NovelToon NovelToon

Adore You

Prolog

Gian keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam sekolah yang sudah rapi. Ia berjalan menuruni tangga, lalu menuju ruang makan untuk sarapan bersama orang tuanya. Gian melihat Papanya sedang fokus membaca koran ditemani secangkir kopi. Sementara Mama masih sibuk menata meja makan.

“Pagi, Pa, Ma.”

“Gian, selamat pagi,” balas Mama seperti biasa. Selalu ceria.

“Pagi, Yan. Gimana sekolah kamu?” tanya Papa sambil melipat koran dan minum kopi.

“Baik-baik aja, Pa.” Gian tersenyum kecil lalu melirik hidangan di atas meja. Mama sudah menyiapkan sepiring omelet telur kesukaan Gian.

“Ada kesulitan nggak?” tanya Papa lagi.

“Enggak kok, Pa.” Gian meneguk air putih sebentar. “Sejauh ini lancar-lancar aja.”

“Mama bener-bener nggak nyangka sekarang kamu udah kelas 11,” selesai menata meja makan, Mama ikut bergabung dengan Papa dan Gian. Mama menarik kursi di samping Papa. “Tadinya Mama pikir kamu bakal ambil jurusan IPA, ternyata IPS.”

“Papa juga,” Papa tertawa pelan. “Kamu mampu di IPA, tapi ternyata malah ambil jurusan yang sama dengan Papa dulu.”

“Karena Gian pengen ambil jurusan Manajemen Bisnis waktu kuliah nanti. Biar bisa bantu dan nerusin perusahaan Papa,” ujar Gian dengan ekspresi dibuat setenang mungkin.

Papa dan Mama saling memandang satu sama lain. Gian memang belum memberitahu alasan memilih jurusan IPS. Begitu mereka mendengar pengakuan Gian ini, mereka merasa terkejut. Mereka tidak menyangka Gian sudah berpikir jauh tentang penerus perusahaan Papa.

“Papa nggak nyangka kamu udah mikir sampai ke sana,” Papa tersenyum lembut. “Dari awal, Papa membebaskan pilihan kamu. Kamu nggak harus ngelanjutin bisnis perusahaan Papa.”

“Gian tahu, tapi selama ini Papa dan Mama udah sering nurutin kemauan Gian. Gian pengen bikin Papa dan Mama bangga.” Gian menatap wajah Papa dan Mama dengan ekspresi serius. “Apa yang Gian lakuin sekarang itu menentukan masa depan Gian nanti. Karena itu Gian mantap ambil jurusan IPS supaya nanti bisa nerusin perusahaan Papa. Yang bisa nerusin perusahaan Papa cuma Gian, karena Gian anak semata wayang Papa dan Mama.”

Papa dan Mama kehabisan kata-kata karena ucapan Gian yang sangat menyentuh. Bahkan mata Mama terlihat berkaca-kaca. “Uuh, anak Mama ternyata udah dewasa. Mama terharu,” Mama memeluk Gian dan memberi kecupan sayang di pipi.

Pipi Gian merona karena perlakuan Mamanya yang tidak pernah berubah sejak dia masih kecil.

“Makasih, ya,” ujar Papa senang. “Papa doain semoga semuanya lancar dan keinginan kamu bisa terwujud.”

“Mama juga!”

“Iya, Pa, Ma.” Gian tersenyum. “Makasih buat doanya.”

Mereka kembali menikmati sarapan dengan obrolan hangat.

Selesai sarapan, Gian berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Sebelumnya, Gian harus diantar sama Pak Yos, supir pribadi keluarga Gian. Namun, sekarang Gian sudah diperbolehkan membawa kendaraan sendiri karena sudah berumur 17 tahun dan memiliki SIM.

Papa memberikan motor sport Kawasaki Ninja 250 dengan perpaduan warna hitam dan oranye, warna kesukaan Gian. Motor itu sebagai hadiah ulang tahun Gian yang ke-17, hanya selang beberapa hari setelah tahun ajaran baru dimulai. Papa dan Mama memang sudah sepakat memperbolehkan Gian membawa kendaraan sendiri kalau sudah berumur 17 tahun dan memiliki SIM.

Jarak lokasi sekolah Gian dari rumah sekitar 7 km. Gian sendiri terbiasa berangkat pagi supaya tidak terlambat masuk sekolah.

Sesampainya di sekolah, Gian memarkirkan motornya di area parkir khusus siswa. Membaur bersama siswa lain yang baru berdatangan, Gian berjalan memasuki gedung sekolah. Sesekali Gian memasang senyum ramah ketika mendengar sapaan dari beberapa cewek di sekitarnya.

Gian termasuk siswa populer di sekolahnya. Secara fisik, Gian memiliki paras wajah tampan, proporsi tubuhnya pun tinggi layaknya seorang model. Apalagi didukung dengan kulitnya seperti salju. Faktor keturunan, mengingat Papa dan Mama Gian juga sama-sama berkulit putih.

Selain itu, Gian memiliki selera fashion yang bagus. Jika di sekolah, mungkin lantaran memakai seragam seperti siswa lain, penampilan Gian akan terlihat sama. Meski aura yang dia pancarkan tetap berbeda dari siswa lainnya.

Akan tetapi, bagi mereka yang pernah bertemu Gian di luar sekolah, mereka merasa seperti bertemu dengan member boyband Korea dengan cita rasa lokal.

“Kak Gian, selamat pagiii~”

Gian menoleh ke kiri dan melihat gerombolan cewek yang menyapa dengan penuh semangat. Gian ingat, mereka adalah adik kelasnya yang pernah dia pandu sewaktu MOS 1 bulan yang lalu.

“Pagi,” Gian balas menyapa dengan ramah.

“Kyaaaaa~”

Gerombolan adik kelasnya itu langsung histeris.

“Ya ampun, Kak Gian ganteng banget!”

“Sumpah, senyumnya nggak nahan.”

“Gue pengen ngelamar jadi istrinya!”

“Heh!? Gue duluan yang ngelamar jadi istri Kak Gian!”

“Nggak bisa! Gue dulu!”

“Gue!”

Gian hanya geleng-geleng kepala melihat perdebatan konyol itu. Ia buru-buru pergi meninggalkan gerombolan cewek itu dan segera masuk ke gedung sekolah. Gian berjalan menuju area loker siswa untuk menaruh jaketnya.

Sesaat, Gian menghela napas panjang. Awalnya, dia senang menjadi siswa populer di sekolah. Tetapi, lama-kelamaan Gian merasa risih jika setiap hari harus dikerubungi cewek-cewek. Apalagi kebanyakan tipe cewek yang mendekatinya itu garang dan ganas. Mereka sampai rela menyikut satu sama lain hanya demi berebut perhatian Gian.

“Hhhh ... lama-lama mereka nyeremin,” gumam Gian sambil menutup pintu lokernya. Gian hendak berjalan menuju ke kelasnya. Namun, tanpa sengaja dia menabrak seorang cewek yang ada di sampingnya.

“Aduh!”

Baru saja Gian hendak meminta maaf, cewek itu terlanjur marah padanya.

“Kak, jangan mentang-mentang tinggi kayak tiang listrik, Kakak nggak lihat ada orang di sini sampai ditubruk.” Bibir cewek itu mengerucut kesal. “Sakit tahu! Untung aja aku nggak sampe mental.”

Mata Gian mengerjap bingung.

 “Ih, Kakak malah bengong. Masih pagi jangan ngelamun, Kak. Nanti kesambet loh.”

Gian sedikit menunduk agar bisa melihat wajah cewek itu. Ternyata memang benar soal perbandingan tinggi badan mereka yang cukup jauh. Gian memiliki tinggi badan 185 cm, sementara tinggi cewek itu hanya sebatas

lengannya saja. Kemungkinan tinggi cewek itu sekitar 160 cm.

Sebenarnya, bukan hanya masalah tinggi badan mereka yang membuat Gian kaget. Wajah cewek itu justru membuat mata Gian nyaris tak berkedip.

“Kak?” Cewek itu kembali memanggil Gian. “Kakak kok ngelihatin aku kayak gitu, sih?”

“Nama lo siapa?” tanya Gian justru melenceng dari pertanyaan cewek itu.

Cewek itu menatap horor. “Kakak ngapain nanya namaku? Mau modus, ya?”

Parasnya cantik, tapi omongannya absurd. Ugh, waktu matanya kedip-kedip, dia kelihatan imut. Apalagi waktu masang wajah galak kayak gini. Sumpah, imut banget!

“Siapa juga yang mau modus?” Gian sedikit jengkel, lalu sadar akan sesuatu. “Adinda Maharani Putri.”

Wajah cewek itu kelihatan panik. “Kakak kok tahu namaku?! Kakak intel, ya?!”

“Gue baca nametag lo, ****!”

Mata cewek itu berkedip-kedip polos. Dia melirik nametag­­ yang tersemat di seragamnya, lalu mendelik ke arah Gian. “Kakak sama aja dong. Udah tahu bisa baca nametag-ku masih nanya nama. ****.”

Gian terdiam. Bener juga, ya?

“Udah, ah! Aku mau masuk!” Cewek itu buru-buru pergi meninggalkan Gian. Sebelum pergi, dia sempat melirik Gian sebentar. “Kakak jangan ngikutin aku, ya! Nanti aku laporin ke polisi loh.”

What the—Gian tidak tahu harus bekata apa melihat kelakuan cewek ini.  Seumur hidupnya, baru kali ini Gian bertemu dengan model cewek seperti itu.

Cantik, imut, tapi kok ... rada absurd, ya?

Entah mengapa, rasanya ada dorongan besar dalam diri Gian untuk mengenal cewek itu lebih jauh.

“Adinda Maharani Putri ...” Gian tersenyum menyeringai. “Selamat, lo cewek pertama yang berhasil menarik perhatian gue.”

TO BE CONTINUED

Bab 1

Gian terlihat duduk di salah satu kursi kantin. Ia sedang menunggu teman sekelas, sekaligus sahabatnya, Vino. Vino sendiri tengah mengantri untuk mengambil makan siang mereka di counter menu makanan Bakso Malang. Sementara Gian, sebelumnya dia sudah mengambil dua gelas minuman jus jeruk.

Kantin di sekolah Gian menjadi tempat favorit siswa sewaktu jam istirahat. Selain lokasinya yang nyaman dan menghadap langsung ke taman sekolah, menu makan siang yang disajikan membuat siapapun tergiur untuk segera menyantapnya.

Ada buffe yang menyajikan paket makan siang lengkap dengan model prasmanan, beserta counter makanan lainnya seperti bakso, sate, soto dan masih banyak lagi. Tiap hari menu makan siang yang disajikan akan berbeda-beda supaya lebih variasi. Semua siswa bebas mengambil makanan dan minuman yang mereka mau, tanpa harus membayar lagi. Biaya untuk makan siang sudah dibayarkan saat awal memasuki tahun ajaran baru.

Ada beberapa cewek di kantin yang mencuri pandang ke arah Gian, tapi dia tidak peduli. Gian lebih memilih asyik bermain game di ponselnya, selagi menunggu kedatangan Vino.

“Nih!” Vino datang sambil menyodorkan mangkuk bakso untuk Gian. Begitu duduk, ia mengambil gelas minumannya. Vino sedikit rakus meminum jus jeruk. “Haaaah, lega.”

“Makasih udah diambilin,” ucap Gian tulus.

“Sama-sama. Makasih juga udah ngambilin minuman buat gue hehe,” Vino dengan semangat mulai menyantap bakso. “Ayo, Yan. Dimakan baksonya.”

Gian mengangguk kecil. Bukannya mengikuti ajakan Vina, Gian justru melamun. Ia hanya diam memperhatikan mangkuk baksonya dengan tatapan kosong.

“Kok nggak dimakan?” tanya Vino heran. Dahinya berkerut-kerut karena Gian tidak merespon sama sekali. “Oi, Yan!”

Baru setelah Vino sedikit berteriak. Gian menoleh dengan wajah kaget. “Apa?”

“Lo kenapa, sih? Dari pagi gue amatin lo ngelamun terus selama pelajaran,” tanya Vino penasaran. Ia berhenti makan sejenak untuk minum lagi karena merasa kepedasan. “Duh, kebanyakan masukin sambel nih.”

Reaksi Vino itu membuat Gian tersenyum kecil. “Gue lagi mikirin sesuatu," jawabnya merespon pertanyaan Vino.

“Soal apa?”

“Cewek.”

“Oh, cewek—HAH?! APA?!” Vino tiba-tiba berteriak keras. Membuat seisi kantin kompak menoleh ke arah mereka.

Gian melotot kesal. “Lo apa-apaan, sih? Nggak perlu teriak juga kali,” gerutunya.

“Sori,” Vino menyengir polos. “Jawaban lo sesuatu banget. Tumben mikirin cewek.”

Gian merotasikan bola matanya malas, dan memilih untuk lekas menyantap baksonya.

“Siapa cewek itu, Yan? Salah satu dari penggemar lo?” tanya Vino penuh antusias. Gelagatnya seperti wartawan pemburu berita gosip selebriti terpanas.

“Bukan, tapi kayaknya dia adik kelas kita,” kata Gian.

“Adik kelas?” Vino terdiam sebentar. “Kalian ketemu di mana?”

“Di area loker siswa. Gue baru selesai naruh jaket, terus waktu mau lanjut jalan ke kelas, malah nggak sengaja nabrak dia.” Gian kembali mengingat-ingat kejadian pagi tadi. “Kalo dibandingin gue, dia termasuk mungil. Tingginya cuma sebatas lengan gue, jadi gue nggak lihat kalau ada dia di sebelah gue.”

“Cantik nggak?”

“Cantik, tapi ...” Gian tanpa sadar tersenyum tipis, “kelakuannya rada absurd.”

“Hah?” Vino mengernyit bingung. “Maksud lo absurd gimana? Konyol gitu?”

“Ya semacam itulah,” Gian tersenyum lagi. “Tadi gue dimarahin dia.”

“Lo dimarahin?!” Vino memekik tak percaya. “Wuih, berani juga tuh cewek.”

“Iya, dia ngomel-ngomel karena gue nabrak dia. Hampir bikin dia jatuh.” Gian diam sejenak, kemudian tertawa lagi. “Jujur ya, omelannya tuh sama sekali nggak bikin gue tersinggung ataupun marah. Kalo dipikir lagi, gue malah pengen ketawa setiap kali inget omelannya dia. Apalagi ekspresinya waktu marah. Bukannya nyeremin, malah bikin gemes. Sumpah, imut banget!”

Vino melongo. Selesai bicara, Gian malah terkekeh-kekeh. Mirip orang kerasukan sesuatu sampai asyik dengan dunianya sendiri. Vino merinding melihat kelakuan sahabatnya ini.

“Y-Yan ... lo baik-baik aja ‘kan?”tanya Vino mulai takut.

“Hm?” Gian menoleh. “Gue baik-baik aja. Kenapa?”

“Barusan lo senyum-senyum sama ketawa-ketiwi sendiri. Sumpah! Lo nyeremin tahu! Gue kira lo kerasukan roh,” kata Vino dengan nada penuh kepanikan.

Perkataan Vino itu membuat Gian tertawa terbahak-bahak. “Ada-ada aja lo, Vin.”

“Ya, habis ... ini pertama kalinya gue ngelihat lo kayak gini. Lo kelihatan semangat banget waktu nyeritain tuh cewek,” Vino memperhatikan Gian lamat-lamat, lalu tersenyum jahil. Kedua alisnya naik-turun. “Lo naksir, ya?”

“Hah? Apaan?” Gian mengambil gelas minumannya. “Gue nggak naksir, orang nggak kenal juga.”

Nggak naksir? Jelas-jelas tadi bilang gemes. Wah, bau-bau denial nih—batin Vino.

“Ya tinggal diajak kenalan doang,” Vino kembali memakan baksonya. “Gue belum tahu dan belum lihat cewek yang lo ceritain. Tapi, denger cerita lo gue jadi penasaran sama tuh cewek. Lo tahu di mana kelas dia?”

“Enggak, tapi gue tahu namanya,” Gian tersenyum, “Adinda Maharani Putri.”

“Woah, namanya bagus!” pekik Vino antusias. “Berarti, sekarang kita tinggal cari data kelas dia. Lo ‘kan anggota OSIS dan sebelumnya juga ikut jadi pemandu peserta MOS. Pasti di ruang OSIS nyimpen data-data adik kelas kita.”

“Bener juga,” Gian tercenung. “Tapi, kayaknya dia bukan dari kelas yang gue pandu deh.”

“Berarti kelas yang waktu itu lo pandu pengecualian. Lo cukup nyari nama dia di data kelas lain. Beres ‘kan?” usul Vino lagi.

“Setuju!” Gian mengacungkan jempol, “Lo kalo urusan pelajaran rada lemot, tapi kalo urusan ginian aja cepet.”

“Oiya, jelas dong! Urusan pelajaran sama cewek ‘kan beda. Kalo pelajaran ya, semisal ketinggalan ngikutin, masih bisa dikejar di pertemuan selanjutnya. Nah, kalo urusan cewek, ketinggalan sebentar aja, bisa-bisa dia

digebet sama cowok lain. Jadinya harus gercep, Yan.”

Gian kembali tertawa keras karena jawaban Vino.

.

.

.

Selesai makan siang, Gian memutuskan untuk jalan-jalan ke taman. Masih ada waktu sekitar 10 menit sebelum pelajaran berikutnya dimulai. Vino tidak ikut menemani lantaran harus menemui salah satu guru.

Gian berjalan menuju salah satu pohon yang ada di pinggir taman. Area itu merupakan lokasi favorit Gian untuk menenangkan diri jika sedang suntuk. Gian paling suka duduk bersantai di bawah rindangnya pohon, menikmati angin sepoi-sepoi. Rasanya sejuk sekali.

“Eh?” Gian terkejut saat melihat sosok adik kelas yang bertemu dengannya pagi tadi. Cewek itu berdiri di dekat pohon favorit Gian. Mendongak ke atas seperti sedang mengamati sesuatu.

“Oi!” Gian sedikit kesal karena tempat favoritnya dipakai orang lain. “Lo ngapain berdiri di situ?”

Cewek itu menoleh kaget. Telunjuk tangannya langsung mengarah ke wajah Gian. “Eh?! Kakak tiang listrik yang tadi pagi nabrak aku!”

*****, tiang listrik katanya. Gian semakin kesal mendengar ucapan cewek itu. “Gue punya nama, ya.”

Cewek itu melihat arah telunjuk Gian, tepat pada nametag yang tersemat di seragam Gian.

“Giandra Darmawan,” cewek itu bergumam pelan.

Waktu cewek itu menyebutkan nama Gian, entah kenapa Gian merasa senang. Namun, sebisa mungkin dia menutupi kegembiraannya dengan memasang wajah datar. “Panggil aja Gian. Kalo lo panggilannya siapa?”

“Kak Gian,” cewek itu memanggil dengan patuh sesuai permintaan Gian. Ia lalu membalas, “Kakak bisa panggil aku Dinda.”

“Oke, Dinda.” Gian mengangguk-angguk sambil mengusap dagu, “Lo tadi ngelihatin apaan?”

“Ah! Itu ...”

“Meeoong ...”

Hah? Gian buru-buru mendongak dan baru mengetahui ada kucing di salah satu dahan pohon.

“Itu kucingnya nggak bisa turun, Kak.” Wajah Dinda terlihat sedih, “Kakak bisa nggak nolongin kucing itu turun?”

Gian mendelik, “Maksudnya ... lo pengen gue naik ke atas sana buat ngambil tuh kucing?”

Dinda mengangguk sambil memasang sorot mata memohon.

“Ogah! Nanti juga turun sendiri!” tolak Gian mentah-mentah.

“Aku udah setengah jam nungguin dia turun tapi tetep nggak turun-turun, Kak. Kayaknya dia nggak bisa turun, Kak. Kejebak di atas sana,” Dinda menunduk dengan bibir melengkung ke bawah. “Kalo nggak dibantuin turun, nanti bisa jatuh terus malah luka. Kasihan kucingnya, Kak ...”

Gian hendak protes kembali, tetapi ekspresi Dinda selanjutnya membuat Gian tak berkutik. Cewek itu memandangi Gian dengan mata-mata berkaca-kaca, tanda siap menangis.

“Uuuh ...”

“Waaah, jangan nangis!” Gian mulai panik mendengar Dinda terisak kecil. “Oke, gue tolongin kucing itu tapi lo berhenti nangis. Nanti orang lain bisa salah paham.”

“I-Iya, Kak ...” Dinda menuruti perkataan Gian sembari mengusap kedua matanya yang mulai basah. Setelah memastikan Dinda tenang dan tidak menangis lagi, Gian mulai memanjat pohon itu. Untung saja sewaktu Gian kecil, dia hobi memanjat pohon di rumah kakek dan neneknya yang ada di desa. Keterampilan semacam ini bisa berguna juga.

Sampai di dahan pohon tempat kucing itu berada, Gian terdiam sebentar. Dengan penuh kelembutan, dia mulai mengelus kucing itu, seraya berpikir bagaimana caranya membawa kucing itu turun tanpa membuat kucingnya panik.

Gian lantas membuka beberapa kancing seragamnya, kemudian memasukkan kucing itu ke sana. Seperti model kantung induk kangguru untuk anaknya. Setelah memastikan kucingnya tenang, baru Gian turun ke bawah dengan hati-hati.

Sampai di bawah, Gian langsung mengeluarkan kucing itu dan memberikannya pada Dinda. “Nih kucingnya.”

“Wah!” Dinda memekik gembira. “Vino akhirnya kamu selamat!”

Dahi Gian mengerut. “Vino?”

“Kucing ini namanya Vino, Kak.”

“Itu kucing jantan atau betina?”

Dinda berpikir sejenak. “Eh? Nggak tahu, Kak. Aku belum ngecek.”

“Coba sini.” Gian mengambil alih kucing itu untuk mengetahui jenis kelamin. Jantan atau betina.

Dan ternyata itu kucing betina.

“Hahahahaha ..." Gian tertawa terbahak-bahak. Bisa-bisanya nama kucing itu sama seperti nama Vino, sahabatnya. Terlebih kucing betina.

“Kakak kenapa ketawa?” tanya Dinda bingung.

“Nama kucing itu sama kayak nama temenku,” Gian mengubah aksen berbicaranya dengan diksi ‘aku-kamu’.

“Asal kamu tahu, temenku itu cowok. Coba kamu bayangin kalau dia tahu namanya dipake buat kucing betina,” lanjut Gian lalu tertawa lagi.

Dinda menunduk malu. “Pasti temen Kakak nanti marah, ya?”

“Bisa jadi.” Gian merapikan seragamnya. “Mending kamu ganti nama kucingnya.”

Lagian, gue juga nggak mau Dinda manggil-manggil nama Vino, walaupun itu buat kucing.

“Ya udah, nanti aku ganti namanya.”

“Ngomong-ngomong ... itu kucing kamu?” tanya Gian penasaran.

“Bukan, aku juga nggak tahu ini kucingnya siapa. Seminggu yang lalu aku nemuin kucing ini lagi ngorek-ngorek tempat sampah deket kantin, Kak. Karena nggak tega, aku kasihin aja ayam goreng jatah makan siangku. Habis itu dia nempelin aku terus tiap kali ketemu. Ya udah aku main sama dia kalo jam istirahat atau pulang sekolah hehe,” jelas Dinda panjang lebar. Ia masih memeluk kucing itu sambil mengelusnya dengan penuh kasih sayang.

Gian mengamati interaksi Dinda tanpa berkomentar, tetapi pikirannya mulai membahas berbagai macam hal. Ternyata, penilaian Gian tentang Dinda sejak awal pertemuan mereka tidak salah.

Cewek ini memang lain daripada yang lain.

“Kak Gian?”

“Hm?”

Dinda menatap Gian sebentar, “Makasih ya, Kak. Udah nolongin kucing ini.”

“Sama-sama,” balas Gian sedikit tersipu. Ia melirik Dinda, dan ternyata cewek itu juga melihat ke arah Gian.

Hal yang terjadi selanjutnya di luar dugaan Gian.

Dinda tiba-tiba tersenyum manis.

DEG! DEG! DEG!

Seketika Gian merasakan ada yang aneh dengan jantungnya.

Jantung gue kenapa, ya? Kok detaknya cepet banget? Apa gue sakit?

TO BE CONTINUED

Bab 2

Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Seruan penuh kesenangan bergema di sepanjang lorong. Suara bel itu paling dinantikan bagi mereka yang berharap jam pelajaran terakhir lekas selesai. Lihat saja bagaimana antusiasme para siswa yang segera membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang setelah guru mengakhiri kegiatan belajar-mengajar.

Pemandangan ini juga terjadi di kelas Dinda. Teman-temannya mulai meninggalkan kelas satu per satu. Namun, ada beberapa yang masih bertahan di kelas untuk sekedar mengobrol atau mengerjakan tugas kelompok.

“Dinda!” seseorang menghampiri Dinda dengan teriakan nyaring. “Pulang bareng, yuk!”

Dinda menoleh ke arah Wulan, teman sekelasnya. Wulan merupakan teman pertama Dinda di sekolah. Mereka pertama kali bertemu sewaktu mencari kelas masing-masing untuk persiapan MOS.  Tak disangka rupanya mereka satu kelas. Keduanya pun berkenalan satu sama lain.  Dalam kurun 1 bulan, mereka sudah akrab. Sampai teman-teman yang lain mengira bila Dinda dan Wulan berasal dari SMP yang sama.

Faktanya, Dinda dan Wulan tidak bersekolah di SMP yang sama.

Bagi Wulan sendiri, mengenal Dinda merupakan pengalaman yang sangat spesial. Awal bertemu Dinda, Wulan mengira Dinda tipe cewek kalem dan lembut. Apalagi melihat senyuman Dinda yang sangat ramah ketika Wulan menyapanya.

Namun setelah mereka mengobrol, penilaian Wulan meleset.

Siapa yang mengira kepribadian Dinda benar-benar unik, lain daripada yang lain.

“Maaf ya, Lan. Kayaknya aku nggak bisa pulang bareng kamu. Bunda barusan kirim pesan kalau aku dijemput sama Pak Bagas,” ada keheningan sejenak. Dinda merasa tidak enak menolak ajakan Wulan.

“Oh, gitu? Ya udah nggak apa-apa,” balas Wulan seraya tersenyum.

Dinda masih merasa bersalah. “Maaf ya, Lan,” ujarnya dengan wajah penuh sesal.

Wulan merangkul Dinda. “Santai aja kali, Din. Kita bisa pulang bareng di lain kesempatan,” balasnya sambil tertawa dan membuat Dinda perlahan ikut tersenyum.

“Oh iya, hampir aja lupa!” Dinda menatap Wulan dengan mata berbinar-binar. “Kamu masih inget sama ceritaku tadi pagi nggak? Soal kakak tiang listrik.”

Wulan berpikir sebentar, “Maksud kamu kakak kelas yang nggak sengaja nabrak kamu tadi pagi?” ia duduk sebentar di kursi samping Dinda yang kosong. Meski satu kelas, posisi meja mereka tidak berdekatan.

“Hu-um.” Dinda terkekeh pelan, kemudian lanjut bercerita dengan antusias. “Sebenarnya aku juga nggak tahu dia kakak kelas atau satu angkatan sama kita. Tapi ... kayaknya sih emang kakak kelas.”

“Kamu tahu namanya nggak?” tanya Wulan penasaran. Sebelum jam pelajaran pertama dimulai, Dinda sempat bercerita perihal kejadian tak menyenangkan yang dialaminya di area loker siswa.

“Aku udah tahu!” seru Dinda gembira. “Tadi aku ketemu lagi sama dia di deket pohon taman sekolah.”

“Kalian ketemu lagi?” Mata Wulan berbinar antusias. “Siapa namanya?”

“Ngg ... sebentar. Kalo nggak salah namanya ...,” dahi Dinda berkerut-kerut saat mencoba mengingat nama Gian. “Ah! Giandra Darmawan.”

“HAH?! SERIUS?!”

Tiba-tiba Wulan berteriak heboh dan membuat Dinda nyaris terjungkal dari kursinya. Beberapa teman yang masih berada di kelas pun menoleh serempak ke arah mereka.

“Ngapain teriak, sih?! Ngagetin aja!” semprot Dinda kesal.

“Maaf ...,” cicit Wulan sembari meringis, “Ya ... kamu juga ngagetin sih.”

“Lho? Kok jadi aku?” Dinda mengernyit bingung.

Wulan menatap wajah Dinda lamat-lamat. “Beneran nama kakak itu seperti yang kamu sebutin tadi?”

Dinda merasa jengkel karena reaksi Wulan terkesan tidak mempercayai ucapannya. “Iya, beneran. Itu memang namanya. Aku nggak mungkin salah baca nametag di seragamnya. Penglihatan mataku bagus karena Bunda selalu nyuruh aku rajin makan wortel buat kesehatan mata.”

Bodo amat rajin makan wortel. Nggak ada yang nanya juga—batin Wulan gemas. Ini salah satu kepribadian unik Dinda yang membuat Wulan speechless di awal pertemuan mereka. Kebiasaan Dinda yang kerap berbicara sesuatu panjang lebar tanpa ada keterkaitan dengan topik utama pembicaraan.

“Kamu tahu nggak dia siapa?” tanya Wulan penuh kesabaran. Melihat sikap Dinda yang begitu santai saat bercerita soal Gian, Wulan curiga cewek ini tidak mengenal Gian dengan baik.

Dinda bergumam pelan sambil memasang pose berpikir. “Tahu. Kakak kelas kita ‘kan?”

“Ya ampuuun,” Wulan tidak tahu lagi harus berkomentar apa atas reaksi Dinda. “Dia itu bukan cuma sekedar kakak kelas, Dinda.”

Dinda menautkan kedua alisnya bingung. Wulan memberi isyarat untuk mendekat, dan Dinda segera mencondongkan tubuhnya ke arah cewek itu.

“Kak Gian itu salah satu anggota OSIS yang kemarin ikut jadi pemandu MOS. Pengalaman dari temen kelas lain yang dipandu sama Kak Gian, orangnya ramah banget. Sopan. Belum lagi perawakannya yang kayak model, tinggi plus ganteng. Yang aku denger, katanya Kak Gian juga berasal dari keluarga berada gitu. Banyak cewek di sini yang naksir dan ngefans sama dia,” jelas Wulan panjang lebar dengan semangat.

“Masa?”

“Ck, kamu ini nggak peka sama situasi dan kondisi di sekitar,” Wulan ingin sekali menjitak kepala Dinda karena saking gemasnya. “Jelas-jelas waktu MOS kemarin semua pada heboh sama Kak Gian. Sampe Kak Gian kepilih jadi pemandu favorit.”

Tak ada yang berubah dari reaksi Dinda. Ekspresi cewek itu tetap terlihat datar.

“Ah, udah deh. Kamu nggak bakalan ngerti sama apa yang aku ceritain,” Wulan menarik napas panjang. “Yang pasti, kamu beruntung banget bisa interaksi sama Gian.”

“Biasa aja menurutku. Orang tadi ngobrol juga gara-gara dia nabrak aku, terus waktu di taman, dia bantuin aku nolongin Vino turun dari pohon,” balas Dinda seraya memakai tasnya. Mereka melanjutkan obrolan sambil berjalan keluar kelas.

Wulan menaikkan sebelah alisnya. “Vino?”

“Itu lho ... kucing yang aku ceritain sama kamu kemarin,” kata Dinda, lalu tertawa geli. “Tahu nggak, ternyata aku salah ngasih nama. Kak Gian bilang kucingnya itu betina, eh aku malah ngasih namanya Vino. Mana namanya sama kayak nama temen Kak Gian yang cowok.”

“Pffft ... kamu ada-ada aja, Din,” sahut Wulan tidak bisa menahan tawa.

“Ya aku ‘kan nggak tahu kalo kucingnya betina,” Dinda tersenyum lagi, “Kak Gian nyuruh aku buat ganti nama kucingnya. Hm? Kira-kira siapa, ya? Ah, nanti aku browsing di internet aja deh buat nyari namanya.”

Wulan melongo. Emang harus banget ya browsing di internet buat nyari nama kucing? Ia tidak tahu lagi harus berkata apa tentang pemikiran ajaib Dinda.

Namun, diam-diam Wulan memikirkan interaksi Dinda dengan Gian. Entah mengapa, Wulan mendapat firasat bila temannya ini, kelak akan memiliki hubungan spesial dengan kakak kelas mereka tersebut.

.

.

.

Gian melongokkan kepalanya ke dalam ruang OSIS, celingak-celinguk untuk mencari seseorang. Senyumnya mengembang setelah berhasil menemukan Reza, kakak kelasnya yang menjabat sebagai sekretaris OSIS.

Reza terlihat duduk di salah satu kursi dengan tatapan mengarah pada netbook di atas meja. Cowok itu sepertinya sedang fokus mengerjakan sesuatu.

“Permisi, Kak.”

Reza mengalihkan perhatiannya sejenak ke arah pintu, “Oh, Gian? Masuk aja!” serunya mempersilakan Gian masuk ke ruangan.

Reza tertawa kecil melihat Gian hanya berdiri di sebelahnya. “Duduk aja, Yan.”

Gian mengikuti saran Reza dan menarik kursi yang di samping Reza. “Maaf ya, Kak, kalo aku ganggu.”

“Enggak kok.” Reza tersenyum, “Tadi emang lagi bantuin Bu Ratna buat rekap data kelas 10. Sekarang udah selesai.”

Mendengar nama kelas 10 disebut, mata Gian seketika berbinar. Wah, timingnya pas banget ini.

“Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Reza penasaran.

“Aku mau minjem data siswa kelas 10, Kak,” jawab Gian agak gugup.

Reza mengernyitkan dahi. “Buat apa?”

“Ngg ...,” Gian segera berpikir demi mencari alasan yang logis. “Kemarin waktu MOS, aku minjem pulpen salah satu adik kelas. Aku mau ngembaliin, tapi cuma keinget namanya aja. Aku nggak tahu dia di kelas mana. Yang pasti dia bukan dari kelas yang aku pandu, Kak.”

Hening.

Belum ada tanggapan dari Reza karena cowok ini sedang mencerna jawaban Gian. Sementara Gian sendiri mulai keringat dingin, was-was jika Reza tidak mempercayai cerita yang dia karang.

“Ngembaliin pulpen?” tanya Reza memastikan lagi.

Gian mengangguk kaku. Ia takut Reza tidak akan percaya, tapi ternyata ...

“Kebangetan kamu, Yan. Pinjem pulpen 1 bulan tapi lupa ngembaliin. Kasihan itu adik kelasnya,” tutur Reza seraya menggelengkan kepala. Ia sudah berdiri dari kursi dan berjalan menuju meja lain yang terdapat tumpukan beberapa map di atasnya.

Fiuh ... untung aja Kak Reza tipe cowok yang selalu berpikir positif—batin Gian merasa lega. Ia tertawa kecil dengan lagak malu pada diri sendiri. “Iya, Kak. Aku kelupaan hehe.”

“Kelupaan kok sampe 1 bulan,” Reza menghampiri Gian seraya menyodorkan sebuah map warna hijau. “Nih. Kamu cari namanya dan kalo udah ketemu langsung kembaliin, ya. Aku nggak mungkin kasih kamu izin buat bawa berkasnya karena ... ya tahu sendiri ‘kan Dimas orangnya gimana?”

“Iya, Kak. Aku paham,” kata Gian mengangguk patuh. Ia segera mencari data kelas Dinda dalam berkas yang diberikan Reza. Sesekali Gian melirik Reza yang sudah kembali duduk dan asyik dengan netbook.

Sedikit info soal Dimas yang disebutkan Reza. Cowok itu satu angkatan dengan Reza dan merupakan ketua OSIS. Dimas populer sejak awal masuk di sekolah itu. Kepopulerannya kian bertambah setelah Dimas menjabat sebagai ketua OSIS. Sama seperti Gian, Dimas memiliki paras tampan dan perawakan jangkung.

Namun, bila dibandingkan dengan Gian, Dimas memiliki kepribadian yang berbeda. Jika Gian terkenal karena keramahannya, maka berbeda dengan Dimas yang terkenal galak dan sulit didekati oleh orang lain. Terutama

kebiasaan Dimas yang kerap berkata jujur. Saking jujurnya sampai membuat lawan bicara Dimas tidak bisa membalas ucapannya.

Dimas termasuk siswa yang cerdas secara akademik dan aktif di kegiatan klub basket. Meski terkenal bermulut pedas saat berbicara dengan sesama siswa, Dimas akan terlihat berbeda saat berbicara dengan para guru. Inilah yang membuat para guru merekomendasikan Dimas untuk menjadi ketua OSIS. Beberapa teman Dimas ditambah penggemarnya pun setuju bila Dimas menjadi ketua OSIS.

Awalnya sempat menolak, tetapi pada akhirnya Dimas mengikuti seleksi calon ketua OSIS. Lantaran lawan-lawannya yang tidak sebanding, perjalanan Dimas untuk menjadi ketua OSIS pun berjalan dengan mulus.

Tak lama lagi tugas Dimas sebagai ketua OSIS akan berakhir, mengingat dia sudah berada di kelas 12. Dimas dan Reza, bersama siswa kelas 12 lainnya akan bersiap untuk mengikuti ujian akhir nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Seleksi untuk kepengurusan OSIS periode yang baru akan segera dilakukan dalam waktu dekat.

Siswa yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Dimas adalah Gian.

Mengingat kinerja Gian selama bergabung di OSIS sangat bagus, dan dalam beberapa hal dia juga memiliki kemiripan dengan Dimas.

Kecuali, kepribadian mereka.

Ibaratnya Dimas versi cold, sementara Gian versi warm yang lama-lama makin hot.

“Udah ketemu, Yan?” tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan dari netbook.

“Bentar, Kak.” Gian membaca deretan daftar nama siswa kelas 10 dengan teliti. Sudah 2 kelas yang dia cari tetapi belum juga menemukan nama Dinda. Gian dengan gigih terus mencari nama cewek itu sampai akhirnya dia memasuki lembar data siswa kelas 10-D.

Mata Gian berbinar ketika telunjuk tangannya berhenti pada urutan presensi nomor 7.

Adinda Maharani Putri

“YES! KETEMU!” saking senengnya, Gian sampai berteriak keras.

“Udah ketemu?” tanya Reza menoleh dan kini mengamati Gian lamat-lamat.

“E-Eh? Udah, Kak. Maaf tadi aku teriak,” jawab Gian tersipu malu. Ampun dah, gue lupa ada Kak Reza di sini.

“Kamu kelihatan seneng banget. Jangan-jangan ...,” Reza memicing curiga, kemudian menaik-turunkan alisnya. “adik kelas itu gebetan kamu, ya?

“Apa?!” Gian kena serangan panik. “Bu-bukan kok, Kak ...”

“Haha, aku bercanda, Yan,” celetuk Reza puas sekali menggoda Gian.

Melihat reaksi Reza, Gian menghela napas panjang. Rasanya campur aduk antara lega dan jengkel dengan sifat jahil Reza. Semoga Reza tidak lagi berpikir aneh-aneh untuk menggodanya lagi.

“Tapi ...,” Reza menoleh ke arah Gian lagi dengan wajah serius. “Tadi wajah kamu merah loh.”

“HAH?! MASA?!” Gian memekik panik dan seketika mengundang gelak tawa Reza. Gian pun baru sadar bila dirinya kembali dikerjai oleh Reza.

Satu hal yang tidak diketahui Gian bahwa Reza sebenarnya berkata jujur tentang wajahnya yang memerah. Diam-diam Reza memperhatikan gerak-gerik Gian dengan teliti.

Kalo bener Gian udah punya gebetan, bakal banyak cewek yang patah hati ...

.

.

.

Selesai dengan urusannya, Gian keluar dari ruang OSIS dan bergegas menuju area parkir. Sebelumnya, dia tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Reza yang sudah memberikan data siswa kelas 10, sehingga akhirnya Gian berhasil menemukan data kelas Dinda.

Gian ingin mendatangi kelas Dinda, tetapi sadar bahwa jam pulang sekolah sudah berakhir sekitar 30 menit yang lalu dan kemungkinan Dinda sudah pulang. Jadi, daripada mendatangi kelas Dinda tapi ternyata cewek itu tidak ada, lebih baik Gian pulang. Paling tidak, sekarang Gian sudah tahu di mana kelas Dinda, dan akan lebih mudah baginya untuk menemui cewek itu. Gian bisa mendatangi kelas Dinda besok.

Sampai di area parkir dan menaiki motornya, Gian menarik zipper jaket yang dia kenakan. Ia hendak memakai helm, tetapi pemandangan di gerbang sekolah menarik perhatiannya.

Tepatnya, sosok cewek yang berdiri di sana sendirian.

“Itu ‘kan Dinda?” gumam Gian setelah mengenali cewek itu. Ia melihat Dinda sedang celingak-celinguk, dan sesekali berkutat dengan ponselnya. Dilihat dari gelagatnya, Gian menebak Dinda sedang menunggu jemputan.

“Dia nunggu siapa, ya?” Gian jadi ikut penasaran. Ia masih berada di atas motornya, dan sedang berpikir apakah sebaiknya menghampiri Dinda atau tidak. Namun, baru saat Gian hendak turun dari motornya, ia melihat cowok tiba-tiba berlari menghampiri Dinda.

Mata Gian membelalak lebar begitu mengenali cowok itu. “Kak Dimas?”

Belum hilang rasa kaget Gian, dia kembali dikejutkan dengan interaksi Dinda dan Dimas. Wajah Dinda langsung sumringah begitu dihampiri oleh Dimas, sementara Dimas sendiri tanpa canggung mengusap-usap kepala cewek itu.

“Apa-apaan nih?” Lidah Gian terasa kelu. “Mereka saling kenal?”

Pandangan Gian masih tertuju pada Dinda dan Dimas. Keduanya mengobrol akrab sekali, hingga sebuah mobil datang dan berhenti di depan gerbang sekolah.

Seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil, lalu membungkuk sopan di hadapan Dinda dan Dimas. Gian menebak orang itu adalah supir pribadi Dinda, dilihat dari wajah Dinda yang merajuk dan bagaimana orang itu membungkuk beberapa kali. Seperti meminta maaf.

Pemandangan selanjutnya membuat mulut Gian menganga lebar. Dimas kembali mengusap kepala Dinda, seolah memberi pengertian pada cewek itu sebelum berbicara dengan supir pribadi Dinda. Ajaibnya, cewek itu benar-benar patuh dengan ucapan Dimas dan tidak lagi merajuk. Ia langsung masuk ke dalam mobil setelah supir membukakan pintu bagian tengah.

Supir itu kembali mengobrol dengan Dimas sebelum masuk ke dalam mobil. Dinda yang duduk di tengah membuka kaca jendela, dan ketika mobil mulai melaju, dia melambaikan tangan ke arah Dimas.

Di luar dugaan, Dimas ikut membalas lambaian tangan Dinda bahkan dengan senyuman yang sangat mempesona.

Ini mataku yang nggak beres atau emang Kak Dimas barusan senyum?—batin Gian sambil mengucek-ucek matanya.

Gian masih fokus dengan pikirannya sendiri, sampai tidak menyadari jika Dimas sudah berbalik badan dan menatap ke arahnya. Ekspresi Dimas berubah sekejap mata, kembali seperti Dimas yang selama ini Gian kenal.

Glek! Gian menelan ludahnya gugup saat Dimas menghadiahi tatapan tajam untuknya. Ia mencoba bersikap biasa, tetapi yang terjadi Gian justru tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi.

Dimas tidak membalas senyuman Gian dan memilih melenggang masuk kembali ke gedung sekolah.

“Buset, tatapannya langsung berubah kayak sinar laser,” komentar Gian melihat sikap Dimas. Namun, benaknya masih dipenuhi tanda tanya besar setelah melihat interaksi Dinda dan Dimas. Gian benar-benar dibuat penasaran akan hubungan keduanya.

Ada hubungan apa antara Kak Dimas sama Dinda?

TO BE CONTINUED

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!