NovelToon NovelToon

After Marriage

Cast - Visual Tokoh di Novel After Marriage

HALO...

Sebelum membaca cerita After Marriage lebih lanjut. Kenalan dengan beberapa visual tokohnya, yuk!

A. Anha

**

Nah, Anha di sini digambarin cantik banget, banyak pacarnya, nggak kalem-kalem amat. Tapi ya 'agak' nakal juga.

B. Ikram

Bonus Pic:**

Untuk mengetahui judul novel2ku yang lain silakan follow Instaaagramku (Mayangsu) atau fb Mayangsu

Aku juga punya akun tiktok, kali aja kalian mau follow

Cast lain yang masih di rahasiakan + ada di season 2:

Hasan - Si tengil Sean. - Mama Erin

Lidya - Ray - Angga - Dewi

Beberapa lagu yang enak untuk menemanimu membaca:

Potret - Mungkin

Rossa – Hati Yang Kau Sakiti

Caitlin Hendrawan Cinta Salah

***

Contact Person:

IG: @Mayangsu_

W*ttpad: @Mayangsu

Email: Mayangsusilowatims@gmail.com

Malam Pertama

Aku mengusap jemariku yang mulai basah karena keringat dingin, kemudian aku menggigit bibir bawahku. Bingung dengan apa yang selanjutnya harus aku lakukan. Kemarin rangkaian acara pernikahan kami sudah selesai dan saat inilah aku memasuki acara yang sangat menegangkan.

Yaitu... Malam Pertama.

Pandanganku berkali-kali tertuju ke arah kamar mandi. Suara shower terdengar sampai sini, siluet lelaki yang saat ini berstatus sebagai suami SAH-ku terlihat samar dari balik kaca kamar mandi yang buram.

Dia sedang mandi, sedangkan aku sudah mandi sebelumnya. Bahkan saat ini aku sudah mengenakan pakaian dalam berwarna merah di balik piyamaku--karena setahuku dia menyukai warna merah.

Tapi sungguh, apa yang nanti harus aku lakukan setelah dia keluar dari kamar mandi?

Mataku melirik beberapa tumpukan kelopak bunga mawar merah yang berada di tengah ranjang kami. Kemudian aku mengambil sejumput kelopak bunga mawar tersebut dan meremasnya pelan untuk meredakan rasa cemasku yang berlebihan.

Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung kemudian mengembuskannya pelan lewat mulut. Aku mengamati kembali tatanan kelopak mawar merah yang dibentuk menjadi pola hati di tengah ranjangku. Cantik.

Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, tidak mungkin mertuaku yang membuatkan mawar berbentuk hati tersebut untukku, mengingat betapa Beliau tidak menyukaiku sejak awal aku mengenal putranya.

Jadi aku bisa menebak mungkin pembantunyalah yang membuatkan mawar tersebut, atau orang suruhannya mungkin. Dia, kan, kaya.

Aku memutar bola mataku, entah mengapa aku selalu kesal jika mengingat wajah mertuaku itu.

Kupikir mitos tentang Ibu mertua yang jahat hanya ada di sinetron saja. Namu ternyata aku salah karena hal itu benar adanya, dan sialnya kini aku mengalaminya sendiri.

Alasan mertuaku--Mama Erin--tidak menyukaiku adalah karena statusku yang berbeda jauh dari putranya. Mama Erin menginginkan anaknya menikah dengan seorang dokter, pengacara, ataupun anak dari pengusaha kaya raya.

Aku masih ingat betul Mama Erin selalu menyunggingkan senyum bahagia ketika dia menyalami para tamu undangan di acara pernikahan kami kemarin, sedangkan air muka Mama Erin berubah sinis ketika beliau melihatku.

Aku mengembuskan napas, memilih untuk tidak mengingat wajah mertuaku itu. Nasibku sedang berada di ujung tanduk dan saat ini bukan waktunya untuk memikirkan hal-hal seperti itu.

Aku mulai panik. Rasa gugup menyerbuku dari berbagai arah, jantungku berdegup sangat kencang seolah terdengar sampai gendang telingaku. Tapi di antara rasa bingungku ini, terbesit pula rasa bersalah, rasa penyesalan, dan rasa takut.

Entahlah, rasanya semuanya bercampur aduk dan tidak dapat kujelaskan dengan kata-kata. Itu semua membuatku ingin menangis saat ini juga.

Seharusnya aku mengatakannya dari awal, dari waktu pertama kali dia datang ke rumahku ketika melamarku. Bukan setelah ini semua terjadi. Seharusnya aku jujur kalau aku...

"Kenapa tegang banget?"

Suara serak tersebut membuat lamunanku buyar, sampai aku tidak memerhatikan kalau dia sudah selesai mandi dan sedang berdiri tepat di depan pintu kamar mandi.

Dia tersenyum ke arahku. Saat ini dia benar-benar menggoda. Dia hanya mengenakan selembar handuk putih yang melilit pinggangnya, kemudian dia mengusap rambut basahnya dengan handuk putih lainnya. Tapi aku segera menundukkan pandanganku karena aku malu.

Aku mendengar langkah kakinya mulai mendekat, kemudian dia duduk di sebelahku. Tangan kanannya mengusap pipiku yang saat ini kuyakini pasti sudah sangat merona.

Usai mengusap pipiku kini tangannya berpindah menaikkan daguku sehingga tatapan mataku tertuju pada wajah tampannya.

Aku tak berbohong, dia tampan dan maskulin di mataku. Kini jarak wajahku dan wajahnya sangat dekat. Dia memiringkan kepalanya. Instingku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Aku memejamkan mata dan menggenggam erat seprai putih kami. Dia mengecup bibirku sangat pelan. Menciumku dengan kecupan lembut.

Di sela ciuman hangat kami, rasa takut itu kembali menghampiriku lagi. Kini apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus pura-pura menstruasi atau pura-pura kelelahan karena acara pernikahan kami yang sangat panjang itu untuk menghindari momen ini? Aku takut hal buruk itu akan terjadi.

"Kamu cantik, An," katanya memuja, suaranya sudah serak, aku melihat hasrat bergejolak pada kedua netra cokelat miliknya. Aku menundukkan kepalaku ke bawah, memutus pandangan kami.

"Nggak usah takut. Aku tahu ini pertama kalinya bagi kamu. Aku bakalan pelan-pelan, kok," bisiknya pelan ada kupingku membuat tengkukku meremang. Aku kesusahan menelan salivaku. Baik, rasanya jantungku seperti diremas dan ditarik ke luar saat ini juga.

Dengan gerakan pelan dia menarik pelan tali piyamaku, kemudian membukanya. Dia mengusap lembut bahuku agar aku terlentang.

Kami akan memulai ritual malam pertama ini.

Dibandingkan dengan mantan-mantanku yang agresif, dia sangat lambat, mungkin dia mencoba membuatku nyaman.

Aku hanya diam terlentang. Pasif. Sejujurnya aku lebih liar daripada ini. Aku hanya menatap kosong langit-langit kamar yang bewarna putih.

Tanpa kusadari air mataku menetes di pipiku, tetapi kemudian langsung buru-buru kuusap dengan punggung tanganku agar dia tidak tahu bahwa aku menangis.

Kemudian kami memenyatukan tubuh kami kembali. Dia melihat mataku dalam-dalam, jarak kami hanya terpisah beberapa senti saja, aku merasakan napas hangatnya menerpa pori-pori wajahku.

Dia mencium pipiku pelan, mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Aku memeluknya lebih erat, mengatakan aku juga sangat mencintainya. Air mataku jatuh, aku sudah tidak dapat lagi menahan perasaan bersalah ini.

"Maaf."

Hanya itulah kata yang keluar pelan dari mulutku, tepat di telinganya.

Dan malam pertama kami terjadi tanpa respons cengkeraman dari kukuku di punggungnya ataupun gigitanku di pundaknya, atau jeritanku karena kesakitan. Aku benar-benar menangis dan memeluknya erat, sangat erat. Takut dia akan pergi dariku. Takut ini adalah pelukan terakhir kami.

Tetapi akhirnya hal yang kutakuti pun terjadi. Dia memberi jarak dari tubuhku, kemudian dia melihat ke arah bawah. Tidak ada noda merah bekas darah sama sekali di seprai. Dia menatap lurus ke arahku, setelah itu rahangnya mengeras.

Hingga mata itu, mata cokelat indah yang dulunya selalu teduh ketika dia menatapku, kini semuanya seolah berubah. Tatapan itu berubah menjadi tatapan, marah, kalut, dan tentunya dia sangat kecewa terhadapku.

"Maafin aku."

Seharusnya aku mengatakan ini semua dari awal. Aku menyesal. Dia bangkit, menarik dirinya dari diriku. Kemudian dia berdiri membelakangiku, menarik rambutnya ke belakang. Aku menarik selimut sehingga menutupi tubuhku sampai ke bagian atas dadaku.

Aku tahu, tidak semua wanita mengeluarkan darah ketika malam pertamanya, ada yang tidak berdarah sama sekali, bisa jadi karena mungkin selaput dara mereka tipis, ada yang tidak mengeluarkan darah mungkin karena dulu pernah kecelakaan ataupun jatuh dari sepeda.

Tapi... khasus diriku berbeda. Aku kehilangan hal tersebut bukan karena kecelakaan ataupun jatuh dari sepeda. Lagi pula seorang laki laki pasti dapat merasakan dengan betul apakah wanita tersebut tidak perawan karena faktor jatuh dari sepeda ataupun tidak perawan karena sebelumnya sudah pernah berhubungan badan.

"Kamu bilang kamu masih perawan, An!"

Dia berteriak marah. Berbalik menatapku tajam, rahangnya mengeras, aku bisa melihat kemarahan yang sangat besar pada dirinya saat ini, dia kecewa denganku karena mendapati diriku yang sudah tidak perawan lagi di malam pertama kami.

"A-Aku..."

Barter

Aku tidak bisa mengatakan apa pun, hanya bisa menunduk dan menangis. Ini semua salahku.

"Jawab aku, An!" desaknya lagi, tapi kini nada suaranya tidak sekeras tadi. Aku masih tidak berani menatapnya, menatap matanya sangat berat bagiku.

"A-Aku takut... Takut kamu bakalan batalin pernikahan kita ka-kalau aku ngasih tahu aku udah nggak perawa--" suaraku tercekat, hilang di tenggorokanku, aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku lagi.

Aku memeluk selimut ini dengan lebih erat. Tidak ada respons apa pun darinya, dia hanya diam saja. Aku memberanikan diri mengangkat pandanganku untuk melihatnya. Dia sedang membalikkan tubuh sambil mengusap wajahnya kasar.

"Maafin aku."

Aku menangis, berharap dia bisa memaafkanku, tapi aku yakin hal itu tidak akan mungkin terjadi mengingat begitu besarnya kesalahanku terhadapnya.

Aku sudah tidak perawan.

Seharusnya aku jujur saat dulu dia bertanya kepadaku tentang status diriku yang masih perawan atau tidak.

Waktu itu aku mengatakan aku masih perawan karena aku mencintainya. Aku takut dia akan pergi meninggalkanku dan membatalkan pernikahan kami jika aku mengatakan kalau aku sudah tidak perawan lagi.

Aku terisak, dia berjalan ke arah jendela--masih dalam keadaan telanjang. Dia menatap ke arah luar. Aku benar-benar melakukan kesalahan besar karena dia sendiri dari awal mengatakan jika dirinya tidak pernah tidur dengan wanita lain sebelum menikah dan menjaga diri untuk calon istrinya kelak.

"Maafin aku, Mas."

Dia tidak mau memalingkan pandangannya sama sekali ke arahku.

"Apa kamu nggak perawan karena kecelakaan atau karena jatuh dari sepeda?"

Akhirnya dia mengangkat suara. Aku hanya diam, masih menangis, padahal aku berharap saat ini dia memelukku dan mengatakan, "Nggak papa, aku nerima kamu apa adanya, An." Tetapi kenyataanya tidak seperti itu.

"Kamu diperkosa?" tanyanya lagi, aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak bisa berbohong lagi, aku sudah membohonginya terlalu banyak dan aku tidak mungkin mencari-cari alasan lagi untuk menutupi ini semua. Dia menarik rambutnya ke belakang, seolah tahu situasi saat ini dengan cepat.

"Siapa yang pertama ngambil itu semua, An?"

Aku masih terdiam dan menangis sesenggukan.

"Jawab aku, An!"

Aku gemetar mendengar nada bicaranya yang meninggi.

"Pa-Pacarku... Waktu aku SMA dulu," kataku gemetar.

Tidak ada pertanyaan lagi setelah itu. Dia berjalan ke arah lemari pakaian. Mengabaikanku yang masih menangis. Sekilas aku melihat matanya memerah dan berkaca, dia pasti sangat kecewa terhadapku.

Aku mencoba memanggil namanya dan mengatakan maaf. Dia hanya diam saja mengabaikanku. Dia mengambil baju tidurnya di lemari kemudian memakainya.

Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus meminta maaf!

Aku turun dari ranjang dan menghampirinya. Dia melangkah ke arah kamar mandi, aku meraih lengannya tetapi dia mengempaskan lengannya tanpa melihatku sama sekali.

Ketika dia hendak membuka gagang puntu kamar mandi. Dia mengatakan sesuatu yang membuat tangisku lebih terisak, kakiku terasa lemas ketika mendengar perkataan itu. Kata-kata yang menusuk tepat di jantungku di hari pertama kami menjadi suami istri.

"Kita cerai aja. An."

***

Dua Tahun yang Lalu...

"Kamu janji, kan, bakalan nikahin aku?" tanyaku dengan napas tersengal di sela-sela hubungan panasku dengan Ray.

Ray menciumiku dengan gerakan menuntut, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menghindari ciumannya membuat Ray berdecak beberapa kali.

"Ayolah, An. Aku udah nggak tahan," protesnya terhadapku.

"Janji dulu. Ray."

Awal tahun ini dia mengatakan hubungan kami akan berlangsung pada tahapan yang serius.

Kami sudah merajut mimpi-mimpi pernikahan dan dia juga mengatakan akan keseriusannya untuk menikahiku, tetapi sampai saat ini, semua itu hanya janji-janjinya saja.

Aku tidak mau berlama-lama dalam siklus pacaran dan terus melakukan hubungan suami istri dengan Ray tanpa adanya ikatan yang pasti.

Aku mendorong kuat dada Ray dan kini aku berhasil menjauhkannya sesaat dari tubuhku.

Kini aku menjauh dan duduk di ranjang ini.

Ray terlihat benar-benar jengkel terhadapku, pasalnya ia sudah sangat nafsu bukan kepalang.

"Kamu kapan bakalan nikahin aku?! Kamu udah janji dari setengah tahun yang lalu, Ray!"

Aku berteriak geram, bahkan nafsuku saat ini sudah hilang menguap. Dia selalu saja seperti itu, selalu menjawab nanti, nanti, dan nanti ketika kumintai kepastian.

"Iya aku janji, An. Aku janji bakalan ngomong ke Papa sama Mama. Kamu tahu sendiri, kan, biaya nikah itu mahal. Aku lagi nabung, Sayang. Emang kamu mau kita nikah cuma akad, doang?"

Aku mengembuskan napas kesal.

"Ya, nggak mau, lah. Gila apa nikah cuma akad, doang!"

Ray meraih jemariku dan menggenggamnya erat.

"Maka dari itu, aku lagi ngumpulin uang, Sayang. Aku janji besok lusa aku bakalan datang ke rumahmu sama orang tuaku. Tapi jatah dulu, ya. Aku udah kepengin banget, An."

"Janji?" tanyaku kesekian kalinya. Ray mengangguk sebagai jawabannya.

Aku sudah pacaran dengan Ray selama satu setengah tahun. Itu pencapaian yang panjang dalam hal percintaanku.

Biasanya aku hanya pacaran satu sampai tiga bulan saja lalu mereka kuputuskan. Bahkan aku pernah menjalin hubungan hanya sehari.

Yeah, cinta satu malam, dengan Om-om Senang yang memiliki dua istri tapi miliknya masih belum puas sehingga mengincar daun muda sepertiku.

Om-om itu berani membelikanku barang mewah, bahkan dia membelikanku ponsel keluaran terbaru sebelum kami tidur bersama di hotel. Kami melakukannya hanya satu malam, dia menyatakan cintanya kepadaku, kemudian kami tidur di hotel, lalu besoknya aku memutuskan Om-om tersebut.

Persetan dengan cap murahan. Toh, di zaman sekarang banyak berita mahasiswi tidur dengan Om-om Senang demi memenuhi kebutuhan sosialitanya. Setidaknya aku sudah mendapatkan barang mewah darinya.

Kembali kepada Ray. Ray terhitung pacar ketigaku di kampus ini. Tentu saja aku mempertahankan Ray karena dia anak dari orang tua yang berada. Kedua orang tua Ray adalah seorang dokter.

Ray bisa memenuhi kebutuhan finansialku. Ray sering mengajakku ke mal dan membayari bill perawatanku.

Tentu saja aku tidak mau melepaskannya, dengan memilikinya aku bisa menjamin hidupku yang serba ada.

Itulah salah satu alasannya aku ingin mempercepat pernikahan kami. Membuat hubungan kami ke tahap yang lebih serius lagi.

Ray pernah memberiku barang-barang mewah yang aku sendiri tak mampu membelinya kecuali aku harus mati-matian mengumpulkan uang jajanku untuk membeli barang tersebut.

Sedangkan jika dengan Ray, dia dengan ringan tangan menggesekkan ATM-nya untukku hanya dengan memuaskan nafsunya saja.

Kadang aku berpikir...

Bukannya kebanyakan hubungan orang pacaran di zaman sekarang memang seperti itu, ya?

Pihak laki-laki membutuhkan kehangatan dari wanita cantik sedangkan pihak perempuan hanya membutuhkan uang dari pihak laki-laki untuk membiayainnya mempercantik diri.

Win win solution, simbiosis mutualisme. Itu bukan cinta, itu semacam... barter menjijikan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!