"Inki, tolong bantu aku masak dong." pinta Inka pada adiknya yang sedang mengecat kukunya.
"Aduh Inka, apa kamu tidak melihat jika aku sedang memakai cat kuku?" jawab Inki tanpa melihat Inka sekalipun. Inka pun menyadari jika ajakannya itu pasti tidak akan dihiraukan oleh Inki. Sebenarnya Inka sudah bisa menebak, jika Inki pasti tidak mau membantu pekerjaan rumah. Karena itu sudah menjadi kebiasaannya.
Inka berlalu begitu saja meninggalkan kamar Inki. Meskipun mereka kembar, namun Inki tidak mau jika mereka harus berbagi tempat tidur. Jadi, Ayah Inka harus mengalah dengan tidur di ruang tamu. Sedangkan Inka tidur di kamar orang tuanya.
Kini mereka hanya memiliki seorang ayah. Ibunya sudah pergi entah kemana sejak mereka masih usia 1 tahun. Dengan ekonomi yang pas-pasan dan anak kembar, membuat ibu Inka tidak tahan. Hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka. Ayah Inka bekerja sebagai seorang petani. Karena kegigihannya dan dibantu oleh Inka, hasil panennya selalu memuaskan meskipun mereka hanya mengerjakan kebun itu sendiri tanpa memperkerjakan orang.
Kini, usia mereka sudah menginjak 17 tahun. Beban yang dipikul Inka semakin berat. Ia harus bisa membantu mengatur keluarganya. Terkadang terjadi kecekcokan antara Inka dan Inki karena Inki selalu menghabiskan uang untuk memenuhi keinginannya. Tetapi Inka bisa apa, Ayahnya selalu memenuhi permintaan Inki agar menghentikan keributan di antara mereka. Yang di benak Inka adalah untuk masa depan Inki juga agar lebih bijaksana dalam bergaul dan menggunakan uang.
"Ayah, kebutuhan kita itu semakin banyak ayah..... Belum lagi membayar sekolah dan persiapan untuk Inki masuk perguruan tinggi. Yang penting masa depannya, ayah.... Kalau dia sukses, kita juga bakalan senang dan bahagia." tegas Inka pada ayahnya.
"Sudahlah, ayah nggak mau melihat kalian ribut saja."
"Tapi ayah, dia itu semakin ngelunjak dan manja...." sahut Inka.
"Sudahlah. Sekarang kita siap-siap ke kebun." Inka membuang nafasnya kasar.
"Ayah selalu memanjakan dia." Inka meninggalkan ayahnya dan masuk ke kamar untuk mempersiapkan diri ke kebun.
Ayahnya hanya menggelengkan kepalanya melihat kedua anaknya ribut. Terkadang ia bingung harus bagaimana? 2 anak memiliki sifat yang bertolak belakang. Jika ia membela Inka, Inki akan marah-marah. Tetapi jika ia membela Inki, Inka selalu berada di posisi yang menjadi korban. Adil, itu tidak ada di kamus Inki. Ia harus menjadi pemenang dalam setiap perdebatan dan dalam apapun.
Pak Budiono tahu, mereka membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Namun Pak Budiono takut jika kedua anaknya tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari ibu tirinya. Sehingga ia memutuskan untuk tetap menjadi single parent untuk kedua buah hatinya. Berat? pasti! Ingin mendapatkan perhatian dari lawan jenis? Pasti! Tetapi komitmen untuk membesarkan mereka tetaplah nomor satu dengan mengesampingkan kebahagiaannya.
Dulu pernah ada seorang gadis yang rela menjadi istrinya dan menjadi ibu sambung kedua anaknya. Namun Pak Budiono tetep kekeh pada keputusannya. Bahkan Pak Budiono juga pernah dikenalkan dengan seorang janda kaya. Tetapi Pak Budiono tidak tertarik sama sekali.
Sebenarnya, mudah bagi Pak Budiono untuk menaklukkan sejuta wanita, apalagi ia masih muda dan memiliki tubuh yang bagus serta wajah yang tampan. Tetapi Pak Budiono tidak mau menggunakan kelebihannya untuk melakukan hal-hal yang merusak nama baiknya atau masa depan anaknya.
Hingga sekarang di usia 44 tahun pun masih terlihat muda. Jika ia berjalan dengan anaknya, orang yang tidak tahu bakal mengira jika mereka sepasang kekasih atau sepasang suami-istri.
Inka juga sering sekali memberikan masukan kepada ayahnya untuk menikah. Tetapi perkataan Inka selalu tidak digubris.
"Ayah, aku minta uang 1 juta untuk mendaftarkan diri sebagai model." rengek Inki pada ayahnya.
"Ayah tidak pegang uang, nak. Minta saja sama kakak kamu." jawab ayahnya yang memang jarang memegang uang, sebab segala kebutuhan rumah tangga diatur oleh Inka."
Tanpa menunggu lama, Inki pun menemui sang kakak yang sedang memasak di dapur.
"Inka, aku minta uang 1 juta untuk mendaftar sebagai model." Inka hanya menoleh sambil memainkan spatulanya.
"Inka...!!! Aku bicara sama kamu!" Inka belum juga menoleh tetapi ia mematikan kompornya. Inka geram dengan sifat kembarannya itu. Ia selalu bersikap semaunya sendiri tanpa memikirkan keluarganya.
"Ayah suruh saya minta uang sama kamu." ulang Inki pada Inka. Tanpa menjawab Inka pun berlalu meninggalkan Inki di dapur sendiri. Inka ke kamar mengambil buku khasnya. Ia memang sangat teliti dalam mengatur keuangan keluarganya. Makanya semua pengeluaran ia catat dalam buku khas.
"Kamu lihat ini." Inka menyodorkan buku tersebut pada Inki. Tetapi Inki tidak mau menerimanya.
"Aku minta uang bukan minta buku catatanmu itu." tegas Inki.
"Kamu lihat, supaya kamu tahu semua pengeluaran kita." jawab Inka.
"Aku nggak mau !!!" Inki tetap saja ngotot tidak mau melihat buku itu.
"Kamu tahu nggak? Semua pengeluaran disini itu yang paling banyak untuk kamu! Aku hanya menyisihkan sedikit untuk masa tuanya ayah nanti. Bahkan aku pun tidak pernah memakai uang untuk kesenanganku sendiri." jelas Inka.
"Kalau begitu, ambil uang tabungan ayah. Kan nanti kalau aku menang, kalian juga akan menikmati hasilnya."
"itulah alasannya kenapa aku tidak pernah memasukkan uang di bank, supaya tidak bisa diambil." jawab Inka.
"Lalu?"
"Aku masukkan di asuransi." tegas Inka.
"Aku nggak mau tahu, pokoknya aku minta uang." ucap Inki ngotot.
"Aku juga nggak mau tahu! Kalau kamu mau, kamu panen dulu di kebun sana dan hasilnya bisa kamu pakai." usul Inka dengan kesal.
"Kalau begitu, kamu yang panen. Aku pinjam uang dulu sama temanku." Inka hanya menggelengkan kepalanya. Ia bingung cara menghadapi kembarannya itu.
"Ayah, Inka nggak mau kasih uang. Jadi aku mau pinjam uang dulu sama temanku." adu Inki pada ayahnya.
"Ayah......" ucap Inka melemas.
"Ayah, uang panen kita sudah habis. Ini tinggal untuk kebutuhan kita dan untuk perawatan tanaman." lanjut Inka.
"Sudah, kasih aja ke dia dulu." jawab Pak Budiono.
"Ayah....." Ayahnya menganggukan kepalanya. Tidak ada pilihan lain untuk Inka. Baginya uang 1 juta itu sangat besar.
Inka pun dengan terpaksa memberikan uang itu kepada Inki. Dengan senyum agak menyindir Inki menerima uang itu dari Inka.
Setelah menerima uang, Inki pun berlalu meninggalkan rumahnya dan menuju ke tempat yang ia tuju, yaitu agen permodelan.
"Nak, ayah bukan pilih kasih. Ayah hanya tidak ingin membuat malu dengan sikap Inki. Kamu tahu kan? Apapun keinginannya, ia selalu ingin dipenuhi."
"Yah, aku kuatir sama Inki. Takutnya ia masuk dalam pergaulan yang tidak benar. Aku sudah menabung untuk kuliahnya nanti, yah. Aku ingin ia mendapatkan pendidikan yang layak dan menjadi sukses. Nggak apa-apa, jika aku harus bekerja keras untuk keluarga, yah."
"Anak baik." Pak Budiono mencium puncak kepala Inka. "Ayah yakin, dengan kegigihanmu tanpa mengenal lelah dan keluh, kamu akan menerima ganjarannya, nak."
"Amin...."
"Ayah mau ke kebun dulu."
"Nanti aku nyusul, yah."
"Selamat siang bu, nama saya Inki. Saya ingin mendaftar sebagai model melalui agen ini. Bagaimana prosedurnya bu?" tanya Inki pada resepsionis agen.
"Silahkan mengisi data di formulir ini, mbak. Untuk biaya pendaftarannya 1 juta dibayar tunai ya kak." jawab resepsionis tersebut sambil menyerahkan formulir pada Inki. Inki menerima lembaran tersebut dengan sangat senang. Jalan perubahan hidupnya ada di depan mata.
Inki pun mulai mengayunkan ballpointnya di atas kertas itu dan mengisi setiap kolomnya hingga selesai dengan dibubuhi tanda tangan di bagian akhir formulir.
"Ini sudah selesai, bu."
"Silahkan tanda tangan untuk surat perjanjiannya ya, mbak. Silahkan dibaca terlebih dahulu." Bukan nya dibaca baik-baik, Inki pun langsung menanda tangani MoU tersebut.
"Kenapa tidak dibaca, mbak?" tanya resepsionis.
"Saya percaya, agen ini adalah agen terpercaya, bu." balas Inki dengan penuh keyakinan.
"Kalau begitu, informasinya akan diberitahukan selanjutnya ya, mbak. Pastikan nomor telpon dan emailnya aktif."
"Semuanya aktif kok, bu. Kalau begitu saya permisi. Terima kasih." Inki dengan penuh keyakinan dan harapan baru, meninggalkan tempat tersebut.
Sementara Inka masih sibuk membantu ayahnya membersihkan setiap rumput yang menganggu tanamannya.
"Nak, lebih baik kamu pulang deh. Matahari sudah mulai tenggelam, tu..." pinta ayahnya.
"Ah, nggak apa-apa, ayah." tolak Inka.
"Terserah kamu, deh. Kalau gitu istirahat dulu. Tolong ambilkan ayah kopi dan makannya. Ayah sudah lapar."
"Oke, ayah." Inka dengan penuh kasih melayani ayahnya. Mereka menikmati makan siang berdua di bawah rindangnya pepohonan sambil bercanda gurau. Tidak lupa juga Pak Budiono menyampaikan beberapa wejangan untuk Inka.
"Ayah, aku pengen mengambil gambar di setiap moment kita saat di kebun. Hanya untuk kenangan saja. Aku mau masukkan di media sosialku." pikir Inka.
"Silahkan saja. Ayah tidak mengetahui hal-hal seperti itu." Inka dan Inki memang dibelikan ponsel yang sama agar mereka juga tidak gaptek dan bisa mengikuti perkembangan berita.
"Ah, aku juga baru belajar kok, ayah."
Kemudian Inka mengambil ponselnya dan merekam aplikasi kamera. Inka secara otodidak belajar mengatur angle kamera agar membuat setiap momentnya menarik. Sesekali ia selfie. Sesekali ia juga mengambil gambar ayahnya. Setelah mendapatkan hasil yang terbaik menurutnya, Inka mengunggah foto-foto tersebut di akun media sosialnya.
"Bersama ayah di kebun." itulah caption pada gambarnya. Inka juga tidak lupa menunjukkan hasil jepretannya pada ayahnya. Ayahnya hanya tersenyum melihat hasil jepretan anaknya.
"Kamu sangat cantik di foto itu." puji ayahnya.
"Kan anak ayah." puji Inka balik.
"Andaikan ibumu masih bersama kita, pasti dia juga bangga melihat perkembangan kalian. Anak-anak yang cantik dan pintar." Pak Budiono terlihat sedih mengingat kenyataan pahit yang ia lalui.
"Ayah....." Inka mengelus pundak ayahnya dengan lembut. Ia tahu perasaan ayahnya selama ini meskipun ayahnya selalu menutupi rasa traumanya.
"Ayah tidak apa-apa, nak. Ayah bangga sama kalian. Ayah percaya, kalian akan bahagia. Ayah akan selalu berusaha untuk kebaikan kalian. Ayah akan selalu mendukung kalian. Kamu harus lanjut kuliah, nak."
"Ayah.... biarkan Inki saja yang melanjutkan. Biaya kuliah pasti mahal. Aku akan berusaha agar Inki bisa kuliah."
"Aku bangga padamu, nak. Kamu selalu memikirkan orang lain dengan mengesampingkan dirimu sendiri."
"Inka juga bangga pada ayah." rasa haru menyelimuti hati mereka. Tidak mudah bagi Pak Budiono yang harus membesarkan kedua anaknya sendirian. Ia harus menutup telinga terhadap mulut-mulut yang maha benar dari tetangganya. Tetapi banyak juga yang merasa kasihan dengan kisah hidup mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!