NovelToon NovelToon

Pria Dingin Itu Tuan Arsen

1. Arsen

April 1998

Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun berjalan pada jalan setapak dengan hamparan padang rumput liar berada pada kanan kirinya yang menjadi pemandangan menyejukan mata ditengah teriknya sinar matahari siang itu.

Langkahnya terhenti tatkala sesuatu mengenai bagian belakang kepalanya yang saat ini terasa ngilu hingga membuat matanya berkaca-kaca. Arsen, nama anak lelaki tersebut. Ia memegang bagian yang sakit dan berbalik ketika mendengar suara tawa yang renyah. Ya, ia menyadari bahwa dirinya tengah ditertawakan.

"Apa kau marah?!" tanya seorang anak dengan nada mengejek disela tawanya.

"Ayo pukul kami kalau kau bisa!" tambah lainnya.

"Sadarlah, kau itu paling bodoh diantara kita semua."

Arsen memandang ketiga teman sekelasnya, Adli, Yopi dan Angga dengan tajam. Namun, ia segera memilih pergi karena tidak ingin membuat keributan yang hanya akan merugikan dirinya.

Arsen adalah anak dengan nilai terendah di kelas, nilainya tidak pernah lebih dari tujuh, berbeda dengan Gibran, kakak yang hanya terpaut satu tahun lebih darinya, dia seorang yang pintar baik dalam bidang akademik maupun non akademik.

"Hei, Bodoh!" Adli menendang ransel yang berada dipunggung Arsen hingga sang pemilik kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan lutut membentur batu.

"Aku tidak ingin mencari masalah!" teriak Arsen sembari menyeka air matanya yang mulai berjatuhan, bagaimanapun ia masih dikategorikan sebagai anak kecil.

"Kau menangis?!" ucap Yopi menunjuk Arsen, ia memancing tawa kedua temannya.

Arsen memang sudah biasa dibully oleh teman sekelasnya. Bukan hanya karena dia tidak pandai tapi juga karena status keluarganya yang bangkrut tiga tahun silam.

"Berikan uangmu, Miskin!" Adli yang menjadi pemimpin diantara para pembuli kecil itu mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Arsen.

Arsen menatapnya dingin. "Tidak ada!" jawabnya.

"Teman-teman, geledah tasnya!" perintah Adli.

Yopi dan Angga mengikuti arahan dari Adli, mereka mengambil tas dari pemiliknya dengan paksa, kekuatan mereka tidak sepadan hingga Arsenpun tidak mampu mempertahankan tas miliknya.

Yopi membuka resleting tas tersebut kemudian menumpahkan isinya keatas jalan tanah penuh debu dan kerikil hingga semua isi yang ada dalam tas itu berserakan.

Akhirnya, Adli menemukan uang yang telah disimpan Arsen pada bagian dalam lembar buku tulis miliknya. Padahal, uang itu telah lama ia kumpulkan untuk membeli makanan enak untuk ibunya yang akan berulangtahun pada bulan juni nanti.

Adli dan temannya tersenyum penuh kemenangan. "Kamu bilang tidak punya uang." ucapnya. "Dasar pembohong!" lanjutnya memukul kepala Arsen.

Setelah mendapat apa yang diinginkan, mereka bertiga pergi dengan raut wajah puas serta semringah, meninggalkan Arsen dengan seluruh rasa marahnya.

"Aku melihat ayah si idiot itu berlutut dihadapan ayahku hanya agar tidak dipecat." ujar Adli yang disambut tawa kedua temannya.

"Seperti tidak punya harga diri." sambung Yovi.

Arsen mengepalkan tangannya mendengar penghinaan yang mereka lontarkan pada ayahnya. Ia menyeka air mata yang mengalir dan menatap ketiganya yang sudah berjalan cukup jauh dengan tatapan dingin penuh amarah. Ia masih bisa menerima jika mereka berbuat semena-mena pada dirinya, tapi menghina orang yang ia sayangi itu sudah lain cerita.

Tanpa pikir panjang, Arsen yang masih duduk diatas jalanan tanah mengambil sebuah kerikil yang cukup besar lalu melemparkannya kearah Adli hingga mengenai bagian belakang kepala, sama persis dengan apa yang Adli lakukan padanya beberapa menit yang lalu.

Dari kejauhan, Arsen mendengar mereka marah dan menunjuk dirinya serta berteriak mengatakan sesuatu. Namun, Arsen tidak mendengarnya dengan jelas. Ia tak peduli dengan apa yang mereka katakan itu.

Setelah cukup lama terduduk karena rasa sakitnya, Arsen kemudian bangkit. Ia segera pergi menuju sungai untuk membersihkan lututnya yang berdarah.

Tidak perlu pulang ke Rumah untuk membersihkan diri, karena tidak jauh dari tempatnya berada terdapat sebuah sungai dengan air yang jernih. Arsenpun pergi menuju sungai itu.

Setelah membersihkan dirinya, Arsen duduk pada batu besar dengan kaki memainkan air yang mengalir cukup deras dengan suara yang menenangkan. Saat ini, Arsen masih belum ingin pulang ke Rumahnya.

"Arsen." panggil seseorang dari bawah yang membuat Arsen sontak menoleh kearahnya.

Ia melihat seorang gadis yang ia kenal basah kuyup dengan senyum ceria menghiasi wajahnya. Gadis kecil itu melambaikan tangannya pada Arsen.

"Apa yang kamu lakukan disana?!" tanya Arsen setengah berteriak karena suara air sungai yang cukup kencang terkadang membuat suara samar.

"Turunlah, aku sedang menangkap ikan." jawab gadis yang bernama Lea itu.

Kegiatan yang tengah Lea lakukan terdengar menyenangkan bagi Arsen, ia pun turun dari batu tempatnya duduk lalu berlari menuju tempat Lea berada.

"Ambil jaringnya dan kita tangkap ikan bersama." ujar Lea dengan senyum manisnya.

Arsen yang semula murung kembali ceria, yang ada dalam pikirannya hanya ia ingin mendapatkan banyak ikan untuk ibunya, Arsen membayangkan wajah ibunya yang tersenyum gembira.

Arsen dan Lea bersemangat menangkap ikan hingga keduanya basah kuyup, keceriaan dan tawa keduanya terdengar. Hanya hal kecil semacam ini saja sudah membuat Arsen begitu bahagia.

Hari mulai sore, ikan yang mereka tangkap sudah cukup banyak meski ukurannya tidak terlalu besar. Lea memasukan seluruh ikan kedalam tas jaring. Mereka berdua pun keluar dari sungai dengan kaki dan tangan yang keriput karena terlalu lama terendam air.

"Semua ikan ini untukmu." ucap Lea.

"Kenapa begitu? Kamu juga menangkapnya." kata Arsen tidak enak hati.

"Lagipula, paman dan bibiku tidak suka ikan." ujar Lea berjalan mendahului Arsen.

"Lalu, kenapa menangkapnya?" tanya Arsen bingung, ia berjalan mengikuti Lea yang memang arah jalan pulang mereka sama.

"Karena aku menyukaimu." jawab Lea berbalik menatap Arsen sesaat kemudian melanjutkan langkahnya. "Aku ingin menikah denganmu suatu saat nanti." lanjutnya dengan polos.

"Jangan menikah dengan orang sepertiku." ujar Arsen. "Jangan menyukai orang bodoh sepertiku."

"Walaupun kamu bodoh tapi kamu tampan." Lea terkekeh.

"Jadi kamu menyukaiku hanya karena aku tampan?" tanya Arsen heran.

"Memangnya kamu memiliki kelebihan lain?" Lea berbalik tanya lalu tertawa. "Apa impianmu?" lanjutnya bertanya.

"Entahlah." jawab Arsen singkat. "Kamu sangat pintar, apa kamu ingin menjadi Dokter?" lanjutnya bertanya.

"Impian setinggi itu tidak cocok untukku, aku hanya ingin bisa bekerja untuk membahagiakan orang yang telah merawatku dan membalas budi mereka." jawab Lea masih dengan semangatnya, ia sudah ditempa menjadi dewasa sedari kecil.

Arsen terkesan dengan sikap dewasa Lea.

"Aku pergi dulu." ujar Lea setelah sampai pada gang masuk menuju kediamannya.

Arsen melambaikan tangannya pada Lea, diantara banyak murid dikelas hanya Lea yang bersikap baik padanya. Selain cantik, Lea juga seorang yang pintar hingga ia dikelilingi banyak orang yang ingin berteman dengannya. Tapi, pandangannya hanya tertuju pada Arsen dan ia hanya ingin berteman dengan Arsen karena banyak orang yang menjauhi sahabatnya itu.

Arsen memutuskan untuk kambali ke Rumahnya setelah Lea benar-benar hilang dari pandangannya. Dalam perjalanan ia begitu semringah, ia merasa senang setidaknya ada makanan kesukaan Gibran yang dimasak malam ini.

2. Diriku Yang Lemah

Arsen terkejut ketika ia memasuki halaman Rumahnya dan mendapati pintu rumah terbuka, suara teriakan serta makian terdengar jelas dari dalam sana. Arsen tanpa sadar melepas tas jaring yang membawa seluruh tangkapannya dan berlari masuk kedalam Rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Sesampainya diambang pintu, Arsen melihat kedua orang tuanya berlutut pada seseorang berwajah garang bersuara berat, didalam sana ia juga melihat Adli yang menyunggingkan senyum tipis.

Arsen segera menghampiri orang tuanya dan meminta mereka tidak melakukan hal semacam itu.

"Oh, jadi kamu yang melempar batu ke anak saya!" tegas pria itu menarik kasar tangan Arsen.

Arsen meringis kesakitan. "Dia yang memulainya." ucapnya membela diri.

Aida, ibu Arsen yang melihat putranya diperlakukan kasar tidak terima, meski begitu ia masih bersikap patuh pada majikan suaminya itu karena hanya dia satu-satunya orang yang memperkerjakan suaminya dan keluarganya butuh uang untuk menyambung hidup.

Aida berjalan dengan lututnya menghampiri Arsen dan memohon agar pria itu melepas cengkeraman dari lengan putranya. Ia meminta maaf berkali-kali atas apa yang Arsen lakukan.

"Baiklah!" suara berat itu menggema. "Kali ini akan saya maafkan kalian. Tapi, jika kejadian semacam ini terulang lagi, saya tidak akan memberikan toleransi lagi!"

Pria itu melepas cengkeramannya dengan mendorong Arsen hingga jatuh, untung saja ibunya dengan cepat memeluknya. Ia menangis pilu meratapi nasib dirinya yang tidak bisa menjaga sang putra. Sejak tadi, pandangannya tertuju pada lutut Arsen dan ia mengetahui bahwa selama ini putranya acap kali mendapat perlakuan buruk dari Adli, anak itu menyakiti putranya baik secara fisik maupun verbal. Namun, ia tidak bisa sedikitpun membela Arsen karena ayah dari Adli adalah tuan tanah Rumah yang ia tempati dan suaminya pun bekerja pada pria itu.

"Arsen!" bentak Surya, sang ayah. Wajahnya merah padam tampak jelas amarahnya tengah membara.

Surya menarik Arsen dari pelukan ibunya. "Dasar anak nakal!" pukulan keras mendarat pada lengan anak itu.

Arsen terdiam, ini bukan pertama kalinya.

"Kenapa kamu kasar pada Adli?! Kamu ingin ayah dipecat dan kita semua kelaparan?!"

Arsen menangis. "Maaf, Ayah." ucapnya. "Aku hanya ingin membela diri."

"Membela diri?!" tanya sang ayah dengan tegas. "Memang orang seperti kita berhak untuk membela diri?!" Surya terus membentak Arsen untuk melampiaskan kekesalan dalam dirinya.

Arsen yang melihat kemurkaan ayahnya merasa begitu takut hingga ia gemetar. "Aku tidak ingin mereka menghina kita." ucapnya lirih.

"Lalu, kenapa jika mereka menghina kita?! Kamu tidak terima?!" tanyanya mendorong kepala Arsen dengan telunjuknya.

Air mata Arsen terus menetes, meski ia menahannya tetap saja air mata itu keluar dengan sendirinya. "Aku tidak mau harga diri ayah diinjak-injak." jawabnya parau.

"Harga diri?!" suara surya kembali menggema, kini lebih keras lagi. "Memangnya harga diri bisa membuatmu kenyang?! Bisa menyekolahkanmu?!"

"Cukup! Apa kamu tidak melihat Arsen ketakutan?!" Aida yang melihat putranya ketakutan mencoba menyadarkan suaminya. Namun, sang suami tidak menghiraukan dirinya.

"Tidak usah ikut campur!" tegasnya pada sang istri.

"Ayah harus memberimu pelajaran!" pria berusia 41 tahun itu mengambil sapu lidi yang berada tak jauh darinya dan dengan cepat ia memukul punggung Arsen tanpa ampun.

"Cukup, Mas!" teriak Aida tidak terima, ia menarik tangan suaminya agar tidak menyakiti Arsen. "Dia itu anak kandungmu!"

Surya menepis tangan Aida, amarah benar-benar sudah menguasai dirinya. "Anak bandel ini perlu diberi pelajaran!" tegasnya lalu kembali memukul punggung Arsen.

"Ayah... Sakit... Hentikan... Aku mohon... Sakit..." rengek Arsen yang sudah bersujud dilantai dengan kedua tangan melindungi bagian kepala. Punggungnya terasa panas dan sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit lagi.

"Anak bodoh! Kau hanya menyusahkan kami saja! Lihat Gibran! Dia pintar, karena dia rajin dan pekerja keras! Tidak seperti dirimu yang hanya bisa membuat onar!" ujarnya penuh kemarahan. "Apa tidak bisa mencontoh kakakmu sedikit saja agar uang jerih payahku yang kugunakan untuk menyekolahkanmu tidak sia-sia? Tidak ada yang bisa ayah harapkan dari anak seperti dirimu?!"

Setelah selesai memberi pelajaran pada putranya, Surya melempar sapu lidi itu kesembarang arah. "Bangun!" perintahnya pada Arsen yang masih meringkuk kesakitan.

Arsen diam saja, ia sudah tidak memiliki tenaga untuk bangkit.

"Bangun!" bentak Surya tidak sabar.

Aida mendekati putranya dan membantu Arsen yang menangis sesenggukan berdiri, ia mengusap lembut air mata putranya. "Tega sekali." ucapnya merapikan rambut Arsen yang acak-acakan, hatinya hancur. Tapi, ia tidak berdaya dihadapan suaminya.

Napas surya terengah-engah, ia menatap keduanya tanpa rasa iba sedikitpun. Menurutnya sikap tegas semacam ini adalah cara yang tepat untuk menangani Arsen.

"Apa tidak bisa sedikit saja bersikap lembut pada Arsen seperti sikapmu pada Gibran?" tanya Aida dengan air mata berlinang.

"Ini sebabnya anak ini semakin hari semakin menjadi-jadi karena kamu terlalu memanjakannya!" jawabnya dengan tegas.

"Memanjakannya?" protes Aida, ia tidak terima dengan perkataan sang suami. "Membela anakku sendiri dari tindakan kasarmu dan kamu menganggap aku memanjakannya? Justru kamu yang tidak adil pada Arsen, bisakah kamu memperlakukan kedua anak kita dengan sikap yang sama terlepas dari kekurangan serta kelebihan mereka?"

"Sama?" Surya mempertanyakan ucapan istrinya. "Kita tidak bisa mendidik si pembuat onar ini sama dengan cara kita mendidik Gibran yang penurut dan mudah diatur, keduanya jelas sangat berbeda."

"Tapi Arsen juga anakmu!" teriak Aida yang kesal dengan suaminya.

"Arsen, ikut ayah." ucapnya tidak menghiraukan Aida.

Arsen menggelengkan kepalanya, ia tahu bahwa hukuman selanjutnya tengah menanti dirinya. Didekat Rumah mereka yang hanya seluas 4×5m dengan cat tembok putih usang terdapat sebuah gudang kecil yang menyimpan berbagai barang yang sudah tidak terpakai, ruangan gelap nan lembab tanpa penerangan serta debu halus yang bertebaran, bernapas pun terasa sesak. Disanalah tempat favorit ayahnya untuk menghukum dirinya. Meski sudah berkali-kali melewati malam dalam ruangan itu, tetap saja Arsen masih merasa takut.

Surya masih kekeh dengan pendiriannya, sekali ia mendisiplinkan sang anak, ia harus bersikap keras dan tegas agar anaknya itu jera. Padahal, apa yang dilakukannya ini jelas sebuah kesalahan yang amat fatal.

Surya menarik tangan Arsen dan berjalan menuju gudang itu, tubuh kecil Arsen tidak mampu mengimbangi lajunya langkah sang ayah hingga ia sesekali terseret.

"Ayah, aku akan menjadi anak yang baik, aku janji." pintanya, ia tidak melawan ataupun meronta karena Arsen tahu bahwa kekuatannya tidak sepadan dengan kekuatan sang ayah. Ia pun memilih untuk pasrah.

Aida terus mengikuti suaminya,berharap pria yang telah 14 tahun ia dampingi itu berbaik hati dan melepaskan Arsen. Sayangnya, usahanya untuk menenangkan hati sang suami sia-sia. Aida harus melihat anaknya masuk dengan paksa kedalam gudang gelap itu.

Arsen sangat ketakutan, ia terus menggedor dan mencoba membuka pintu, Arsen berteriak memanggil ayahnya dengan suara yang parau.

Surya tidak mengucapkan sepatah katapun, ia menarik tangan Aida agar mengikutinya dan menjauh dari gudang tersebut.

"Ayah." teriak Arsen. "Ayah, aku mohon...aku akan menjadi anak yang baik seperti Gibran." pintanya. "Ayah....." suara melemah ketika ia tidak mendengar suara ayahnya dari luar sana.

Arsen berbalik dan duduk memeluk lutut, sejauh mata memandang ia tidak bisa melihat apapun, semuanya gelap. Arsen begitu sedih, ia menenggelamkan wajahnya pada lututnya.

Tak berapa lama kemudian, ia mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Pertengkaran itu begitu sengit, bahkan Arsen mendengar tentang kehadirannya yang tidak diinginkan dan ayahnya berkata Gibran saja sudah cukup.

Hati Arsen kian terluka. Pasalnya, ini bukan pertama kali dirinya mendengar perkataan itu keluar dari mulut sang ayah.

Setelah melahirkan Gibran, hanya dalam waktu beberapa bulan Aida kembali mengandung, hal itu yang membuat Surya tidak siap dengan kehadiran Arsen.

Arsen menutup kedua telinganya dengan tangan. "Hentikan..." rintihnya. Ia tidak sanggup lagi mendengar pertengkaran itu.

Arsen menangis sejadi-jadinya, hatinya teramat sakit terlebih dia sendiri tidak meminta untuk dilahirkan.

Ayah, ibu, mungkin aku tidak sepintar dan sehebat Gibran. Tapi, bukan berarti aku tidak pernah berusaha. Aku telah berusaha semampuku. Maafkan diriku yang lemah ini, aku yang tidak bisa menjadi seseorang yang kalian inginkan.

Ibu, aku tidak ingin ibu terus menangis karena diriku. Aku sangat menyayangi ibu lebih dari siapapun, aku tidak ingin melihat ibu menjahit bajuku tengah malam atau menyimpan makanan secara diam-diam agar aku bisa makan. Sedangkan, ibu tidur dengan rasa lapar. Aku hanya ingin ibu lebih menjaga diri sendiri.

Ayah, aku ingin ayah tersenyum menyambutku pulang sama seperti yang ayah lakukan pada Gibran, aku ingin ayah memeluk atau pergi keluar bersamaku, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku begitu dekat dengan ayah dan pergi bersama. Tidak apa bagiku, melihat ayah yang sangat menyayangi Gibran. Tapi, jujur saja terkadang diriku merasa iri. Aku menantikan hari dimana ayah akan menyayangiku dengan sepenuh hati.

Gibran, aku menyayangimu.

Aku takut... Sangat takut... Bagaimana kalau ada ular yang menggigit kakiku? Bagaimana jika ada tikus yang melompat kearahku? Gelap, disini sangat gelap. Aku takut... Sangat takut... Ayah..... Ibu.... Aku takut.

Arsen masih tenggelam dalam renungannya dengan mata berlinang, ia tidak sedikitpun menoleh atau melihat sekelilingnya.

3. Kepedulian

Arsen perlahan membuka matanya setelah sinar matahari pagi masuk melalui celah atap gudang itu, tanpa disadari kini ia tengah terbaring pada lantai yang penuh dengan tanah. Matanya sakit karena semalam ia terlalu banyak menangis, ia bahkan menangis sampai tertidur.

Tubuhnya masih lemah tapi Arsen memaksa dirinya untuk bangkit. Ia duduk sesaat untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya. Setelah merasa lebih baik, Arsen berdiri dan membuka pintu yang sudah tidak terkunci itu.

Begitu ia keluar, Arsen langsung mendapati Gibran yang sudah rapi dengan seragam, sepatu serta tasnya, duduk pada batang kayu besar yang berada disamping pintu Gudang.

"Mas." panggil Arsen lemah.

Gibran langsung menunjukan senyum manisnya ketika menoleh kearah Arsen. "Duduklah." ucapnya menepuk batang pohon itu meminta Arsen duduk disampingnya.

Arsen menuruti perkataan kakaknya dan duduk bersebelahan dengan Gibran. Dari raut wajah dan penampilan mereka terlihat kontras. Pantas saja, mereka berdua dibesarkan dengan kasih sayang yang berbeda. Gibran tumbuh menjadi seorang yang penuh percaya diri sedangkan Arsen, ia cukup pendiam. Meski begitu, tatapan Arsen begitu lembut dan hangat.

"Jam berapa sekarang?" tanya Arsen.

"Hmm.." Gibran berpikir sejenak. "Aku menunggumu lama sekali, aku membuka kunci pintu gudang sekitar jam 8, mungkin sekarang sudah jam 9." jawabnya.

"Mas, kamu akan terlambat ke Sekolah!" Arsen membelalakan matanya.

Gibran terkekeh, "Tenang saja."

"Bagaimana jika ayah memarahimu?" tanya Arsen panik.

"Ayah dan ibu sudah pergi bekerja." jawabnya santai.

"Oh." Arsen menunduk. Ia baru ingat, jika Gibran yang melakukan kesalahan, kakaknya itu hanya akan dinasehati dan tidak akan mendapat hukuman seperti dirinya.

"Lihat punggungmu." ucap Gibran membuka kaos abu lusuh yang Arsen kenakan. "Merah sekali, pasti sakit." lanjutnya prihatin.

"Aku tidak apa-apa." kata Arsen.

Gibran menghela napas dan mengusap puncak kepala Arsen lembut. "Adik baik." pujinya.

"Seandainya aku sama seperti Mas Gibran, apa ayah akan sayang padaku?" tanya Arsen dengan polosnya.

Gibran menghentikan apa yang dia lakukan, ia kemudian menepuk pundak Arsen berusaha memberi semangat pada adiknya. "Ayah juga menyayangimu, hanya dengan cara berbeda." ia mencoba menghibur Arsen.

Arsen hanya mengangguk, berusaha mempercayai ucapan Gibran.

Gibran tersenyum, ia membuka tas miliknya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. "Ini untukmu." ucap Gibran memberikan sebuah apel merah pada Arsen.

Mata Arsen berbinar melihat apel itu, ia segera menerimanya. Jarang sekali Arsen memakan buah yang cukup mahal seperti apel, buah ini begitu istimewa dan berharga baginya. "Ini untukku?"

Gibran mengangguk pelan dengan wajah semringah melihat adiknya yang begitu bahagia.

"Ayo kita makan bersama, kita bagi dua." kata Arsen.

"Tidak usah, aku sudah memakannya kemarin. Aku pulang terlambat karena menghadiri acara ulang tahun temanku dan aku mendapat apel itu untukmu." ujar Gibran, sebenarnya ia tidak memakan apel sama sekali, ia membawa apel itu pulang untuk Arsen karena Gibran tahu bahwa adiknya sangat menyukai buah tapi mereka tidak memiliki kesempatan untuk membelinya.

Senyum Gibran mengembang melihat Arsen yang dengan lahap memakan apel pemberiannya. Ia memainkan jerami ditangannya. "Terima kasih untuk ikan yang kamu tangkap kemarin, aku menemukannya di Halaman dan membawanya."

Arsen tersenyum dan mengangguk. "Aku memang menangkap ikan itu untuk ibu dan Mas."

"Tapi, ayah mengira aku yang menangkapnya dan aku tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskannya." ujar Gibran sedih.

"Tidak apa-apa." ucap Arsen.

"Baiklah, setelah ini kamu sarapan ya. Aku berangkat sekolah dulu." pamit Gibran.

Arsen mengiyakan. Setelah selesai dengan apelnya, Arsen bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke Sekolah.

***

Karena terlambat, Arsen tidak masuk kedalam kelas. Ia justru duduk diatas rerumputan liar dan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar yang berada di Kebun belakang Sekolah sembari menatap langit.

"Arsen." panggil seseorang yang membuat Arsen sontak menoleh kearah orang yang memanggilnya.

Lea tersenyum memandang langit. "Apa yang kamu lakukan? Sedang melihat apa?" ia mencari-cari apa yang tengah Arsen amati karena temannya itu begitu serius melihat keatas.

"Tidak ada, hanya sedang ingin melamun saja." jawab Arsen.

Lea mengalihkan pandangannya pada Arsen dan menyipitkan matanya. "Melamun tentang apa?"

Arsen kembali menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. "Rahasia."

Lea memdekat kearah Arsen dan duduk disamping temannya itu, ia merasa begitu nyaman ketika bersama dengan Arsen. Ia menatap dengan seksama wajah temannya itu yang nampak tenang. Ia memang biasa mendatangi tempat ini ketika jam istirahat tiba karena Lea tahu Arsen akan selalu ada di tempat ini, temannya itu memang suka menyendiri.

"Lea." panggil Arsen masih memejamkan mata.

"Ya." jawab Lea spontan.

Arsen membuka matanya dan mengalihkan pandangannya pada Lea yang menatapnya bingung.

"Kenapa berteman denganku? Kamu pintar dan banyak orang yang ingin berteman denganmu." ujar Arsen.

"Entahlah, aku hanya tidak suka dengan mereka." jawab Lea seadanya.

"Aneh." ucap Arsen.

"Kenapa? Tidak mau berteman denganku!" Lea kesal.

Arsen terkekeh. "Bukan begitu."

"Bilang saja iya." Lea masih cemberut.

Arsen menghela napasnya. "Aku akan berusaha sekeras mungkin agar orangtuaku bisa merasa sedikit bangga padaku." ada kesedihan dalam nada bicara Arsen.

Perasaan Lea berubah sedih, ia tahu apa yang Arsen alami. Awalnya ia berteman dengan Arsen karena merasa iba dan penasaran tapi pada akhirnya ia benar-benar merasakan ketulusan dan ingin selalu berteman dengan Arsen. Meski di Kelas Arsen terkenal sebagai murid pendiam. Tapi, sebenarnya dia anak yang ramah dan baik hati.

"Jika kita tumbuh dewasa, aku harap tidak ada yang berubah." ujar Lea.

"Tentu akan ada yang berubah." ucap Arsen. "Aku akan menjadi lelaki tampan." lanjutnya tertawa.

"Ha-ha-ha-ha-ha." Lea menirukan tawa Arsen seperti tengah mengeja dengan raut wajah sinisnya.

Arsen tersenyum. "Lea, tolong ajari aku semua mata pelajaran. Aku janji akan berusaha dengan keras."

Melihat tekad dan kesungguhan Arsen, Lea menjadi bersemangat. "Baiklah."

"Bersiaplah, aku akan menyaingimu." kata Arsen penuh percaya diri.

"Lihat saja nanti." ucap Lea dengan angkuhnya.

Mereka berdua tertawa. Arsen benar-benar bersyukur memiliki sahabat seperti Lea, sebenarnya ia ingin Gibran mengajarinya. Tapi, ia tahu bahwa Gibran tengah sibuk belajar untuk mempersiapkan diri masuk ke SMP impiannya.

Arsen terkejut ketika melihat Gibran mendekat kearahnya, ia membawa sebuah kantong plastik.

"Mas Gibran." ucap Arsen lirih.

"Dia siswa yang paling pintar di Sekolah." gumam Lea.

Arsen mengangguk tanda bahwa ia membenarkan ucapan Lea.

"Bukankah dia kakakmu? Kenapa dia tidak setampan dirimu? Ah, Tuhan memberikan kalian kelebihan yang berbeda." ujar Lea.

Arsen menatap Lea sesaat. "Kamu ini bicara apa?" tanyanya lalu kembali fokus pada Gibran.

Arsen tersenyum dan melambaikan tangannya pada sang kakak, Gibran mempercepat langkahnya.

"Obati lukamu." ucap Gibran ketika sudah berhadapan dengan Arsen.

"He em." Arsen mengangguk.

Gibran nampak canggung saat Lea menatapnya. "Aku pergi dulu." ia kemudian berlalu pergi.

"Apa ada sesuatu diwajahku?" tanya Lea heran pada Arsen.

Arsen menggeleng. "Tidak, wajahmu baik-baik saja."

"Kakakmu aneh sekali." kata Lea ketus.

"Jangan bicara begitu, dia kakakku." ucap Arsen membela Gibran.

"Baiklah, ayo kita kembali ke Kelas." ujar Lea berjalan meninggalkan Arsen.

Seperti biasa, Arsen mengikuti Lea dan berjalan dibelakangnya. Lea tersenyum, entah mengapa dirinya merasa senang. Tapi, terlalu dini baginya untuk jatuh cinta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!