NovelToon NovelToon

GETIH SEWU

GETIH SEWU - PROLOG

“Saya terima nikahnya Murniati binti Karyoto dengan mas kimpoi tersebut di bayar tunai,” dengan mantap tanpa keraguan pemuda itu mengucapkan ijab kabulnya, pertanyaan sah atau tidak yang di tanyakan Penghulu pada para undangan yang hadir di akad nikah itu serentak di jawab sah.

"Alhamdulillaah, sekarang kamu, Sukirman, sudah resmi menjadi suami dari Murniati, putri dari Bapak Karyoto, bukan begitu, Pak?” Pak Penghulu bertanya kepada seorang lelaki setengah baya di sebelahnya.

‘Nggih, pak," Pak Karyoto menjawab seraya menganggukkan kepala.

Hari itu tentulah menjadi hari bahagia bagi Sukirman dan Murniati, karena jalinan cinta mereka yang lama terajut kini telah menyatu secara sah, baik dalam hukum Negara maupun dalam Syariat Islam.

Tentu saja semua yang hadir pun ikut merasakan kebahagiaan juga, terkecuali satu orang, yaitu Riyah, mantan kekasih Sukirman, ia tak sudi menghadiri akad nikah mantan pacarnya itu, apalagi kini yang menjadi pendampingnya adalah Murniati, teman kecilnya yang sudah menjadi sahabat akrabnya dari duduk di bangku SD sampai SMA.

Di dalam kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya, terbayang kembali saat terakhir pertemuannya dengan Sukirman.

\=\=\=

Duduk di tepian sawah dua orang muda mudi, Sukirman dan Riyah, pandangan mereka menatap hijaunya padi di sawah yang melambai-lambai tertiup angin.

“Riyah”

"Iya, Mas."

"Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu, kuharap kamu bisa menerimanya."

"Ada apa sih, Mas, kok ngomongnya mendadak serius begitu?"

"Ya, karena mulai saat ini, aku minta hubungan ini kita akhiri saja, dan kita bisa memulainya lagi dengan menjalin sebuah persahabatan."

Bagai mendengar petir di siang hari, Riyah sangat terkejut mendengar kata-kata Sukirman.

"Mas Sukir, maksud Mas apa? Aku mau kita putus. Aku gak mau, Mas."

"Sudahlah, Riyah, perbedaan sifatmu dan sifatku sangat bertolak belakang, tidak mungkin bisa disatukan, walau selama ini aku mencoba bertahan, namun kamu tak bisa berubah, malah semakin menjadi."

"Mas, aku mencintaimu, sangat mencintaimu, Mas."

"Aku tahu, Riyah. Aku juga mencintaimu. Namun ini sudah keputusanku. Maafkan aku Riyah."

Riyah tak mampu berkata-kata lagi, airmatanya sudah membasahi kedua pipinya, ia menatap wajah kekasihnya itu dengan pandangan tak percaya.

"Kamu jahat, Mas!” kata Riyah yang lalu bangkit berdiri dan berlari di pematang sawah sambil terisak-isak.

Sementara sukirman tetap tak bergeming, pandangannya lurus menatap biru langit, hatinya terasa begitu lega karena ia akhirnya bisa lepas dari jeratan cinta Riyah yang selama ini dirasakan begitu membelenggu dirinya, rasa iba itu ada, namun di tepisnya, Sukirman tak akan mau mengubah keputusannya itu, bilamana ia teringat kembali pada betapa over protektifnya Riyah sebagai seorang kekasih, yang dirasakan oleh Sukirman sudah bukan lagi sebuah cinta, melainkan seperti rantai yang membelenggu tubuhnya.

Lama Sukirman duduk di tepian sawah itu sendirian, sampai langit berwarna kemerahan. Lalu ia bangkit dan beranjak pulang.

\=\=\=

Siang terasa begitu terik, Sukirman duduk di balai bambu di depan rumahnya, sejak Bapak dan Ibunya meninggal dunia, ia hanya tinggal berdua dengan adiknya, Ratna.

Namun itu tak berlangsung lama karena seorang lelaki dari Desa sebelah melamarnya, dan setelah menikah Ratna di boyong ke rumah suaminya, kini rumah kecil berdinding papan itu hanya ditinggali oleh Sukirman seorang diri.

Kehidupannya yang miskin membuatnya tak terlalu peduli dengan urusan lawan jenis, ia sangat tertutup untuk urusan yang satu itu, maka wajarlah sejak dulu sampai kini ia menginjak usia ke tiga puluh satu, baru satu orang yang ia pacari, yaitu Riyah, yang kini hubungan mereka pun sudah kandas.

"As Salaamu ’alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam, eh Barjo, ada apa nih? gak kesawah, Jo?"

"Nggak, Kang, aku sudah selesai kalau soal ngurusi sawah, jadi sambil nunggu padiku menguning dan panen, aku nyambi jadi ojek di Pasar Wahono, jawab Barjo.

"Kalau begitu, saya buatkan minuman dulu, mau teh apa kopi?"

Sudah.. nggak usah repot-repot, Kang, aku cuma mau menyampaikan, bahwa kamu di cari oleh Pak Hendarto."

"Pak Hendarto? Ada apa ya?"

"Mana kutahu, Kang. Kalau kamu mau kuantar sekarang pakai motorku."

"Ya sudah kalau begitu, aku malah jadi penasaran."

Kemudian dengan di bonceng Barjo, Sukirman menuju kediaman rumah Pak Hendarto.

"As salaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam, wah kebetulan Kang Sukir kesini, tadinya saya loh yang mau kerumah sampeyan, Silahkan duduk dulu," Pak Hendarto bergegas masuk kedalam.

Sukirman dan Barjo lantas duduk, Sukirman menatap isi ruangan rumah Pak Hendarto yang megah itu, pandangan kagum terpancar dari rona wajahnya, bagaimana tidak?, usia Pak Hendarto lebih muda di bandingkan dirinya, namun ia sudah berhasil membuat dirinya mapan dan jadi orang terkaya di Desa Medasari ini.

"Eh.. ada Kang Sukir dan Kang Barjo, sudah lama?"

Tiba-tiba muncul seorang wanita dengan menggendong bayi perempuan.

"Berapa usia putrinya, Bu?" tanya Barjo.

Baru setahun, Kang, anak pertama, perempuan, namanya Nella Ariana. Ngomong-ngomong Bapaknya kemana ini? kok nggak kelihatan."

"Oh ada Bu, tadi Bapak masuk sebentar kedalam."

"Ya sudah saya tinggal dulu ya, mau menidurkan Nella."

"Silahkan, Bu."

Tak lama keluar Pak Hendarto, "Maaf ya Kang Sukir, Barjo, sudah menunggu lama."

"Nggak apa-apa, Pak."

Wajah Pak Hendarto menatap Sukirman serius, "Ada yang ingin saya sampaikan padamu, Kang. Ini mohon di terima."

"Apa ini, Pak?" tanya Sukirman.

"Di buka saja, Kang Sukir."

Ketika dibuka betapa terkejutnya Sukirman, karena isinya adalah uang tunai sepuluh juta.

"Maaf Pak Hendar, ini uang apa ya?" tanya Sukirman bingung.

"Itu adalah sisa pembayaran tanah sawah, yang dulu di jual oleh Bapakmu, Kang, ia tidak mengambil semua uangnya, katanya buat tabungan. Kini Bapakmu kan sudah meninggal, bagaimana pun juga tetap ini adalah hak Bapakmu, dan kamu sebagai ahli warisnya, kamu yang berhak menerimanya." Pak Hendarto menjelaskan.

Tak bisa di gambarkan kegembiraan Sukirman kala itu, bagai mendapatkan bintang jatuh, rizki yang sama sekali tak pernah ia duga, karena selama hidup Bapaknya tak pernah cerita kalau Pak Hendarto masih punya simpanan sisa pembayaran penjualan sawah yang uangnya tak di ambil semua.

"Kang Sukir..."

"Iya, Pak."

"Kalau Kang Sukir tak keberatan, Kang Sukir mau bekerja disini?, kebetulan Desa sebelah sudah panen jadi mulai ada beberapa penduduk yang datang, untuk menggiling padinya di penggilingan padi saya."

"Waah.. tentu saja mau Pak, saya memang sedang menganggur."

"Kalau begitu besok mulai kerja ya, saya tunggu jam 8 pagi."

"Baik, Pak, kalau begitu kami pamit dulu."

"Ya silahkan. Barjo, terimakasih sudah mengantarkan Kang Sukir kemari. Ini, terimalah buat beli rokok dan tambah-tambah beli bensin."

"Alhamdulillaah terimakasih, Pak Hendar."

"Iya sama-sama."

Kembali Sukirman naik di bonceng Barjo, saat itulah pandangannya tertuju pada seorang gadis yang berjalan menuju rumah Pak Hendarto, gadis itu berparas cantik, anggun dengan rambutnya yang panjang tergerai tertiup angin, perasaan Sukirman jadi tidak karuan, dengan gugup ia tersenyum pada gadis itu, dan di balas senyuman manisnya. Gadis itu pun menghilang masuk kedalam rumah Pak Hendarto.

Sepanjang jalan menuju rumahnya, Sukirman terbayang-bayang sosok gadis itu.

"Jo, perempuan tadi itu siapanya Pak Hendar ya? saudaranya?" tanya Sukirman.

"Kamu ini gmana sih, Kang, itu kan si Murni anaknya Pak Karyoto."

"Murni yang dulu dekil dan ingusan itu, Jo?" Sukirman seperti masih tak percaya.

"Halaah, itu kan dulu Kang, waktu dia masih bocah, sampeyan sih jarang bergaul, tetangga sendiri mekar jadi Kembang Desa kamu gak tahu sama sekali."

"Hehehe iya Jo, aku terlalu sibuk sama diriku sendiri."

"Kamu tanya gitu kenapa? Naksir?"

"Ah kamu ini.."

"Naksir ngomong aja, nanti juga kamu bakal sering ketemu."

"Laah kok bisa?"

"Karena Murni itu kan selain mencucikan baju keluarga Pak Hendar, sekarang dia merangkap pengasuh anaknya yang masih bayi itu, Nella Ariana."

"Ohh.."

Tak terasa motor yang mereka tumpangi sampai di depan rumah Sukirman, setelah Sukirman turun dari motornya Barjo langsung pamit pulang.

Entah perasaan apa yang kini berkecamuk berbunga-bunga di hatinya.

Inikah yang orang bilang cinta pada pandangan pertama?

Hari itu benar-benar hari keberuntungan bagi sukirman.

\=\=\=

Chapter 1 Bersatunya Cinta

Langit di Desa Medasari pagi itu terlihat cerah, awan-awannya yang putih cemerlang berarak berjajar menjadi sebuah keindahan tersendiri, lukisan alam yang tiap harinya selalu berganti.

Memandangnya seraya menikmati kicauan burung-burung di pagi hari, tentu akan meluaskan hati siapa pun, seluas langit yang di tatapnya.

Hal itu pula yang kali ini di rasakan oleh Sukirman, karena ia kini berjalan dengan mantap menuju rumah Bapak Hendarto untuk memulai bekerja. Di sapanya dengan ramah siapa pun yang di temuinya pagi itu di sepanjang jalan yang di lewatinya, membuat orang-orang yang di sapanya merasa heran melihat perubahan sikap dari Sukirman yang cukup mendadak itu, karena Sukirman selama ini di kenal sebagai pribadi yang tertutup, jarang bertegur sapa dengan penduduk lain, terkesan cuek, dan jarang pula berbaur dengan masyarakat sekitar dalam kegiatan sehari-hari. Berbeda betul dengan sifat bapaknya yang begitu supel pada siapa saya, sering rewang saat ada tetangga yang membutuhkan bantuan dan ramah dalam bertutur sapa. Maka sepanjang jalan yang dilalui Sukirman, mata-mata penuh rasa penasaran mengikuti langkah-langkah Sukirman yang semakin lama semakin jauh.

"Wah ... Pagi sekali Kang Sukir, ini baru pukul 6.30 pagi, belum jam 8.00." kaya Pak Hendarto.

"Gak apa-apa , Pak. Lagi pula kalau Saya harus menunggu sampai jam 8.00 Saya sendiri juga gak tahu mau ngapain, jadi mending langsung kemari saja, siapa tahu ada yag bisa saya kerjakan." jawab Sukirman polos.

"Hmm ... begitu, ngomong-ngomong Kang Sukir pasti belum sarapan, kan? Naah ... Kang Sukir sarapan saja dulu baru mulai bekerja, di depan itu ada beberapa karung padi yang di bawa penduduk dari Desa sebelah, tolong bawa masuk ke dalam gudang, dan nanti yang ada di gudang itu, karung padi yang paling depan ada sekitar 5 karung milik pak Guntur, kamu bawa ke penggilingan karena sudah cukup kering untuk digiling. Naah ... sisanya yang di dalam gudang kamu jemur di halaman depan. Mengerti kang sukir?"

"Iya, Pak, Saya mengerti."

"Kalau begitu sekarang Kang Sukir tunggu saja di belakang, di depan ruang penggilingan ada tempat untuk beristirahat."

Tempat yang di maksud pak Hendarto adalah sebuah bangku dari bambu yang seluas amben, selain untuk duduk bisa pula di gunakan untuk rebahan.

Benar saja, belum lama Sukirman duduk di sana, Murni datang membawakan sarapan untuknya.

Pandangan takjub Sukirman menatap Murni dari ujung rambut sampai ujung kaki, benar-benar cantik alami dan bentuk tubuh yang begitu indah.

"Silahkan di makan sarapannya, Kang."

Sukirman tersadar dari lamunannya, dan sambil melemparkan senyuman di ambilnya piring yang ada di hadapannya, sementara Murni duduk di sebelahnya.

Hari itu Sukirman benar-benar bekerja dengan giat sesuai yang di perintahkan Pak Herdarto, tidak hanya bentuk tubuh kang Sukir yang tegap berotot, tetapi tenaganya luar biasa, ia mengangkat karung-karung padi itu sendirian tanpa terlihat ekspresi lelah di wajahnya.

Siang harinya, setelah Sholat Zhuhur kembali Murni menghidangkan makan siang untuk Sukirman. Hari itu Sukirman pulang ke rumah setelah mengerjakan Sholat Maghrib di rumah pak Hendarto, walau pun sebenarnya pak Hendarto mengizinkan Sukirman untuk pulang pukul 4.00 sore jika merasa lelah, dan kembali lagi esok harinya.

Semua gerak-gerik Sukirman tak luput dari pandangan pak Hendarto, meskipun pak Hendarto juga cukup sibuk melayani penduduk yang ingin menggiling padi di tempatnya. Ternyata sikap Sukirman dalam bekerja itu bukan hanya untuk hari-hari awal ia bekerja. Namun selama sebulan lebih sikap Sukirman tetap sama, datang lebih awal, pulang bakda Maghrib, dan semua pekerjaannya beres di kerjakan dengan baik, tentulah pak Hendarto merasa senang memiliki anak buah yang loyal dan pekerja keras seperti Sukirman, ia memberi bayaran tinggi, melebihi bayaran yang ia berikan pada anak buahnya yang lain.

Hari-demi hari bukan cuma sikap dan cara bekerja Sukirman yang menjadi perhatian pak Hendarto, tetapi juga kedekatannya dengan Murniati yang makin lama makin dekat, sebagai lelaki yang sudah banyak pengalaman dengan urusan cinta, tentulah pak Hendarto sudah bisa menangkap dari pandangan mata keduanya bahwa Sukirman dan Murniati jelas sama-sama saling jatuh cinta, namun pak Hendarto belum tahu sudah sejauh mana hubungan rasa cinta mereka.

Hal yang membuat terkejut sekaligus membahagiakan adalah saat pak Hendarto menyinggung soal itu pada Sukirman, dengan mantap Sukirman menjawab bahwa bulan depan ia akan menikahi Murniati.

Maka sebagai wujud terima kasih pak Hendarto atas kerja Sukirman, ia membantu banyak dalam acara pernikahan Sukirman dan Murniati, hingga acara pesta pernikahan Sukirman dan Murniati pun di langsungkan dengan sangat meriah di Desa itu.

Pesta meriah yang membahagiakan bagi semua orang, namun di antara semua yang hadir ada seseorang yang tatapan matanya penuh dengan amarah, dendam dan rasa sakit hati yang begitu dalam melihat pasangan itu duduk berdua di pelaminan, namun dari sikap dan geraknya tak akan ada yang menyangka bahwa orang tersebut memendam semua rasa itu.

Pasangan pengantin baru tampak begitu bahagia, tetapi kebahagiaan itu takkan lama, karena awan gelap taqdir sebentar lagi akan memasuki Desa Medasari, merenggut kebahagian kedua orang yang saling cinta itu, hingga menebarkan resah di hati penduduknya.

\=\=\=

Chapter 2 Serangan Makhluk Menakutkan

Sebulan sudah Sukirman lalui dengan kebahagian bersama istrinya, Murniati.

Namun tetap tidak di lalaikannya kewajibannya sebagai pekerja di penggilingan padi Pak Hendarto, dan karena kini Murni sudah menjadi istri dari Sukirman, maka otomatis Pak Hendarto mencari orang lain, untuk menggantikan posisi Murni yang selama ini juga bekerja di rumahnya.

Setelah menunaikan Sholat Maghrib, seperti biasa Sukirman pamit pulang.

Kini pekerjaannya semakin meningkat, karena bukan hanya padi dari Desa tetangga yang harus ia urusi, tapi juga padi milik warga Desa Medasari sendiri yang telah datang masa panennya.

Biasanya kalau tengah musim panen seperti ini, banyak warga dari daerah luar yang datang, untuk menjadi pekerja di Desa ini, membantu penduduk yang tengah memanen padi.

Mereka akan di bayar setelah padi yang di panen menjadi beras dan di jual pada Pemasok.

Lantas Sukirman teringat akan sahabatnya sejak kecil, bernama Yudistira yang rencananya akan datang dari Menggala ke Medasari, yang tujuannya tidak lain sama dengan penduduk dari luar daerah lainnya.

“Kang Sukir, aku Yudistira, Kang!” teriak seseorang yang tengah duduk di balai bambu depan rumahnya.

Sukirman mempercepat langkahnya demi mengetahui sahabatnya sudah datang.

“Apa kabar, Yud? Lama gak pernah berkunjung lagi ke sini, sudah sukses ya merantau ke Menggala?" tanya Sukirman.

"Ah.. bisa saja Kang Sukir ini, kalau aku sukses di Menggala, mana mungkin sekarang aku ke Desa ini mencari sesuap nasi?"

Kedua sahabat itu tertawa bersama.

"Yuk masuk, Yud."

"Di sini dulu sajalah, Kang, anginnya semilir, apalagi di depan rumahmu ini pemandangannya langsung mengarah ke sawah. Walau malam hari, namun pemandangannya masih bisa di nikmati hanya dengan cahaya Bulan Purnama malam ini."

"Terserah kamu saja, Yud, mau ngopi?"

"Boleh, Kang, jangan terlalu manis, ya."

Sukirman lalu masuk kedalam, di panggil-panggilnya istrinya, namun tak ada suara sahutan.

"Kang Sukir!" teriak Yudistira dari arah depan.

Bergegas Sukirman mendatanginya.

"Aku lupa, Kang, tadi istrimu pamit, katanya mau kerumah orang tuanya."

"Oh.. kalau begitu tak apa, yang penting jelas tujuannya, aku bisa menyusulnya nanti."

Selanjutnya Sukirman menghidangkan dua buah kopi, yang satu tentulah untuk dirinya.

Kedua sahabat lama itu pun tampak larut dalam perbincangan seru tentang masa-masa kecil mereka, di selingi tawa, hingga tanpa mereka sadari bahwa hari sudah semakin larut malam.

\=\=\=

"Titip salam saja untuk suamimu, Murni," kata Pak Karyoto.

"Nggih, Pak, Bu, Saya pamit. Sudah larut malam, takutnya Mas Sukir mencari Saya," di ciumnya tangan Bapak dan Ibunya, kemudian Murni melangkah meninggalkan rumah orang tuanya.

Sepanjang jalan menuju rumahnya sudah tampak sepi, tak ada orang yang lalu lalang, sesekali terdengar lolongan ****** yang saling bersahutan, membuat Murni merinding ngeri.

Di percepatnya langkah agar segera tiba di rumah, tentulah suaminya, Sukirman sudah lama menunggunya.

Namun sepanjang jalan itu ia merasa ada sesuatu yang mengikutinya.

Di tolehkannya wajah kebelakang untuk melihat siapa yang ada di belakangnya.

Sepi, tak ada siapa-siapa.

Murni pun kembali melangkah cepat.

Lagi-lagi terdengar suara langkah yang mengiring dari belakang, kali ini murni tak mau melihat, suara langkah itu terasa kian mendekat, Murni pun semakin mempercepat langkahnya, hatinya sudah tak karuan rasanya, jantungnya berdegup kencang, orangkah yang tengah mengikutinya, atau …

Lolongan ****** di kejauhan masih terdengar, suaranya menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Tiba-tiba suara langkah kali yang mengikuti Murni hilang, Murni pun ikutan menghentikan langkahnya.

Perlahan ia membalikkan badan, rasa penasaran begitu menguasai dirinya.

Saat ia sudah membalikkan badannya ke belakang, ternyata tetap seperti tadi, tak ada siapa pun.

Matanya menatap sekeliling dengan penuh selidik, karena ia benar-benar yakin ada sesuatu yang sejak tadi mengikutinya.

Cukup lama Murni mengamati jalanan yang baru saja di laluinya sampai tiba-tiba terdengar sebuah suara tepat di belakangnya.

“HOAAAAA ...” suara yang terdengar berat dan menggidikkan, membuat Murni terlonjak kaget dan segera berbalik.

Alangkah terkejutnya Murni demi melihat sosok yang ada di hadapannya, sesosok makhluk yang seluruh kulit tubuhnya mengelupas, sekujur tubuhnya berlumuran darah, dan tercium bau busuk bercampur aroma anyir darah yang keluar dari tubuh sosok itu.

Matanya melotot ke arah Murni.

Murni hanya bisa terpana, perhalan sosok itu mendekatinya dan tubuhnya tampak mulai menipis menjelma bayang-bayang, berubah menjadi gumpalan asap berwarna merah pekat dan langsung masuk ke dalam mulut Murni yang ternganga itu.

Seketika tubuh Murni mengejang, matanya membelalak ke atas, ia ingin berteriak, karena kini tubuhnya terasa begitu panas, namun lidahnya seolah kaku, tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Dengan tertatih Murni mencoba melangkah, sambil menahankan rasa panas yang kian menjadi-jadi.

Tak lama tubuhnya ambruk, Murni masih mencoba untuk merangkak, namun rasa sakit itu telah menjalari kepalanya dan merasuk kedalam otak.

Murni pun akhirnya terjatuh dan pingsan di tengah jalan, tanpa ada seorang pun yang tahu.

Lolongan ****** di kejauhan seakan kini menjelma rintihan kepedihan.

\=\=\=

Sukirman tampak gelisah, Yudistira bisa menangkap perubahan sikap sahabatnya itu.

"Kok istriku belum pulang juga ya, Yud, perasaanku jadi nggak enak begini, tadi dia bilang mau menginap atau pulang, Yud?" tanya Sukirman pada sahabatnya.

"Seingatku sih tadi Mbakyu Murni bilang akan pulang, Kang."

"Tapi kenapa jam segini belum pulang juga? Aku benar-benar khawatir, Yud." Di liriknya jam dinding yang ada di dalam rumah, pukul 11 malam.

"Kalau begitu mending kita susul saja istrimu ke rumah orang tuanya," usul Yudistira.

"Ayolah!" Sukirman bangkit.

Lantas Yudistira juga bangkit dari balai-balai dan bersiap berangkat.

Sukirman mengambil senter dari dalam, keduanya lantas berjalan ke arah rumah orang tua Murni.

Rembulan telah tertutup oleh awan gelap, sepanjang jalan yang akan mereka lalui kini hanya di terangi dari cahaya senter yang di pegang sukirman.

"Kamu dengar kan tadi, Yud, nggak biasanya ******-****** liar itu melolong dengan panjang, suaranya membuat bulu romaku berdiri," kata Sukirman.

"Iya ya, Kang, kalau di perhatikan suara lolongannya aneh, menakutkan, hiyy ..."

"Ya sudah, kita harus cepat, kok perasaanku makin nggak enak saja."

Tidak beberapa lam Mereka berjalan Yudistira melihat sesosok tubuh yang terbaring tertelungkup di ujung jalan, bulu kuduknya meremang.

"Kang Sukir, lihat, itu ada sesuatu yang terbaring di jalan."

"Mana?!"

"Itu yang di ujung jalan, seperti orang yang berbaring tengkurap."

Sukirman menyorotkan cahaya senternya ke arah sosok yang di maksud Yudistira.

"Astaghfirullah!! itu istriku, Yud, Aku kenal dari pakaian yang di kenakannya."

Tanpa menunggu jawaban dari Yudistira, Sukirman lantas berlari ke arah sosok yang memang adalah istrinya itu.

Di balikkan tubuh istrinya, betapa kaget Sukirman melihat wajah istrinya yang pucat, dan dari mulutnya mengalir darah segar.

"Murni ... Murni ... Kamu kenapa?!" tanya Sukirman panik seraya menggoyang goyangkan tubuh Murni.

Yudistira yang baru tiba di situ menghentikan Sukirman, "Sudah, Kang. Lebih baik Mbakyu Murni kita bawa pulang saja dulu."

Sukirman lantas membopong tubuh Murni, bajunya sendiri kini sudah berlumuran darah segar yang keluar dari mulut Murni, matanya yang sudah berkaca-kaca sejak tadi kini tak bisa di bendung lagi, mengalir deras di pipi Sukirman, ia berjalan cepat, sementara Yudistira berjalan di sampingnya sambil memegang senter dan mengarahkan ke jalan yang akan mereka lalui.

Sesampainya di rumah, Sukirman segera membaringkan istrinya di kamar.

"Hooeek..!!" tubuh Murni terguncang, dan kembali darah segar muncrat dari mulut, membasahi sprai kasurnya.

Sukirman bingung tak tahu harus berbuat apa.

"Kang, apakah ada yang bisa mengobati di Desa ini?" tanya Yudistira.

"Ada, Pak Da'im, Beliau Ustadz di sini, dan banyak juga yang meminta bantuannya, tapi istriku ini seharusnya di tangani Dokter, dan jam segini mana ada Dokter yang buka," jawab Sukirman.

"Maaf, Kang Sukir, bukannya aku lancang, tapi kurasa istrimu ini bukan sakit alami."

"Maksudmu apa, Yud?" tanya Sukirman bingung.

"Kurasa ini adalah sakit Kiriman, bukan Medis," jawab Yudistira singkat, namun dengan mantap, tanpa Sukirman ketahui sebenarnya Yudistira sedikitnya punya Ilmu Ghaib yang selama mereka berpisah, di pelajarinya di perantauan.

"Istriku di santet?" tanya Sukirman ingin kejelasan dari kata-kata Yudistira barusan.

Yudistira hanya menganggukkan kepala, tak kuasa lidahnya untuk menjawab tanda mengiyakan, dan itu pun sudah cukup membuat Sukirman mulai faham pada gejala sakit yang di alami istrinya.

\=\=\=

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!