Langit sore yang mulai teduh membawa langkah gontai seorang gadis keluar dari pintu gedung ruang kuliah. Hujan sedari siang sudah reda. Reyna berjalan kearah tempat parkir mencari motor maticnya. Tiba-tiba handphone bergetar dari saku roknya. Diangkatnya telepon dari nomor yang tidak dikenal.
"Halooo..!" Reyna menjawab dengan cepat.
"Ya saya anaknya!"
Setelah mendengarkan suara dari seberang telepon, Reyna terdiam dengan mulut menganga, tubuhnya kaku dan tangan mulai bergetar.
"Ba-baik saya akan segera kesana."
Pihak kepolisian mengabarkan bahwa orang tua Reyna sedang dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan. Air matanya mulai tidak terbendung lagi, sambil memasukkan handphone kedalam tasnya. Reyna bergegas menaiki sepeda motornya menuju rumah sakit di mana orang tuanya dirawat.
****
Sesampainya di rumah sakit Reyna langsung mencari keberadaan orang tuanya. Reyna mendapati ibunya yang sudah tak bernyawa di atas brangkar, dengan luka dan darah di sekujur tubuhnya. Reyna menangis histeris melihat jenazah ibunya. Dipeluknya dengan erat tubuh sang ibu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh ibu tercinta.
Reyna mengingat, dia sempat menolak ikut serta menemani ibu dan ayahnya yang hendak pergi, memenuhi undangan di rumah sahabat ayahnya. Sekarang ibunya telah pergi untuk selama-lamanya.
"Ibu-u..., Ibu-u...! jangan tinggalin Reyna bu..., Ibu-u ...!"
Reyna menangis sambil tak henti-hentinya memanggil sang ibu.
Tak berapa lama tubuhnya melemah dan jatuh ke lantai. Reyna tak sadarkan diri. Perawat membawanya keruang perawatan.
*****
Setelah satu jam berlalu, Reyna kembali sadar, matanya mulai mengerjap dan ekor matanya mengitari sekeliling ruangan. Tidak ada orang lain selain dirinya. Kepalanya terasa pusing dan berdenyut. Dia teringat jika sebelumnya sempat pingsan setelah melihat jenazah ibunya. Matanya yang sembab mulai berkaca-kaca dan tak kuasa terbendung. Lagi-lagi ia menangis menyadari nasibnya yang ditinggalkan sang ibu.
Terlihat ada seorang perawat muncul dari pintu memasuki ruangan kamarnya.
"Mbak, sudah bangun ya?" ujar perawat sembari mendekat ke arah tempat tidur Reyna.
Perawat tersebut memasangkan perekat di lengan tangan Reyna, kemudian menekan bola tensimeter untuk mengecek tekanan darahnya. Reyna hanya mengangguk tanpa menjawabnya.
"Sabar ya mbak, ikhlas kan yang sedang terjadi!" perawat itu merapikan kembali perlengkapannya.
"Di mana ayah saya dirawat, Sus?" Reyna hendak bangun dari tempat tidur.
Perawat yang melihat hal itu, kemudian segera membantu Reyna untuk duduk.
"Bapaknya dirawat di ruang ICU, Mbak. Mari saya hantarkan!"
Perawat itu mendorong kursi roda mendekat ke arah tempat tidur, kemudian memapah Reyna ke kursi roda. Dengan segera perawat membawa Reyna menuju ruang ICU di mana ayahnya berada.
Pintu dibuka dan memperlihatkan ayah Reyna yang terbujur di atas brangkar dengan banyak perban di kaki, tangan dan kepalanya. Bisa disimpulkan kecelakaan yang menimpa orangtuanya cukuplah parah.
Ada seorang laki-laki tua duduk di samping tempat tidur ayahnya.
"Ayah ...!" Reyna langsung berdiri memeluk ayahnya dengan berlinang air mata.
"A-ayah sudah lama menunggumu, Nak!" ucap Ayah.
"S-sabar ya, Reyn ... ikhlaskan yang sudah terjadi!" ucap Ayah dengan suara parau dan terbata-bata.
"A-ayah sudah tidak kuat, Reyn!"
Ayah menyentuh bahu Reyna yang sedang memeluknya sembari terisak.
"P-pak, saya mohon titip anak saya satu-satunya. T-tolong jaga Reyna dengan baik!"
Ayah menoleh ke arah bapak tua yang sedari tadi menunggu di samping tempat tidur ayah.
"Jangan khawatirkan dia, saya akan menjaganya seperti menjaga cucuku sendiri," ujar bapak tua itu sembari menepuk pelan bahu ayah Reyna.
"Reyna, setelah Ayah tiada ... ikutlah bersama Pak Hadi. Beliau sahabat Ayah, berbaktilah kepada beliau. Ayah akan menyusul ibumu!"
Mendengar hal itu seketika Reyna mendongak ke arah ayahnya dengan derai air mata yang tak henti-hentinya mengalir di pipinya.
"Aya-h ... jangan tinggalkan Reyna, Yah!"
Reyna semakin histeris menangis mengingat dia akan sebatang kara, jika kini ayah juga meninggalkannya. Bahkan, di kota ini, dia tidak mempunyai saudara dekat. Hanya ada paman adik dari ayah bersama istri dan anaknya yang tinggal di Yogya.
Ayah mulai melantunkan syahadat dengan lirih dan terbata-bata dengan dibantu oleh pak Hadi
Napas ayah yang tersengal-sengal mulai tak beraturan. Matanya meredup dan perlahan-lahan mengatup. Suara monitor panjang terdengar yang menandakan jantung ayah sudah berhenti berdetak.
Tiiiiiittttt!
"Aya-h ...!"
"Aya-h ..., bangun, Yah!"
"Ayab jangan tinggalkan Reyna sendiri, Yah!"
"Aya-h!"
Reyna terus menerus berteriak memanggil Ayahnya. Seketika tubuh Reyna melemas dan tak sadarkan diri.
Beruntung di sini ada sahabat ayahnya. Tuan Hadi Jaya yang telah mengurus semua biaya administrasi rumah sakit. Sedangkan truk yang sempat menabrak orang tuanya langsung kabur melarikan diri. Kebetulan saat kejadian berlangsung jalanan di kawasan terjadinya kecelakaan sedang sepi, dan seorang saksi mata yang melihat hanyalah seorang kakek tua yang sedang mencari ranting di hutan.
Hal itulah yang mengakibatkan ibu dan ayahnya terlambat mendapat penanganan medis. Ibunya meninggal saat masih di perjalanan, saat berada di dalam ambulan. Sedang ayahnya, meskipun sempat tertolong tapi keadaannya sudah sangat kritis, sehingga akhirnya meninggal setelah bertemu Reyna.
Saat ini Reyna masih berada di ruang perawatan. Istri tuan Hadi ibu Kinasih tiba di rumah sakit setelah mendapat kabar dari suaminya. Tuan Hadi meminta istrinya untuk menemani Reyna agar tetap tabah menghadapi kematian orang tuanya.
"Bagaimana keadaannya, Pa? Ibu Kinasih mendekat ke arah tempat tidur Reyna.
"Dia sangat syok dan langsung pingsan setelah ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya." ungkap Tuan Hadi.
"Kasian sekali ya Pa, anak ini. Bisakah kita membawanya pulang, Pa?" Ibu Kinasih mengelus pucuk kepala Reyna yang terbalut hijab.
"Iya, Ma. Nanti setelah orang tuanya dimakamkan, kita bawa dia pulang ke rumah," tutur tuan Hadi Jaya dan istrinya mengangguk.
Tuan Hadi Jaya, kemudian menghubungi anak buahnya untuk mempersiapkan acara pemakaman orang tua Reyna.
Tak berapa lama Reyna siuman dari pingsannya. Ia menoleh ke samping mendapati Tuan Hadi Jaya dan Ibu Kinasih duduk tidak jauh di samping tempat tidurnya. Meyadari hal itu, Ibu Kinasih mendekat.
"Sudah bangun, Nak. Saya Kinasih istri dari Pak Hadi Jaya. Jangan sungkan kepada kami. Kami akan menjagamu." ujarnya dengan tersenyum. Reyna hanya mengangguk dengan muka datarnya, dia masih merasa seperti mimpi buruk sedang terjadi padanya.
"Apa kamu memiliki saudara Reyna?" ucap ibu Kinasih sembari duduk di samping tempat tidur Reyna.
"Ada, Paman dan Bibi. Tapi mereka tinggal di Yogya." Ibu Kinasih kemudian meminta Reyna untuk mengabari bibinya.
Setelah mengabari orang-orang yang dirasa dekat kemudian Ibu Kinasih mengantar Reyna pulang ke rumahnya. Pemakaman akan dilaksanakan keesokannya. Reyna merasa beruntung karena ada Ibu Kinsasih yang selalu menemaninya. Bahkan ia tidak pulang ke rumahnya demi menemani Reyna. Sebab, Bibinya baru akan datang besok.
Tetangga dekat Reyna mulai berdatangan untuk melayat. Beberapa kelompok di tempat ibu mengaji kemudian menyolatkan jenazah kedua orang tua Reyna dan ikut mendo'akan. Begitu juga dengan teman kerja ayah juga berdatangan untuk melayat. Reyna bersyukur banyak orang yang masih peduli padanya.
Air mata Reyna masih sempat mengalir tatkala orang yang melayat menyalaminya. Dia bersyukur orang tuanya dikenal baik oleh mereka, sehingga banyak yang ikut mendo'akan agar kedua orang tua Reyna dapat diterima di sisi Allah.
Malam semakin larut, pelayat semakin berkurang karena harus pulang. Reyna masih tetap terjaga di depan jenazah ayah dan ibunya untuk mendoakan mereka.
Seusai pemakaman ayah dan ibunya, Reyna duduk termenung di kamarnya, sambil melihat keluar jendela. Kini ia tidak tau harus berbuat apa setelah ayah dan ibunya tiada. Ia baru mengetahui bahwa, ternyata biaya administrasi rumah sakit dan pemakaman semua telah diurus oleh bapak tua sahabat ayah yaitu Pak Hadi Jaya. Beliau dan istrinyalah yang selalu mendampingi Reyna ketika pemakaman orangtuanya dilaksanakan. Beruntung bibinya yang dari kampung datang sebelum jenazah orangtuanya dibawa untuk dikebumikan.
"Reyna, nduk maaf bibik terlambat. Yang sabar ya Reyn! Ikhlas ya nduk!" ucap Bibinya.
Bibi Lastri memeluk Reyna sambil berurai air mata. Bibi Lastri adalah adik ipar ayah. Beliau tinggal dikampung bersama suami dan kedua anaknya. Suami Bi Lastri yang merupakan adik ayah sudah lama sakit ginjal, sehingga tidak dapat menghadiri pemakaman ayah. Dua orang anaknya masih bersekolah. Anak pertamanya Dina masih SMA dan Dino anak keduanya masih SMP. Bibi menjadi tulang punggung keluarga. Untuk menghidupi kebutuhan keluarganya, bibi kerja di rumah makan setiap sore hingga malam. Dua minggu sekali paman cuci darah dengan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu ayah rajin mengirimi uang setiap bulannya demi membantu biaya pengobatan adiknya.
"Reyn, makan dulu nduk!"
"Dari siang kamu kan belum makan dan minum. Jaga kesehatan itu penting, Reyn."
"Bersedih boleh, asal jangan berlebihan. Menangis boleh tapi jangan sampai meraung-raung. Tidak nafsu makan pasti, tapi kamu harus tetap makan demi menjaga diri. Jika kamu tidak mau makan, sama saja mendzolimi diri sendiri." nasehat Bibi untuk membujuk Reyna makan.
Bibi pergi ke dapur untuk mengambil makan, lalu duduk disamping Reyna membawa piring berisi makanan. Ia menyuap satu sendok makanan ke mulut Reyna. Akhirnya Reyna membuka mulutnya.
"Terimakasih, Bi. Biar Reyna lanjut memakannya sendiri saja Bi" ucap Reyna
Bibi tersenyum senang karena berhasil membujuk Reyna makan
"Reyn, dua orang yang sedari tadi duduk di samping kamu saat pemakaman td siapa?"
"Mereka masih diluar bersama pak RT menyalami tamu."
Bibi menunjuk ke arah luar pintu.
"Oh, mereka sahabat Ayah, Bi. Namanya Merekalah yang selalu menemani Reyna dari saat masih di rumah sakit hingga mengurus biaya rumah sakit dan pemakaman ayah dan ibu." ungkap Reyna.
"Alhamdulillah ya, Nduk. Masih ada orang baik yang membantu kamu. Bibi merasa tidak berguna tidak bisa membalas kebaikan ayah ibumu, Reyn." ujar Bibi
Bibi menggenggam tangan Reyna sambil berurai air mata.
"Tidak Bi! Dengan kehadiran Bibi saja Reyna sudah berterimakasih sekali. Bibi adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang." Reyna mengusap punggung tangan Bibi.
"Habiskan makanmu setelah itu kita temui mereka, Reyn! Bibi ingin berterimakasih kepada mereka." titah Bibi.
Reyna mengangguk dan segera menghabiskan makanannya.
Diluar sudah terlihat sepi, karena pelayat sudah pulang. Terlihat hanya pak RT yang sedang berbincang dengan kedua kakek nenek yang sedari tadi menemani Reyna saat pemakaman berlangsung.
"Pak, Bu, kenalkan saya Bibinya Reyna."
Bibi menyalami ketiga orang didepannya tersebut.
"Saya berterima kasih sekali atas kebaikan kalian terhadap keluarga kami." Bibi mengatupkan kedua tangannya sambil tersenyum.
"Sama-sama Bu. Saya Hadi Jaya dan ini istri saya Kinasih. Herman adalah orang yang sangat berjasa merawat saya ketika saya sedang sakit bertahun-tahun. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan ketelatenannya merawat saya sampai saya sembuh." ungkap Kakek.
"Sesuai janji saya kepada ayahnya ketika menjelang ajalnya, saya akan merawat Reyna dan membiayai kuliahnya. Mohon ibu berkenan mempercayakan Reyna kepada kami." lanjutnya.
Kakek itu berbicara sambil memandang kearah Reyna dan Bibi bergantian.
Bibi tak lantas menjawab. Bibi menatap Reyna seolah meminta jawaban pada Reyna.
Reyna hanya menunduk sedih tidak tau harus bagaimana. Karena sepeninggal orangtuanya secara mendadak mengakibatkan ia hanya sebatang kara karena hanya anak tunggal. Ibunya seorang yatim piatu yang sejak kecil tinggal dipanti asuhan. Sedangkan orangtua ayah jg sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Satu-satu nya saudara hanya Paman dan Bibinya. Namun tidak memungkinkan bagi Reyna untuk tinggal bersama Bibinya.
Dengan keadaan Paman yang sakit, mereka sudah hidup dengan serba kekurangan. Sekarang ditambah Ayahnya yang meninggal sehingga tidak ada yang membantu biaya pengobatan Paman.
"Nak, jangan sungkan kepada kami. Kami tulus ingin menjadikanmu cucu kami."
Nenek Kinasih mendekat dan menyentuh bahu Reyna penuh kasih. Tersirat senyum dibibirnya yang mulai berkeriput namun masih tetap cantik dan menawan.
Reyna melihat ke arah Bibinya. Bibi mengangguk tanda persetujuan.
"Terimakasih ,Bu. Kalian sudah banyak menolong saya." ucap Reyna.
Mereka berpelukan dengan haru.
"Kami akan pamit pulang dulu, Nak. Besok supir kakek akan menjemputmu." kata Kakek.
Reyna mengangguk tanda setuju. Sepeninggal mereka semua, kini hanya tersisa Reyna dan Bibinya dirumah.
Pagi ini Reyna tiba di kediaman Hadi Jaya dengan dijemput oleh sopir Tuan Hadi Jaya. Rumah yang besar berbentuk joglo dengan halaman luas dan asri. Banyak pepohonan rindang dan ada kolam ikan besar dihalaman. Pemandangan yang indah khas pedesaan dan sejuk dipandang mata.
Turun dari mobil Reyna berjalan memasuki teras terlihat pintu depan terbuka dengan pintu kayu yang lebar namun agak pendek dan ukiran yang indah.
"Assalamualaikum."
Reyna masih berdiri didepan pintu, enggan untuk melangkah masuk sebelum melihat yang punya rumah datang.
Tak butuh waktu lama terlihat wanita tua yang masih cantik dengan senyum menawan datang dari arah dalam menghampiri Reyna yang berdiri didepan pintu.
"Waalaikumsalam! Ayo masuk nak, kami sudah menunggumu."
Nenek membawa Reyna masuk kedalam ruangan tengah yang besar dan nampak lah Tuan Hadi Jaya keluar dari dalam kamarnya.
"Reyna, ayo duduk dulu nak!"
Tuan Hadi Jaya ikut duduk bergabung bersama istrinya dan Reyna.
"Reyna, jangan sungkan dengan kami. Panggil kami kakek dan nenek. Mulai sekarang kami adalah keluargamu. Ayahmu sudah seperti anakku sendiri. Jadi anggaplah kami seperti kakek dan nenekmu."
Tuan Hadi Jaya tersenyum dan menatap Reyna hangat. Reyna mengingatkannya kepada almarhum Herman. Patuh dan ramah terhadap semua orang.
"Baik kek, terimakasih atas kebaikan kalian."
Reyna memeluk nenek dengan erat, ada rasa nyaman bagaikan berada dalam pelukan seorang ibu"
"Ma, antar Reyna ke kamarnya untuk beristirahat."
"Iya Pah."
Sesampainya dikamar Nenek meninggalkan Reyna agar dapat beristirahat.
Reyna menghampiri jendela kamarnya. Di sana ia tersenyum melihat luar jendela terdapat taman kecil dengan gasebo dipojokan dan ada pancuran kecil dari tanah liat. Sungguh pemandangan yang indah.
Selepas mandi dan berpakaian Reyna keluar kamar menuju taman yang berada disamping kamarnya. Dibawah pancuran ada kolam kecil yang terdapat ikan hias. Reyna mengamati sambil duduk di gasebo.
"Nenek cari di kamarmu rupanya disini?"
"Ehh iya nek, suasana disini sangat segar. Reyna jadi betah duduk disini."
"Disini tempat favorit cucu nenek setiap datang ke sini. Dia juga yang membeli ikan hias ini sewaktu kecil. Taman ini terasa ramai dengan tawa mereka yang sedang bermain, sekarang sudah sibuk jarang kemari."
Nenek tersenyum mengingat kenangan indah sewaktu cucunya masih kecil-kecil. Sekarang sudah besar sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Rumah sebesar ini terasa sepi. Reyna menangkap ada kesedihan dimata nenek.
"Kan sekarang ada Reyna, Nek!"
Nenek memandang Reyna dengan tersenyum, ia menyadari rupanya Tuhan mengirim Reyna untuk menemani hari tuanya agar tidak kesepian.
Hari-hari berlalu dengan bahagia. Reyna sangat beruntung kini ia memiliki keluarga baru, yakni kakek dan nenek yang menyayanginya seperti cucunya sendiri.
Kuliah Reyna berjalan lancar. Sesekali Reyna menelepon Bibinya dikampung menanyakan kabar. Bibi bercerita, ternyata selama ini kakek pun mengirimi uang untuk pengobatan pamannya. Bibi bersyukur atas kebaikan kakek dan nenek yang telah mau merawat Reyna dan membantu membiayai pengobatan suaminya. Bibi merasa sangat berhutang budi kepada keluarga Tuan Hadi Jaya.
****
Setahun telah berlalu. Hari ini Reyna wisuda dengan didampingi kakek dan nenek. Reyna merasa beruntung meski orangtuanya tidak ada tapi ia masih bisa melanjutkan kuliahnya sampai selesai. Reyna membawa kakek dan nenek untuk berfoto keluarga. Rasa haru ia rasakan saat melihat fotonya. Inilah keluarganya.
Kini Reyna disibukkan dengan mengelola toko online yang ia rintis bersama temannya sejak masih kuliah. Ia sendiri yang merancang design baju-bajunya, kemudian ia memperkerjakan beberapa penjahit untuk memproduksi hasil rancangannya. Kemudian ia dan temannya mempromosikan produk mereka di berbagai online shop. Dalam setahun, penghasilannya mulai meningkat dengan bertambahnya reseller dari berbagai kota di seluruh nusantara. Bahkan tak sedikit ia mendapat customer dari negara tetangga .
Nenek dan kakek selalu mendukung cita-cita Reyna untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Nenek dan kakek merasa bahagia karena Reyna tak pernah kesusahan membagi waktunya dan senantiasa memberikan perhatiannya meskipun sibuk dengan pekerjaannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!