluar. Aku boleh masuk gak?
Gilar: Ibu kamu keren bisa ngusir si Rangga secara halus.
Gilar: Salam buat Ibu Lala yah. Bilangin, dia cantik banget.
Gilar: Ibu Lala lagi apa, Ta? Kok tiba-tiba kangen beliau yah?
Gilar: Kamu udah tidur, Ta?
Gilar: Mau jadi pacar aku gak, Ta?
Semua pesan yang ia ketikkan lagi-lagi ia hapus. Memilih memasukkan ponselnya ke dalam saku dan memandangi jendela kamar Anggita yang sudah menggelap.
"Good night, Anggita. Have a nice dream!" ujarnya kemudian sebelum menyalakan motornya dan pergi berlalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!