Adinda melepas paksa rangkaian melati yang tersemat di atas kepalanya. Hatinya benar-benar sesak telah dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dicintainya bahkan dia benci sekali dengan laki-laki itu.
Dimas adalah teman SMA yang menjadi musuh bebuyutannya. Keisengan dan kejahilan Dimas kepadanya selalu membuat Adinda naik darah. Adinda juga pernah sampai menangis karena dikerjai Dimas. Buku latihan matematika Adinda, dia sembunyikan dalam tong sampah. Akibatnya Adinda dihukum oleh guru matematika lari keliling lapangan basket. Sungguh memalukan baginya sebagai siswa berprestasi di sekolah, dihukum seperti itu dan Dimas sudah berhasil membuatnya malu. Dari kejadian itulah, kebencian Adinda terhadap Dimas semakin menjadi.
Adinda mengganti kebaya pengantinnya dengan gamis katun dan jilbab yang masih menutup di kepalanya. Jangan harap Dimas akan melihatnya tanpa jilbab. Dimas masuk ke dalam kamar pengantin, dia melihat Adinda sudah berganti pakaian. Dimas tersenyum bahagia. Gadis yang dijahilinya sejak SMA dulu telah menjadi istrinya. Meskipun dia sendiri tahu bahwa Adinda tidak menyukainya karena kejahilannya.
“Kamu buru-buru banget masuk ke kamar. Udah nggak tahan, ya” goda Dimas.
“Ugh, dasar mesum!!” Adinda melempar Dimas dengan bantal. Dimas yang tak sempat mengelak, pasrah saja wajah tampannya dicium oleh bantal.
“Galak banget ... ini malam pertama kita. Harusnya romantis lho, bukan perang bantal kayak gini” Dimas membalas Adinda dengan melempar bantal tadi.
“Dimas!!!” teriak Adinda kesal mukanya ditimpuk bantal yang dia lempar tadi.
“Apa, Sayang?” Dimas mendekati Adinda dengan wajah tanpa bersalah.
“Jangan dekat-dekat. Dasar licik!! Kamu memanfaatkan kelemahan orang tuaku untuk menikahiku. Kamu kan, tahu dari dulu aku nggak pernah suka sama kamu. Nggak akan!!!” sengit Adinda.
“Jangan bilang nggak, Sayang. Tapi belum ... suami kamu ini tampan dan mapan. Kamu tahu sendiri kan, waktu SMA banyak cewek yang tergila-gila denganku” tatap Dimas.
“Cih ... narsis banget” tepis Adinda menarik selimutnya mau tidur.
Dia capek harus meladeni Dimas.
Adinda akui memang Dimas sewaktu SMA banyak disukai oleh cewek-cewek bahkan sahabatnya sendiri juga menyukainya. Meskipun Dimas sering mendapat masalah karena ulahnya sendiri, tetapi tidak menurunkan popularitasnya di mata cewek-cewek itu. Tetapi Adinda justru tidak pernah melihat Dimas jalan berdua dengan cewek, tepatnya pacaran di sekolah. Heran. Padahal dia bisa gonta-ganti pacar dengan memanfaatkan cewek yang naksir dengannya.
“Baru juga jam berapa udah mau tidur. Yakin mau tidur?” ujar Dimas ikut berbaring di samping Adinda.
Adinda sebenarnya belum bisa memejamkan matanya karena waspada dengan Dimas yang ada di sampingnya.
“Din ... kamu mikirin aku, kan?” tebak Dimas.
Dia menoleh sekilas ke punggung Adinda yang membelakanginya. Mata Adinda terbuka menahan kesal tapi Adinda tak bergerak.
“Ya, Tuhan. Apa dosaku harus melewati malam pertamaku dengan gigit jari begini?” gumam Dimas mensejajarkan badannya di belakang Adinda.
Adinda mengerang tidak tahan mendengarkan ocehan Dimas di belakangnya. Bagaimana dia bisa tidur kalau laki-laki di belakangnya itu terus berkicau. Adinda membalikkan badannya dan bertapa dia kaget setengah mati. Wajah Dimas berada dekat sekali di depannya. Mata mereka bertemu. Jantung Adinda bergemuruh merasakan hembusan napas Dimas.
“Kamu bisa diam nggak?” ketus Adinda menepis tatapan Dimas.
“Bagaimana aku bisa diam kalau tidur dipunggungi begitu” bisik Dimas.
Dimas lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Adinda. Adinda melebarkan matanya melihat Dimas yang sudah berani menyentuhnya.
“Kamu!! Jangan macam-macam, ya” ancam Adinda melototkan matanya.
Bukannya takut, Dimas justru merapatkan badannya ke Adinda memutus jarak di antara mereka. Jantung Adinda berdetak kencang melihat tatapan Dimas.
"Ya, Tuhan. Apa yang mau dia lakukan?" batin Adinda cemas.
“Dimas!! Aku peringatkan sekali ...” bibir Adinda sudah terkunci oleh bibir Dimas.
Dia tidak bisa berbicara lagi. Adinda sontak kaget dan berusaha melepaskannya, tapi semakin dia meronta, Dimas semakin membungkam mulut Adinda dengan ciumannya. Ciuman pertama mereka berdua.
“Jangan mengancamku, Sayang. Karena aku semakin tertantang jika diancam” ujar Dimas tersenyum melepas ciumannya.
“Aaaargh” Adinda mendorong dada Dimas agar menjauh darinya.
"Berani sekali dia menciumku!!" batin Adinda menatap marah Dimas. Tapi yang ditatap malah tersenyum manis. Semanis gula.
“Tidurlah. Kamu kalau marah semakin membuatku tergoda” ujar Dimas terkekeh lalu berbalik membelakangi Adinda.
Dia tidak ingin menatap Adinda lama-lama, sudah dipastikan dia bisa khilaf seperti tadi.
Adinda mendengus kesal dan memejamkan matanya. Mereka berdua akhirnya tidur dengan badan saling memunggungi.
Adinda sarapan di meja makan tanpa melihat Dimas sama sekali. Oya, mereka tinggal di rumah orang tua Dimas untuk sementara waktu. Itu juga atas keinginan Dimas karena papanya sudah meninggal sewaktu dia masih kuliah.
“Din, kamu nanti temani Mama belanja bulanan, ya?” pinta Mirda, Mama mertua Adinda.
“Iya, Ma” Adinda mengiyakan sambil terus menikmati sarapannya.
“Kalian nggak ada acara, kan? Nanti Mama ganggu lagi?” lirik mertuanya merasa aneh dengan tingkah anak dan menantunya pagi ini. Tidak seperti pasangan pengantin baru yang lagi kasmaran.
“Nggak kok, Ma. Mama tenang aja nanti Dimas antar” sahut Dimas.
Dimas melihat Adinda yang dari tadi sarapan tanpa melihat ke arahnya sedikit pun. Hm, pasti masih marah gara-gara semalam nih.
“Aku panaskan mobil dulu, ya, Ma” Dimas pamit keluar menuju garasi rumah.
“Din. Kamu kenapa, Sayang? Apa Dimas terlalu memaksa ya semalam?” tanya mertuanya pelan.
“Ah...Mama. Nggak, kok” tepis Adinda tersenyum malu.
Orang semalam dia dan Dimas tidak melakukan apa-apa kecuali...Adinda menggigit bibirnya mengingat kejadian semalam yang membuatnya terkejut. Untuk pertama kalinya dia merasakan hal itu.
“Syukurlah kalau begitu” desah mertuanya.
"Mama juga pernah mengingatkan Dimas agar bersikap lembut untuk urusan seperti itu. Jangan memaksa kalau istri belum siap” ingat mertuanya.
Adinda hanya tersenyum malu, mertuanya tidak tahu kalau dia belum bisa menerima Dimas seutuhnya.
“Kalau sudah makan, kamu siap-siap, ya, Din. Mama mau beresin meja makan dulu”
“Biar Dinda aja Ma yang membereskan”
“Ya, udah kita sama-sama membereskan ini dulu baru ganti pakaian”
***
“Huaaa!! Capek banget” keluh Adinda duduk di samping Sinta teman SMA-nya sekaligus teman mengajarnya.
“Emang sampe berapa ronde, Neng?” goda Sinta.
“Yee...pikiran kamu sama aja kayak Dimas, mesum!!” ledek Adinda.
“Aku tuh capek, baru menemani mertuaku shopping tau nggak” jelas Adinda. Sinta hanya ber-o ria.
“Enak ya, mertua dan menantu akur kayak kamu. Lha, kalau mertuaku nggak gaul amat. Nyuruh belanja di warung depan rumah aja. Giliran aku ke mall dibilang pemborosan” gerutu Sinta.
“Emang kamu boros kan, Sin?” tanya Adinda.
“Ya, aku belikan karena ada gunanya Din. Lagipula aku belanja juga pakai uangku sendiri kok, bukan uang anaknya” sungut Sinta.
“Tapi kamu kan, nikah dengan laki-laki yang kamu cintai, Sin. Nggak kayak aku. Kamu kan tahu aku benci banget dengan Dimas dari SMA” ujar Adinda tidak suka.
Dia menikah dengan Dimas juga karena terpaksa. Terpaksa menuruti kemauan bapaknya. Orang tua Dimas adalah tetangga bapaknya, rumah mereka hanya beda RT saja.
Setiap pergi sekolah Adinda harus melewati rumah besar Dimas tapi Adinda tidak tahu kalau rumah itu adalah rumah musuhnya di sekolah. Orang tua Dimas sangat baik dengan tetangga di sekitarnya, walaupun orang kaya mereka ringan tangan. Sampailah suatu waktu bapak Adinda meminjam uang yang cukup banyak untuk mengembangkan usaha rumah makannya kepada Pak Wijaya, papa Dimas.
Sampai papa Dimas meninggal pun hutang bapak Adinda belum juga lunas, malah semakin bertambah. Hal itu pun diketahui Dimas dan menjadi peluang baginya untuk menikahi Adinda.
“Dengan nikah sama Dimas hutang bapak mu kan jadi lunas, Din” ingat Sinta.
“Itu sama saja bapak menjual aku, Sin” Adinda terisak.
“Ya, nggak bisa dibilang begitu juga, Din. Dimas kan, tetap ngasih kamu mahar kan sewaktu nikah. Dimas juga cinta banget sama kamu, makanya dia mengambil kesempatan itu lewat bapak mu” jelas Sinta.
“Tetap aja aku nggak bisa terima. Aku tidak mencintainya” ucap Adinda.
“Beda benci dengan cinta itu tipis banget lho, Din. Oya, pengantin baru itu bukannya menghabiskan waktu berduaan. Nah kamu kok, malah nyamperin aku” ujar Sinta heran.
“Udah nganter mama pulang, dia aja pergi entah ke mana. Jadi ngapain juga aku di rumah” sahut Adinda cuek.
Sinta tidak tinggal di rumah mertuanya. Dia dan suaminya memutuskan untuk mengontrak rumah walaupun kecil. Sinta bukannya tidak mau campur dengan mertuanya tapi di rumah itu masih ada dua adik laki-laki suaminya. Tentu saja hal itu membuat Sinta menjadi tidak bebas nantinya. Makanya Adinda suka main ke rumah Sinta karena suaminya juga sedang bekerja. Jadi dia berkeluh kesah dengan Sinta yang mau mendengarkan curhatannya.
“Kamu dari mana?” tanya Dimas ketika mereka di kamar.
”Pergi kok, nggak izin suami” lanjut Dimas menatap Adinda marah.
“Lha, kamu sendiri ke mana? Pergi juga nggak bilang-bilang” sungut Adinda. “Lagipula mama tau kok, aku pergi ke mana?”
“Aku suami kamu, Din. Bukan mama!!” ujar Dimas dengan nada tinggi.
“Suami pergi nggak wajib izin sama istri, tapi istri selangkah sajakakinya keluar dari rumah, wajib izin sama suami” tegas Dimas. Adinda memang perlu diberi peringatan. Pikir Dimas.
Adinda merasa tertohok mendengarkan ucapan Dimas. Dia pikir Dimas tidak akan peduli dengan kepergiannya.
“Tapi paling tidak istri kan tahu suami pergi ke mana walaupun tidak wajib izin” balas Adinda masih tidak mau kalah.
Dimas berjalan mendekati Adinda. Istrinya benar-benar keras kepala, sudah tau salah tetapi masih tidak mau mengakuinya. Adinda yang sadar dengan gelagat Dimas, berjalan mundur menjaga jarak. Badannya membentur dinding kamar. Dimas mengurung badan Adinda dengan kedua tangannya.
“Mau apa kamu?” tatap Adinda takut melihat senyuman misterius Dimas.
“Jadi ... kamu seorang istri?” tanya Dimas mendekatkan wajahnya.
“Yang harus tau ke mana suaminya pergi” bisik Dimas mesra.
Jantung Adinda berpacu dua kali lipat dari biasanya. Ketika Dimas semakin mendekatkan wajahnya, Adinda memejamkan matanya sambil kedua tangannya menahan dada Dimas. Dia takut Dimas akan melakukan kekerasan kepadanya seperti di film-film. Habislah dia, wanita yang tidak punya kekuatan apapun untuk melawan tenaga laki-laki.
“Kalau begitu lakukan kewajiban kamu sebagai istri” bisik Dimas lagi ke telinga Adinda.
Dimas tersenyum geli melihat Adinda memejamkan matanya dengan muka pucat. "Kau harus bersabar Dimas, menunggu waktu yang tepat, dia hanya belum terbiasa" batin Dimas sambil menatap wajah Adinda.
“Ngapain merem? Ngarep minta dicium lagi, ya” ledek Dimas sambil tersenyum.
Mata Adinda terbuka lebar menatap jengkel Dimas. Dia sudah berpikiran yang tidak-tidak karena mendengar bisikan Dimas tadi.
“Idih ... siapa juga yang ngarep ... yang ada juga kamu tuh kalau ngelihat aku, pikirannya mesum” balas Adinda mendorong kuat badan Dimas dengan kesal.
Adinda berlari meninggalkan Dimas di kamar. Jantungnya berdebar kencang seperti habis berlari marathon saja. Adinda menarik napas panjang sambil memegangi dadanya yang masih berdebar kencang. Dia menuju ke dapur untuk menenangkan diri.
"Dimas rese!!. Jadi orang kok, nyebelin banget!!" gerutu Adinda kesal lalu meneguk segelas air putih.
"Jantungku rasanya mau copot karena ulahnya tadi. Apa dia dilahirkan untuk menjadi manusia menyebalkan begini?" lanjut Adinda masih kesal dengan sikap Dimas di dalam kamar tadi.
Sementara di kamar, Dimas terkekeh ketika melihat Adinda berlari keluar dari kamar. Dimas menghempaskan badannya ke tempat tidur. Dia suka sekali melihat wajah pucat istrinya tadi. Adinda memang polos. Setahu Dimas sewaktu SMA dulu, Adinda adalah anak rohis yang tidak pernah pacaran. Makanya dia suka sekali menjahili Adinda.
Mereka dua tahun berturut-turut satu kelas. Itu membuat Dimas semakin ketagihan untuk mengusili Adinda. Dimas semakin tertantang jika Adinda mencak-mencak marah kepadanya dan wajah barbie Adinda seketika berubah menjadi boneka Annabelle yang menakutkan. Teman-teman satu sekolah mereka tahu bahkan para guru juga tahu kalau Adinda si anak Rohis dan Dimas anak Paskibra bermusuhan, tidak pernah akur sepanjang sekolah. Bagaikan air dan minyak.
"Sepertinya aku harus bersabar membuat mu jatuh ke pelukanku, Adinda Sayang" Dimas tersenyum manis lalu memejamkan matanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!