NovelToon NovelToon

NIGHTMARE

Bab 1

"Barang sudah sampai, Tuan"

Rico mematikan sejenak treadmill. Lelaki berwajah blasteran itu berlari lambat mengikuti mesin treadmill yang sebentar lagi akan berhenti.

"Berapa banyak yang ayahku kirim?" Lelaki itu melangkah turun sambil menyeka keringat di keningnya dengan handuk kecil yang tergantung di bagian depan pegangan treadmill.

Seorang anak buah menghampiri dengan botol minuman yang segera ia berikan pada atasannya. "Sesuai dengan kesepakatan kita, Tuan. Lima puluh kilogram dalam bentuk heroin," ungkap bawahan itu.

Rico menganggukkan kepalanya sembari berjalan mendekati jendela. Pandangannya berkilat penuh strategi menatap mobil-mobil mewah yang berlalu lalang di jalanan Ibukota.

"Bawa barang itu ketempat biasa. Suruh anak buah kita disana untuk mulai bekerja" ucap Rico sebelum menenggak kembali minumannya.

Anak buahnya hanya mengangguk sebelum mengundurkan diri. Sebelum anak buah itu mencapai pintu, Rico berbalik badan. "Don, nanti malam aku akan pergi ke Nightmare. Kau bawa beberapa barang itu" ujar Rico menghentikan langkah tangan kanannya.

"Baik Tuan" Don menganggukkan kembali kepalanya, sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.

Rico berjalan menuju meja makan. Lelaki tampan itu mengambil sepotong roti panggang dan langsung melahapnya seketika. Benaknya mengingat-ngingat beberapa agenda yang harus ia lakukan hari ini. Pasokan heroin yang baru saja sampai dari ayah angkatnya di Afganistan, harus segera ia bagi dalam beberapa bagian sebelum barang haram itu diedarkan anak buahnya. Kali ini yang akan menjadi target adalah kalangan menengah ke atas. Para pejabat korup, artis ternama, sampai para konglomerat lintas daerah masuk dalam daftar buruannya. Rico berniat untuk membuat beberapa kalangan itu masuk dan terjebak dalam jerat narkotika. Menjadi pecandu aktif yang setiap saat akan menjadi pembeli setianya.

Benaknya juga mengingat akan rencana kedatangannya di Nightmare. Club malam ternama di Jakarta yang secara de facto dan de jure telah diberikan kepadanya oleh ayah angkatnya beberapa tahun yang lalu. Club malam yang sejak berdirinya, hingga saat ini menjadi salah satu akses pengedaran heroin itu berkembang semakin pesat berkat kepiawaian Rico dalam mengelola bisnis haram. Hal itulah yang kemudian menjadi sebab dari pertengakarannya dengan Abdul, anak kandung satu-satunya dari Minas Dzadakun, seorang gembong narkotika asal Afganistan yang telah mengangkat Rico sebagai anaknya saat ia melakukan kunjungan di Indonesia.

"Ayah" ucap Rico kepada Minas melalui sambungan seluler.

"Kau sudah terima barangnya?" tanya Minas diseberang sana.

Rico meminum susu proteinnya terlebih dulu sebelum menjawab. "Sudah. Anak buahku akan segera mengeksekusinya malam ini" sahut Rico sambil berdiri dari kursi meja makan.

"Targetmu?" tanya Minas.

"Kalangan pejabat, konglomerat dan artis-artis sepertinya akan menjadi tangkapan yang bagus," ungkap Rico sembari melangkah menuju kamar mandi.

Bulu-bulu halus di sekitar rahangnya membuat Rico betah berlama-lama berdiri di depan cermin westafel. Sementara telinganya mendengar suara ayah angkatnya tengah meneriaki salah satu pekerja di ladang opium miliknya.

"Ayah sudah tua, turunkan nada bicara ayah" sergah Rico disambut kekehan oleh ayahnya.

"Anak kurang ajar." ujar Minas disela kekehannya. "Mereka (pekerja opium) itu seperti kuda, Ric. Dan bentakanku adalah cambuknya" sambungnya kembali.

Rico terkekeh mendengar ucapan ayahnya. Diusianya yang memang sudah tua renta, lelaki yang banyak mengajarkan Rico cara bertahan hidup itu tidak sedikitpun terlihat menua. Nada suara dan tubuhnya masih saja terlihat prima, seolah waktu berjalan lambat untuknya.

"Bagaimana kondisi Abdul, Ayah?" tanya Rico.

Mendadak suara Minas berubah seketika. Desahan rasa frustasi terdengar jelas dari hembusan nafas Minas yang berat. "Entahlah, aku lelah memiliki anak sepertinya. Dia hanya pintar menghamburkan uang-uangku dengan berjudi dan bermain wanita. Tapi dia menjadi begitu bodoh untuk bekerja dan menghasilkan uangnya sendiri," ungkap Minas.

"Lalu bagaimana dengan perusahaan senjata yang ayah berikan padanya? Aku pikir dia akan bekerja keras mengembangkannya, mengingat senjata adalah salah satu kegemarannya" Rico bertanya lebih jauh.

"Rico, kau terlalu berharap banyak padanya. Kemarin dia malah membatalkan pengiriman senjata api ke Taliban. Dia mengatakan Taliban sudah bukan lagi menjadi prioritas perdagangan senjata," ungkap Minas dengan nada suara kesal.

"Mungkin dia ingin memperluas area perdagangannya, Ayah" Rico mencoba mengungkapkan pendapat.

"Entahlah, yang pasti sampai saat ini perusahaan itu seperti kehilangan nyawa. Beberapa kali aku mendengar, Abdul menyuruh anak buahnya untuk membuka jalur perdagangan senjata ke Rusia. Tapi hingga detik ini, aku tidak mendengar hasil yang memuaskan" Minas menceritakan temuan tentang cara kerja anak kandungnya pada Rico. "Aku kadang berpikir, mengapa anak kandungku sendiri tidak memiliki otak bisnis seperti diriku, sementara kau yang menjadi anak angkatku justru begitu mirip denganku"

"Sssttt. Ayah tidak boleh berkata seperti itu. Biarkan Abdul menjadi dirinya sendiri dalam mengelola perusahaan Ayah. Aku yakin saat ini dia hanya sedang kebingungan menentukan target pasarnya" ujar Rico membesarkan hati Minas.

"Aku tidak berharap banyak padanya, Ric. Dia begitu cemburu dengan apa yang aku berikan padamu. Tapi setelah aku memberikan hal yang sama padanya, dia seolah menyia-nyiakannya" ucap Minas berkeluh kesah. "Berhenti membicarakan dia ... Bagaimana kabar Nightmare-mu itu? Aku ingin tahu club malamku yang dulu sekarat, sekarang menjadi seperti apa dibawah pengawasanmu" Minas mulai tertarik membicarakan bisnis yang ia berikan pada anak angkatnya.

Seringai bangga melintas di sudut bibir Rico ketika pembicaraan itu mulai mengarah pada bisnisnya. "Ayah akan tahu perbedaannya ketika Ayah datang langsung kemari" ujar Rico menerbitkan rasa penasaran di hati Minas.

"Sialan! Kau tidak ingin berbagi kebahagiaan denganku, huh? Dari caramu bicara saja aku tahu, pasti sesuatu yang luar biasa telah terjadi disana" ucap Minas antusias. Sorot matanya berkilat penuh semangat.

"Ayah harus datang kemari. Lihat dan rasakan sendiri apa yang sudah aku lakukan pada Nightmare-mu"

"Baiklah, baiklah ... Kau sepertinya senang sekali mengerjaiku. Aku akan datang kesana. Akan aku lihat bagaimana anak kesayanganku memberikanku rasa bangga" putus Minas pada akhirnya.

"Aku tak sabar memperlihatkan hasil didikanmu, Ayah"

Baik Rico maupun Minas saling mematikan sambungan seluler masing-masing. Setelah puas berbincang dengan ayahnya, Rico bergegas membersihkan diri. Dia harus segera menemui anak buahnya untuk mulai mengatur strategi pengedaran heroin pada target barunya.

🍁🍁🍁

Restoran mewah bergaya eropa itu tampak tenang meski para pengunjung telah memenuhi meja-meja makan berbentuk bundar. Lantunan tuts piano terdengar lembut dengan lagu-lagu klasik yang coba ditampilkan. Rico terlihat begitu maskulin dengan setelan kemeja hitam lengkap dengan jas slim suit yang melekat di tubuhnya. Kaki jenjangnya menopang sebelah kakinya yang lain dengan gaya khas seorang tuan muda. Matanya menyusuri barisan daftar menu berbahasa eropa tanpa menampilkan gambar dari menu-menu tersebut.

"Soupe a l’oignon dua, roast salmon dua, dan wine" ucap Rico pada pramusaji yang berdiri di sebelahnya.

"Baik Tuan, ada lagi yang ingin anda pesan?" tanya Pramusaji sopan.

Rico menggeleng sambil melepaskan kacamata hitamnya. "Cukup. Itu saja" jawab Rico singkat.

Tak berselang lama, pramusaji itu mengundurkan diri dari hadapan Rico dengan daftar menu yang ia bawa kembali. Bertepatan dengan kepergian pramusaji, seorang wanita cantik melenggang menghampiri meja makan Rico.

"Oh Tuhan, apa kau sudah lama menungguku, Honey?" tanyanya segera menduduki kursi di depan Rico.

"Tidak terlalu lama. Hari ini syuting terakhir filmmu, bukan?" Rico menatap wajah cantik kekasihnya sambil tersenyum.

Wanita itu ikut tersenyum. Hari ini memang hari dimana ia akan kembali merasakan udara bebas setelah beberapa bulan berkutat dengan proyek film terbarunya. "Benar, ini hari terakhir syuting filmku. Kita bisa bebas bertemu kembali, Honey" ujar wanita itu dengan raut wajah sumringah dan binar mata bergairah.

"Lalu bagaimana barang yang aku titipkan padamu?" tanya Rico kemudian. Lelaki tampan itu melihat pada pramusaji yang datang dengan membawa pesanannya. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda memberi ijin pada pramusaji itu untuk menyajikan pesanannya di meja.

Wanita cantik itu menaruh serbet kecil di atas pahanya sebelum menjawab pertanyaan dari kekasihnya. "Beres. Barangmu langsung habis begitu aku tawarkan pada rekan-rekanku"

Rico tersenyum tipis, hal itulah yang ingin ia dengar sejak tadi. Kekasih cantiknya yang seorang artis ternama memang sengaja ia jadikan alat untuk memuluskan jalannya mengedarkan barang haram di ranah hiburan. Mereka-mereka semua, harus terjerat dalam jaring laba-laba yang dia buat. Dengan begitu, bisnis haram ini akan terus berputar dan menambah pundi-pundi kekayaannya.

Sorot mata Rico begitu hangat menatap wajah artis yang tengah menjadi idola masyarakat itu. Kehangatan sorot matanya bahkan menembus hati kekasihnya yang terasa melambung oleh perasaan bahagia. Wanita cantik itu tidak mengetahui bahwa dibalik tatapan hangat Rico, tersembunyi otak licik seorang gembong narkoba. Rico begitu pandai memainkan perannya. Memanfaatkan hubungannya dengan seorang artis, akan mempermudahnya menjangkau beberapa kalangan sekaligus.

"Aku senang mendengarnya, Meggy" ujarnya sebelum melahap hidangan yang tadi ia pesan.

"Kau akan lebih senang lagi jika mendengar apa yang mereka katakan padaku tadi" ucap Meggy dengan mata bersinar penuh teka-teki.

Rico memperhatikan kekasihnya sambil mengelap sudut bibirnya dengan serbet kecil. Lelaki itu membiarkan Meggy meminum wine-nya terlebih dulu sebelum lanjutkan ucapannya.

"Mereka memesan barangmu untuk acara pesta kalangan artis akhir bulan depan di Olympus Palace" Meggy menatap wajah Rico dengan berbinar-binar.

Senyum tipis kembali terulas di sudut bibir lelaki itu. Alisnya terangkat sebagai reaksi ketertarikan nyata pada apa yang diucapkan Meggy barusan. Olympus Palace adalah sebuah nama dari pulau kecil yang begitu indah di ujung timur garis khatulistiwa. Pulau itu sering dijadikan tempat pesta pora para kalangan jetset. Artis papan atas, pejabat tinggi dan konglomerat sering mengadakan acara privat dipulau yang secara sah dimiliki oleh salah satu petinggi angkatan darat negeri ini.

"Aku bisa mengaturnya nanti" timpal Rico melanjutkan kembali makannya.

Meggy meminum kembali wine-nya. Rasa asam dengan sedikit sensasi getir hasil dari fermentasi anggur merah memenuhi tenggorokannya. "Honey, malam ini bagaimana jika aku menginap di tempatmu?" tanya Meggy yang lebih tepatnya seperti permintaan.

Rico memasang senyuman terbaiknya ketika ia menggenggam jemari Meggy di atas meja. "Apapun untukmu, Baby" ujarnya disambut rona kegembiraan di wajah artis cantik itu.

🍁🍁🍁

Hai semua! 👐

Akhirnya author bisa releas juga cerita terbaru ini, setelah beberapa waktu terpaksa di pending hihihi..

Seperti biasa, harapan author semoga kalian menyukainya dan mau selalu mengikuti jalan ceritanya hingga akhir 😉

Oh iya, cerita kali ini slow update ya say. Berhubung author lagi ada projek yang lain, maka updatenya tidak bisa setiap hari seperti cerita sebelumnya. Mohon dimaklumi ya 😉✌

Jika ada saran atau kritis, silahkan tulis di koment. Asal jangan pedes-pedes kritisnya 🤗🤣

Selamat bersenang-senang semuanya, semoga bahagia selalu dan banyak uangnya hihi 🤲😍

Bab 2

"Apa dia sudah mati?" tanya Don pada anak buahnya.

Lelaki tua dengan tampilan dekil meringkuk tak bergerak setelah dipukuli oleh anak buah Don dengan brutal. Cipratan darah segar membasahi lantai dua dari club malam Nightmare di waktu menjelang tengah malam.

Seorang anak buah mendekati onggokan tubuh babak belur itu, ia memeriksa nafas dari lelaki tua malang yang sejak beberapa tahun belakangan bersembunyi dari kejarannya.

"Tidak Bos. Dia masih bernafas" ucapnya setelah meletakkan dua jari di depan lubang hidung lelaki itu.

"Cih! Dasar sampah!" umpat Don mengingat tindakan lelaki itu yang memilih bersembunyi daripada melunasi hutangnya pada Tuan Rico yang sudah menggunung.

"Kau berhasil merampas sertifikat rumahnya?" tanya Don pada anak buahnya kembali.

Lelaki bertubuh kekar dengan tato bajak laut di lengannya itu menggeleng. "Rumah itu ternyata bukan rumah miliknya, Rudi menyewanya. Rumah mewah miliknya telah lama diambil alih rentenir. Dia meminjam uang dalam jumlah besar pada lintah darat," ungkap bawahan Don tersebut.

"Sial!" Don mengeratkan gerahamnya. "Dia berani menjadikan rumah sewaan sebagai penjamin heroin-heroin yang kita berikan padanya" Sorot mata Don tajam menatap tubuh tergeletak Rudi di lantai.

Suara dentuman musik dan hiruk pikuk para pengunjung club malam di lantai bawah terdengar menembus dinding ruangan itu. Don melirik muak pada tubuh paruh baya yang tergeletak tak berdaya. "Bawa dia ke ruang bawah tanah, kurung dia disana" putusnya kemudian.

"Baik Bos" anak buahnya mengangguk dengan posisi tubuh tegap berdiri.

Bersama teman-temannya yang lain, ia membawa tubuh ringsek Rudi melalui pintu rahasia yang terbuka dari dinding berfigura besar di sebelah rak-rak minuman ruangan itu. Tak berselang lama dari kepergian anak buahnya. Tiba-tiba sebuah pertanyaan pengalihkan perhatian Don.

"Dimana dia?"

Pintu ruangan terbuka. Rico berjalan mengedarkan pandangannya mencari buronan yang telah lama bersembunyi.

"Tuan" Don menghampiri Tuannya. "Baru saja saya menyuruh anak buah saya untuk mengurungnya di penjara bawah tanah. Dia pingsan dengan tubuh babak belur. Kami menghajarnya sesuai perintah Tuan," ungkap Don kemudian mengingat perintah Tuannya beberapa saat yang lalu melalui sambungan seluler.

Rico berjalan mendekati sofa hitam mengkilat dekat jendela kaca besar jenis one way mirrored glass yang hanya tembus pandang pada satu sisi saja dari bagian dalam ruangan. Sehingga orang-orang yang berada dalam ruangan privat bisa bebas melihat keramaian di area bawah club tanpa terlihat kembali oleh orang-orang yang berada di bawah sana.

Rico menghempaskan tubuhnya di sofa itu. "Apa yang kau dapatkan darinya?" tanya Rico pada Don yang memilih duduk pada sofa single di hadapannya.

Rico mendesah frustasi melihat ekspresi muram yang terlintas di raut wajah tangan kanannya itu. Gelengan kepala Don memberi arti bahwa pundi-pundi uang yang seharusnya ia peroleh dari ngengat heroin itu, tidak akan ia dapatkan kembali. Rudi begitu licin memanipulasi heroin-heroin yang dia ambil dalam jumlah besar untuk ia edarkan sendiri tanpa sepengetahuan dirinya.

Mengingat hal itu, membuat Rico merutuki kebodohannya dahulu dalam memberikan kepercayaannya pada lelaki tua itu. Semula Rudi adalah pengedar aktif yang selalu berhasil menyusupkan dagangannya ke dalam kelompok-kelompok pebisnis muda. Uang yang ia hasilkan pun terbilang besar karena jaringan pebisnis itu sudah menjadi pelanggan setianya. Namun beberapa bulan terakhir, setoran penjualan itu berhenti dengan alasan uang itu ia pinjam sementara. Rico yang merasa tahu kinerja Rudi tidak pernah mengecewakan, tidak mencurigainya sama sekali. Heroin untuk diedarkan tetap ia berikan pada Rudi. Hingga harga yang dihasilkan mencapai miliaran, barulah Rico menyuruh Don untuk kembali menagihnya. Rico baru tersadar bahwa Rudi berbuat curang padanya, setelah Don tidak berhasil menemukannya di kediaman Rudi yang mewah. Dari situlah status buron melekat pada Rudi. Beberapa tahun berlalu Rico masih menunggu kabar penemuan Rudi, sampai akhirnya tadi malam saat ia tengah bermesraan dengan Meggy di rumahnya, Don memberi kabar bahwa Rudi telah ditemukan.

Tanpa mengindahkan gerutuan Meggy akan kepergiannya yang tiba-tiba, Rico langsung meluncur ke Nightmare. Tempat dimana Don membawa Rudi.

"Ceritakan lebih rinci" pinta Rico pada Don.

Don tampak bergumul dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya ia menceritakan semua temuannya pagi hari tadi.

"Uang Tuan yang dipinjam olehnya, dia gunakan untuk berinvestasi opium di Cina. Rencananya dia akan pindah kesana begitu waktu panen tiba. Dia ingin membuat bisnis narkotika sendiri, Tuan. Namun entah bagaimana awal mulanya, tanaman opium yang mereka tanam disana terendus pemerintah setempat, dan langsung dibakar dalam waktu sekejap. Alhasil opium gagal dipanen. Uang yang telah ia investasikan pada rekannya pun raib tak bersisa. Itulah alasan mengapa ia nekat bersembunyi dari kita, karena ia sadar tidak akan bisa mengganti uang yang telah ia ambil" Don menjelaskan panjang lebar. "Lebih gilanya lagi, dia juga meminjam uang dalam jumlah besar pada seorang rentenir. Beberapa waktu lalu rumah mewahnya disita karena tenggat waktu pelunasan tidak dia penuhi." sambung Don membuat Rico memijit pelipisnya.

"Lalu dimana kau menemukan dia?" tanya Rico penasaran. Lelaki itu mengambil kotak rokoknya, dan mulai menyalakannya dengan pematik perak berukir naga.

"Pedesaan terpencil di daerah NTT, Tuan. Dia menyewa rumah disana. Kami berhasil menemukannya setelah anak buah kita yang kita sebar melihatnya sedang duduk di sebuah warung klontong," ungkap Don.

"Keluarganya?" Rico membuang asap rokok sambil melirik pada keramaian club di bawah. Dentum musik seirama dengan hentakan tubuh manusia yang tengah bergoyang memuja malam dengan cara yang paling liar.

Don menggelengkan kepala. "Saat kami membawa Rudi, mereka sedang tidak ada di tempat"

"Biarkan saja. Mereka pasti akan mencari Rudi kemari. Luna tidak akan bisa hidup tanpa suaminya" Rico menyeringai misterius.

Lelaki itu berdiri dari duduknya, ia berjalan mendekati jendela dan melihat sorak kehebohan para pengunjung club yang kini tengah disuguhi sesi vulgar para penari striptis. Malam sudah menjelang dini hari. Nightmare adalah club malam yang terkenal dengan para penari striptisnya yang hebat. Para pengunjung lelaki tidak akan menyia-nyiakan kesempatan memandang gemulai tubuh polos yang meliuk menggoda pada sebuah tiang. Waktu pertunjukan yang sangat dibatasi, membuat mata para buaya darat bergeriliya menatap buas tubuh para penari yang molek.

"Don, kau sudah mendapatkan penari baru?" tanya Rico tanpa mengalihkan pandangannya dari para penari seksi itu.

"Belum Tuan." sahut Don terus terang.

Tidak mudah mencari penari striptis dengan ketentuan yang Tuannya inginkan. Rico ingin penari itu berkisar usia dua puluh tahunan dan masih perawan. Sementara rata-rata wanita yang menawarkan diri, bukanlah gadis perawan. Lagipula, mana ada gadis perawan yang mau menjadi penari striptis? Kalaupun ada, pasti gadis itu sedang dalam kondisi terdesak. Don ikut melirik ke arah jendela, matanya melihat para penari yang kini tengah sibuk meladeni godaan dari para lelaki dibawah sana. Mereka tampak semakin lihai membuat jakun para hidung belang itu naik turun dilanda badai hasrat yang mulai menegangkan sendi-sendi tubuhnya.

"Segera temukan, Don. Aku tidak ingin kekurangan stok penari untuk membuat para bedebah itu betah berlama-lama di Nightmare" ujar Rico.

"Baik Tuan, akan saya usahakan" sahut Don dengan otak yang sibuk memikirkan sebuah cara.

🍁🍁🍁

Rico meninggalkan Nightmare tepat sebelum fajar menyingsing. Langkah kakinya yang berat akibat minuman keras membuat ia berjalan sedikit sempoyongan. Don memapah Tuannya. Sehabis perbincangan mereka mengenai Rudi, beberapa rekan pebisnis Rico datang. Mereka berpesta di dalam ruang privat lantai dua itu. Narkoba, minuman dan wanita menjadi santapan wajib yang harus mereka rasakan untuk mencapai puncak nirwana-nya masing-masing. Rico menyeringai puas dalam papahan Don menuju mobil mewahnya, barang haram yang dibawakan Don berhasil terjual dalam sekali waktu. Mereka bahkan membawa beberapa plastik berukuran kecil yang berisi heroin untuk perbekalannya di rumah. Cih! Bisnis haram memang selalu menjanjikan keuntungan yang fantastis. Tidak heran, jika banyak manusia yang mau terjun kedalamnya.

Don meletakkan tubuh Tuannya di kursi belakang penumpang. Sementara dirinya berjalan memutar untuk sampai di kursi kemudi.

"Bisnis kita akan semakin besar Don. Abdul pasti akan cemburu melihat kesuksesanku" rancau Rico begitu Don mulai menjalankan mobilnya.

"Cih! Dia selalu mengatakan bahwa aku anak angkat yang dilatih untuk menjadi anjing setia ayahnya. Dia merasa kehilangan banyak hal karena keberadaanku yang lebih disayangi ayah" benaknya berputar pada pertengkaran hebat antara dirinya dan Abdul, adiknya.

"Tuan Abdul hanya cemburu pada Tuan. Jangan dimasukan dalam hati apapun yang Tuan Abdul katakan" Don mencoba menenangkan. Ia tahu kondisi Tuan Rico yang sebenarnya merasa letih menjadi bahan pertengkaran antara adik dan ayah angkatnya itu.

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin ayah ... bangga pada anak yang telah ia ambil dari pinggir jalan ... Aku ..." Belum sempat menuntaskan ucapannya, alam bawah sadar Rico merenggutnya untuk terlelap sejenak.

Don melirik Tuannya dari kaca spion. Wajahnya datar menatap lelaki tampan yang sejak lama telah ia dampingi semenjak memutuskan tinggal di Indonesia. Dalam hatinya, Don merasa kasian pada jalan hidup Tuan Rico.

Lelaki itu lahir dari seorang pelacur murahan tanpa tahu siapa ayah biologisnya. Hanya wajah blasteran Rico-lah satu-satunya identitas bahwa kemungkinan besar ayah biologisnya adalah warga negara asing. Rico kecil hidup berteman ejekan dan makian dari orang-orang. Ibunya yang kini berada di penjara wanita, memaksa Rico kecil tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Minas menemukan Rico di pinggir jembatan di Jakarta. Saat itu Tuan Besarnya sedang melintas dan merasa tertarik melihat bocah kecil termangu menatap riak air di bawah jembatan dengan keranjang roti sisa jualannya hari itu.

"Mata anak itu begitu kelam dan tajam. Aku yakin dia akan menjadi orang besar suatu saat nanti" Don mengingat kata-kata Minas saat gembong narkoba itu menguji Rico untuk menjual barang haramnya di depan sebuah club malam sebelum Minas memutuskan untuk membawa Rico bersamanya ke Afganistan.

Kedatangan Rico bersama Minas, tentu mendapat penolakan keras dari anak kandung Minas. Keluarga satu-satunya Minas itu menentang keinginan ayahnya untuk mengangkat Rico menjadi saudaranya. Rico yang saat itu terkendala bahasa, tidak mengerti penolakan yang Abdul tunjukkan padanya. Dalam kesehariannya selama tinggal bersama Minas, Abdul sering mengerjainya. Anak yang sudah kehilangan ibunya sejak bayi itu hanya akan berhenti ketika Minas sudah naik pitam dan menghukumnya atas perlakuan buruknya pada Rico.

Sementara Rico sendiri, perlahan mulai memaklumkan sikap Abdul kepadanya. Setiap hari ia hanya akan terus belajar dan mulai membantu Minas mengawasi pekerja opium di lahannya. Kecekatan dan sikap mudah mengertinya membuat Rico mendapatkan perhatian khusus dari Minas. Perhatian khusus itu bertambah besar ketika Rico berhasil membuat jalur pengedaran heroin di beberapa kawasan baru. Dengan ilmu bisnis yang diturunkan, Rico mulai melebarkan penyebaran heroin ayahnya melalui perdagangan gelap. Bahkan ia mampu menembus pasar gelap Amerika berkat rekan kenalannya.

Hal itulah yang kemudian membuat Minas pada akhirnya mempercayakan Rico untuk memimpin bisnis club malam yang sengaja ia dirikan disalah satu kawasan elit Jakarta beberapa tahun yang lalu.

Ditengah kenangan masa lalu yang berkelebatan dan laju mobil yang perlahan melambat, samar terdengar gumaman tak jelas dari mulut Rico. "Ibu ... Aku rindu"

Don langsung menatap Tuannya yang masih memejamkan mata, namun gumaman kerinduan beberapa kali keluar dari mulutnya.

🍁🍁🍁

Bab 3

Muntah di siang hari adalah reaksi alami dari tubuh seorang lelaki kekar yang penuh berisi minuman keras sisa pesta di dini hari tadi. Kepalanya terasa seperti gegar otak ketika ia mencoba untuk berjalan kembali menuju tempat tidur setelah menuntaskan rasa mual yang tiba-tiba menderanya.

Sorot matanya menyipit melihat mentari yang semakin terik dari tirai jendela yang sudah tersibak. Namun tidak ada niatan dirinya untuk menutup kembali tirai jendela itu. Fokusnya hanya pada benda berbentuk persegi panjang yang tampak empuk dengan selimbut halus tebal di tengah ruangan monocrome tersebut

Pesta pora masih menyisakan rasa pegal dan pusing di seluruh tubuhnya. Hampir saja ia terjun bebas di tempat tidur, sebelum akhirnya keinginan itu harus tertunda karena rasa mual membuatnya kembali berlari menuju kamar mandi.

"Itulah akibatnya karena meninggalkanku dan memilih bersenang-senang bersama teman-temanmu disana"

Cibiran Meggy terdengar memuakkan bagi pendengaran Rico. Lelaki tampan itu membasuh mulutnya yang terasa asam dan getir dengan berkumur, dia tak menggubris ucapan kekasihnya dan memilih melewati Meggy yang berdiri di ambang pintu kamar mandi.

Meggy memutar bola matanya malas melihat tingkah menyebalkan kekasihnya yang tak memberi respon atas ucapan pedasnya. Wanita cantik itu berbalik badan dan mulai mengikuti kemana kaki Rico melangkah.

"Berapa botol yang kau habiskan, huh?" tanya Meggy sinis.

Wanita itu masih saja marah jika mengingat bagaimana Rico meninggalkannya begitu saja, setelah Don menghubunginya. Padahal niat hatinya malam itu ia ingin menuntaskan rindu dengan bermesraan dengan Rico, setelah beban pekerjaan yang membuatnya kesulitan untuk sekedar bertemu. Tapi lelaki itu malah seenaknya membuat Meggy menahan kesal karena harus menunggunya kembali dari Nightmare terkutuk itu.

"Meggy, bisa kau diam sejenak? Perutku mual dan kepalaku pusing. Jangan menambah ketidaknyamananku dengan omelanmu itu" ujar Rico sebelum kembali bergumul dengan selimbut.

"Kau menyebalkan! Tujuanku menginap ditempatmu bukan untuk ditinggalkan sendirian olehmu" gerutu Meggy sembari mengambil tempat di sisi tubuh telentang Rico.

Rico menghela nafasnya dengan berat. Kondisinya tidak memungkinkan untuk meladeni pertengkaran kecil dengan kekasih artisnya itu. Dia terlalu lelah untuk mendengar emosi Meggy yang tak kunjung reda.

"Kemari" ucap Rico sambil menarik Meggy untuk masuk dalam dekapannya.

Wajah Meggy dibuat sekesal mungkin ketika ia sudah masuk dalam dekapan Rico. "Jangan tinggalkan aku lagi. Janji?!" pinta Meggy memukul pelan dada atletis Rico.

"Baiklah, aku janji. Jadi berhenti mengomel. Suara merdumu jadi rusak karena nada suara kasarmu itu" bujuk Rico menerbitkan seringai senang di bibir Meggy.

"Aku ingin tidur beberapa saat dulu. Setelah itu aku akan mengajakmu keluar" ucap Rico sembari mulai memejamkan mata.

Senyuman lebar sempurna membingkai wajah Meggy menjadi semakin cantik. Kepalanya mengangguk, sementara sebelah tangannya memeluk pinggang Rico. "Aku akan temani kau tidur" ujar Meggy ikut memejamkan mata dalam dekapan kekasihnya.

🍁🍁🍁

Siang hari di tempat yang berbeda.

Kucing hitam mengeong nyaring ketika sebuah gelas kaca terlempar hampir mengenainya. Bulu-bulu halus ditubuhnya terkesiap mencuat menatap dengan murka pada tiga orang wanita yang sedang bertengkar hebat di dalam sebuah rumah sederhana pelosok Adonara, NTT. Matahari yang membara semakin terasa akibat kegersangan dari pertengkaran yang tak kunjung mereda.

Wanita yang lebih tua terlihat menatap seorang gadis di hadapannya dengan berapi-api. Sementara gadis yang lebih muda lainnya berdiri angkuh disamping wanita berusia hampir empat puluh tahun itu.

"Kau benar-benar pembawa sial, Ruma!" umpat wanita itu sembari berkacak pinggang.

"Benar bu, karena dia ayah menghilang" timpal gadis muda disampingnya.

Ruma si gadis berambut kepang menatap jengah ibu tiri dan adik tirinya yang sejak tadi terus menyalahkan dirinya atas raibnya ayah mereka. "Apa hubungannya denganku? Yang membuat ayah menghilang mungkin karena dia sudah tidak tahan memiliki istri dan anak tiri yang selalu saja mengeluh seperti kalian. Ayah--"

Plak! Tamparan keras mendarat di pipi mulus Ruma, sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Dada Ruma berdetak cepat ketika sorot matanya menatap tajam telapak tangan ibu tirinya yang baru saja memberi noda merah di pipi. Tangan sang ibu tiri memang begitu mudah memberi jejak kekerasan di tubuhnya. Sejak wanita ular itu menikah dengan ayah Ruma, dia tak segan-segan menunjukkan gelagat ketidaksukaannya pada Ruma. Sikapnya kini semakin menjadi ketika ayah Ruma mengalami kebangkrutan dan harus merelakan diri tinggal di rumah sederhana di pelosok daerah.

Sejak awal memang Ruma selalu curiga bahwa ibu tirinya itu menikah dengan ayahnya hanya karena harta. Dan saat ini kecurigaannya semakin jelas terlihat. Ruma ingin sekali meminta ayahnya untuk bercerai, namun ketika ia melihat wajah bahagia ayahnya, keinginan itu ia kubur dalam hati terdalamnya. Hatinya tidak setega itu memutus kebahagiaan ayahnya setelah duka panjang yang dialaminya sepeninggalan ibu kandung Ruma.

"APA KAU?!" ucap ibu tiri Ruma pada Ruma yang menatap tajam dirinya. "Itu akibatnya jika berani mengucapkan kalimat lancang padaku" sambungnya kemudian.

Nafas Ruma memburu dengan sorot mata tajam pada kedua wanita itu. Ruma berbalik badan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hatinya sudah terlalu kebal menahan sakit atas semua sikap kasar ibu tirinya selama ini. Dia tahu, menghindar dari kedua wanita itu adalah cara teraman untuk meredakan emosi dalam jiwanya. Langkah kakinya terus berjalan tanpa peduli gerutuan yang kedua orang itu lontarkan padanya. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba jemari adik tirinya menjambak paksa rambut belakang Ruma.

"Mau kemana kau?! Ibuku belum selesai bicara, bodoh!" ujar adik tiri Ruma menarik rambut Ruma hingga membuat Ruma mundur perlahan.

"Akkhh! Lepas, Yasmin!" pekik Ruma merasa sakit dengan jambakan kasar adiknya itu.

Tanpa perasaan, Yasmin menarik rambut Ruma hingga mendekati posisi ibunya. Gadis yang selisih beberapa tahun dengan Ruma itu, langsung mendorong Ruma sampai tersungkur di kaki ibunya. Ibunya yang melihat Ruma kesakitan, menyeringai puas. Ia berjongkok di hadapan Ruma. Mengangkat wajah tertunduk Ruma dengan telunjuknya, dan mencemooh Ruma dengan tatapannya.

"Aku benci melihat seseorang yang berani meninggalkanku disaat aku belum puas berbicara padanya. Terlebih lagi orang itu telah berkata tidak sopan kepadaku" sorot matanya memancarkan kebencian yang pekat pada Ruma.

"Maafkan aku bu" ujar Ruma merasa lelah menghadapi ibu tirinya. Jika saja ia tidak mengingat ayahnya, sudah sejak lama ia membalas semua perbuatan buruk anggota baru keluarganya itu.

"JANGAN PANGGIL AKU IBU!!" bentak ibu tirinya. "Aku sudah katakan, jangan pernah sekalipun memanggil aku ibu ketika ayahmu tidak ada" sambungnya memelototi Ruma.

Bibir Ruma bergetar. Pandangannya nanar melihat kekejaman ibu tirinya. "Maafkan aku ... tante Luna." ujar Ruma pada akhirnya.

Luna menyeringai lebar. "Sekarang kau pergi dari hadapanku" ucapnya seraya berdiri.

Tatapannya mendelik tak suka pada Ruma yang mulai berdiri dan berbalik badan menjauh dari tempatnya semula. Sementara benaknya sibuk menduga-duga akan kemana menghilangnya Rudi sejak kemarin. Lelaki itu tidak akan mungkin meninggalkannya begitu saja, mengingat betapa sayangnya ia pada anak dan istrinya yang tengah hamil muda. Ingatannya berputar pada beberapa orang di tempat yang biasa didatangi Rudi, mereka mengatakan bahwa sejak kemarin suaminya belum terlihat datang. Lantas kemana dia? Tidak mungkin lelaki itu pergi jauh, karena mereka baru beberapa tahun menjadi transmigran di daerah terpencil itu.

"Bu, bagaimana jika ayah ... " ucapan Yasmin menggantung karena merasa ngeri sendiri dengan dugaannya.

Ibu dan anak itu saling menatap dalam diam. Seberkas kecemasan dan rasa takut melintas dalam rona wajah keduanya. Setelah beberapa saat, keduanya menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Tidak! Tidak mungkin" Luna menggelengkan kepala dengan gelisah.

"Tapi bu-"

"Tidak ada tapi!" potong Luna menatap tajam bola mata Yasmin. "Tidak mungkin Rudi tertangkap. Mereka tidak akan mungkin berhasil menemukan tempat ini. Tapi ... " Luna membatin memikirkan hal yang sama dengan anaknya.

"Lalu kemana ayah, Bu? ayah tidak mungkin menelantarkan kita, bukan? Harus hidup susah seperti ini saja sudah menjadi siksaan untuk kita, sekarang ayah malah menghilang. Lalu bagaimana kehidupan kita nanti, Bu? Aku tidak--"

"DIAM!" bentakan keras menghentikan cerocosan yang keluar dari mulut Yasmin. Anak gadisnya itu diam seribu bahasa, wajahnya langsung tertunduk takut melihat kemarahan ibunya. "Kau membuatku semakin pusing, Yasmin" ucap Luna masih dengan emosi yang sama.

"Ma-af bu" ujar Yasmin terbata.

"Sudahlah, lebih baik kau coba cari ayahmu di tambang. Siapa tahu dia berada disana" perintah Luna dengan hati yang ragu.

Tak menunggu waktu lama, Yasmin berjalan menuju pintu rumah. Langkahnya terhenti ketika ia mengingat sesuatu. "Kenapa hanya aku yang mencari? Sementara Ibu membiarkan Ruma berleha-leha di kamarnya" gerutu Yasmin.

"Tidak usah banyak protes. Ruma harus diam dirumah. Dia kartu As yang akan Ibu keluarkan jika kondisi kita terdesak" kata Luna penuh misteri.

Yasmin menatap ibunya dengan heran, dia memiringkan sedikit kepalanya memikirkan arti dari ucapan ibunya. Namun ketika otaknya terasa tumpul tak menemukan jawaban apapun, gadis itu memilih melanjutkan kembali langkahnya. Dia sadar, kemampuan otaknya tidak sepadan dengan otak ibunya yang selalu mampu memikirkan sesuatu diluar perkiraan.

🍁🍁🍁

Sudut bibirnya yang mulai terasa perih membuat Rudi tersadar dari pingsannya. Matanya menerawang sekitar. Dan tak perlu waktu lama bagi dirinya untuk mulai menyadari akan dimana dirinya berada.

Sepintas benaknya mengingat bahwa di masa yang lampau, di lorong gelap ini lah tempat ia menghabisi para saingan-saingan bisnis haramnya bersama gerombolan Rico. Rudi ingat bagaimana para targetnya meringkuk dalam penjara kecil seperti dirinya saat ini.

Saat itu dirinya masih menjadi tangan kanan Rico di Nightmare, sebelum uang hasil penjualan heroin menggelapkan matanya dan membuat dirinya menjadi tamak hingga menginginkan sesuatu yang lebih.

Tap tap tap tap

Dari arah pintu penjara terdengar langkah beberapa pasang kaki. Rudi menajamkan pendengarannya sambil menyeringai pasrah. Langkah kaki yang tegas namun terdengar begitu santai meyakinkan dirinya bahwa Rico lah yang kini tengah mendatanginya.

Rudi telah lama menyiapkan hatinya untuk saat-saat paling buruk seperti saat ini. Dia tahu bahwa tidak akan pernah ada yang selamat, jika seseorang sudah berada dalam genggaman anak dari petani opium itu. Tiba-tiba ia merasa bahwa masa tenggat hidupnya sudah berakhir ketika pintu gerbang penjara terbuka, dan menampilkan seorang lelaki perlente dengan setelan jas navy tengah menatapnya tajam. Asap rokok mengepul membentuk bulatan sempurna dari mulutnya yang keras. Sementara langkahnya dibuat sepelan mungkin, hanya untuk menciptakan suasana mencekam bagi jiwa yang terkurung dalam penjara itu.

"Lama tidak bertemu ... Uncle Rudi" Seringai mengerikan Rico tidak sinkron dengan sapaan hangatnya.

🍁🍁🍁

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!